"Mas—" Aku tidak melanjutkan kata-kataku saat orang yang kupanggil tidak ada di tempatnya. Adi yang tadi duduk di ruang tamu, kini dia menghilang entah ke mana. Saffa pun demikian. Putriku itu pergi dengan meninggalkan beberapa bonekanya. "Saffa! Mas!" Aku memanggil dua orang kesayanganku. "Di sini, Mama!" Aku menoleh ke arah kamar Saffa yang terbuka. "Loh, mau ke mana?" tanyaku saat melihat Adi tengah mendandani putriku. "Ke mana, Pah?" Bukannya menjawab pertanyaanku, Saffa malah melempar tanya pada Adi. Adi mengedikkan bahu, lebih memilih fokus pada Saffa. Aku yang merasa diabaikan, langsung masuk dan memeluk pundak suamiku dari belakang. "Papa, gak mau kasih tahu Mama, kalian akan ke mana?" tanyaku menempelkan pipiku pada Adi. Suamiku menggelengkan kepalanya. "Bener, gak mau kasih tahu?" ujarku lagi sedikit memegang daging di bagian pinggangnya. Adi menahan tawa dengan kembali menggeleng. Alhasil, aku mencubit pinggang itu dengan keras membuat Adi berjingkat seraya menga
"Maksudnya, Mas?" "Maksudku, kamu tidak boleh merasa rendah diri. Harus bisa menempatkan diri sebagai keluarga. Dan satu lagi, kamu tidak boleh bekerja sendiri di saat semua orang beristirahat. Bantu, jika semua orang sedang sibuk. Diam, jika yang lainnya juga diam. Paham?" Aku mengangguk. "Kamu menantu, bukan pembantu," tambah Adi lagi seraya menangkup kedua pipiku. "Iya, Mas iya. Aku ngerti, kok.""Yasudah, ganti bajumu, terus beresin bajunya Saffa. Aku tunggu di luar, ya?" Aku kembali menganggukkan kepala. Saat Adi benar-benar sudah keluar dari kamar, aku pun berganti pakaian. Tidak lupa, aku pun memasukkan beberapa make up untuk aku bawa ke rumah Papa Gun. Setelah membereskan bawaanku, aku pergi ke kamar Saffa untuk mengemasi pakaian putriku yang saat ini sedang berada di luar rumah bersama Adi. Entah sedang apa mereka, yang aku dengar hanya deru mobil saja. Mungkin Aris sedang memanaskan mobil, dan Saffa bermain di halaman. Rasanya hatiku sedikit cemas hari ini. Takutnya
Aris menghentikan laju mobil tepat di depan toko kue. Aku keluar sebentar untuk membeli beberapa jenis sebagai buah tangan untuk mertua dan keluarganya. Setelahnya, kami melanjutkan perjalanan hingga akhirnya sampai di depan rumah Papa Gun. Aku menarik napas dalam-dalam sebelum turun dari dalam mobil. Melihat ada beberapa orang di teras rumah, membuatku semakin merasa deg-degan. "Ayo, Sayang." Adi turun terlebih dahulu seraya menuntun tangan Saffa. Aku pun keluar dan langsung jadi pusat perhatian orang-orang di depan sana. "Hey, Mas Bro Adi, sudah datang. Apa kabar, Di?" sapa seorang pria yang kutaksir usianya sebaya dengan suamiku itu. Beda satu dua tahunan di bawah atau di atas Adi mungkin. "Baik, Bang. Abang apa kabar? Apa semuanya sudah pada datang?" ujar Adi seraya menjabat tangan pria itu. "Sudah, semuanya sudah kumpul. Tinggal kamu aja yang baru datang. Kayaknya betah banget di rumah.""Keluar juga mau ngapain, Bang. Kondisinya aja kayak gini, lebih baik di rumah sambil
"Kamu berani mengusirku?" tanya wanita yang wajahnya sudah memerah itu. "Siapa pun. Siapa pun yang memiliki hati serta pikiran buruk pada istriku, silahkan angkat kaki dari sini. Termasuk Tante Ayu."Aku memegang tangan suamiku dengan erat, menghentikan pertikaian yang disebabkan oleh keberadaanku. Papa Gun berjalan ke arah kami dengan wajah heran serta bingung. Dia menurunkan Saffa dari gendongannya yang langsung berlari ke arahku. "Ada apa, ini? Kenapa kalian ribut?" tanya Papa melihat kami yang berdiri saling berhadapan dengan Tante Ayu. "Kamu tanyakan saja pada anakmu itu, Bang. Gara-gara satu wanita itu, dia mulai berani melawan padaku bahkan berani mengusirku dari sini. Sakit hatiku melihat perubahan Adi yang sekarang. Dia terlalu mencintai istrinya, hingga tega menyakiti aku yang tak lain pengganti ibunya," ujar Tante Ayu seraya menunjukku dengan tangan yang gemetar. Wanita itu kemudian terduduk lemas di sofa, yang langsung dihampiri seorang pria sepupu Adi. Mungkin anakny
"Bicara saja, Al. Kita jujur-jujuran di sini. Biar lebih enak dan bisa saling memahami karakter satu sama lain. Kita keluarga di sini," ujar Papa Gun lagi. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Kembali mata ini melirik Tante Ayu yang masih menatapku remeh. "Sebenarnya, Alina tidak sama sekali sakit hati dengan ucapan Tante, tapi ... memang kata-kata Tante sangat mencerminkan kedudukan Tante sebagai seorang wanita.""Maksudmu?" ujar Tante Ayu cepat. Papa menahan Tante Ayu untuk tidak bertanya dulu sebelum aku selesai bicara. "Menurut saya, wanita terhormat tidak akan merendahkan wanita lainnya. Mau dia statusnya lajang, janda, maupun istri kedua. Tiga status itu punya alasan masing-masing kenapa seorang wanita berada dalam posisi tersebut. Jika harus memilih, tentulah saya sebagai wanita, atau wanita-wanita di penjuru negeri ini akan memilih sebagai seorang istri yang baik untuk suaminya. Namun ...."Aku menjeda ucapanku dengan menarik napas lagi dan memperb
Beberapa saat berdiam diri di kamar membuatku merasa bosan. Apalagi, Adi dan Saffa yang malah semakin nyenyak tidur. Sedangkan aku, dibiarkan sendirian dalam kebingungan.Turun ke bawah, malas jika harus bertemu dengan Nenek Lampir tadi. Jika terus berada di sini, malu juga karena tidak sama sekali membantu mereka yang saat ini sedang berjibaku mempersiapkan pernikahan mertuaku. Setelah menimbang antara turun atau tidak, akhirnya aku memutuskan untuk keluar saja dari kamar. Pergi ke bawah, membantu keluarga yang lain. Saat akan turun dari ranjang, terdengar denting ponsel dengan diikuti layar benda pipih milik Adi yang menyala. Awalnya aku tidak tertarik sama sekali untuk melihat ataupun membaca pesan yang masuk ke ponsel suamiku. Namun, rasa penasaran tiba-tiba menggebu ketika melihat satu nama yang tertulis di sana. Aku pun mengambil benda pipih itu dan membulatkan mata saat melihat isi pesan yang masuk ke ponsel suamiku. [Pak Adi, saya diundang ke acara pernikahan Pak Gunawan.
"Al.""Eh, Papa?" kataku saat Papa Gun datang menghampiri. "Sedang apa? Papa kira, kamu makan siang, tapi ternyata cuma duduk doang. Kenapa di sini sendirian?" Papa Gun memberondongku dengan berbagai pertanyaan. Aku menggaruk tengkuk leher yang tidak gatal. Sedangkan mertuaku itu memilih duduk di kursi yang ada di sampingku. "Kenapa? Masih memikirkan yang tadi?" tanya Papa Gun lagi. "Em ... sedikit, Pah. Alina merasa bersalah saja karena sudah mengucapkan kata yang mungkin telah menyakiti hati Tante Ayu. Alina jahat, ya Pah?" "Tidak. Jangan berpikiran seperti itu. Apa yang kamu katakan, semata-mata hanya untuk mempertahankan harga dirimu sebagai seorang wanita dan istri. Menurut Papa, itu wajar. Dan kamu tidak salah. Sudah ... jangan terus dipikirkan, lagian Tante Ayu, juga sudah pergi, kok.""Pergi?" kataku kaget. Papa Gun mengangguk. Dia mengambil piring, mengisinya dengan nasi dan lauk, lalu menikmatinya tanpa terganggu dengan keberadaanku yang masih terus bertanya tentang Ta
"Ini Alina, istrinya putraku."Aku mengangguk dengan senyum manis pada wanita yang sudah sah menjadi ibu mertuaku itu. Ijab qobul sudah selesai beberapa saat yang lalu. Saat ini, kami tengah menikmati hidangan yang disajikan seraya bercengkrama dengan sanak saudara. Acara pernikahan Papa Gun memang sangat sederhana. Hanya ijab qobul saja, selebihnya silaturahmi antara saudara, kerabat dan sahabat. "Selamat, ya Bunda. Mudah-mudahan jadi keluarga yang sakinah," ujarku seraya memeluk wanita cantik berhijab lebar itu. Meskipun sudah berumur, tapi kecantikan Bunda Nur, biasa orang memanggilnya tidaklah luntur. Dengan ramahnya, ibu mertuaku itu membalas pelukanku. "Tadi, Bunda lihat ada anak kecil di sini. Ke mana sekarang?" tanya Bunda Nur padaku. "Oh, itu Saffa putri saya, Bunda. Tadi, dibawa Abang saya ke luar. Ke ruangan anak-anak, kalau tidak salah," ujarku seraya menunjuk pintu keluar. Bunda Nur mengangguk paham. Dia memang sengaja memisahkan ruangan anak-anak pantinya dan kera