"Kamu berani mengusirku?" tanya wanita yang wajahnya sudah memerah itu. "Siapa pun. Siapa pun yang memiliki hati serta pikiran buruk pada istriku, silahkan angkat kaki dari sini. Termasuk Tante Ayu."Aku memegang tangan suamiku dengan erat, menghentikan pertikaian yang disebabkan oleh keberadaanku. Papa Gun berjalan ke arah kami dengan wajah heran serta bingung. Dia menurunkan Saffa dari gendongannya yang langsung berlari ke arahku. "Ada apa, ini? Kenapa kalian ribut?" tanya Papa melihat kami yang berdiri saling berhadapan dengan Tante Ayu. "Kamu tanyakan saja pada anakmu itu, Bang. Gara-gara satu wanita itu, dia mulai berani melawan padaku bahkan berani mengusirku dari sini. Sakit hatiku melihat perubahan Adi yang sekarang. Dia terlalu mencintai istrinya, hingga tega menyakiti aku yang tak lain pengganti ibunya," ujar Tante Ayu seraya menunjukku dengan tangan yang gemetar. Wanita itu kemudian terduduk lemas di sofa, yang langsung dihampiri seorang pria sepupu Adi. Mungkin anakny
"Bicara saja, Al. Kita jujur-jujuran di sini. Biar lebih enak dan bisa saling memahami karakter satu sama lain. Kita keluarga di sini," ujar Papa Gun lagi. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Kembali mata ini melirik Tante Ayu yang masih menatapku remeh. "Sebenarnya, Alina tidak sama sekali sakit hati dengan ucapan Tante, tapi ... memang kata-kata Tante sangat mencerminkan kedudukan Tante sebagai seorang wanita.""Maksudmu?" ujar Tante Ayu cepat. Papa menahan Tante Ayu untuk tidak bertanya dulu sebelum aku selesai bicara. "Menurut saya, wanita terhormat tidak akan merendahkan wanita lainnya. Mau dia statusnya lajang, janda, maupun istri kedua. Tiga status itu punya alasan masing-masing kenapa seorang wanita berada dalam posisi tersebut. Jika harus memilih, tentulah saya sebagai wanita, atau wanita-wanita di penjuru negeri ini akan memilih sebagai seorang istri yang baik untuk suaminya. Namun ...."Aku menjeda ucapanku dengan menarik napas lagi dan memperb
Beberapa saat berdiam diri di kamar membuatku merasa bosan. Apalagi, Adi dan Saffa yang malah semakin nyenyak tidur. Sedangkan aku, dibiarkan sendirian dalam kebingungan.Turun ke bawah, malas jika harus bertemu dengan Nenek Lampir tadi. Jika terus berada di sini, malu juga karena tidak sama sekali membantu mereka yang saat ini sedang berjibaku mempersiapkan pernikahan mertuaku. Setelah menimbang antara turun atau tidak, akhirnya aku memutuskan untuk keluar saja dari kamar. Pergi ke bawah, membantu keluarga yang lain. Saat akan turun dari ranjang, terdengar denting ponsel dengan diikuti layar benda pipih milik Adi yang menyala. Awalnya aku tidak tertarik sama sekali untuk melihat ataupun membaca pesan yang masuk ke ponsel suamiku. Namun, rasa penasaran tiba-tiba menggebu ketika melihat satu nama yang tertulis di sana. Aku pun mengambil benda pipih itu dan membulatkan mata saat melihat isi pesan yang masuk ke ponsel suamiku. [Pak Adi, saya diundang ke acara pernikahan Pak Gunawan.
"Al.""Eh, Papa?" kataku saat Papa Gun datang menghampiri. "Sedang apa? Papa kira, kamu makan siang, tapi ternyata cuma duduk doang. Kenapa di sini sendirian?" Papa Gun memberondongku dengan berbagai pertanyaan. Aku menggaruk tengkuk leher yang tidak gatal. Sedangkan mertuaku itu memilih duduk di kursi yang ada di sampingku. "Kenapa? Masih memikirkan yang tadi?" tanya Papa Gun lagi. "Em ... sedikit, Pah. Alina merasa bersalah saja karena sudah mengucapkan kata yang mungkin telah menyakiti hati Tante Ayu. Alina jahat, ya Pah?" "Tidak. Jangan berpikiran seperti itu. Apa yang kamu katakan, semata-mata hanya untuk mempertahankan harga dirimu sebagai seorang wanita dan istri. Menurut Papa, itu wajar. Dan kamu tidak salah. Sudah ... jangan terus dipikirkan, lagian Tante Ayu, juga sudah pergi, kok.""Pergi?" kataku kaget. Papa Gun mengangguk. Dia mengambil piring, mengisinya dengan nasi dan lauk, lalu menikmatinya tanpa terganggu dengan keberadaanku yang masih terus bertanya tentang Ta
"Ini Alina, istrinya putraku."Aku mengangguk dengan senyum manis pada wanita yang sudah sah menjadi ibu mertuaku itu. Ijab qobul sudah selesai beberapa saat yang lalu. Saat ini, kami tengah menikmati hidangan yang disajikan seraya bercengkrama dengan sanak saudara. Acara pernikahan Papa Gun memang sangat sederhana. Hanya ijab qobul saja, selebihnya silaturahmi antara saudara, kerabat dan sahabat. "Selamat, ya Bunda. Mudah-mudahan jadi keluarga yang sakinah," ujarku seraya memeluk wanita cantik berhijab lebar itu. Meskipun sudah berumur, tapi kecantikan Bunda Nur, biasa orang memanggilnya tidaklah luntur. Dengan ramahnya, ibu mertuaku itu membalas pelukanku. "Tadi, Bunda lihat ada anak kecil di sini. Ke mana sekarang?" tanya Bunda Nur padaku. "Oh, itu Saffa putri saya, Bunda. Tadi, dibawa Abang saya ke luar. Ke ruangan anak-anak, kalau tidak salah," ujarku seraya menunjuk pintu keluar. Bunda Nur mengangguk paham. Dia memang sengaja memisahkan ruangan anak-anak pantinya dan kera
Kakiku berhenti melangkah bertepatan dengan Papa Gun yang juga menghampiri Dokter Kamila. Dari jarak sedekat ini, wajah cantik itu terlihat lebih memerah. Bukan karena riasan makeup, melainkan karena menahan malu. "Mari, masuk, Dokter." Papa Gun mengajak Dokter Kamila. "Tidak, Pak Gunawan. Sepertinya ... saya salah pakai baju, maaf karena saya tidak tahu dengan tema acara pernikahan Pak Gunawan," tutur Dokter Kamila gugup. "Tidak apa-apa, Dokter. Saya tahu Anda sibuk dan tidak sempat membaca dengan rinci surat undangan yang saya berikan. Tidak masalah, silahkan masuk dan menikmati hidangan dari kami," ujar Papa Gun mempersilahkan. Dokter Kamila tidak menjawab, ia menggigit bibir terlihat gugup. Pandangan Dokter Kamila mengarah padaku dengan sangat tajam. Aku membalas tatapan itu dengan seulas senyum meremehkan. Kemudian kaki ini melangkah semakin mendekat ke arahnya di saat Papa sedang diajak bicara oleh tamu sekaligus temannya. "Yakin, mau masuk?" bisikku. "Dokter akan jadi sat
Namun .... Bukan aku yang dia pukul. Melainkan Adi yang tiba-tiba datang menarik dan memeluk tubuhku. "Pak Adi! M–maaf," ujar Dokter Kamila mengusap-usap punggung suamiku yang tadi terkena tamparannya. Cukup keras, hingga terdengar suara tamparan yang mungkin akan sakit jika terkena kulit wajahku."Kamu tidak apa-apa?" Bukannya menjawab pertanyaan Dokter Kamila, Adi malah menangkup kedua pipiku seraya bertanya. Tongkat yang dia pegang jatuh ke lantai hingga membuat suamiku harus menahan kakinya agar bisa berdiri dengan tegak. "Aku tidak apa-apa, Mas." Aku melepaskan tangan Adi, kemudian mengambil tongkat dan memberikannya pada suamiku. Sekarang tatapan tajam diberikan pria berdagu belah itu pada Dokter Kamila. Yang ditatap, semakin gugup dan risau. "Pak Adi, saya akan menjelaskan—""Tidak usah dijelaskan, Dokter. Saya sudah mendengar semuanya. Awalnya, saya respect pada Anda, tapi setelah ini sepertinya saya semakin yakin untuk tidak lagi berhubungan dengan Anda. Tolong, jangan
Lama aku berdiri di balik gorden hanya untuk melihat suamiku. Masih sama. Dia lebih fokus pada ponsel pintarnya dengan sesekali tersenyum tanpa mengalihkan pandangan. Melihat dia seperti itu, aku jadi teringat pada masa-masa di mana Mas Haikal mulai mengenal dan dekat dengan Amira. Fokus pada ponsel, selalu tak jauh dari ponsel, lebih banyak diam dan membawa ke mana pun benda pipih itu. Dan awal aku mengetahui kebusukan dia, juga dari ponsel. Haruskah aku menyadap ponsel Adi seperti yang dulu aku lakukan pada Mas Haikal? "Mbak."Aku amat terkejut saat Bibi menepuk pundakku dari belakang. Buru-buru aku berjalan menjauhi kaca tempat aku mengintip suamiku. Bibi terlihat heran karena aku yang berjalan dengan tanpa suara. "Ada apa, Bi?" tanyaku. "Mbak Alina kenapa bisik-bisik?" Bibi balik bertanya. Aku berdehem, kemudian memberikan alasan agar wanita paruh baya itu tidak mencurigaiku yang tengah memperhatikan Adi dari kejauhan. Dan untungnya dia percaya saat aku mengatakan ingin me