Sepi. Seperti tidak ada orang, tapi ada mobil warna hitam yang terparkir di halaman. Aku pun bisa menebak, jika saat ini Maya sedang dikurung oleh orang tuanya seperti yang pernah dikatakan Bu RT waktu itu. Mataku melihat-lihat ke sekitar bangunan berlantai dua itu seraya terus berjalan menghampiri pintu. "Assalamualaikum!" "Assalamualaikum!" teriakku lagi saat salam pertama tidak mendapatkan respon. "Waalaikumsalam!" Pintu terbuka menampakkan wanita paruh baya dari dalam rumah. "Ibu, maaf saya ganggu waktunya. Waktu itu, Maya pernah datang berkunjung membawa makanan, dan kebetulan nampannya belum saya berikan. Ini, Bu, mohon diterima makanan yang tidak seberapa ini dari kami," ujarku mengulurkan tangan memberikan nampan. "Ya ampun, Mbak ... terima kasih banyak sudah mau datang dengan membawa makanan. Ya, memang begitulah Maya, dia selalu membagi-bagikan makanan ke tetangga."Wanita yang kutaksir seumuran dengan Mama itu menceritakan sedikit tentang anaknya yang suka membagi-ba
"Saya mau minta maaf atas kejadian di rumah sakit waktu itu. Jujur, saya sangat menyesali dengan ucapan saya yang pastinya membuat Ibu Alina benci dan marah pada saya." Aku tersenyum kecil mendengar jawaban Dokter Kamila saat aku menanyai maksud kedatangannya ke sini. Minta maaf, dia katakan padaku. Benarkah hanya itu, atau ada hal lain? Astaghfirullah ... kenapa pikiranku tidak pernah baik pada wanita satu ini. "Maafkan saya, Bu Alina. Tidak seharusnya saya menuduh Bu Alina sebagai penyebab dari meninggalnya Papa. Waktu itu saya syok, sedih dan pastinya emosi saya sedang tidak stabil. Makanya saya asal bicara sebagai luapan kesedihan saya. Sekali lagi, maafkan saya." Dokter Kamila kembali berujar. Kutatap lekat wajah manis itu. Matanya sendu terlihat tulus. Namun, aku tidak tahu hatinya. Bisakah aku percaya pada dia? Tidak. Jangankan untuk percaya, berpikir positif pun aku tidak bisa. "Sudah saya maafkan," kataku akhirnya. Aku tidak punya alasan untuk tidak memaafkan dia. J
"Mas—" Aku tidak melanjutkan kata-kataku saat orang yang kupanggil tidak ada di tempatnya. Adi yang tadi duduk di ruang tamu, kini dia menghilang entah ke mana. Saffa pun demikian. Putriku itu pergi dengan meninggalkan beberapa bonekanya. "Saffa! Mas!" Aku memanggil dua orang kesayanganku. "Di sini, Mama!" Aku menoleh ke arah kamar Saffa yang terbuka. "Loh, mau ke mana?" tanyaku saat melihat Adi tengah mendandani putriku. "Ke mana, Pah?" Bukannya menjawab pertanyaanku, Saffa malah melempar tanya pada Adi. Adi mengedikkan bahu, lebih memilih fokus pada Saffa. Aku yang merasa diabaikan, langsung masuk dan memeluk pundak suamiku dari belakang. "Papa, gak mau kasih tahu Mama, kalian akan ke mana?" tanyaku menempelkan pipiku pada Adi. Suamiku menggelengkan kepalanya. "Bener, gak mau kasih tahu?" ujarku lagi sedikit memegang daging di bagian pinggangnya. Adi menahan tawa dengan kembali menggeleng. Alhasil, aku mencubit pinggang itu dengan keras membuat Adi berjingkat seraya menga
"Maksudnya, Mas?" "Maksudku, kamu tidak boleh merasa rendah diri. Harus bisa menempatkan diri sebagai keluarga. Dan satu lagi, kamu tidak boleh bekerja sendiri di saat semua orang beristirahat. Bantu, jika semua orang sedang sibuk. Diam, jika yang lainnya juga diam. Paham?" Aku mengangguk. "Kamu menantu, bukan pembantu," tambah Adi lagi seraya menangkup kedua pipiku. "Iya, Mas iya. Aku ngerti, kok.""Yasudah, ganti bajumu, terus beresin bajunya Saffa. Aku tunggu di luar, ya?" Aku kembali menganggukkan kepala. Saat Adi benar-benar sudah keluar dari kamar, aku pun berganti pakaian. Tidak lupa, aku pun memasukkan beberapa make up untuk aku bawa ke rumah Papa Gun. Setelah membereskan bawaanku, aku pergi ke kamar Saffa untuk mengemasi pakaian putriku yang saat ini sedang berada di luar rumah bersama Adi. Entah sedang apa mereka, yang aku dengar hanya deru mobil saja. Mungkin Aris sedang memanaskan mobil, dan Saffa bermain di halaman. Rasanya hatiku sedikit cemas hari ini. Takutnya
Aris menghentikan laju mobil tepat di depan toko kue. Aku keluar sebentar untuk membeli beberapa jenis sebagai buah tangan untuk mertua dan keluarganya. Setelahnya, kami melanjutkan perjalanan hingga akhirnya sampai di depan rumah Papa Gun. Aku menarik napas dalam-dalam sebelum turun dari dalam mobil. Melihat ada beberapa orang di teras rumah, membuatku semakin merasa deg-degan. "Ayo, Sayang." Adi turun terlebih dahulu seraya menuntun tangan Saffa. Aku pun keluar dan langsung jadi pusat perhatian orang-orang di depan sana. "Hey, Mas Bro Adi, sudah datang. Apa kabar, Di?" sapa seorang pria yang kutaksir usianya sebaya dengan suamiku itu. Beda satu dua tahunan di bawah atau di atas Adi mungkin. "Baik, Bang. Abang apa kabar? Apa semuanya sudah pada datang?" ujar Adi seraya menjabat tangan pria itu. "Sudah, semuanya sudah kumpul. Tinggal kamu aja yang baru datang. Kayaknya betah banget di rumah.""Keluar juga mau ngapain, Bang. Kondisinya aja kayak gini, lebih baik di rumah sambil
"Kamu berani mengusirku?" tanya wanita yang wajahnya sudah memerah itu. "Siapa pun. Siapa pun yang memiliki hati serta pikiran buruk pada istriku, silahkan angkat kaki dari sini. Termasuk Tante Ayu."Aku memegang tangan suamiku dengan erat, menghentikan pertikaian yang disebabkan oleh keberadaanku. Papa Gun berjalan ke arah kami dengan wajah heran serta bingung. Dia menurunkan Saffa dari gendongannya yang langsung berlari ke arahku. "Ada apa, ini? Kenapa kalian ribut?" tanya Papa melihat kami yang berdiri saling berhadapan dengan Tante Ayu. "Kamu tanyakan saja pada anakmu itu, Bang. Gara-gara satu wanita itu, dia mulai berani melawan padaku bahkan berani mengusirku dari sini. Sakit hatiku melihat perubahan Adi yang sekarang. Dia terlalu mencintai istrinya, hingga tega menyakiti aku yang tak lain pengganti ibunya," ujar Tante Ayu seraya menunjukku dengan tangan yang gemetar. Wanita itu kemudian terduduk lemas di sofa, yang langsung dihampiri seorang pria sepupu Adi. Mungkin anakny
"Bicara saja, Al. Kita jujur-jujuran di sini. Biar lebih enak dan bisa saling memahami karakter satu sama lain. Kita keluarga di sini," ujar Papa Gun lagi. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Kembali mata ini melirik Tante Ayu yang masih menatapku remeh. "Sebenarnya, Alina tidak sama sekali sakit hati dengan ucapan Tante, tapi ... memang kata-kata Tante sangat mencerminkan kedudukan Tante sebagai seorang wanita.""Maksudmu?" ujar Tante Ayu cepat. Papa menahan Tante Ayu untuk tidak bertanya dulu sebelum aku selesai bicara. "Menurut saya, wanita terhormat tidak akan merendahkan wanita lainnya. Mau dia statusnya lajang, janda, maupun istri kedua. Tiga status itu punya alasan masing-masing kenapa seorang wanita berada dalam posisi tersebut. Jika harus memilih, tentulah saya sebagai wanita, atau wanita-wanita di penjuru negeri ini akan memilih sebagai seorang istri yang baik untuk suaminya. Namun ...."Aku menjeda ucapanku dengan menarik napas lagi dan memperb
Beberapa saat berdiam diri di kamar membuatku merasa bosan. Apalagi, Adi dan Saffa yang malah semakin nyenyak tidur. Sedangkan aku, dibiarkan sendirian dalam kebingungan.Turun ke bawah, malas jika harus bertemu dengan Nenek Lampir tadi. Jika terus berada di sini, malu juga karena tidak sama sekali membantu mereka yang saat ini sedang berjibaku mempersiapkan pernikahan mertuaku. Setelah menimbang antara turun atau tidak, akhirnya aku memutuskan untuk keluar saja dari kamar. Pergi ke bawah, membantu keluarga yang lain. Saat akan turun dari ranjang, terdengar denting ponsel dengan diikuti layar benda pipih milik Adi yang menyala. Awalnya aku tidak tertarik sama sekali untuk melihat ataupun membaca pesan yang masuk ke ponsel suamiku. Namun, rasa penasaran tiba-tiba menggebu ketika melihat satu nama yang tertulis di sana. Aku pun mengambil benda pipih itu dan membulatkan mata saat melihat isi pesan yang masuk ke ponsel suamiku. [Pak Adi, saya diundang ke acara pernikahan Pak Gunawan.
"Ada apa, Mah?" Aldi bertanya seraya menghampiri Mama yang duduk di ujung ranjang. "Duduk kalian semua. Lihatlah, apa yang Mama temukan di bawah bantal Papa?" ujar Mama seraya memperlihatkan kertas dengan coretan tinta di dalamnya. "Ternyata Papa sudah punya firasat akan pergi, dan dia buat surat wasiat ini untuk kita."Semua anak menantu memperhatikan kertas yang ada di tangan Mama. Sebagai anak laki-laki, Aldi ditunjuk Mama untuk membacakan apa yang Papa tulis di dalam sana. Aldi duduk di ujung ranjang bersama Mama, sedangkan aku dan Alina serta Adikara, berada di depannya seraya bersandar pada sandaran ranjang. "Assalamualaikum." Aldi mulai membacakan surat yang katanya ditulis langsung oleh Papa. "Istriku, anak-anakku, sebelum Papa menuliskan kata-kata penting dalam kertas putih ini, ijinkanlah terlebih dahulu untuk Papa mengucapkan beribu kata cinta untuk kalian."Aldi menghentikan sejenak bacaannya, lalu menarik napas dengan dalam. "Mama ... terima kasih atas cinta kasih yan
Kami yang ada di depan ruang jenazah berseru kaget saat tubuh Mama jatuh ke lantai. Ibu mertuaku pingsan. Cepat-cepat Om Gunawan dan Adikara mengangkat tubuh Mama, lalu membawanya ke salah satu ruang rawat yang ada di rumah sakit. Aku memanggil dokter agar memeriksa keadaan Mama yang tumbang. Mungkin kekehan karena terus menangis, shock juga atas meninggalnya Papa. "Gimana dengan Mama, Dokter?" tanyaku setelah dokter wanita itu memeriksa ibu mertuaku. "Ibu Marta mengalami shock, tapi tidak apa-apa, sebentar lagi juga siuman. Setelah bangun, nanti kasih makan, ya? Biar punya tenaga dan gak lemas lagi. Ini sudah saya buatkan resep obat buat diambil di apotik."Aku mengangguk. Alina yang melihat Mama bangun, langsung menghampiri ibunya itu dan memeluknya. Lagi. Tangis mereka berdua pecah membuatku memalingkan wajah menghapus air mata yang ikut tumpah. Segera aku keluar dari ruangan Mama, pergi ke apotik untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter. "Aruna, kamu mau ke mana?"
Om Gunawan yang baru saja datang bersama istrinya, langsung memeluk Aldi dan memberikan kekuatan agar suamiku itu bisa tegar menghadapi cobaan hidup yang berat ini. Sedangkan Bunda Nur, dia masuk ke ruangan di mana Mama berada. Ibu mertuaku itu tidak ingin jauh dari suaminya, terus saja menggenggam tangan Papa meskipun tahu genggamannya tidak akan terbalaskan. "Kenapa tidak pamit? Kenapa Papa pergi tidak mengatakan apa pun padaku, Om?" "Sudah, ikhlaskan. Gusti Allah tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Dan kepergian ayahmu, sudah jadi rencana-Nya."Aldi mengurai pelukan, dia mencoba kuat dan kembali ke ruangan Papa bersama Om Gun. Aku pun mengikuti mereka. Melihat wajah Papa untuk yang terakhir kali, sebelum dibawa ke ruang jenazah. Raut kehilangan bukan hanya dirasakan kami sebagai keluarga, tapi Om Gun juga. Yang kutahu mereka sudah bersahabat sejak dulu, dan Papa sudah menganggap Om Gunawan adalah saudara.Tidak heran, jika ayah mertua Alina itu ikut menitikkan air mata meli
Sambil terisak, Mama menceritakan bagaimana awal mula Papa sakit, hingga harus masuk ICU. Kata Mama, semuanya sangat cepat hingga membuat wanita berusia enam puluh tahunan itu shock luar biasa. Tubuh Mama sampai bergetar karena masih kaget dengan apa yang terjadi kepada suaminya. "Tadi dokter bilang apa?" tanya Aldi lagi. Pasalnya, sejak kami datang tidak ada dokter yang masuk ke ruangan Papa, Mama pun hanya menangis, tidak mengatakan apa pun jika tidak ditanya. "Dokter tidak mengatakan apa-apa pada Mama, Al. Dia bilang, akan membicarakan sakitnya Papa pada anak-anak Papa. Makanya, Mama terus menelpon kamu agar segera datang," papar Mama menjelaskan. "Kalau gitu, mendingan sekarang Abang temui dokter dulu untuk menanyakan kondisi Papa dan tindakan apa yang harus kita lakukan? Biar Mama, aku yang temani di sini." Aku memberikan saran. Aldi melihatku dan Mama bergantian. Kemudian dia pamit untuk menemui dokter, agar semuanya jelas. "Mah, Mama tenang, ya? Aku yakin, Papa akan semb
Pagi ini langit begitu cerah, kusibak semua gorden agar cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya, karena tubuh yang terasa lelah. Satu minggu ke belakang, aku sangat sibuk dengan pekerjaan. Promo besar-besaran dilakukan perusahaan untuk menggaet konsumen baru, juga mempertahankan konsumen lama. Bazar dilakukan disetiap pusat perbelanjaan, hingga aku harus turun tangan menyiapkan dan mempromosikan barang produksi pabrik. Capek? Jangan ditanya. Makanya hari minggu ini aku sengaja bangun siang dan santai-santai di tempat tidur. "Bang!" Aku berteriak memanggil suamiku yang sedari bangun, aku belum melihatnya. "Tidak mungkin dia kerja," kataku lagi seraya keluar kamar, dan berdiri di balkon. Senyumku tersungging saat melihat orang yang kucari ada di halaman rumah. Dia sedang berolahraga ringan di sana. "Abang!" panggilku membuatnya mendongak. "Hey, sudah bangun?" Aku mengangguk. "Mandilah, sudah Abang buatkan sarapan untukmu."Aku mel
"Mau pulang naik taksi?" Aku menoleh pada Aldi yang bicara dari dalam mobil. "Silahkan berjalan keluar dari perumahan ini, baru Tuan Putri akan menemukan taksi."Setelahnya, Aldi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah tanpa mengajakku sama sekali. Seperti orang bodoh yang tidak punya arah tujuan, aku hanya diam seraya memainkan jari-jari tangan. Seandainya saja tadi aku menyadari sudah ada di depan rumah, tidak akan aku turun dari mobil seraya berucap demikian. Sekarang, aku malu sendiri karena ucapanku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku melihat pintu rumah yang terbuka, tapi ragu untuk masuk ke sana. Aldi, juga tidak mengajakku bersamanya. Apa dia marah? Mungkinkah dia tak butuh aku lagi? Oh, hentikan pikiran kotor ini! Aku tidak mau bertengkar dengan Aldi gara-gara otakku yang selalu berpikir buruk tentang suamiku. "Masuk ajalah. Panas di luar terus," kataku seraya melangkahkan kaki menuju rumah. Di ruang tamu dan tengah Aldi tidak ada. Aku pun melanjutkan langkah henda
Jika bisa aku meminta, jika dunia bisa aku kendalikan sendiri, aku ingin hidup seribu tahun di sini, dengan orang yang sama. Dengan dia yang selalu menjadi tempatku bersandar, melebarkan dadanya hanya agar aku nyaman berada dalam dekapan hangatnya. Jatuh cinta? Aku merasakan itu setiap hari, setiap waktu, dan di setiap momen indah yang kami lewati. "Kenapa kamu liatin aku terus, Run?" Aldi bertanya dengan tangan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Karena ... Abang tampan. Aku jatuh cinta pada Abang." Aku menempelkan kedua tangan di kedua sudut bibir agar suara setengah berbisik yang kukeluarkan hanya didengar Aldi. Suamiku terkekeh geli. Dia melipat kedua tangan di meja, lalu pandangannya lurus ke arahku. Kubalas tatapan itu dengan wajah imut dan bibir yang sedikit mengerucut. "I love you," kataku lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Kini Aldi terbahak. Namun, segera dia menutup mulut dengan telapak tangan, tidak ingin suaranya didengar pengunjung yang lain. Apaka
"Aruna ...."Mataku terpaku pada pria yang baru saja datang dengan memakai baju tahanan. Pandangan kami sama-sama bertemu saling memandang dalam hingga akhirnya dia terlebih dahulu memalingkan wajah. Hari ini, Aldi membawaku bertemu dengan seseorang di masa lalu. Orang yang dulu sangat dekat, tapi harus berjarak karena masalah hidup yang rumit. Kami dulu seperti saudara kandung yang hubungannya sangat erat. Namun, harus renggang karena rasa benci dan keegoisan diri yang meninggi. Brukk!Aku tercengang dengan apa yang dilakukan Damar setelah berada di depanku. Dia menjauhkan tubuhnya, berlutut di depanku yang duduk bersebelahan dengan Aldi. "Dam," kataku, tenggorokanku tercekat, tak mampu berkata-kata. "Maafkan aku, Aruna. Maaf atas segala salah dan khilafku padamu. Pukul aku, pukul aku sesuka hatimu.""Tidak, Dam.""Pukul aku!!" Damar berteriak seraya memegang tanganku agar menyentuh tubuhnya. "Hentikan!" ujar Aldi menghentikan tangan Damar. "Jika seperti ini, kamu menghentika
"Sedang ganti seprai, Mbak. Mama dan Papa mau nginap, aku gak mau mereka merasa tidak nyaman dengan tidur di kasur yang tidak bersih."Aku tidak melihat pada Alina yang baru saja masuk. Tanganku terus menata tempat tidur agar terlihat bagus dan rapi. "Sampai segitunya kamu, Run," ujar Alina terkekeh. Setelah selesai mengganti seprai, aku duduk berdua di ujung ranjang dengan Alina. Wajahnya tidak seperti biasa. Dia terlihat murung dan tidak seceria tadi pagi. "Ada apa, Mbak?" tanyaku ingin tahu isi hatinya. Alina menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia memangku tangan, menautkan jari-jarinya. Sedangkan pandangannya lurus ke depan pada hiasan yang menggantung di dinding. "Aku gak tahu ini hanya pikiranku saja, atau memang ada sesuatu yang terjadi pada dia. Perasaanku tidak enak.""Siapa, Mbak?" tanyaku, karena aku tidak tahu siapa yang dibahas Alina."Naima. Dia baik-baik saja, kan?" Aku diam.Pertanyaan Alina tidak aku jawab dan malah meraih seprai yang teronggok di lan