Papa Gun mencoba menenangkan Dokter Kamila, mertuaku itu berbicara lembut layaknya seorang ayah pada putrinya. Papa Gun juga memberikan isyarat pada Adi untuk membawaku keluar dari ruangan ini agar Dokter Kamila bisa lebih tenang. "Jangan diambil hati ucapan Dokter Kamila, Sayang ... dia sedang syok dengan kematian ayahnya.""Benarkah ini salahku, Mas?" ucapku tak menghiraukan perkataan Adi. Aku berhenti melangkah. Berdiri dengan tatapan kosong, lalu menghampiri kursi panjang yang ada di luar kamar Dokter Burhan. Aku menutup wajah dengan kedua tangan mencerna ucapan Dokter Kamila tadi. Ini salahku?"Tidak, Al. Ini bukan salahmu. Seperti yang kamu katakan, ini takdir. Kepergian Dokter Burhan karena memang sudah waktunya, bukan karena kamu." "Tapi, jika tadi kamu menjawab bersedia, mungkin ceritanya tidak akan seperti ini, Mas.""Belum tentu.""Aku egois, Mas. Aku tidak bisa berpikir dewasa. Aku terlalu takut kehilangan kamu, aku terlalu takut untuk berbagi. Padahal, bisa saja perm
"Tugasmu sekarang bukan hanya menjaga Alina, Di. Tapi, kamu juga harus bisa membuat dia merasa aman dan nyaman berada di sampingmu. Maaf, bukan maksud Papa ingin ikut campur dengan masalah yang sedang kalian hadapi ini. Cuman mengingatkan, jika kamu bukan hanya sebatas penjaga, tapi juga suami bagi putriku.""Iya, Pah. Aku akan ingat selalu kata-kata Papa."Aku yang baru saja keluar dari kamar, langsung disambut percakapan antara suami dan orang tuaku. Entah berapa lama aku tidur, hingga saat bangun langit mulai menghitam. Aku juga tidak tahu apa yang mereka bahas, hingga terdengar begitu serius. Papa juga membahas masalah. Masalah apa? Aku merasa tidak punya masalah dengan suamiku. Atau jangan-jangan, Adi membahas kejadian di rumah sakit tadi? "Ingat, jangan patahkan kepercayaanku," ujar Papa lagi pada Adi. Suamiku mengangguk dengan pasti menjawab ucapan Papa. Aku berjalan menghampiri mereka yang tengah berada di ruang tengah. Dua lelaki itu menoleh bersamaan melihat kedatangank
Semua makanan sudah dihidangkan, aku pun memanggil para lelaki untuk segera menikmati makan malam. "Pah, gimana dengan Dokter Kamila? Siapa yang menemani dia kalau Papa ke sini?" tanyaku pada Papa Gun. Entahlah, kenapa aku jadi ingin tahu tentang dokter cantik itu. Mengingat keluarga besarnya yang berada di luar kota, membuatku sedikit iba jika dia ditinggal sendiri. "Tadi beberapa keluarganya sudah pada datang, rencananya pemakaman Dokter Burhan akan dilakukan esok hari. Jadi, Papa memilih pamit saja, dan langsung ke sini." Aku manggut-manggut mendengar jawaban Papa Gun. "Terus, gimana dengan rencana pernikahanmu, Gun?" Kini Papa yang bertanya pada sahabatnya itu. "Wah, kalau itu sudah pasti jadi, Din. Makanya aku datang ke sini, untuk memberitahukan pada kalian tentang hari pernikahanku.""Kapan?" tanya Adi. "Satu minggu lagi.""Mepet banget," ujar Mama mewakili perasaanku. Papa Gun menjelaskan jika dia tidak ingin menunda lagi. Dan pernikahan akan diadakan di panti asuhan A
"Ayo, Pah ... Om Papa pasti bisa!" Tepukan tangan Saffa terdengar nyaring di telinga. Aku menolehnya sekilas, lalu kembali pada beberapa sayuran yang akan aku masak. Sedangkan putri kecilku itu, dia tengah bersama Adi yang sedang berlatih berjalan di belakang rumah. Bisa kulihat keduanya begitu bersemangat dari dinding kaca dapur yang sengaja gordennya aku buka."Yaaaah ... Om Papa jatuh lagi. Sakit, gak Pah?""Enggak. Lihat, Papa bisa berdiri lagi dan akan kembali berjalan. Saffa tunggu saja, nanti Papa akan lari mengejar Saffa.""Papa gak akan bisa nangkep Saffa, karena setiap hari Saffa minum susu.""Emang susu bisa buat Saffa lari kencang?" "Bisa, dong. Bisa bikin Saffa semakin tinggi, dan tumbuh gigi. Hi ...." Aku terkekeh melihat tingkah Saffa yang nyengir memperlihatkan deretan gigi yang hitam di bagian depannya. Begitu pun dengan Adi. Pria itu tergelak seraya mengusap keringat di pelipisnya. Canda tawa mereka menjadi candu di setiap laguku. Ada saja tingkah keduanya ya
Sepi. Seperti tidak ada orang, tapi ada mobil warna hitam yang terparkir di halaman. Aku pun bisa menebak, jika saat ini Maya sedang dikurung oleh orang tuanya seperti yang pernah dikatakan Bu RT waktu itu. Mataku melihat-lihat ke sekitar bangunan berlantai dua itu seraya terus berjalan menghampiri pintu. "Assalamualaikum!" "Assalamualaikum!" teriakku lagi saat salam pertama tidak mendapatkan respon. "Waalaikumsalam!" Pintu terbuka menampakkan wanita paruh baya dari dalam rumah. "Ibu, maaf saya ganggu waktunya. Waktu itu, Maya pernah datang berkunjung membawa makanan, dan kebetulan nampannya belum saya berikan. Ini, Bu, mohon diterima makanan yang tidak seberapa ini dari kami," ujarku mengulurkan tangan memberikan nampan. "Ya ampun, Mbak ... terima kasih banyak sudah mau datang dengan membawa makanan. Ya, memang begitulah Maya, dia selalu membagi-bagikan makanan ke tetangga."Wanita yang kutaksir seumuran dengan Mama itu menceritakan sedikit tentang anaknya yang suka membagi-ba
"Saya mau minta maaf atas kejadian di rumah sakit waktu itu. Jujur, saya sangat menyesali dengan ucapan saya yang pastinya membuat Ibu Alina benci dan marah pada saya." Aku tersenyum kecil mendengar jawaban Dokter Kamila saat aku menanyai maksud kedatangannya ke sini. Minta maaf, dia katakan padaku. Benarkah hanya itu, atau ada hal lain? Astaghfirullah ... kenapa pikiranku tidak pernah baik pada wanita satu ini. "Maafkan saya, Bu Alina. Tidak seharusnya saya menuduh Bu Alina sebagai penyebab dari meninggalnya Papa. Waktu itu saya syok, sedih dan pastinya emosi saya sedang tidak stabil. Makanya saya asal bicara sebagai luapan kesedihan saya. Sekali lagi, maafkan saya." Dokter Kamila kembali berujar. Kutatap lekat wajah manis itu. Matanya sendu terlihat tulus. Namun, aku tidak tahu hatinya. Bisakah aku percaya pada dia? Tidak. Jangankan untuk percaya, berpikir positif pun aku tidak bisa. "Sudah saya maafkan," kataku akhirnya. Aku tidak punya alasan untuk tidak memaafkan dia. J
"Mas—" Aku tidak melanjutkan kata-kataku saat orang yang kupanggil tidak ada di tempatnya. Adi yang tadi duduk di ruang tamu, kini dia menghilang entah ke mana. Saffa pun demikian. Putriku itu pergi dengan meninggalkan beberapa bonekanya. "Saffa! Mas!" Aku memanggil dua orang kesayanganku. "Di sini, Mama!" Aku menoleh ke arah kamar Saffa yang terbuka. "Loh, mau ke mana?" tanyaku saat melihat Adi tengah mendandani putriku. "Ke mana, Pah?" Bukannya menjawab pertanyaanku, Saffa malah melempar tanya pada Adi. Adi mengedikkan bahu, lebih memilih fokus pada Saffa. Aku yang merasa diabaikan, langsung masuk dan memeluk pundak suamiku dari belakang. "Papa, gak mau kasih tahu Mama, kalian akan ke mana?" tanyaku menempelkan pipiku pada Adi. Suamiku menggelengkan kepalanya. "Bener, gak mau kasih tahu?" ujarku lagi sedikit memegang daging di bagian pinggangnya. Adi menahan tawa dengan kembali menggeleng. Alhasil, aku mencubit pinggang itu dengan keras membuat Adi berjingkat seraya menga
"Maksudnya, Mas?" "Maksudku, kamu tidak boleh merasa rendah diri. Harus bisa menempatkan diri sebagai keluarga. Dan satu lagi, kamu tidak boleh bekerja sendiri di saat semua orang beristirahat. Bantu, jika semua orang sedang sibuk. Diam, jika yang lainnya juga diam. Paham?" Aku mengangguk. "Kamu menantu, bukan pembantu," tambah Adi lagi seraya menangkup kedua pipiku. "Iya, Mas iya. Aku ngerti, kok.""Yasudah, ganti bajumu, terus beresin bajunya Saffa. Aku tunggu di luar, ya?" Aku kembali menganggukkan kepala. Saat Adi benar-benar sudah keluar dari kamar, aku pun berganti pakaian. Tidak lupa, aku pun memasukkan beberapa make up untuk aku bawa ke rumah Papa Gun. Setelah membereskan bawaanku, aku pergi ke kamar Saffa untuk mengemasi pakaian putriku yang saat ini sedang berada di luar rumah bersama Adi. Entah sedang apa mereka, yang aku dengar hanya deru mobil saja. Mungkin Aris sedang memanaskan mobil, dan Saffa bermain di halaman. Rasanya hatiku sedikit cemas hari ini. Takutnya