Pertanyaan demi pertanyaan bersarang di otakku. Namun, tak urung bagiku untuk mempercepat gerakan agar bisa segera selesai. Beberapa saat di kamar mandi, aku dan Saffa keluar dengan handuk yang melilit tubuh kami. "Mama, di sini enggak ada baju Saffa," tutur putriku seraya duduk di pinggir ranjang. Benar. Apa yang dikatakan putriku benar adanya. Lantas, apakah aku harus mengambil pakaiannya ke kamar, lalu kembali lagi ke sini? Tidak! Itu akan membuang-buang waktu. Aku segera berpakaian lengkap, lalu setelahnya mengambil pakaian Saffa ke kamarnya. Saat melewati ruang tengah, tidak ada siapa-siapa di sana. Suamiku tidak ada. Tamu yang dia maksud pun tidak ada di mana-mana. Aku sudah mengeceknya di ruang tamu, tapi nihil. Suamiku dan tamu itu tidak ada. Lalu siapa dan di mana tamu itu? Hampir saja kaki ini melangkah ke luar rumah, tapi aku urungkan mengingat rambutku yang masih acak-acakan belum disisir. Cepat aku kembali ke kamar, memakaikan baju pada putriku, lalu bersolek seb
"Kakinya sudah bisa diangkat ke atas, Pak?" "Belum, Dok. Masih sangat berat untuk melakukan itu.""Oke, tak apa. Kita latihan itu dulu sekarang. Pelan-pelan angkat kakinya, turunkan lagi. Biar saya bantu."Aku hanya jadi penonton antara pasien dan dokter itu. Adi begitu serius mengikuti titah Dokter Kamila yang menyuruhnya menggerakkan kaki. Dokter Kamila pun demikian. Meskipun matanya selalu mencuri pandang ke wajah suamiku, tapi sayangnya tidak mendapatkan tanggapan dari pria itu. Jangankan ikut melirik, tersenyum saja tidak. Syukurin! Memang itu yang aku inginkan. Adi tidak ikut main mata dengan Dokter Kamila. Sedari dimulainya terapi, aku sama sekali tidak beranjak dari tempat dudukku. Sengaja, aku memilih ruang tengah untuk Adi melakukan terapi bersama Dokter Kamila, biar aku bisa mengawasi mereka juga Saffa dengan bersamaan. Beruntunglah, Saffa juga anteng dengan mainnya, tidak rewel dengan meminta berpindah tempat bermain. "Sekarang, coba Pak Adi gerakan sendiri kakinya
"Sssttt ...." Aku menempelkan telunjuk di bibir Adi yang hendak menjelaskan. "Tidak usah khawatir, aku baik-baik saja. Berlatihlah kembali, aku akan ke luar sebentar," bisikku lagi di telinga suamiku. Adi terus melihatku yang keluar dari ruang tengah menuju ruang tamu. Tidak sedikit pun aku menyalahkan Adi, karena dengan jelas kulihat Dokter Kamila-lah yang memulai.Tadi, aku juga melihat ada penolakan dari Adi, tapi tidak diindahkan dokter itu. Ia membujuk suamiku untuk mengikuti instruksinya. Dan bodohnya, Adi orangnya merasa tidak enakan hingga dengan mudah dimanfaatkan orang lain. "Aris!" Aku mengetuk pintu paviliun seraya memanggil supir itu. 'Ah, apa jangan-jangan mereka sedang melakukan kewajibannya sebagai suami istri, ya? Secara, sudah lama mereka tinggal berjauhan.' Hatiku berujar seraya berpikir antara menunggu dan pergi. Setelah beberapa saat tidak ada jawaban, aku memutuskan untuk meninggalkan paviliun. Namun, tidak kembali ke dalam rumah. Memilih mampir sebentar di m
Hari terus berganti hingga tidak terasa sudah sepuluh hari Adi diterapi oleh Dokter Kamila. Selama itu pula, dokter cantik itu selalu mencari-cari perhatian pada suamiku. Namun, untungnya Adi mau mendengarkan apa kataku. Dia sama sekali tidak tertarik dengan Dokter Kamila, dan malah bersikap sangat cuek. Aku pun selalu mencari cara untuk bisa membuat wanita itu menjauh dari suamiku.Kemajuan sudah ada, sekarang Adi sudah bisa menekuk kakinya, berjalan beberapa langkah meskipun masih tertatih. Senang? Tentu saja senang. Jika Adi bisa kembali berjalan, aku akan hidup tenang tanpa takut suamiku bertemu lagi dengan Dokter Kamila. "Lasmi, sudah sepuluh hari kamu di sini, tapi tidak pernah saya lihat kamu keluar. Kenapa?" tanyaku pada wanita yang aku temui di paviliun. "Tidak apa-apa, Bu. Saya, cuma menuruti perkataan Mas Aris, Bu.""Emangnya dia bilang apa?" tanyaku. Pagi ini aku sengaja menemui wanita itu karena dia yang sangat menutup diri. Sejak kedatangannya, tidak pernah sama s
Sampai di dapur, aku langsung mengeluarkan beberapa potong daging, ikan, serta sayuran lainnya untuk dimasak. Tanpa bicara, Lasmi mencuci semua sayur dan daging, sambil memotongnya. Harus aku akui, dia cukup cekatan dalam bekerja. "Las, kamu di kampung suka ngapain aja?" tanyaku untuk mengakrabkan diri. Aku sangat penasaran sekali dengan wanita itu. Dia cantik, manis, tapi wajahnya terlihat redup. Bukan karena kulitnya yang gelap, tapi memang tidak ada keceriaan dari wajah itu."Saya ... tidak ngapa-ngapain, Bu. Diam di rumah saja.""Tinggal sendiri?" "Sama mertua."Aku mengangguk paham, tapi pikiranku bertanya-tanya. Mungkinkah Lasmi bertengkar dengan mertuanya hingga akhirnya memberanikan datang ke sini seorang diri? Sambil nangis-nangis, pula. "Kamu tidak cocok, ya sama mertuamu?" tanyaku lagi. Lasmi menggeleng pelan. "Tidak usah sungkan sama saya, Las. Saya juga pernah punya mertua dan tidak cocok dengannya. Cerita saja, jika kamu ingin mengeluarkan unek-unek. Jangan dipe
"Mama, kita mau ke mana?" tanya Saffa setelah mobil keluar dari halaman rumah. "Mau ke Papa, Sayang. Katanya, Papa sedang di rumah sakit.""Om Papa sakit lagi?" "Tidak, tapi ... sedang menjenguk yang sakit," kataku memberikan jawaban yang mudah dimengerti Saffa. Padahal, aku belum tahu kenapa Adi ada di rumah sakit sekarang. Jika Dokter Kamila yang kecelakaan, terus kenapa harus Adi yang menemani? Dia bukan siapa-siapa Dokter Kamila. Hubungan yang terjalin hanya sebatas pasien dan dokter, tidak lebih. Apa mungkin wanita itu sengaja agar bisa lebih dekat dengan Adi? Dia menjual kesedihan untuk menarik simpati suamiku? Tidak bisa dibiarkan. "Eh, kok berenti, Ris?" kataku saat Aris mengerem mendadak. "Ada mobil yang berhenti di depan kita, Bu."Aku sedikit memajukan tubuh melihat siapa kiranya yang mengganggu perjalananku kali ini. "Bang Aldi?" ucapku kemudian saat tahu siapa yang turun dari sana. Pria dengan garis wajah mirip Papa itu turun, lalu mengetuk pintu kaca mobil yang
Aku keluar dari kamar Dokter Burhan seraya mengembuskan napas kasar. Duduk sebentar di ruang tunggu, kemudian berdiri lagi. Aku berjalan santai seraya melihat-lihat dinding yang dihiasi dengan gambar-gambar edukasi mengenai kesehatan organ tubuh. Hingga tidak sengaja mata ini menangkap seorang wanita berjalan cepat ke arahku. Dia Dokter Kamila. Aku berdiri dengan tegak menyambut dia yang datang dengan wajah panik membuat kedua pipinya memerah. Dokter Kamila melihatku sejenak, tapi tidak menghentikan langkahnya yang kemudian masuk ke dalam kamar Dokter Burhan. "Papa ...." Tangis Dokter Kamila pecah melihat kondisi ayahnya yang sangat memprihatinkan. Dia mengusap, meraba tangan Dokter Burhan yang dibalut perban. Hatiku ikut merasakan kesedihan yang wanita itu rasakan. Aku pernah ada di posisi itu saat Adi mengalami koma sebelum menjadi suamiku.Rasa takut, khawatir akan kehilangan orang terkasih begitu menyiksa batin. Begitu pun dengan Dokter Kamila yang hanya tinggal berdua dengan
"Dokter Burhan, saya ....""Ja–jangan menolak, Pak Adi. Putriku, sangat mengagumi dirimu," ujar Dokter Burhan dengan terbata. Dadaku semakin kembang kempis mendengar ucapan Dokter Burhan. Meskipun pelan, tapi sangat begitu jelas. Ternyata dugaanku tidak salah mengenai Dokter Kamila. Dia benar-benar menginginkan suamiku. Melihat Adi hanya diam, membuatku geram. Entah apa yang ada dalam pikiran Adi, sehingga sulit untuk berucap. Beratkah dia untuk menolak, atau tidak enak hati karena ada aku di sini? Muak dengan sejuta bujuk rayu Dokter Burhan yang berharap mendapatkan jawaban 'iya' dari suamiku, aku membalikkan badan memilih keluar dari ruangan yang teramat sesak ini. "Saya tidak bisa, Dok. Saya tidak ingin menyakiti istri saya. Saya bisa menjaga Dokter Kamila, tapi tidak dengan menikahinya."Tangan yang sudah memegang gagang pintu, aku tarik kembali. Bibirku tersenyum mendengar jawaban dari bibir Adi. Aku membalikkan badan, melihat pada Adi yang juga tengah melihatku dengan men