Kulihat jam dinding sudah pukul pukul lima. Papa sudah pulang dari rutinitasnya di luar rumah. Begitu pun Bang Aldi yang tadi sempat pergi ke pabrik sepatu miliknya. Saat tengah duduk di sofa depan televisi seraya menemani Saffa yang tidur di sana, ponselku berdering. Aku mengambil benda pipih itu lalu menempelkannya ke telinga. "Halo, Pah," ucapku. "Alina di mana? Papa sedang di rumah kamu, tapi rumah kosong. Adi juga tidak mengangkat telepon dari Papa, apa kalian sedang bersama?" ujar Papa Gun dari sebrang sana. "Enggak, Pah. Aku sedang di rumah Mama, dan Mas Adi tadi pamit ke pabrik. Mungkin masih meeting kali, Pah. Jadi, gak bisa dihubungi."Terdengar helaan napas dari sebrang sana. Panggilan pun terputus setelah aku mengatakan akan pulang sekarang juga. Namun, sebelumnya aku mengirimkan pesan terlebih dahulu pada Adi untuk memberitahukan padanya jika aku dan Saffa pulang terlebih dahulu. "Mah, Alina pulang dulu, ya?" ujarku menghampiri Mama yang tengah menemani Papa di meja
"Namanya Indah, Papa menyukainya sejak lama, tapi ragu untuk mengutarakan perasaan ini padanya. Apalagi, kamu yang belum mendapatkan pendamping pada saat itu. Sekarang, kamu sudah punya pasangan, teman hidup yang kamu idamkan. Jadi ... boleh, dong Papa menikah?" "Tidak boleh!" "Tidak boleh!" Aku dan Adi berseru bersamaan. Setelahnya, kami saling pandang menyadari ucapan yang terlontar, dan pasti membuat pria di depan kami kecewa. Papa Gun mengangguk-anggukkan kepalanya seraya tangan yang mengusap wajah dengan lesu. "Ya, tak apa. Mungkin Papa memang ditakdirkan hidup sendiri sampai akhir hidup nanti," ucapnya kemudian. Setelah drama ikan goreng yang menggigit jari Saffa, kami langsung menikmati hidangan yang ada di meja makan itu. Makan bersama, seraya bercengkrama menggoda putriku yang tadi jadi perhatian. Usai makan, kami kembali ke ruang tengah untuk berbincang serius. Di mana, Papa Gun kembali mengutarakan keinginannya untuk menikah. Jawaban yang kami berikan sungguh me
"Ah, rasanya penatku hilang seketika jika sudah diunyel-unyel sama istri," cetus Adi membuatku melebarkan mata. "Aku mijit, ya bukan unyel-unyel tubuhmu." Aku menepuk pundak Adi yang sedari beberapa menit yang lalu aku pijat. Pria itu tertawa lebar membuat gadis kecil yang sedang memijit kaki Adi ikut tertawa. Papa Gun sudah pulang sejak satu jam yang lalu. Semua tanda tanya tentang dia, sudah terjawab. Rasa ragu pun seketika hilang begitu saja saat tahu siapa wanita yang ditaksir mertuaku itu. Apalagi, tadi aku sempat menelepon Mama untuk menanyakan wanita bernama Indah Nurjanah yang disebutkan Papa. Dan Mama membenarkan jika wanita itu memang pengelola panti asuhan An-Nur, bukan Indah Soraya si mantan mertua. "Sudah, Mas? Tanganku pegal, nih." Aku merajuk seraya merengut manja. Padahal, belum ada lima belas menit tanganku bermain di pundak Adi. "Baru juga sebentar, Al. Pengen nambah," tutur Adi mengambil tanganku, lalu disimpannya di pundak dia. "Nanti aja lanjutin, aku peng
Pagi yang indah bagi bunga yang merekah bermekaran. Wanginya semerbak membelai hati yang tengah merasa gelisah. Khawatir, jika matahari pagi ini tidak sehangat selimut malam tadi. Yang membelai, memberikan rasa nyaman yang begitu memabukan. Ah, dadaku kembali berdetak mengingat perjalanan malam panjang itu. Bibir merahku tersenyum mencerminkan rasa bahagia yang kian menjadi nyata. "Sayang ...." Usapan lembut di kedua punggung tangan membuatku membuka mata. Namun, aku enggan untuk beranjak. Tetap pada posisi ini, memeluk tubuhnya dari belakang. "Sayangku?" ucapnya lagi membuatku mengangkat kepala. "Apa?" "Tidak apa-apa, takutnya kamu tidur di sana," ujar Adi membuatkan kembali menempelkan pipi pada punggungnya yang lebar. Aku sangat menikmati momen ini. Di mana, aku berdiri memeluk dia dari belakang. Meskipun aku tahu dia pegal karena harus mengeluarkan tenaga lebih untuk berpegangan pada walker, tapi aku sangat menikmatinya. Dia memanjakanku meski hanya dengan punggungnya saj
Pertanyaan demi pertanyaan bersarang di otakku. Namun, tak urung bagiku untuk mempercepat gerakan agar bisa segera selesai. Beberapa saat di kamar mandi, aku dan Saffa keluar dengan handuk yang melilit tubuh kami. "Mama, di sini enggak ada baju Saffa," tutur putriku seraya duduk di pinggir ranjang. Benar. Apa yang dikatakan putriku benar adanya. Lantas, apakah aku harus mengambil pakaiannya ke kamar, lalu kembali lagi ke sini? Tidak! Itu akan membuang-buang waktu. Aku segera berpakaian lengkap, lalu setelahnya mengambil pakaian Saffa ke kamarnya. Saat melewati ruang tengah, tidak ada siapa-siapa di sana. Suamiku tidak ada. Tamu yang dia maksud pun tidak ada di mana-mana. Aku sudah mengeceknya di ruang tamu, tapi nihil. Suamiku dan tamu itu tidak ada. Lalu siapa dan di mana tamu itu? Hampir saja kaki ini melangkah ke luar rumah, tapi aku urungkan mengingat rambutku yang masih acak-acakan belum disisir. Cepat aku kembali ke kamar, memakaikan baju pada putriku, lalu bersolek seb
"Kakinya sudah bisa diangkat ke atas, Pak?" "Belum, Dok. Masih sangat berat untuk melakukan itu.""Oke, tak apa. Kita latihan itu dulu sekarang. Pelan-pelan angkat kakinya, turunkan lagi. Biar saya bantu."Aku hanya jadi penonton antara pasien dan dokter itu. Adi begitu serius mengikuti titah Dokter Kamila yang menyuruhnya menggerakkan kaki. Dokter Kamila pun demikian. Meskipun matanya selalu mencuri pandang ke wajah suamiku, tapi sayangnya tidak mendapatkan tanggapan dari pria itu. Jangankan ikut melirik, tersenyum saja tidak. Syukurin! Memang itu yang aku inginkan. Adi tidak ikut main mata dengan Dokter Kamila. Sedari dimulainya terapi, aku sama sekali tidak beranjak dari tempat dudukku. Sengaja, aku memilih ruang tengah untuk Adi melakukan terapi bersama Dokter Kamila, biar aku bisa mengawasi mereka juga Saffa dengan bersamaan. Beruntunglah, Saffa juga anteng dengan mainnya, tidak rewel dengan meminta berpindah tempat bermain. "Sekarang, coba Pak Adi gerakan sendiri kakinya
"Sssttt ...." Aku menempelkan telunjuk di bibir Adi yang hendak menjelaskan. "Tidak usah khawatir, aku baik-baik saja. Berlatihlah kembali, aku akan ke luar sebentar," bisikku lagi di telinga suamiku. Adi terus melihatku yang keluar dari ruang tengah menuju ruang tamu. Tidak sedikit pun aku menyalahkan Adi, karena dengan jelas kulihat Dokter Kamila-lah yang memulai.Tadi, aku juga melihat ada penolakan dari Adi, tapi tidak diindahkan dokter itu. Ia membujuk suamiku untuk mengikuti instruksinya. Dan bodohnya, Adi orangnya merasa tidak enakan hingga dengan mudah dimanfaatkan orang lain. "Aris!" Aku mengetuk pintu paviliun seraya memanggil supir itu. 'Ah, apa jangan-jangan mereka sedang melakukan kewajibannya sebagai suami istri, ya? Secara, sudah lama mereka tinggal berjauhan.' Hatiku berujar seraya berpikir antara menunggu dan pergi. Setelah beberapa saat tidak ada jawaban, aku memutuskan untuk meninggalkan paviliun. Namun, tidak kembali ke dalam rumah. Memilih mampir sebentar di m
Hari terus berganti hingga tidak terasa sudah sepuluh hari Adi diterapi oleh Dokter Kamila. Selama itu pula, dokter cantik itu selalu mencari-cari perhatian pada suamiku. Namun, untungnya Adi mau mendengarkan apa kataku. Dia sama sekali tidak tertarik dengan Dokter Kamila, dan malah bersikap sangat cuek. Aku pun selalu mencari cara untuk bisa membuat wanita itu menjauh dari suamiku.Kemajuan sudah ada, sekarang Adi sudah bisa menekuk kakinya, berjalan beberapa langkah meskipun masih tertatih. Senang? Tentu saja senang. Jika Adi bisa kembali berjalan, aku akan hidup tenang tanpa takut suamiku bertemu lagi dengan Dokter Kamila. "Lasmi, sudah sepuluh hari kamu di sini, tapi tidak pernah saya lihat kamu keluar. Kenapa?" tanyaku pada wanita yang aku temui di paviliun. "Tidak apa-apa, Bu. Saya, cuma menuruti perkataan Mas Aris, Bu.""Emangnya dia bilang apa?" tanyaku. Pagi ini aku sengaja menemui wanita itu karena dia yang sangat menutup diri. Sejak kedatangannya, tidak pernah sama s