Share

Bab 137

Penulis: Pena_yuni
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-21 07:44:20

"Kamu berani mengusirku?" tanya wanita yang wajahnya sudah memerah itu.

"Siapa pun. Siapa pun yang memiliki hati serta pikiran buruk pada istriku, silahkan angkat kaki dari sini. Termasuk Tante Ayu."

Aku memegang tangan suamiku dengan erat, menghentikan pertikaian yang disebabkan oleh keberadaanku.

Papa Gun berjalan ke arah kami dengan wajah heran serta bingung. Dia menurunkan Saffa dari gendongannya yang langsung berlari ke arahku.

"Ada apa, ini? Kenapa kalian ribut?" tanya Papa melihat kami yang berdiri saling berhadapan dengan Tante Ayu.

"Kamu tanyakan saja pada anakmu itu, Bang. Gara-gara satu wanita itu, dia mulai berani melawan padaku bahkan berani mengusirku dari sini. Sakit hatiku melihat perubahan Adi yang sekarang. Dia terlalu mencintai istrinya, hingga tega menyakiti aku yang tak lain pengganti ibunya," ujar Tante Ayu seraya menunjukku dengan tangan yang gemetar.

Wanita itu kemudian terduduk lemas di sofa, yang langsung dihampiri seorang pria sepupu Adi. Mungkin anakny
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kamariah Ahmad
Kenapa pandang serong pada janda ya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 138

    "Bicara saja, Al. Kita jujur-jujuran di sini. Biar lebih enak dan bisa saling memahami karakter satu sama lain. Kita keluarga di sini," ujar Papa Gun lagi. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Kembali mata ini melirik Tante Ayu yang masih menatapku remeh. "Sebenarnya, Alina tidak sama sekali sakit hati dengan ucapan Tante, tapi ... memang kata-kata Tante sangat mencerminkan kedudukan Tante sebagai seorang wanita.""Maksudmu?" ujar Tante Ayu cepat. Papa menahan Tante Ayu untuk tidak bertanya dulu sebelum aku selesai bicara. "Menurut saya, wanita terhormat tidak akan merendahkan wanita lainnya. Mau dia statusnya lajang, janda, maupun istri kedua. Tiga status itu punya alasan masing-masing kenapa seorang wanita berada dalam posisi tersebut. Jika harus memilih, tentulah saya sebagai wanita, atau wanita-wanita di penjuru negeri ini akan memilih sebagai seorang istri yang baik untuk suaminya. Namun ...."Aku menjeda ucapanku dengan menarik napas lagi dan memperb

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-21
  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 139

    Beberapa saat berdiam diri di kamar membuatku merasa bosan. Apalagi, Adi dan Saffa yang malah semakin nyenyak tidur. Sedangkan aku, dibiarkan sendirian dalam kebingungan.Turun ke bawah, malas jika harus bertemu dengan Nenek Lampir tadi. Jika terus berada di sini, malu juga karena tidak sama sekali membantu mereka yang saat ini sedang berjibaku mempersiapkan pernikahan mertuaku. Setelah menimbang antara turun atau tidak, akhirnya aku memutuskan untuk keluar saja dari kamar. Pergi ke bawah, membantu keluarga yang lain. Saat akan turun dari ranjang, terdengar denting ponsel dengan diikuti layar benda pipih milik Adi yang menyala. Awalnya aku tidak tertarik sama sekali untuk melihat ataupun membaca pesan yang masuk ke ponsel suamiku. Namun, rasa penasaran tiba-tiba menggebu ketika melihat satu nama yang tertulis di sana. Aku pun mengambil benda pipih itu dan membulatkan mata saat melihat isi pesan yang masuk ke ponsel suamiku. [Pak Adi, saya diundang ke acara pernikahan Pak Gunawan.

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-21
  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 140

    "Al.""Eh, Papa?" kataku saat Papa Gun datang menghampiri. "Sedang apa? Papa kira, kamu makan siang, tapi ternyata cuma duduk doang. Kenapa di sini sendirian?" Papa Gun memberondongku dengan berbagai pertanyaan. Aku menggaruk tengkuk leher yang tidak gatal. Sedangkan mertuaku itu memilih duduk di kursi yang ada di sampingku. "Kenapa? Masih memikirkan yang tadi?" tanya Papa Gun lagi. "Em ... sedikit, Pah. Alina merasa bersalah saja karena sudah mengucapkan kata yang mungkin telah menyakiti hati Tante Ayu. Alina jahat, ya Pah?" "Tidak. Jangan berpikiran seperti itu. Apa yang kamu katakan, semata-mata hanya untuk mempertahankan harga dirimu sebagai seorang wanita dan istri. Menurut Papa, itu wajar. Dan kamu tidak salah. Sudah ... jangan terus dipikirkan, lagian Tante Ayu, juga sudah pergi, kok.""Pergi?" kataku kaget. Papa Gun mengangguk. Dia mengambil piring, mengisinya dengan nasi dan lauk, lalu menikmatinya tanpa terganggu dengan keberadaanku yang masih terus bertanya tentang Ta

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-21
  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 141

    "Ini Alina, istrinya putraku."Aku mengangguk dengan senyum manis pada wanita yang sudah sah menjadi ibu mertuaku itu. Ijab qobul sudah selesai beberapa saat yang lalu. Saat ini, kami tengah menikmati hidangan yang disajikan seraya bercengkrama dengan sanak saudara. Acara pernikahan Papa Gun memang sangat sederhana. Hanya ijab qobul saja, selebihnya silaturahmi antara saudara, kerabat dan sahabat. "Selamat, ya Bunda. Mudah-mudahan jadi keluarga yang sakinah," ujarku seraya memeluk wanita cantik berhijab lebar itu. Meskipun sudah berumur, tapi kecantikan Bunda Nur, biasa orang memanggilnya tidaklah luntur. Dengan ramahnya, ibu mertuaku itu membalas pelukanku. "Tadi, Bunda lihat ada anak kecil di sini. Ke mana sekarang?" tanya Bunda Nur padaku. "Oh, itu Saffa putri saya, Bunda. Tadi, dibawa Abang saya ke luar. Ke ruangan anak-anak, kalau tidak salah," ujarku seraya menunjuk pintu keluar. Bunda Nur mengangguk paham. Dia memang sengaja memisahkan ruangan anak-anak pantinya dan kera

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-23
  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 142

    Kakiku berhenti melangkah bertepatan dengan Papa Gun yang juga menghampiri Dokter Kamila. Dari jarak sedekat ini, wajah cantik itu terlihat lebih memerah. Bukan karena riasan makeup, melainkan karena menahan malu. "Mari, masuk, Dokter." Papa Gun mengajak Dokter Kamila. "Tidak, Pak Gunawan. Sepertinya ... saya salah pakai baju, maaf karena saya tidak tahu dengan tema acara pernikahan Pak Gunawan," tutur Dokter Kamila gugup. "Tidak apa-apa, Dokter. Saya tahu Anda sibuk dan tidak sempat membaca dengan rinci surat undangan yang saya berikan. Tidak masalah, silahkan masuk dan menikmati hidangan dari kami," ujar Papa Gun mempersilahkan. Dokter Kamila tidak menjawab, ia menggigit bibir terlihat gugup. Pandangan Dokter Kamila mengarah padaku dengan sangat tajam. Aku membalas tatapan itu dengan seulas senyum meremehkan. Kemudian kaki ini melangkah semakin mendekat ke arahnya di saat Papa sedang diajak bicara oleh tamu sekaligus temannya. "Yakin, mau masuk?" bisikku. "Dokter akan jadi sat

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-23
  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 143

    Namun .... Bukan aku yang dia pukul. Melainkan Adi yang tiba-tiba datang menarik dan memeluk tubuhku. "Pak Adi! M–maaf," ujar Dokter Kamila mengusap-usap punggung suamiku yang tadi terkena tamparannya. Cukup keras, hingga terdengar suara tamparan yang mungkin akan sakit jika terkena kulit wajahku."Kamu tidak apa-apa?" Bukannya menjawab pertanyaan Dokter Kamila, Adi malah menangkup kedua pipiku seraya bertanya. Tongkat yang dia pegang jatuh ke lantai hingga membuat suamiku harus menahan kakinya agar bisa berdiri dengan tegak. "Aku tidak apa-apa, Mas." Aku melepaskan tangan Adi, kemudian mengambil tongkat dan memberikannya pada suamiku. Sekarang tatapan tajam diberikan pria berdagu belah itu pada Dokter Kamila. Yang ditatap, semakin gugup dan risau. "Pak Adi, saya akan menjelaskan—""Tidak usah dijelaskan, Dokter. Saya sudah mendengar semuanya. Awalnya, saya respect pada Anda, tapi setelah ini sepertinya saya semakin yakin untuk tidak lagi berhubungan dengan Anda. Tolong, jangan

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-23
  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 144

    Lama aku berdiri di balik gorden hanya untuk melihat suamiku. Masih sama. Dia lebih fokus pada ponsel pintarnya dengan sesekali tersenyum tanpa mengalihkan pandangan. Melihat dia seperti itu, aku jadi teringat pada masa-masa di mana Mas Haikal mulai mengenal dan dekat dengan Amira. Fokus pada ponsel, selalu tak jauh dari ponsel, lebih banyak diam dan membawa ke mana pun benda pipih itu. Dan awal aku mengetahui kebusukan dia, juga dari ponsel. Haruskah aku menyadap ponsel Adi seperti yang dulu aku lakukan pada Mas Haikal? "Mbak."Aku amat terkejut saat Bibi menepuk pundakku dari belakang. Buru-buru aku berjalan menjauhi kaca tempat aku mengintip suamiku. Bibi terlihat heran karena aku yang berjalan dengan tanpa suara. "Ada apa, Bi?" tanyaku. "Mbak Alina kenapa bisik-bisik?" Bibi balik bertanya. Aku berdehem, kemudian memberikan alasan agar wanita paruh baya itu tidak mencurigaiku yang tengah memperhatikan Adi dari kejauhan. Dan untungnya dia percaya saat aku mengatakan ingin me

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-23
  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 145

    Rencana semula akan pergi ke rumah Mama sehabis maghrib, nyatanya harus pergi sekarang karena aku yang merajuk. Biarlah, Adi berpikir jika aku kesal pada dia hanya gara-gara Saffa, padahal karena dia yang mempunyai gelagat mencurigakan. "Oh, iya Mas. Tadi, kata kamu kita akan nginap di rumah Mama. Bener?" tanyaku saat kami sudah berada di mobil. "Emh ... antara benar dan tidak."Aku mengerutkan kening menatap suamiku tidak mengerti. "Maksudnya?" tanyaku lagi. "Tidak ada maksud apa-apa, Sayang .... Aduh, Nona Alina sedang sensitif sepertinya. Apa jangan-jangan kamu sedang datang bulan, ya?" "Ih, apaan, sih, gak nyambung banget, deh. Orang aku nanya seriusan, juga." Aku berucap kesal. Adi malah terkekeh melihat aku yang merengut seperti anak kecil. Tangannya menarik bahuku hingga kini aku bersandar pada pundaknya. Dia mengusap-usap kepalaku seraya meminta maaf karena telah membuatku kesal. Aku tidak menjawab maafnya, tapi juga tidak berontak dengan perlakuan manisnya. Aku sangat

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-23

Bab terbaru

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 408 Ending season 2

    "Ada apa, Mah?" Aldi bertanya seraya menghampiri Mama yang duduk di ujung ranjang. "Duduk kalian semua. Lihatlah, apa yang Mama temukan di bawah bantal Papa?" ujar Mama seraya memperlihatkan kertas dengan coretan tinta di dalamnya. "Ternyata Papa sudah punya firasat akan pergi, dan dia buat surat wasiat ini untuk kita."Semua anak menantu memperhatikan kertas yang ada di tangan Mama. Sebagai anak laki-laki, Aldi ditunjuk Mama untuk membacakan apa yang Papa tulis di dalam sana. Aldi duduk di ujung ranjang bersama Mama, sedangkan aku dan Alina serta Adikara, berada di depannya seraya bersandar pada sandaran ranjang. "Assalamualaikum." Aldi mulai membacakan surat yang katanya ditulis langsung oleh Papa. "Istriku, anak-anakku, sebelum Papa menuliskan kata-kata penting dalam kertas putih ini, ijinkanlah terlebih dahulu untuk Papa mengucapkan beribu kata cinta untuk kalian."Aldi menghentikan sejenak bacaannya, lalu menarik napas dengan dalam. "Mama ... terima kasih atas cinta kasih yan

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 407

    Kami yang ada di depan ruang jenazah berseru kaget saat tubuh Mama jatuh ke lantai. Ibu mertuaku pingsan. Cepat-cepat Om Gunawan dan Adikara mengangkat tubuh Mama, lalu membawanya ke salah satu ruang rawat yang ada di rumah sakit. Aku memanggil dokter agar memeriksa keadaan Mama yang tumbang. Mungkin kekehan karena terus menangis, shock juga atas meninggalnya Papa. "Gimana dengan Mama, Dokter?" tanyaku setelah dokter wanita itu memeriksa ibu mertuaku. "Ibu Marta mengalami shock, tapi tidak apa-apa, sebentar lagi juga siuman. Setelah bangun, nanti kasih makan, ya? Biar punya tenaga dan gak lemas lagi. Ini sudah saya buatkan resep obat buat diambil di apotik."Aku mengangguk. Alina yang melihat Mama bangun, langsung menghampiri ibunya itu dan memeluknya. Lagi. Tangis mereka berdua pecah membuatku memalingkan wajah menghapus air mata yang ikut tumpah. Segera aku keluar dari ruangan Mama, pergi ke apotik untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter. "Aruna, kamu mau ke mana?"

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 406

    Om Gunawan yang baru saja datang bersama istrinya, langsung memeluk Aldi dan memberikan kekuatan agar suamiku itu bisa tegar menghadapi cobaan hidup yang berat ini. Sedangkan Bunda Nur, dia masuk ke ruangan di mana Mama berada. Ibu mertuaku itu tidak ingin jauh dari suaminya, terus saja menggenggam tangan Papa meskipun tahu genggamannya tidak akan terbalaskan. "Kenapa tidak pamit? Kenapa Papa pergi tidak mengatakan apa pun padaku, Om?" "Sudah, ikhlaskan. Gusti Allah tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Dan kepergian ayahmu, sudah jadi rencana-Nya."Aldi mengurai pelukan, dia mencoba kuat dan kembali ke ruangan Papa bersama Om Gun. Aku pun mengikuti mereka. Melihat wajah Papa untuk yang terakhir kali, sebelum dibawa ke ruang jenazah. Raut kehilangan bukan hanya dirasakan kami sebagai keluarga, tapi Om Gun juga. Yang kutahu mereka sudah bersahabat sejak dulu, dan Papa sudah menganggap Om Gunawan adalah saudara.Tidak heran, jika ayah mertua Alina itu ikut menitikkan air mata meli

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 405

    Sambil terisak, Mama menceritakan bagaimana awal mula Papa sakit, hingga harus masuk ICU. Kata Mama, semuanya sangat cepat hingga membuat wanita berusia enam puluh tahunan itu shock luar biasa. Tubuh Mama sampai bergetar karena masih kaget dengan apa yang terjadi kepada suaminya. "Tadi dokter bilang apa?" tanya Aldi lagi. Pasalnya, sejak kami datang tidak ada dokter yang masuk ke ruangan Papa, Mama pun hanya menangis, tidak mengatakan apa pun jika tidak ditanya. "Dokter tidak mengatakan apa-apa pada Mama, Al. Dia bilang, akan membicarakan sakitnya Papa pada anak-anak Papa. Makanya, Mama terus menelpon kamu agar segera datang," papar Mama menjelaskan. "Kalau gitu, mendingan sekarang Abang temui dokter dulu untuk menanyakan kondisi Papa dan tindakan apa yang harus kita lakukan? Biar Mama, aku yang temani di sini." Aku memberikan saran. Aldi melihatku dan Mama bergantian. Kemudian dia pamit untuk menemui dokter, agar semuanya jelas. "Mah, Mama tenang, ya? Aku yakin, Papa akan semb

  • Membalas Kesombongan Mantan   404

    Pagi ini langit begitu cerah, kusibak semua gorden agar cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya, karena tubuh yang terasa lelah. Satu minggu ke belakang, aku sangat sibuk dengan pekerjaan. Promo besar-besaran dilakukan perusahaan untuk menggaet konsumen baru, juga mempertahankan konsumen lama. Bazar dilakukan disetiap pusat perbelanjaan, hingga aku harus turun tangan menyiapkan dan mempromosikan barang produksi pabrik. Capek? Jangan ditanya. Makanya hari minggu ini aku sengaja bangun siang dan santai-santai di tempat tidur. "Bang!" Aku berteriak memanggil suamiku yang sedari bangun, aku belum melihatnya. "Tidak mungkin dia kerja," kataku lagi seraya keluar kamar, dan berdiri di balkon. Senyumku tersungging saat melihat orang yang kucari ada di halaman rumah. Dia sedang berolahraga ringan di sana. "Abang!" panggilku membuatnya mendongak. "Hey, sudah bangun?" Aku mengangguk. "Mandilah, sudah Abang buatkan sarapan untukmu."Aku mel

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 403 tidak marah lagi

    "Mau pulang naik taksi?" Aku menoleh pada Aldi yang bicara dari dalam mobil. "Silahkan berjalan keluar dari perumahan ini, baru Tuan Putri akan menemukan taksi."Setelahnya, Aldi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah tanpa mengajakku sama sekali. Seperti orang bodoh yang tidak punya arah tujuan, aku hanya diam seraya memainkan jari-jari tangan. Seandainya saja tadi aku menyadari sudah ada di depan rumah, tidak akan aku turun dari mobil seraya berucap demikian. Sekarang, aku malu sendiri karena ucapanku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku melihat pintu rumah yang terbuka, tapi ragu untuk masuk ke sana. Aldi, juga tidak mengajakku bersamanya. Apa dia marah? Mungkinkah dia tak butuh aku lagi? Oh, hentikan pikiran kotor ini! Aku tidak mau bertengkar dengan Aldi gara-gara otakku yang selalu berpikir buruk tentang suamiku. "Masuk ajalah. Panas di luar terus," kataku seraya melangkahkan kaki menuju rumah. Di ruang tamu dan tengah Aldi tidak ada. Aku pun melanjutkan langkah henda

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 402 gara-gara membahas anak

    Jika bisa aku meminta, jika dunia bisa aku kendalikan sendiri, aku ingin hidup seribu tahun di sini, dengan orang yang sama. Dengan dia yang selalu menjadi tempatku bersandar, melebarkan dadanya hanya agar aku nyaman berada dalam dekapan hangatnya. Jatuh cinta? Aku merasakan itu setiap hari, setiap waktu, dan di setiap momen indah yang kami lewati. "Kenapa kamu liatin aku terus, Run?" Aldi bertanya dengan tangan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Karena ... Abang tampan. Aku jatuh cinta pada Abang." Aku menempelkan kedua tangan di kedua sudut bibir agar suara setengah berbisik yang kukeluarkan hanya didengar Aldi. Suamiku terkekeh geli. Dia melipat kedua tangan di meja, lalu pandangannya lurus ke arahku. Kubalas tatapan itu dengan wajah imut dan bibir yang sedikit mengerucut. "I love you," kataku lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Kini Aldi terbahak. Namun, segera dia menutup mulut dengan telapak tangan, tidak ingin suaranya didengar pengunjung yang lain. Apaka

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 401 maaf dan permintaan laki-laki di balik jeruji besi

    "Aruna ...."Mataku terpaku pada pria yang baru saja datang dengan memakai baju tahanan. Pandangan kami sama-sama bertemu saling memandang dalam hingga akhirnya dia terlebih dahulu memalingkan wajah. Hari ini, Aldi membawaku bertemu dengan seseorang di masa lalu. Orang yang dulu sangat dekat, tapi harus berjarak karena masalah hidup yang rumit. Kami dulu seperti saudara kandung yang hubungannya sangat erat. Namun, harus renggang karena rasa benci dan keegoisan diri yang meninggi. Brukk!Aku tercengang dengan apa yang dilakukan Damar setelah berada di depanku. Dia menjauhkan tubuhnya, berlutut di depanku yang duduk bersebelahan dengan Aldi. "Dam," kataku, tenggorokanku tercekat, tak mampu berkata-kata. "Maafkan aku, Aruna. Maaf atas segala salah dan khilafku padamu. Pukul aku, pukul aku sesuka hatimu.""Tidak, Dam.""Pukul aku!!" Damar berteriak seraya memegang tanganku agar menyentuh tubuhnya. "Hentikan!" ujar Aldi menghentikan tangan Damar. "Jika seperti ini, kamu menghentika

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 400 menggoda Syafiq

    "Sedang ganti seprai, Mbak. Mama dan Papa mau nginap, aku gak mau mereka merasa tidak nyaman dengan tidur di kasur yang tidak bersih."Aku tidak melihat pada Alina yang baru saja masuk. Tanganku terus menata tempat tidur agar terlihat bagus dan rapi. "Sampai segitunya kamu, Run," ujar Alina terkekeh. Setelah selesai mengganti seprai, aku duduk berdua di ujung ranjang dengan Alina. Wajahnya tidak seperti biasa. Dia terlihat murung dan tidak seceria tadi pagi. "Ada apa, Mbak?" tanyaku ingin tahu isi hatinya. Alina menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia memangku tangan, menautkan jari-jarinya. Sedangkan pandangannya lurus ke depan pada hiasan yang menggantung di dinding. "Aku gak tahu ini hanya pikiranku saja, atau memang ada sesuatu yang terjadi pada dia. Perasaanku tidak enak.""Siapa, Mbak?" tanyaku, karena aku tidak tahu siapa yang dibahas Alina."Naima. Dia baik-baik saja, kan?" Aku diam.Pertanyaan Alina tidak aku jawab dan malah meraih seprai yang teronggok di lan

DMCA.com Protection Status