📍Beijing, China
“Terima kasih, terima kasih, terima kasih.” Ucap Paula dengan senyum indahnya, seorang perempuan cantik yang tengah berjalan di koridor menuju parkiran basement. “Paula kamu mau pulang?” tanya seorang staff yang saat itu menghentikan langkah Paula yang langsung memberikan senyum indahnya untuk staff itu. “Iya, aku harus pulang.” Jawab Paula kembali tersenyum, yang kemudian kembali melangkahkan kaki jenjang yang dihiasi dengan high heels berwarna maroon. Disebuah lorong koridor yang cukup ramai, Paula berjalan dengan langkah ringan namun anggun. Cahaya lampu koridor yang terang membuat bayangannya berdiri tegak di samping. Wajahnya tetap tenang, namun senyumnya begitu hangat. Sesekali, ia berpapasan dengan orang staff yang sedang sibuk dengan tugasnya masing-masing. Dan, dengan santainya pula, Paula menyapa mereka. “Terima kasih bu Allena.” Ucap Paula kembali dengan senyum ramah yang membuat orang-orang di sekitarnya, ikut tersenyum dengan sikap tulus itu. “Hati-hati, dijalan Paula.” Jawab Allena yang ikut tersenyum saat Paula menyapanya tadi. Ketika Paula semakin mendekati area parkiran basement, suara langkah kakinya bergema lembut di sepanjang lantai koridor. Aroma dingin dan khas dari parkiran mulai terasa, membuat suasana sedikit berbeda dari sebelumnya, yang terlihat ramai. Di parkiran yang luas itu, sebuah van hitam sudah menunggunya dengan mesin yang sudah menyala. “Ahhh…” Paula bergumah sejenak, dia pun menyenderkan punggungnya dikursi jok penumpang dalam van. Wajahnya terlihat penasaran, yang kemudian, dia menegakkan kembali duduknya untuk menatap supir yang ada di depan, dan bertanya, “Pak Han, apa Javeline cece belum datang tadi?” wajahnya pun terlihat penasaran akan jawaban dari Han, supir mobil van itu. “Javeline belum ada masuk nona. Kemungkinan sebentar lagi.” Ucap pak Han dari convess mirror menatap Paula yang di belakang. Paula mengangguk dan kembali menyenderkan tubuhnya dikursi jok penumpang. Dimana mobil van yang terasa tenang dan nyaman itu, menarik perhatiannya pada satu majalah yang ada dikantong belakang jok pengemudi. Paula meraihnya. Dia membuka satu persatu halaman majalah yang ada dipangkuannya. Dimana mata berwarna coklat madu yang indah itu terlihat fokus, untuk menunggu kehadiran Javeline. Dan ketika Javeline tiba, fokus Paula masih berada digambar-gambar yang ada dimajalah. “Tebak, aku bawa apa untuk kamu, Paula?” Javeline yang terlihat senang langsung melayangkan pertanyaan untuk Paula yang ada di sampingnya. “Bawa apa?” tanya Paula kembali dengan raut wajah datar namun fokusnya masih berada digambar majalah yang dia tahan, untuk terus dia perhatikan. Mobil van itu melaju keluar dari parkiran basement gedung acara. Dimana mobil van itu melaju Melewati jalanan-jalanan yang dihiasi lampu-lampu malam sebagai penerang. Hari ini, setelah menyelesaikan pertunjukannya, Paula memutuskan kembali ke apartement lebih awal. Tepatnya, dia berpikir, kalau dia sudah begitu lama berada diluar, sejak beberapa hari yang lalu dengan pekerjaan yang menyita waktunya. “Paula, kamu diterima di J&T Entertaiment.” Ucap Javeline, dengan mata yang berbinar dan wajah yang terlukis begitu bahagia. “Kamu diterima Paula.” Ulangnya sekali lagi, menjelaskan dengan nada tegas. “Diterima?” seketika itu, jari lentiknya menahan halaman majalah dengan raut wajah sedih, menatap gambar sesosok pria yang ada dimajalah. Namun, dalam waktu beberapa detik pandangan Paula terangkat menatap Javeline dengan datar. “Diterima, dimana?” sekali lagi dia bertanya, seolah dirinya tidak mendengar kabar yang disampaikan Javeline baru saja. Mobil van itu terus melaju. Saat cuaca mulai terlihat menggelap akan hujan yang mungkin, sebentar lagi akan turun membasahi pusat kota yang mereka lewati. Petir yang mulai menyambar, mencoba untuk membuat Paula tetap bersikap tenang, setelah mendengar kabar baik yang disampaikan oleh Javeline, selaku managernya. “Ah! Ini,” tunjuk Javeline pada satu gambar dimajalah saat halaman itu ditahan Paula. Dengan raut antusiasnya, Javeline mengatakan, “dia Dominic Jexon Wang. Kamu tahu, ‘kan? Dia… CEO di J&T Entertaiment.” Paula kembali menundukkan pandangannya, menatap dengan wajah yang sulit ditebak, isi hatinya. “Dia?… Jexon Wang?” ucapnya dengan nada yang hampir tidak terdengar. Paula mengalihkan pandangannya, menatap keluar jalanan, dimana disetiap sudut jalan itu terlihat buram dari pandangannya yang sedang memikirkan sesuatu, sampai membuatnya melamun dari pembicaraan serius diantaranya dengan Javeline. Namun, ketika lampu merah yang menghentikan mobil van itu, membuat Paula menatap ke arah papan iklan yang ada di atas gedung, dimana papan iklan itu berisi foto dari CEO muda bernama Dominic Jexon Wang. “Hei!” Panggil Javeline, yang memegang lengan Paula. “I-iya ce…” Paula yang tersadar dari lamunan singkatnya, kembali menatap Javeline. Dengan wajah datar seperti seseorang yang kebingungan dengan apa yang terjadi, membuat Javeline penasaran, kenapa dengan Paula. Van itu terasa senyap, ketika ban mobil itu kembali melaju saat lampu hijau telah menyala. “Ada apa?” tanya Javeline yang terlihat penasaran. “E-enggak kok. Ah! Kita akan pulang, ‘kan? Aku sudah meninggalkan Dk, beberapa hari.” Jawabnya, dengan mata yang terlihat kebingungan, ketika dia sendiri pun mencoba mengalihkan pembahasan diantara mereka berdua. Paula pun mengalihkan kembali pandangannya. Dimana dia kembali menatap kearah luar jalanan. Matanya terlihat tajam dan serius. Akan tetapi, dia mencoba untuk menghela napasnya dengan perlahan-lahan. Dan diperjalanan menuju apartement, Paula hanya diam setelahnya. Kedua tangan itu dia kepal kuat, mencoba untuk bersikap tenang, sekalipun ada banyak hal yang ada di dalam pikirannya. ** “Apa menikah?” tanya Jexon, dimana dia terlihat sedikit kaget dengan pembahasan malam ini. “Hm, menikah.” ucap Nicholas tenang, menjawab pertanyaan dari Jexon, anaknya. Di dalam ruangan kerja yang memancarkan nuansa kemewahan dan elegansi, yang terasa hangat dengan lampu-lampu yang menyinari ruangan itu Nicholas terlihat sedang berbicara dengan Jexon. Dan pembahasaan itu, sedikit terdengar serius diantara keduanya yang sedang duduk disofa berwarna vanilla di ruangan berwarna putih abu-abu. “Papa serius?” tanya Jexon, sedikit terbata, menatap Nicholas dengan ekspresi tak percaya. Nicholas mengangguk tanpa ragu, wajahnya tenang namun tegas. “Iya, papa sudah berbicara dengan Hanes soal ini. Dia pria yang baik, dan bisa menjadi pasangan yang tepat untuk meimei kamu, Rachquela.” Jexon menghela napas panjang, mencoba memahami maksud dibalik keputusan ayahnya. Namun, dia sendiri pun tidak dapat kembali mendebatkan pembahasan itu. Suasana di ruangan kerja itu perlahan menghening, ketika Jexon tidak lagi bermaksud membicarakan keinginan Nicholas untuk menjodohkan Rach, meimeinya. Tetapi, dia mulai membuka pembicaraan baru, dimana pembicaraan itu, membahas seorang talent baru. “Papa,” Jexon membuka percakapan, “katanya Papa bawa talent baru ke agensi?” Nicholas tersenyum tipis, mengangguk. “Iya, benar. Namanya Paula Douma Rai. Papa yakin dia akan jadi aset besar untuk agensi kita.” Namun, sebelum Jexon sempat menanggapi, suara pecahan cangkir menggema di ruangan itu. Elisabeth, istri Nicholas, berdiri tertegun di ambang pintu, nampan ditangannya miring, dan cangkir yang baru saja dipegangnya jatuh berantakan di lantai. Wajahnya pucat, matanya membelalak penuh keterkejutan. Jexon segera beranjak berdiri, bergegas menghampiri ibunya. “Mama, ada apa?” tanyanya dengan cemas. Elisabeth, yang terlihat gemetar, tidak menjawab. Ia menatap Nicholas sejenak, sebelum akhirnya melangkah cepat keluar ruangan. Jexon, merasa ada sesuatu yang salah, mengikuti langkah ibunya keluar. “Mama!” panggil Jexon, setengah berlari mengejarnya di lorong. “Ada apa sebenarnya? Kenapa Mama terlihat begitu kaget?” Elisabeth berhenti dan berbalik, wajahnya masih pucat. “Tadi… yang kalian bicarakan… Paula Douma Rai?” tanya Elisabeth dengan suara bergetar, ingin memastikan. Jexon mengangguk, bingung dengan reaksi ibunya. “Iya, itu nama talent baru yang Papa bawa ke agensi. Memangnya kenapa, Ma?” Elisabeth menatap Jexon dalam-dalam, air mata mulai menggenang di matanya. “Paula Douma Rai… perempuan itu… dia adalah selingkuhan papamu.” Jexon terdiam, tubuhnya terasa kaku mendengar pengakuan itu. Pikiran dan perasaannya bercampur aduk, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Apa… maksud Mama?” suaranya bergetar, nyaris berbisik. Elisabeth hanya mengangguk lemah, matanya tak bisa menyembunyikan rasa sakit yang telah lama ia simpan. ** Dia adalah Paula Douma Rai yang saat ini berusia 27 Tahun, yang merupakan perempuan kabaret dari Le Crazy Horse; seorang penari sexy yang selalu digosipkan sebagai simpanan seorang pria tua kaya. Si pemilik tubuh sexy bak gitar spanyol; Paula memancarkan kecantikannya yang anggun dan ke sexy an yang memukau. Tatapan matanya tajam dan bibir yang penuh dan berkilau menunjukkan sisi sensual, sementara rambut hitamnya yang panjang menambah aura elegan pada dirinya. “Dk, aku kembali…” ucap Paula dengan nada sedikit teriak, dengan mata yang kesana kemari menatap ruangan tengah, di apartementnya. Dan, seorang anak laki-laki berusia 9 tahun yang keluar dari dalam kamar, menatap Paula dengan wajahnya datar. “Hai sayangku.” Sapa Paula bahagia, yang berjalan mendekati bocah laki-laki itu. “Sayangku?” Keluh Dk, dengan raut wajah kesal yang terlihat jelas menatap tajam Paula. Seketika itu pula, Paula tertawa dengan respon Dk yang terlihat kesal dengan sebutan itu. “Kenapa, hm? Kamu gak suka ya, kalau aku panggil sayangku?” tanya Paula tersenyum saat dia sedikit menundukkan pandangannya. “Berhenti memanggil seperti itu auntie!” keluh Dk, meminta pada Paula. Dk beranjak dari hadapan Paula, dia berjalan ke arah dapur dan menuangkan air putih ke dalam gelas kaca. Kemudian, dia memberikan air putih itu untuk Paula. “Terima kasih, Dk.” Senyum Paula kembali, kemudian meneguk air putihnya. “Hm.” Jawab Dk singkat yang menatap Paula kembali. “Setelah ini, auntie harus bersih-bersih dan istirahat.” Paula pun memelas. “Tapi, ‘kan… aku masih ingin ber—,” belum usai Paula bicara, Dk langsung memotong pembicaraan itu. “Aku harus belajar auntie, ada banyak tugas dari sekolah.” Tegasnya, menatap Paula serius. Dia menghela napasnya dengan panjang. Dan dia, begitu sadar, kalau Dk seseorang yang begitu cuek dan begitu dingin dengan siapapun, bahkan dengan dirinya. Langkah itu terlihat jelas, saat Dk kembali masuk ke dalam kamarnya. Ruangan tengah yang terlihat terang benderang namun seketika sunyi itu, dirasakan oleh Paula yang berdiri sendirian. “Hhhh…” kembali, Paula menghela napas dan mengangguk. “Yaaaa… aku ingin istirahat lebih awal untuk sekarang.” ** Di kamar yang sederhana namun rapi, Dk, bocah sembilan tahun itu, kembali duduk dikursi belajarnya. Lampu meja belajarnya menyala redup, sementara layar komputer di depannya menampilkan berbagai komentar kebencian yang ditujukan kepada Paula, bibinya yang ia panggil Auntie, seorang penari kabaret yang sering tampil di acara-acara besar. Dk menatap layar dengan sorot mata yang dingin, tapi di balik tatapan itu, ada rasa peduli yang dalam. Jari-jarinya mengepal dipangkuannya, mencoba menahan diri agar tidak terpancing oleh komentar-komentar buruk yang bertebaran di depan matanya. Komentar-komentar itu kejam, penuh hinaan, seolah-olah orang-orang tak mau mengenal siapa Paula sebenarnya. Dk menggigit bibirnya, berusaha tetap tenang, meskipun di dalam hatinya ia khawatir. Ia tahu bahwa Paula adalah sosok yang kuat, tapi Dk juga mengerti betapa beratnya beban yang mungkin dirasakan oleh bibinya. Dia bergumam pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri, “Kenapa mereka harus jahat sama Auntie… Padahal Auntie cuma ngelakuin apa yang sudah menjadi tuntutan pekerjaan.” Dk menarik napas panjang, menahan emosi yang bercampur aduk di dalam dirinya. Ia ingin sekali membela Paula, ingin membalas komentar-komentar itu, tapi ia tahu itu hanya akan memperburuk situasi. “Harusnya mereka ngerti… Auntie tuh orang baik,” ucapnya pelan, suaranya hampir berbisik. “Apa mereka nggak mikirin perasaan orang lain?” Dk menatap layar komputer itu sekali lagi, matanya terpaku dengan satu komentar yang singkat namun sangat menusuk hatinya. Dia seorang simpanan dan sangat mudah baginya untuk masuk ke tempat dimana yang dia mau, seperti J&T Entertaiment, sekalipun agensi itu sangat sulit untuk dimasuki. Dengan perasaan bercampur aduk, tatapan yang emosi, Dk langsung mematikan layar komputernya. Napasnya mulai terasa berat saat dia menghelanya dengan panjang dan menyenderkan punggungnya dikursi belajar. ** Paula duduk termenung di tepi ranjang queen size-nya, ruang kamar yang sunyi hanya diisi dengan cahaya redup dari lampu samping tempat tidur. Ia memandang kosong ke arah depan, pikirannya kembali melayang kepercakapan di dalam mobil van tadi. Suara-suara dalam kepalanya bergema, berulang kali mengingatkan kata-kata yang ia dengar. “Berhasil masuk ke J&T Entertainment,” gumamnya pelan, mengulangi ucapan yang masih terngiang. Paula menghela napas panjang. “Apa aku harus bahagia untuk ini?” bisiknya pada dirinya sendiri, perasaan campur aduk memenuhi hatinya. “Aku ingin bahagia… tapi… apa keinginan aku ini tidak akan menghancurkan hal-hal yang sudah ada, sebelum aku datang?” katanya lagi, mencoba mencari jawaban dalam keheningan. Rasa resah menggelayuti hatinya, seperti duri yang menyusup ke relung terdalam. “Mungkin… nantinya aku bisa menghancurkan kebahagiaan seseorang… Apa mungkin pilihanku ini salah?” Paula menunduk, tatapan matanya terhenti pada ponsel yang masih ia genggam. Dengan ragu, ia mengangkatnya, menatap layar yang menyala dan menampilkan sebuah berita terbaru. Judulnya mencolok, membahas tentang dugaan pernikahan dari keluarga Nicholas Wang. Alisnya berkerut, matanya menelusuri kata-kata dalam artikel itu. “Siapa yang mau menikah?” tanyanya pada diri sendiri, raut wajahnya berubah serius saat ia terus menatap layar ponsel, mencari jawaban diantara kalimat-kalimat berita itu. Pikiran-pikiran mulai berlarian dalam benaknya, menambah beban di hatinya yang sudah penuh dengan keraguan. Tanpa ia sadari, tangannya mulai gemetar sedikit, merasakan ketidakpastian yang semakin menghimpit. ** Jexon menatap ibunya, Elisabeth, dengan mata terbelalak, sulit mempercayai apa yang baru saja ia dengar. Mereka berdiri di sudut ruangan keluarga, dengan suasana tegang dan penuh kerahasiaan yang membuat udara terasa semakin berat. “Anak?” ucap Jexon, setengah berbisik namun penuh keterkejutan. Elisabeth mengangguk pelan, menatap putranya dengan raut wajah serius. “Iya, katanya dia punya anak dari papamu.” Jexon menggelengkan kepala, masih berusaha mencerna semua ini. “Kenapa Mama tidak mengatakan apa pun ke Jexon?” Elisabeth menghela napas panjang, matanya menunjukkan rasa lelah dan penuh keraguan. “Ini masih dugaan, Jexon. Mama belum bisa memastikan semuanya.” “Dugaan bagaimana? Sudah jelas kalau Mama mengikuti Papa yang bersama dengannya!” Jexon menyela, suaranya terdengar getir. Elisabeth mengangguk dengan ekspresi penuh kesedihan. “Iya, tapi Mama masih memastikan semuanya. Soal berita itu, Mama sudah berusaha agar ditarik dari media. Jangan katakan apa pun kepada Papa. Tolong, tetap diam sampai Mama menemukan semua buktinya dan bisa membicarakannya dengan papamu.” Jexon mengepalkan tangan, emosi bercampur aduk dalam dirinya. “Apa yang mau dibicarakan lagi, Ma? Anak? Ada anak lain? Yang benar saja! Jexon bahkan gak tahu soal ini.” Elisabeth menatap putranya dengan tegas, berusaha menjaga ketenangannya. “Berita itu sudah langsung ditarik, dan Mama sudah menuntut orang yang menaikkan berita itu. Jangan bertindak gegabah, Jexon. Kalau Papa terbukti bersalah, kamu harus siap untuk menggantikan posisi Papamu nanti di keluarga dan di perusahaan. Ingat, jangan katakan apa pun ke Papamu.” Jexon hanya bisa terdiam, perasaannya bergolak hebat. Ia merasa seolah-olah tanah di bawahnya berguncang, memberi tahu sebuah kebenaran yang tak pernah ia duga ada. Tatapannya kosong, sementara kata-kata ibunya terus terngiang di kepalanya.Jexon duduk di kursinya dengan ekspresi dingin dan penuh konsentrasi. Diam-diam, selama seminggu terakhir, ia telah menyusun rencana dan mengumpulkan bukti-bukti, mengamati setiap gerak-gerik Nicholas dan Paula. Ia tak bisa mempercayai apa yang dilihatnya beberapa hari lalu di hotel, tetapi kenyataan itu sekarang terpampang jelas di hadapannya.Amarah yang mendidih didalam dirinya terus ia tahan, berusaha untuk tetap rasional di tengah kekecewaan yang begitu dalam.Saat itu, Gerald, sekretarisnya, mengetuk pintu lalu masuk.“Siang ini, model bernama Paula akan berkunjung ke agensi,” ucap Gerald dengan nada profesional.Jexon mengangkat kepalanya, menatap Gerald dengan mata yang terlihat tajam dan penuh arti. “Jam berapa dia akan kemari?”“Setelah jam makan siang, Pak. Manajernya bilang Paula masih ada syuting, tapi akan selesai sebelum waktu makan siang.”“Hm, ya sudah,” sahut Jexon singkat, menyembunyikan nada antusias yang terselubung dalam suaranya.Gerald tampak ragu, sejenak mena
Suara ambulance terdengar tepat di ujung luar gedung rumah sakit. Beberapa perawat terlihat mendorong ranjang pasien dan membawanya ke unit gawat darurat (UGD) berselang beberapa menit Dante yang tiba langsung mencari-cari keberadaan orang yang dia kenal dan akhirnya, dia menemui Javeline yang terlihat memiliki luka ringan dibandingkan Paula dan pak Han supir mereka berdua. “Javeline?” panggil Dante, saat melihat Javeline dengan napas yang tersengal-sengal.“Oh, gege kamu disini.” Ucap Javeline yang terbaring dengan beberapa luka diwajahnya. Sejenak, Dante menatap wajah Javeline yang terluka. Dia bahkan memperhatikan infus yang mengalir dengan selang berwarna bening. Dimana napas itu dia hela perlahan, dan mencoba untuk berancang-ancang dengan pertanyaan selanjutnya. “Dimana Paula?” Tanya Dante dengan cemasnya.“Dia masih diruangan ICU.” Javeline menjawab dengan suara yang terdengar begitu lemas. “I-ICU?” lagi, dengan nada terbata-bata.Javeline mengangguk pelan, dia mengatakan
📍 Rumah Sakit - Kamar Pasien -Di dalam kamar rumah sakit yang hening, hanya suara mesin dan detak jantung yang terdengar, Paula perlahan membuka matanya setelah dua hari terbaring koma akibat kecelakaan. Cahaya lampu kamar yang lembut menembus tirai, dan ruangan terasa tenang.Di samping tempat tidur, Javeline duduk dengan wajah cemas, menatap layar ponselnya. Namun, ketika ia mendengar suara nafas Paula yang lebih teratur, ia terkejut melihat mata Paula perlahan terbuka.Javeline, melihat Paula yang mulai membuka mata, dengan suara terkejut “Paula! Kamu sudah sadar?”Javeline hampir tidak percaya, dengan cepat ia bangkit dari kursinya dan berlari menuju pintu kamar untuk memanggil dokter. Wajahnya yang semula cemas kini berubah menjadi harapan.Javeline pun menoleh sambil berlari keluar ruangan “Tunggu, aku panggil dokter dulu!”Javeline segera keluar ruangan, berlari cepat menuju meja resepsionis untuk memberitahukan perawat. Beberapa detik kemudian, dia kembali dengan dokter ya
Malam itu, seperti biasa Jexon terjaga dari tidurnya. Dia masih terduduk dikursi kerja dengan penampilan casualnya. Matanya terlihat tajam dengan raut wajah serius ketika dia memikirkan semua hal yang terjadi beberapa hari ini. Dia mencoba tenang setelah membunuh seseorang secara tidak langsung atau… dimana dia terlibat sebagai perencanaan pembunuhan. “Hhhh…” napas yang dia hela, terlihat begitu berat setelah mengusap-usap wajahnya. Dan dia meyakinkan di dalam hatinya, semata-mata yang dia lakukan hanya untuk mamanya dan melindungi keluarganya. Terlepas itu benar atau salah, dia sudah tidak memperdulikan hal itu. “Tapi… berpura-pura justru melelahkan. Dan itu, harus aku lakukan disetiap harinya. Mungkin, menarik niat untuk memberikan pelajaran secara berat agar polisi pun gak semakin curiga dengan hal ini.” Ucap Jexon tenang, menatap lekat jam pasir yang ada di atas meja kerja miliknya. **Dia adalah Dominic Jexon Wang, 32 Tahun; seorang pria yang memiliki kharisma kuat dengan
📍J&T Entertaiment - Ruangan Pertemuan - Seorang polisi, Inspektur Lee, duduk di seberang Jexon, CEO J&T Entertainment. Dan tepat hari ini, akhirnya Jexon berhadapan dengan seorang polisi dari kepolisian yang sedang menyelidiki kasus kecelakaan yang menimpah Paula. Dengan membawa sebuah map yang penuh dokumen, Inspektur Lee membuka percakapan. Wajahnya dingin dan penuh konsentrasi. “Terima kasih, Pak Jexon, sudah meluangkan waktu,” ucapnya tanpa basa-basi. Nada suaranya serius, sesuai dengan raut wajahnya yang tajam. “Saya hanya ingin bertanya beberapa hal mengenai Paula. Anda pasti sudah mendengar kecelakaan yang dialaminya kemarin?” Jexon menghela napas sejenak sebelum menjawab. “Iya, Inspektur. Saya sangat terkejut saat mendengar kabar itu.” Nada suaranya tenang, namun ada getaran halus yang sulit disembunyikan. “Saya baru mengenal Paula. Dia baru saja menjadi talent di perusahaan kami. Bahkan baru menandatangani kontrak.” Inspektur Lee menyipitkan matanya, mencata
📍J&T Entertaiment - Ruangan Presedir -Beberapa hari berlalu, dimana… Di Ruang Kerja Presedir Perusahaan, Nicholas dan Jexon Duduk Berhadapan.Suasana sunyi dan tegang setelah makan siang usai. Nicholas duduk di belakang meja kerjanya dengan wajah serius. Dia menatap Jexon, yang terlihat hanya diam menatapnya. “Jexon, papa ingin tahu alasan kenapa kasus kecelakaan Paula ditutup dengan catatan murni kecelakaan tunggal. Kenapa tidak ada tersangka, terutama pemilik mobil yang berlawan arah? Kecelakaan itu fatal, dan pak Han sampai kehilangan nyawanya. Bagaimana ini bisa dianggap murni kecelakaan?” Suara itu terdengar dengan nada tegasJexon menunduk sejenak, menghela napas.“Pa, Jexon tahu ini rumit, tapi kita tidak bisa melanjutkan kasus ini. Jika kita memihak Paula terlalu keras, saham perusahaan akan terpengaruh. Jangan lupa, dia adalah model yang punya banyak pembenci di luar sana. Publikasinya bisa merusak citra kita. Kita harus berhati-hati.”Nicholas, mengetukkan jarinya di
📍ApartementKetukan lembut terdengar di pintu kamar. Paula, yang sedang bersandar di ranjang dengan sebuah buku di tangannya, menoleh.“Masuk,” katanya setengah berteriak.Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok anak laki-laki dengan baki berisi cookies dan segelas jus jeruk di tangannya. Langkahnya pelan, penuh hati-hati agar baki itu tak terguncang.“Auntie?” panggilnya lembut, sambil mendekat.Paula tersenyum melihatnya. “Dk? Ada apa, sayang?”“Aku bawakan cookies dan jus untukmu,” jawab Dk sambil meletakkan baki di atas meja kecil di samping tempat tidur.“Kamu nggak perlu repot-repot, sayang,” ujar Paula sambil bangkit. Dia mengambil baki itu, lalu duduk di kursi kecil di dekat meja.Dk, dengan wajah serius, menggeleng pelan. “Aku cuma beli di toko kue dekat sini. Mana bisa itu disebut repot?”Paula tertawa kecil, senyum lembut menghiasi wajahnya. “Kamu selalu bijak, ya. Terima kasih, Dk. Aku akan habiskan semuanya.”“Hm,” sahut Dk singkat, lalu duduk di sofa kecil di sudut
📍Rumah Duka - Tempat Peristirahatan Terakhir -Paula mengunjungi rumah terakhir milik Pak Han, bersama dengan Javeline. Wajahnya terlihat muram dan sedih. Matanya berkaca-kaca menatap kaca pembatas yang di hadapannya terdapat foto berbingkai pak Han. “Pak Han… maaf kalau saya baru bisa mengunjungi bapak saat ini.” Saat itu, dia menunduk. Dia tidak dapat menahan air matanya yang kemudian jatuh ke lantai. Hiks.Hiks.Isak tangisan terdengar jelas ditelinga Javeline yang ikut menangis. “T-terima kasih pak, sudah begitu banyak membantu saya, dalam hal apapun.” Ucap Paula terbata-bata saat dirinya menangis. “Terima kasih juga sudah begitu baik dengan saya, pak Han. Maaf… maaf kalau saya tidak bisa membantu bapak untuk keadilan itu. Maaf kalau saya pun, gak tahu harus bertindak apa ketika pengadilan dan polisi sepakat menutup kasus kecelakaan kita. Maaf pak, maaf sekali lagi. Bapak harus tenang disana. Dan sekali lagi, terima kasih. Saya akan berdoa, untuk renkarnasi bapak akan menj
Pikiran itu berputar liar, tak mau berhenti, seperti badai yang tak kunjung reda. Bayangan kecelakaan-kecelakaan akhir-akhir ini menghantui Jexon, mengisi setiap sudut ruang kosong dalam kepalanya. Ia mencoba merasionalisasi, tapi semakin keras ia berpikir, semakin banyak pertanyaan tanpa jawaban yang muncul.Jexon menatap kosong ke tumpukan dokumen di mejanya, di ruangan kerja yang luas dan sunyi itu. Udara di sekeliling terasa berat, terlalu penuh dengan pikiran yang menggantung. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gejolak di dadanya. Namun pikirannya segera kembali ke sosok Andreas—seseorang yang baru ini mulai masuk dalam kecurigaannya.“Dalang dari semua ini,” gumam Jexon pelan, nada suaranya rendah dan penuh tekanan. Andreas Liu. Nama itu terus berulang di benaknya, menghantui seperti bayangan gelap yang tak mau pergi.Dengan gerakan cepat, Jexon meraih ponselnya di meja. Jari-jarinya menekan layar, mencari nama kontak yang ia butuhkan. Seketika, ia menghubungi Ar
📍Rumah Sakit Kamar rumah sakit itu terasa hangat, meski aroma antiseptik yang khas masih terasa di udara. Rean terbaring di ranjang dengan infus yang terpasang di tangannya. Wajahnya sudah tidak terlihat pucat, tapi senyumnya tak pernah pudar saat melihat Paula masuk membawa sekotak buah dan bunga mawar putih di tangannya. “Rean, gimana kabarnya?” tanya Paula sambil mendekat ke sisi ranjang. Suaranya lembut, penuh perhatian. “Lebih baik, auntie Paula. Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk datang,” jawab Rean, meski suaranya terdengar sedikit lemah. Di sudut ruangan, Dk, terlihat duduk menemani Rean sahabatnya di kamar pasien itu. “Auntie!” panggil Dk beranjak mendekati Paula. Paula tersenyum. “Hai, Dk. Maaf ya, kalau auntie baru sempat jenguk sahabat kamu.” Sambil mengusap kepala bocah itu. Dk mengangguk dengan semangat. “Iya, gpp auntie. Kami berdua, cuma lihat berita ditelevisi.” Paula mengerutkan kening, merasa penasaran. “Oh ya? Apa yang kamu lihat?” “Tent
Berita Eksklusif: Kencan Paula dan Jexon!Hari ini, dunia hiburan digemparkan dengan kabar hangat seputar hubungan romantis antara Paula, model terkenal dari agensi J&T Entertainment, dan Jexon, CEO agensi tersebut. Foto-foto yang diambil secara diam-diam oleh paparazi menunjukkan keduanya berpelukan di rumah sakit, menciptakan spekulasi besar di media.📍J&T Entertainment -Ruang Presdir-“Ini foto yang beredar semalam?” tanya Nicholas, presiden direktur J&T Entertainment, sambil menyelipkan senyum tipis. Matanya menatap tajam pada sebuah foto di tangannya.Albert, asistennya, mengangguk mantap. “Iya, Pak Presdir. Ini diambil oleh seorang wartawan.”Nicholas menghela napas lega, menyandarkan tubuhnya ke kursi kulit di balik meja kerjanya. “Kalau begini, sepertinya mereka sudah menyelesaikan masalah mereka.” Ucapannya terdengar ringan, namun jelas menyiratkan kebahagiaan.****Sebaliknya, suasana di rumah keluarga Wang penuh dengan ketegangan. Elisabeth, ibu Jexon, menatap layar tel
Celine tersentak, tersadar dari lamunannya. Dia melihat punggung Andreas yang semakin jauh di ujung koridor hotel. Dengan tergesa-gesa, dia mengejarnya. Langkah kakinya terdengar berdebum pelan di atas karpet tebal.“Andreas!” serunya, suaranya gemetar.Andreas tetap berjalan tanpa menoleh, namun tubuhnya menegang saat Celine menggenggam pergelangan tangannya. Ia berhenti, tapi tidak langsung berbalik.“Kamu mau ke mana?” tanya Celine, suaranya memohon, hampir putus asa. Matanya yang berkaca-kaca menatap punggung pria itu.Andreas menarik napas panjang sebelum akhirnya berbalik. Wajahnya dingin, matanya tajam seperti pisau. “Mau balik. Saya harus temui Abex dan mencari Serena,” jawabnya dengan nada rendah tapi tegas, seolah tidak ingin ada diskusi lebih lanjut.“J-jangan pergi,” pinta Celine sambil menggenggam tangannya lebih erat. “T-tidak ada yang menemaniku di sini.”Andreas mendengus, tawa pendek yang lebih terdengar seperti ejekan. Dia menatap Celine dengan tatapan sinis. “Tidak
📍J&T Entertainment-Ruangan Presiden Direktur-Elisabeth membuka pintu ruangan dengan gerakan cepat, langkahnya penuh tekad saat memasuki ruang kerja suaminya. Suara hak sepatu yang menghantam lantai terdengar nyaring, mengisi keheningan di ruangan itu. Matanya tajam, seperti ingin menembus setiap rahasia yang tersembunyi di balik wajah tenang Nicholas.Nicholas mendongak dari berkas-berkas di mejanya, lalu bersandar santai di kursi, menatap istrinya dengan sikap tenang. “Ada apa, Elisabeth?” tanyanya dengan suara datar, meski sorot matanya meneliti ekspresi di wajah wanita itu.Elisabeth berdiri tegak di depan meja, kedua tangannya mengepal, menggenggam emosi yang hampir meledak. “Sudah dua hari aku menunggu kamu mengatakannya sendiri,” ucapnya, suaranya tajam. “Tapi sepertinya kamu tidak berniat untuk mengakuinya, Nicholas.”Nicholas menarik napas dalam-dalam. Tanpa berkata apa-apa, dia berdiri perlahan dari kursinya dan berjalan mendekati Elisabeth. Sorot matanya kini serius, ta
Satu minggu berlalu. Suasana rumah terasa sepi, hanya terdengar suara angin yang sesekali menggesek jendela kayu. Clara duduk di sofa kecil yang mulai memudar warnanya, tubuhnya tenggelam dalam keheningan. Matanya menatap kosong ke arah lantai, seolah mencoba mencari sesuatu yang hilang di dalam pikirannya. Langkah-langkah ringan terdengar dari belakang, dan suara Andreas memecah keheningan. “Ce,” panggil Andreas dengan nada ceria. Clara mengangkat wajahnya perlahan, matanya lelah. “Ada apa, Andreas?” tanyanya singkat, tanpa banyak ekspresi. Andreas tersenyum lebar, wajahnya polos dan penuh semangat seperti anak kecil yang baru mendapatkan mainan baru. “Aku berhasil menemukan alamat rumah Jexon,” katanya antusias. “Aku akan ke sana. Aku harus bicara dengannya!” Kata-kata Andreas seperti pisau yang menusuk hati Clara. Ia mencoba mempertahankan senyumnya, meski dalam hatinya ia merasa hancur. Andreas tampak begitu bersemangat, namun kabar tentang Jexon justru membuat Clara semakin
Flashback OnMalam itu, udara dingin menyelimuti kota kecil di China. Clara duduk di ruang tamu sebuah rumah sederhana yang mereka sewa sementara. Perutnya yang besar tampak jelas di balik sweater tebal yang ia kenakan. Andreas berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan sorot mata khawatir yang sulit disembunyikan.“Ce, aku mohon… jangan terlalu memaksakan diri. Kamu harus istirahat.” Andreas berjalan mendekat, suaranya lirih namun penuh tekanan, tangannya terulur seolah ingin menenangkan wanita di hadapannya.Clara mendongak, tatapannya tajam meskipun terlihat lelah. “Aku tidak bisa, Andreas. Kita sudah sampai sejauh ini. Aku akan menemui Jexon dan mengatakan kepadanya, kalau aku sudah menjaga kandungan ini.”Andreas menghela napas panjang, menatap wanita yang kini begitu bertekad. “Tapi cece tidak bisa terus begini, ce. Apa cece pikir Jexon akan langsung berubah hanya karena cece memberitahunya soal anak ini?”“Pasti,” Clara memotong, matanya berkaca-kaca namun penuh keyakinan. “Di
Deringan telepon memecah keheningan dalam kamar mewah yang diterangi cahaya senja dari balik tirai tipis. Andreas mengerjapkan matanya perlahan, mengangkat kepala dari bantal empuk, sementara tangannya yang lain tetap menjadi sandaran untuk kepala Celine. Rambut panjang wanita itu menyebar di atas dadanya, dan tubuh mereka hanya terbungkus selimut putih tebal.Dia meraba-raba meja nakas tanpa banyak gerakan, khawatir membangunkan wanita di sampingnya. Setelah menemukan ponselnya, ia menggeser layar dengan satu gerakan malas.“In calling.”“Hm?” sahut Andreas singkat, suaranya berat, masih diselimuti kantuk.Suara seorang pria terdengar di ujung telepon, tenang tetapi penuh tekanan. “Lampu itu sudah saya kendorkan. Itu jatuh tepat di kepala Paula. Tapi… seseorang mendorongnya. Dia selamat, dan kecelakaan malah menimpa orang lain.”Andreas memijat keningnya, mendengar detail tersebut dengan mata yang kini terbuka lebar. “Tidak masalah,” jawabnya dingin. “Ini lebih dari cukup untuk memb
📍J&T EntertainmentLangkahnya terhenti tepat di depan Paula. Wanita muda itu juga berhenti, pandangan mereka bertemu untuk sesaat sebelum Paula mengalihkan wajahnya ke arah lain.“Jexon, ayo!” Valentine memanggilnya dari kejauhan, suaranya tajam seperti pisau yang memotong udara.“Duluan aja.” Jexon menjawab tanpa menoleh. Nadanya datar, seolah tak ingin diganggu.Valentine menghela napas, wajahnya mulai memerah karena kesal. Tatapannya tajam menyorot Paula, yang tanpa sepatah kata memilih berjalan menjauh ke arah kanan. Namun, Jexon tak membiarkannya pergi begitu saja. Dengan langkah cepat, hampir seperti berlari kecil, dia mengejar Paula.“Paula,” panggilnya seraya meraih pergelangan tangan wanita muda itu. Genggamannya kuat, memastikan Paula tak bisa melangkah lebih jauh.Paula menghentikan langkahnya, tetapi tidak berbalik. Tatapannya tetap lurus ke depan, menghindari Jexon.“Saya mau bicara sama kamu. Ini penting,” ujar Jexon tegas, nada suaranya lebih serius dari biasanya.Per