"Sssttt ...." Aku menempelkan telunjuk di bibir Adi yang hendak menjelaskan. "Tidak usah khawatir, aku baik-baik saja. Berlatihlah kembali, aku akan ke luar sebentar," bisikku lagi di telinga suamiku. Adi terus melihatku yang keluar dari ruang tengah menuju ruang tamu. Tidak sedikit pun aku menyalahkan Adi, karena dengan jelas kulihat Dokter Kamila-lah yang memulai.Tadi, aku juga melihat ada penolakan dari Adi, tapi tidak diindahkan dokter itu. Ia membujuk suamiku untuk mengikuti instruksinya. Dan bodohnya, Adi orangnya merasa tidak enakan hingga dengan mudah dimanfaatkan orang lain. "Aris!" Aku mengetuk pintu paviliun seraya memanggil supir itu. 'Ah, apa jangan-jangan mereka sedang melakukan kewajibannya sebagai suami istri, ya? Secara, sudah lama mereka tinggal berjauhan.' Hatiku berujar seraya berpikir antara menunggu dan pergi. Setelah beberapa saat tidak ada jawaban, aku memutuskan untuk meninggalkan paviliun. Namun, tidak kembali ke dalam rumah. Memilih mampir sebentar di m
Hari terus berganti hingga tidak terasa sudah sepuluh hari Adi diterapi oleh Dokter Kamila. Selama itu pula, dokter cantik itu selalu mencari-cari perhatian pada suamiku. Namun, untungnya Adi mau mendengarkan apa kataku. Dia sama sekali tidak tertarik dengan Dokter Kamila, dan malah bersikap sangat cuek. Aku pun selalu mencari cara untuk bisa membuat wanita itu menjauh dari suamiku.Kemajuan sudah ada, sekarang Adi sudah bisa menekuk kakinya, berjalan beberapa langkah meskipun masih tertatih. Senang? Tentu saja senang. Jika Adi bisa kembali berjalan, aku akan hidup tenang tanpa takut suamiku bertemu lagi dengan Dokter Kamila. "Lasmi, sudah sepuluh hari kamu di sini, tapi tidak pernah saya lihat kamu keluar. Kenapa?" tanyaku pada wanita yang aku temui di paviliun. "Tidak apa-apa, Bu. Saya, cuma menuruti perkataan Mas Aris, Bu.""Emangnya dia bilang apa?" tanyaku. Pagi ini aku sengaja menemui wanita itu karena dia yang sangat menutup diri. Sejak kedatangannya, tidak pernah sama s
Sampai di dapur, aku langsung mengeluarkan beberapa potong daging, ikan, serta sayuran lainnya untuk dimasak. Tanpa bicara, Lasmi mencuci semua sayur dan daging, sambil memotongnya. Harus aku akui, dia cukup cekatan dalam bekerja. "Las, kamu di kampung suka ngapain aja?" tanyaku untuk mengakrabkan diri. Aku sangat penasaran sekali dengan wanita itu. Dia cantik, manis, tapi wajahnya terlihat redup. Bukan karena kulitnya yang gelap, tapi memang tidak ada keceriaan dari wajah itu."Saya ... tidak ngapa-ngapain, Bu. Diam di rumah saja.""Tinggal sendiri?" "Sama mertua."Aku mengangguk paham, tapi pikiranku bertanya-tanya. Mungkinkah Lasmi bertengkar dengan mertuanya hingga akhirnya memberanikan datang ke sini seorang diri? Sambil nangis-nangis, pula. "Kamu tidak cocok, ya sama mertuamu?" tanyaku lagi. Lasmi menggeleng pelan. "Tidak usah sungkan sama saya, Las. Saya juga pernah punya mertua dan tidak cocok dengannya. Cerita saja, jika kamu ingin mengeluarkan unek-unek. Jangan dipe
"Mama, kita mau ke mana?" tanya Saffa setelah mobil keluar dari halaman rumah. "Mau ke Papa, Sayang. Katanya, Papa sedang di rumah sakit.""Om Papa sakit lagi?" "Tidak, tapi ... sedang menjenguk yang sakit," kataku memberikan jawaban yang mudah dimengerti Saffa. Padahal, aku belum tahu kenapa Adi ada di rumah sakit sekarang. Jika Dokter Kamila yang kecelakaan, terus kenapa harus Adi yang menemani? Dia bukan siapa-siapa Dokter Kamila. Hubungan yang terjalin hanya sebatas pasien dan dokter, tidak lebih. Apa mungkin wanita itu sengaja agar bisa lebih dekat dengan Adi? Dia menjual kesedihan untuk menarik simpati suamiku? Tidak bisa dibiarkan. "Eh, kok berenti, Ris?" kataku saat Aris mengerem mendadak. "Ada mobil yang berhenti di depan kita, Bu."Aku sedikit memajukan tubuh melihat siapa kiranya yang mengganggu perjalananku kali ini. "Bang Aldi?" ucapku kemudian saat tahu siapa yang turun dari sana. Pria dengan garis wajah mirip Papa itu turun, lalu mengetuk pintu kaca mobil yang
Aku keluar dari kamar Dokter Burhan seraya mengembuskan napas kasar. Duduk sebentar di ruang tunggu, kemudian berdiri lagi. Aku berjalan santai seraya melihat-lihat dinding yang dihiasi dengan gambar-gambar edukasi mengenai kesehatan organ tubuh. Hingga tidak sengaja mata ini menangkap seorang wanita berjalan cepat ke arahku. Dia Dokter Kamila. Aku berdiri dengan tegak menyambut dia yang datang dengan wajah panik membuat kedua pipinya memerah. Dokter Kamila melihatku sejenak, tapi tidak menghentikan langkahnya yang kemudian masuk ke dalam kamar Dokter Burhan. "Papa ...." Tangis Dokter Kamila pecah melihat kondisi ayahnya yang sangat memprihatinkan. Dia mengusap, meraba tangan Dokter Burhan yang dibalut perban. Hatiku ikut merasakan kesedihan yang wanita itu rasakan. Aku pernah ada di posisi itu saat Adi mengalami koma sebelum menjadi suamiku.Rasa takut, khawatir akan kehilangan orang terkasih begitu menyiksa batin. Begitu pun dengan Dokter Kamila yang hanya tinggal berdua dengan
"Dokter Burhan, saya ....""Ja–jangan menolak, Pak Adi. Putriku, sangat mengagumi dirimu," ujar Dokter Burhan dengan terbata. Dadaku semakin kembang kempis mendengar ucapan Dokter Burhan. Meskipun pelan, tapi sangat begitu jelas. Ternyata dugaanku tidak salah mengenai Dokter Kamila. Dia benar-benar menginginkan suamiku. Melihat Adi hanya diam, membuatku geram. Entah apa yang ada dalam pikiran Adi, sehingga sulit untuk berucap. Beratkah dia untuk menolak, atau tidak enak hati karena ada aku di sini? Muak dengan sejuta bujuk rayu Dokter Burhan yang berharap mendapatkan jawaban 'iya' dari suamiku, aku membalikkan badan memilih keluar dari ruangan yang teramat sesak ini. "Saya tidak bisa, Dok. Saya tidak ingin menyakiti istri saya. Saya bisa menjaga Dokter Kamila, tapi tidak dengan menikahinya."Tangan yang sudah memegang gagang pintu, aku tarik kembali. Bibirku tersenyum mendengar jawaban dari bibir Adi. Aku membalikkan badan, melihat pada Adi yang juga tengah melihatku dengan men
Papa Gun mencoba menenangkan Dokter Kamila, mertuaku itu berbicara lembut layaknya seorang ayah pada putrinya. Papa Gun juga memberikan isyarat pada Adi untuk membawaku keluar dari ruangan ini agar Dokter Kamila bisa lebih tenang. "Jangan diambil hati ucapan Dokter Kamila, Sayang ... dia sedang syok dengan kematian ayahnya.""Benarkah ini salahku, Mas?" ucapku tak menghiraukan perkataan Adi. Aku berhenti melangkah. Berdiri dengan tatapan kosong, lalu menghampiri kursi panjang yang ada di luar kamar Dokter Burhan. Aku menutup wajah dengan kedua tangan mencerna ucapan Dokter Kamila tadi. Ini salahku?"Tidak, Al. Ini bukan salahmu. Seperti yang kamu katakan, ini takdir. Kepergian Dokter Burhan karena memang sudah waktunya, bukan karena kamu." "Tapi, jika tadi kamu menjawab bersedia, mungkin ceritanya tidak akan seperti ini, Mas.""Belum tentu.""Aku egois, Mas. Aku tidak bisa berpikir dewasa. Aku terlalu takut kehilangan kamu, aku terlalu takut untuk berbagi. Padahal, bisa saja perm
"Tugasmu sekarang bukan hanya menjaga Alina, Di. Tapi, kamu juga harus bisa membuat dia merasa aman dan nyaman berada di sampingmu. Maaf, bukan maksud Papa ingin ikut campur dengan masalah yang sedang kalian hadapi ini. Cuman mengingatkan, jika kamu bukan hanya sebatas penjaga, tapi juga suami bagi putriku.""Iya, Pah. Aku akan ingat selalu kata-kata Papa."Aku yang baru saja keluar dari kamar, langsung disambut percakapan antara suami dan orang tuaku. Entah berapa lama aku tidur, hingga saat bangun langit mulai menghitam. Aku juga tidak tahu apa yang mereka bahas, hingga terdengar begitu serius. Papa juga membahas masalah. Masalah apa? Aku merasa tidak punya masalah dengan suamiku. Atau jangan-jangan, Adi membahas kejadian di rumah sakit tadi? "Ingat, jangan patahkan kepercayaanku," ujar Papa lagi pada Adi. Suamiku mengangguk dengan pasti menjawab ucapan Papa. Aku berjalan menghampiri mereka yang tengah berada di ruang tengah. Dua lelaki itu menoleh bersamaan melihat kedatangank