Jexon duduk di kursinya dengan ekspresi dingin dan penuh konsentrasi. Diam-diam, selama seminggu terakhir, ia telah menyusun rencana dan mengumpulkan bukti-bukti, mengamati setiap gerak-gerik Nicholas dan Paula. Ia tak bisa mempercayai apa yang dilihatnya beberapa hari lalu di hotel, tetapi kenyataan itu sekarang terpampang jelas di hadapannya.
Amarah yang mendidih didalam dirinya terus ia tahan, berusaha untuk tetap rasional di tengah kekecewaan yang begitu dalam. Saat itu, Gerald, sekretarisnya, mengetuk pintu lalu masuk. “Siang ini, model bernama Paula akan berkunjung ke agensi,” ucap Gerald dengan nada profesional. Jexon mengangkat kepalanya, menatap Gerald dengan mata yang terlihat tajam dan penuh arti. “Jam berapa dia akan kemari?” “Setelah jam makan siang, Pak. Manajernya bilang Paula masih ada syuting, tapi akan selesai sebelum waktu makan siang.” “Hm, ya sudah,” sahut Jexon singkat, menyembunyikan nada antusias yang terselubung dalam suaranya. Gerald tampak ragu, sejenak menahan ucapannya, sebelum akhirnya melanjutkan dengan wajah yang sedikit meragu. “Tapi… bukannya empat hari yang lalu anda sudah tahu kalau dia akan berkunjung hari ini?” Jexon menatap Gerald dengan dingin, tapi tersirat ketegasan di balik sorot matanya. “Saya hanya memastikan saja, kalau dia memang datang hari ini, Gerald.” Gerald mengangguk, tampak memahami namun tetap sedikit bingung. “Ah, begitu. Baiklah, Pak Jexon, kalau begitu saya izin keluar.” “Iya,” jawab Jexon singkat, mengisyaratkan agar Gerald segera pergi. Setelah Gerald keluar dan menutup pintu, Jexon duduk kembali, pandangannya menajam. Pikirannya dipenuhi dengan rencana dan perhitungan. Hari ini, ia akan bertemu langsung dengan Paula, sosok yang selama ini hanya ia ikuti dari bayang-bayang. Semua bukti yang ia kumpulkan telah membawanya pada satu tujuan: kebenaran yang selama ini ia cari, terlepas dari rasa sakit yang akan dibawanya. Di dalam hatinya, Jexon sudah siap menghadapi apa pun yang terjadi. ** 📍Lokasi Syuting Javeline mengulurkan sebuah box lunch kepada Paula yang sedang duduk di kursi, tampak lelah setelah beberapa jam syuting. “Paula, ini makan siangmu.” Ucap Javeline memberikan box lunch. Paula menerima kotak makan itu dengan senyum tipis. “Terima kasih, Ce.” Setelah Paula mengambil makanannya, mereka berdua segera beranjak masuk ke dalam mobil van yang sudah menunggu di pinggir lokasi syuting. Paula membuka box lunch-nya, aroma makanan hangat menyebar di dalam van, membuatnya merasa sedikit rileks. “Maaf ya, kalau siang ini kamu harus makan di mobil,” ujar Javeline, sambil memastikan pintu van tertutup dan kendaraan mulai bergerak. “Kita harus buru-buru mengejar waktu. Setelah kamu selesai bertemu dengan Pak Nicholas, kita langsung ke bandara dan berangkat ke Chongqing.” Paula tersenyum singkat, lalu mengangguk dengan tenang. “Iya, gpp, Ce. Aku ngerti kok,” ucapnya, kemudian mulai menikmati makan siangnya dengan perlahan di dalam van yang melaju meninggalkan lokasi syuting. Selama makan, Paula sesekali melirik keluar jendela, pikirannya sedikit melayang, membayangkan pertemuannya nanti dengan Nicholas. Meski tampak santai di luar, ada sedikit ketegangan yang terasa di dalam hatinya, namun ia berusaha menyembunyikannya dengan senyuman kecil yang selalu terukir di wajahnya. ** 📍J&T Entertaiment Dan saat di perusahaan, ketika Gerald kembali mengetuk dan masuk ke dalam ruangan milik Jexon. “Telat?” tanya Jexon, ketika dia menaikan pandangannya menatap Gerald yang berdiri di hadapannya yang tengah duduk dikursi kerja. “Iya, pak presedir bilang kalau hari ini dia datang telat dan kemungkinan pak presedir pun tidak akan bertemu dengan Paula, pak Jexon. Itu yang disampaikan sekretaris pak presedir tadi.” Ucap Gerald, yang berdiri dengan raut wajah tenang, menjelaskan pada CEO nya itu. “Ah, lagi, pak presedir berpesan agar bapak menemui Paula dan menjelaskan beberapa persyaratan yang ada di kontrak kerjasama.” Kembali, dia berucap dengan meletakkan beberapa berkas di atas meja kerja Jexon. Sejenak, Jexon diam mendengarkan pernyataan itu. Dia, mengetuk-ngetuk pen yang ada digenggaman kanan, tepat di atas meja. Matanya terlihat mengandung arti. Namun, tatapan yang mengandung arti itu, hanya dirinya yang memahami saat dia tetap berusaha bersikap dengan begitu tenang. “Ya sudah, kalau begitu saya akan menemui Paula sendiri.” Jawab Jexon dengan nada yang terdengar santai. Namun, raut wajahnya terlihat berbeda, saat dia mendapatkan kesempatan untuk berbicara dengan Paula tanpa adanya Nicholas. “Iya pak. Javeline selaku manager Paula juga bilang, kalau mereka dalam perjalanan menuju kemari.” Ucap Gerald kembali, yang kemudian, “kalau begitu, saya permisi pak Jexon.” Dan Gerald pun beranjak keluar dari ruangan Jexon. Dimana, keterdiaman itu menarik senyum tipis yang tersemat dibibir Jexon. Ruang kerja yang terasa dingin itu, menjadi saksi sikap Jexon yang tidak diketahui siapapun. ** 📍Sekolah Di taman sekolah yang terlihat lengang. Dua siswa sedang berbicara dengan nada yang sengaja terdengar jelas, ketika mereka melihat Dk yang berjalan santai. “Kau dengar, katanya dia berhasil masuk di agensi terkenal di negara ini.”Ucap seorang siswa yang memang sengaja dengan mata sinis menatap ke arah Dk. “Kata ibuku, sudah jelas kalau dia simpanan dan dia berhasil masuk karena berhasil menggoda atasan dari agency itu.” Ucapnya kembali dengan nada yang terdengar menantang saat wajah itu terlihat terdongak ke atas dan menatap Dk dengan begitu sinis dan sebelah mata. Awalnya, Dk mencoba untuk mengontrol emosinya. Namun, cacian demi cacian yang dilontarkan siswa-siswa lainnya, membuatnya emosi dan sangat mengganggu dirinya. “Aku mendengar semua yang kau katakan sialan!!!” ucap Dk yang berjalan mendekati siswa itu. Wajahnya terlihat begitu marah dengan kedua tangan yang terkepal kuat, gemetaran menahan emosi. BUGHH! seketika itu pula pukulan melayang tepat diwajah seorang anak laki-laki yang membicarakan tentang Paula dengan buruk. Tubuhnya langsung terjatuh ke tanah di taman sekolah itu. Dengan tajamnya Dk menatap serius siswa itu. “Kau! Sialan!” umpat Dk, dengan emosi yang sudah menggebu-gebu dihatinya. ** 📍J&T Entertaiment - Ruangan Jexon - Paula masuk ke ruangan Jexon dengan penuh percaya diri. Tubuhnya tinggi dan kakinya jenjang, wajahnya cantik meski hanya dengan riasan tipis. Postur tubuh yang sempurna membuat Jexon, yang telah berdiri untuk menyambutnya, tak bisa mengalihkan pandangannya sejenak. “Silakan duduk, Paula.” Jexon mempersilakan Paula ke sofa putih panjang yang terletak di ruangan kerjanya. Paula berjalan dengan anggun ke arah sofa, namun ia seolah terhenti, matanya tak bisa lepas dari sosok Jexon. Tanpa disadari, ia mulai melamun menatapnya, sampai akhirnya Javeline, manajernya, menyentuh lengannya untuk menyadarkannya. “Ah, maaf.” Paula akhirnya duduk di sofa putih panjang, langsung menghadap Jexon yang kini telah duduk di sofa kecil di sampingnya. “Paula Douma Rai?” ucap Jexon saat menatap serius berkas milik Paula. “Iya, Pak Jexon.” Nada suaranya lembut ketika menjawab pertanyaan Jexon. “Nama yang cantik, sama seperti orangnya.” Jexon memuji sambil menatap berkas Paula. “Baiklah, Paula. Kita akan membahas persyaratan kontrak kerja. Kamu bisa membacanya terlebih dahulu dan menandai beberapa persyaratan yang mungkin kurang kamu pahami atau ragukan.” “Tidak ada yang membuat saya ragu, Pak Jexon. Bisa kita menandatanganinya langsung?” Nada suaranya terdengar menantang, menunjukkan kepercayaan diri yang kuat. Dan, ucapan itu seketika membuat Jexon menatap Paula dengan lekat. Terdengar percaya diri yang membuat Jexon, terdiam sejenak. Tapi kemudian, Jexon menghela napasnya pelan. Mengalihkan pandangannya dan kemudian, menjawab setiap ucapan Paula dengan sikap yang tenang. “Kamu bisa membacanya dulu, kenapa harus terburu-buru? Ketika kamu menandatangani dan kamu menemukan hal yang tidak kamu sukai, itu akan merugikanmu.” Ucapnya, yang mencoba menjelaskan kepada Paula dengan terus menatap Paula. Paula tersenyum mendengar ucapan itu. Dengan lembutnya dia berkata, “tidak, saya tidak akan rugi untuk itu.” Jexon justru meragu sejenak, dengan kepercayaan diri itu. “Kamu yakin?” Paula membalas tatapan Jexon dengan lembut, saat kedua netranya begitu lekat menatap Jexon. “Saya menerima semua risiko yang mungkin bisa saja merugikan saya.” Jexon kembali menghela napasnya dengan tenang. “Sangat percaya diri.” Dan kemudian, dia meletakkan berkas di atas meja. Ruangan itu hening sesaat, Jexon menatap Paula dengan penuh tanda tanya, dan Paula membalas tatapan itu dengan percaya diri. Namun, keheningan itu buyar saat telepon Javeline berdering. Javeline meminta maaf lalu bangkit untuk menerima panggilan di luar ruangan. ** Dan, saat berada diluar, Javeline langsung mengangkat panggilan itu. “Iya, ini?…” tanyanya dengan nada yang terdengar ragu. “Selamat siang.” Sapa seorang wanita yang ada di ujung sana. “Siang, ini siapa?” tanya Javeline kembali dengan raut kebingungan, dimana dia kembali menatap layar ponsel, dengan nomor asing. “Saya dari wali kelas Darex Kendrick.” Jawab wanita itu, dimana dia menyebutkan nama yang sangat familiar bagi Javeline. Javeline langsung menatap pintu ruangan yang tertutup, merasa ada sesuatu yang mendesak, ketika dia pun masih mendengar apa yang diucapkan oleh wanita yang dikenal sebagai wali kelas dari Dk atau Darex Kendrick. ** Namun, saat di dalam ruangan Jexon dan Paula, masih berbicara dengan santai. “Saya tidak akan pernah menyesali keputusan ini. Saya percaya, kalau J&T akan memberikan yang terbaik untuk saya.” Wajahnya terlihat percaya diri menatap lekat netra Jexon. Yang perlahan, Jexon mengangguk pelan. “Baiklah, saya hargai kepercayaan dirimu, Paula.” Tubuh itu dia sandarkan disofa, mencoba untuk rileks dengan pembicaraan mereka berdua. Paula akhirnya menandatangani kontrak kerja sama itu, dan Jexon hanya tersenyum tipis, namun penuh makna. Tanpa berlama-lama, setelah tanda tangan itu usai, Paula pamit; Javeline mengatakan, kalau Paula harus terbang ke Chongqing hari ini. Tepatnya, perempuan itu, masih ada pekerjaan lain diluar kota yang harus diselesaikannya, sebelum akhirnya, dia resmi masuk ke J&T Entertaiment. Langkah kaki jenjang itu beranjak keluar, yang terus diperhatikan dengan kedua bola mata Jexon dengan serius dan tajam. Jexon meraih ponselnya, dia menghubungi seseorang yang ada diluar sana. “Kamu sudah bisa bersiap-siap, dia sudah berjalan keluar.” Perintahnya terhadap seseorang dari telepon, yang dimana matanya masih terus berada diambang pintu yang tertutup rapat. “Baik.” Jawab seorang pria yang ada diluar sana, ketika dia melihat mobil van hitam milik Paula sudah menunggu diluar. ** Dan ketika Paula begitu pun Javeline yang beranjak masuk ke dalam mobil van hitam mereka. Yang dimana, tanpa mereka sadari, ada seseorang yang memperhatikan dari kejauhan. “Ada apa, Ce?” tanya Paula dengan penasaran, dimana dia melihat Javeline yang keluar dipertengahan pembicaraan tadi. “Itu…” Rautnya terlihat kebingungan, untuk menjelaskan kepada Paula yang terus memperhatikannya, saat berada di dalam mobil Van. “Wali kelas Dk menghubungi tadi.” Seketika, kening itu mengerut, kebingungan. “Ada apa?” tanya Paula yang semakin penasaran. Di dalam mobil yang tengah melaju diperjalanan, dimana mereka akan berangkat ke bandara udara. “Katanya… Dk memukul teman sekelasnya.” Ucap Javeline dengan ragu. Paula kaget, dia merasa tidak percaya dengan apa yang terjadi. “Huh? A-apa yang terjadi? Kenapa dia bisa memukul temannya?” dimana dia menatap ponsel dan cemas, “k-kita masih bisa bertemu dengan Dk sebentar?” kembali dia menatap Javeline, mencoba mendapatkan jawaban yang dia inginkan. “Aku juga kurang tahu, tapi…” melirik jam tangan. “Kita gak punya waktu, Paula. Tapi kamu tenang aja, aku sudah meminta Dante gege untuk menemui wali kelas Dk.” Paula tampak resah, dia menelan salivanya menatap keluar jalanan. Dimana saat itu, hujan yang secara tiba-tiba jatuh membasahi jalanan pusat kota itu. “Hujan?” ucap Paula dengan nada pelan, yang dimana perhatikannya masih terus menatap keluar jalanan yang semakin basah dengan derasnya hujan. “Javeline cece, aku rasa penerbangan kita akan de—,” Belum usai mereka berbicara, dengan singkatnya tubuh Javeline dan Paula berguncang, dimana mobil van itu berjalan keluar dari jalur. “P-Pak Han? A-ada—” teriak Paula panik. BRAAAKKKK! Suara keras terdengar saat mobil van yang mereka tumpangi menabrak pembatas jalan, mengakibatkan Paula, Javeline, dan pengemudi yang terlempar keluar dan tak sadarkan diri. ** 📍J&T Entertaiment BRAKK! suara pintu yang terdengar terbuka kencang, menarik perhatian Jexon yang menatap Gerald berjalan tergesa-gesa mendekatinya. “Ada apa Gerald?” tanya Jexon serius. “Paula mengalami kecelakaan di simpang lampu merah ketiga, pak Jexon.” Jawab Gerald dengan raut wajah cemasnya. Sejenak, Jexon diam mencoba untuk mencernah ucapan Gerald. Namun, dia sadar apa yang sedang terjadi saat ini. “Kecelakaan?” tanya Jexon, dengan wajah yang dia tunjukan cemas, namun ada arti. Berita kecelakaan itu dengan cepat tersebar. Bahkan, Nicholas yang berada diluar kota pun, telah mendengar kabar itu. “Kecelakaan? Apa yang terjadi?” tanya Nicholas yang kebingungan, saat sekretarisnya berucap di hadapannya yang tengah berdiri. “Mobil van itu oleng dari jalurnya dan menabrak pembatas jalan, pak.” Jawab sang sekretaris saat dia berdiri dengan kedua tangan yang berada di depan. “Tapi kami belum mendapat kabar lebih lanjut soal keadaan Paula, Pak.” Kecelakaan yang membuat Nicholas bertanya-tanya; apa yang sebenarnya terjadi? bukannya Paula baru saja mampir ke kantor agensinya. Wajah itu semakin kebingungan, namun… Nicholas mencoba untuk tetap tenang dan, “kita tunggu kabar darinya, dan pastikan langsung memberitahu saya.” ** 📍Sekolah Langkah itu terhenti, saat Dante melihat berita dilayar ponselnya. Kedua bola matanya terlihat seakan dirinya tidak percaya dengan berita yang baru saja naik. Raut wajah itu, menjadi pertanyaan besar untuk Dk, yang melihat Dante mendadak menghentikan langkahnya. “Uncle, apa yang terjadi?”Suara ambulance terdengar tepat di ujung luar gedung rumah sakit. Beberapa perawat terlihat mendorong ranjang pasien dan membawanya ke unit gawat darurat (UGD) berselang beberapa menit Dante yang tiba langsung mencari-cari keberadaan orang yang dia kenal dan akhirnya, dia menemui Javeline yang terlihat memiliki luka ringan dibandingkan Paula dan pak Han supir mereka berdua. “Javeline?” panggil Dante, saat melihat Javeline dengan napas yang tersengal-sengal.“Oh, gege kamu disini.” Ucap Javeline yang terbaring dengan beberapa luka diwajahnya. Sejenak, Dante menatap wajah Javeline yang terluka. Dia bahkan memperhatikan infus yang mengalir dengan selang berwarna bening. Dimana napas itu dia hela perlahan, dan mencoba untuk berancang-ancang dengan pertanyaan selanjutnya. “Dimana Paula?” Tanya Dante dengan cemasnya.“Dia masih diruangan ICU.” Javeline menjawab dengan suara yang terdengar begitu lemas. “I-ICU?” lagi, dengan nada terbata-bata.Javeline mengangguk pelan, dia mengatakan
📍 Rumah Sakit - Kamar Pasien -Di dalam kamar rumah sakit yang hening, hanya suara mesin dan detak jantung yang terdengar, Paula perlahan membuka matanya setelah dua hari terbaring koma akibat kecelakaan. Cahaya lampu kamar yang lembut menembus tirai, dan ruangan terasa tenang.Di samping tempat tidur, Javeline duduk dengan wajah cemas, menatap layar ponselnya. Namun, ketika ia mendengar suara nafas Paula yang lebih teratur, ia terkejut melihat mata Paula perlahan terbuka.Javeline, melihat Paula yang mulai membuka mata, dengan suara terkejut “Paula! Kamu sudah sadar?”Javeline hampir tidak percaya, dengan cepat ia bangkit dari kursinya dan berlari menuju pintu kamar untuk memanggil dokter. Wajahnya yang semula cemas kini berubah menjadi harapan.Javeline pun menoleh sambil berlari keluar ruangan “Tunggu, aku panggil dokter dulu!”Javeline segera keluar ruangan, berlari cepat menuju meja resepsionis untuk memberitahukan perawat. Beberapa detik kemudian, dia kembali dengan dokter ya
Malam itu, seperti biasa Jexon terjaga dari tidurnya. Dia masih terduduk dikursi kerja dengan penampilan casualnya. Matanya terlihat tajam dengan raut wajah serius ketika dia memikirkan semua hal yang terjadi beberapa hari ini. Dia mencoba tenang setelah membunuh seseorang secara tidak langsung atau… dimana dia terlibat sebagai perencanaan pembunuhan. “Hhhh…” napas yang dia hela, terlihat begitu berat setelah mengusap-usap wajahnya. Dan dia meyakinkan di dalam hatinya, semata-mata yang dia lakukan hanya untuk mamanya dan melindungi keluarganya. Terlepas itu benar atau salah, dia sudah tidak memperdulikan hal itu. “Tapi… berpura-pura justru melelahkan. Dan itu, harus aku lakukan disetiap harinya. Mungkin, menarik niat untuk memberikan pelajaran secara berat agar polisi pun gak semakin curiga dengan hal ini.” Ucap Jexon tenang, menatap lekat jam pasir yang ada di atas meja kerja miliknya. **Dia adalah Dominic Jexon Wang, 32 Tahun; seorang pria yang memiliki kharisma kuat dengan
📍J&T Entertaiment - Ruangan Pertemuan - Seorang polisi, Inspektur Lee, duduk di seberang Jexon, CEO J&T Entertainment. Dan tepat hari ini, akhirnya Jexon berhadapan dengan seorang polisi dari kepolisian yang sedang menyelidiki kasus kecelakaan yang menimpah Paula. Dengan membawa sebuah map yang penuh dokumen, Inspektur Lee membuka percakapan. Wajahnya dingin dan penuh konsentrasi. “Terima kasih, Pak Jexon, sudah meluangkan waktu,” ucapnya tanpa basa-basi. Nada suaranya serius, sesuai dengan raut wajahnya yang tajam. “Saya hanya ingin bertanya beberapa hal mengenai Paula. Anda pasti sudah mendengar kecelakaan yang dialaminya kemarin?” Jexon menghela napas sejenak sebelum menjawab. “Iya, Inspektur. Saya sangat terkejut saat mendengar kabar itu.” Nada suaranya tenang, namun ada getaran halus yang sulit disembunyikan. “Saya baru mengenal Paula. Dia baru saja menjadi talent di perusahaan kami. Bahkan baru menandatangani kontrak.” Inspektur Lee menyipitkan matanya, mencata
📍J&T Entertaiment - Ruangan Presedir -Beberapa hari berlalu, dimana… Di Ruang Kerja Presedir Perusahaan, Nicholas dan Jexon Duduk Berhadapan.Suasana sunyi dan tegang setelah makan siang usai. Nicholas duduk di belakang meja kerjanya dengan wajah serius. Dia menatap Jexon, yang terlihat hanya diam menatapnya. “Jexon, papa ingin tahu alasan kenapa kasus kecelakaan Paula ditutup dengan catatan murni kecelakaan tunggal. Kenapa tidak ada tersangka, terutama pemilik mobil yang berlawan arah? Kecelakaan itu fatal, dan pak Han sampai kehilangan nyawanya. Bagaimana ini bisa dianggap murni kecelakaan?” Suara itu terdengar dengan nada tegasJexon menunduk sejenak, menghela napas.“Pa, Jexon tahu ini rumit, tapi kita tidak bisa melanjutkan kasus ini. Jika kita memihak Paula terlalu keras, saham perusahaan akan terpengaruh. Jangan lupa, dia adalah model yang punya banyak pembenci di luar sana. Publikasinya bisa merusak citra kita. Kita harus berhati-hati.”Nicholas, mengetukkan jarinya di
📍ApartementKetukan lembut terdengar di pintu kamar. Paula, yang sedang bersandar di ranjang dengan sebuah buku di tangannya, menoleh.“Masuk,” katanya setengah berteriak.Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok anak laki-laki dengan baki berisi cookies dan segelas jus jeruk di tangannya. Langkahnya pelan, penuh hati-hati agar baki itu tak terguncang.“Auntie?” panggilnya lembut, sambil mendekat.Paula tersenyum melihatnya. “Dk? Ada apa, sayang?”“Aku bawakan cookies dan jus untukmu,” jawab Dk sambil meletakkan baki di atas meja kecil di samping tempat tidur.“Kamu nggak perlu repot-repot, sayang,” ujar Paula sambil bangkit. Dia mengambil baki itu, lalu duduk di kursi kecil di dekat meja.Dk, dengan wajah serius, menggeleng pelan. “Aku cuma beli di toko kue dekat sini. Mana bisa itu disebut repot?”Paula tertawa kecil, senyum lembut menghiasi wajahnya. “Kamu selalu bijak, ya. Terima kasih, Dk. Aku akan habiskan semuanya.”“Hm,” sahut Dk singkat, lalu duduk di sofa kecil di sudut
📍Rumah Duka - Tempat Peristirahatan Terakhir -Paula mengunjungi rumah terakhir milik Pak Han, bersama dengan Javeline. Wajahnya terlihat muram dan sedih. Matanya berkaca-kaca menatap kaca pembatas yang di hadapannya terdapat foto berbingkai pak Han. “Pak Han… maaf kalau saya baru bisa mengunjungi bapak saat ini.” Saat itu, dia menunduk. Dia tidak dapat menahan air matanya yang kemudian jatuh ke lantai. Hiks.Hiks.Isak tangisan terdengar jelas ditelinga Javeline yang ikut menangis. “T-terima kasih pak, sudah begitu banyak membantu saya, dalam hal apapun.” Ucap Paula terbata-bata saat dirinya menangis. “Terima kasih juga sudah begitu baik dengan saya, pak Han. Maaf… maaf kalau saya tidak bisa membantu bapak untuk keadilan itu. Maaf kalau saya pun, gak tahu harus bertindak apa ketika pengadilan dan polisi sepakat menutup kasus kecelakaan kita. Maaf pak, maaf sekali lagi. Bapak harus tenang disana. Dan sekali lagi, terima kasih. Saya akan berdoa, untuk renkarnasi bapak akan menj
📍J&T Entertainment“Celine?” Jexon memanggil dengan nada tenang.Celine, yang tengah sibuk memasukkan ponsel ke dalam tasnya, menoleh cepat. “Oh, selamat sore, Pak Jexon.” Ia tersenyum kecil sambil menunduk sedikit, memberi hormat.“Saya baru melihat kamu,” ujar Jexon, langkahnya mendekati Celine.“Itu… selama satu minggu saya ada di Paris, Pak,” jawab Celine sambil membenarkan posisi tas di pundaknya.“Ah, benar!” Jexon menepuk dahinya perlahan, seolah baru mengingat sesuatu. “Saya hampir lupa kalau kamu ada pekerjaan di sana.”Celine tersenyum simpul. “Sepertinya… Pak Jexon sangat sibuk, sampai-sampai tidak mengingat kegiatan talent-nya?” Nada bicaranya terdengar setengah menggoda, namun tetap sopan.“Maaf, maaf, Celine,” ujar Jexon sambil mengangkat kedua tangannya, seperti mengakui kesalahan.Celine tertawa kecil, tatapannya melunak. “Gak apa-apa, Pak Jexon,” katanya ramah.Jexon mengangguk sambil memperhatikan wajah Celine yang tampak lelah. “Kamu mau pulang?”“Iya, Pak. Saya ma
Pikiran itu berputar liar, tak mau berhenti, seperti badai yang tak kunjung reda. Bayangan kecelakaan-kecelakaan akhir-akhir ini menghantui Jexon, mengisi setiap sudut ruang kosong dalam kepalanya. Ia mencoba merasionalisasi, tapi semakin keras ia berpikir, semakin banyak pertanyaan tanpa jawaban yang muncul.Jexon menatap kosong ke tumpukan dokumen di mejanya, di ruangan kerja yang luas dan sunyi itu. Udara di sekeliling terasa berat, terlalu penuh dengan pikiran yang menggantung. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gejolak di dadanya. Namun pikirannya segera kembali ke sosok Andreas—seseorang yang baru ini mulai masuk dalam kecurigaannya.“Dalang dari semua ini,” gumam Jexon pelan, nada suaranya rendah dan penuh tekanan. Andreas Liu. Nama itu terus berulang di benaknya, menghantui seperti bayangan gelap yang tak mau pergi.Dengan gerakan cepat, Jexon meraih ponselnya di meja. Jari-jarinya menekan layar, mencari nama kontak yang ia butuhkan. Seketika, ia menghubungi Ar
📍Rumah Sakit Kamar rumah sakit itu terasa hangat, meski aroma antiseptik yang khas masih terasa di udara. Rean terbaring di ranjang dengan infus yang terpasang di tangannya. Wajahnya sudah tidak terlihat pucat, tapi senyumnya tak pernah pudar saat melihat Paula masuk membawa sekotak buah dan bunga mawar putih di tangannya. “Rean, gimana kabarnya?” tanya Paula sambil mendekat ke sisi ranjang. Suaranya lembut, penuh perhatian. “Lebih baik, auntie Paula. Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk datang,” jawab Rean, meski suaranya terdengar sedikit lemah. Di sudut ruangan, Dk, terlihat duduk menemani Rean sahabatnya di kamar pasien itu. “Auntie!” panggil Dk beranjak mendekati Paula. Paula tersenyum. “Hai, Dk. Maaf ya, kalau auntie baru sempat jenguk sahabat kamu.” Sambil mengusap kepala bocah itu. Dk mengangguk dengan semangat. “Iya, gpp auntie. Kami berdua, cuma lihat berita ditelevisi.” Paula mengerutkan kening, merasa penasaran. “Oh ya? Apa yang kamu lihat?” “Tent
Berita Eksklusif: Kencan Paula dan Jexon!Hari ini, dunia hiburan digemparkan dengan kabar hangat seputar hubungan romantis antara Paula, model terkenal dari agensi J&T Entertainment, dan Jexon, CEO agensi tersebut. Foto-foto yang diambil secara diam-diam oleh paparazi menunjukkan keduanya berpelukan di rumah sakit, menciptakan spekulasi besar di media.📍J&T Entertainment -Ruang Presdir-“Ini foto yang beredar semalam?” tanya Nicholas, presiden direktur J&T Entertainment, sambil menyelipkan senyum tipis. Matanya menatap tajam pada sebuah foto di tangannya.Albert, asistennya, mengangguk mantap. “Iya, Pak Presdir. Ini diambil oleh seorang wartawan.”Nicholas menghela napas lega, menyandarkan tubuhnya ke kursi kulit di balik meja kerjanya. “Kalau begini, sepertinya mereka sudah menyelesaikan masalah mereka.” Ucapannya terdengar ringan, namun jelas menyiratkan kebahagiaan.****Sebaliknya, suasana di rumah keluarga Wang penuh dengan ketegangan. Elisabeth, ibu Jexon, menatap layar tel
Celine tersentak, tersadar dari lamunannya. Dia melihat punggung Andreas yang semakin jauh di ujung koridor hotel. Dengan tergesa-gesa, dia mengejarnya. Langkah kakinya terdengar berdebum pelan di atas karpet tebal.“Andreas!” serunya, suaranya gemetar.Andreas tetap berjalan tanpa menoleh, namun tubuhnya menegang saat Celine menggenggam pergelangan tangannya. Ia berhenti, tapi tidak langsung berbalik.“Kamu mau ke mana?” tanya Celine, suaranya memohon, hampir putus asa. Matanya yang berkaca-kaca menatap punggung pria itu.Andreas menarik napas panjang sebelum akhirnya berbalik. Wajahnya dingin, matanya tajam seperti pisau. “Mau balik. Saya harus temui Abex dan mencari Serena,” jawabnya dengan nada rendah tapi tegas, seolah tidak ingin ada diskusi lebih lanjut.“J-jangan pergi,” pinta Celine sambil menggenggam tangannya lebih erat. “T-tidak ada yang menemaniku di sini.”Andreas mendengus, tawa pendek yang lebih terdengar seperti ejekan. Dia menatap Celine dengan tatapan sinis. “Tidak
📍J&T Entertainment-Ruangan Presiden Direktur-Elisabeth membuka pintu ruangan dengan gerakan cepat, langkahnya penuh tekad saat memasuki ruang kerja suaminya. Suara hak sepatu yang menghantam lantai terdengar nyaring, mengisi keheningan di ruangan itu. Matanya tajam, seperti ingin menembus setiap rahasia yang tersembunyi di balik wajah tenang Nicholas.Nicholas mendongak dari berkas-berkas di mejanya, lalu bersandar santai di kursi, menatap istrinya dengan sikap tenang. “Ada apa, Elisabeth?” tanyanya dengan suara datar, meski sorot matanya meneliti ekspresi di wajah wanita itu.Elisabeth berdiri tegak di depan meja, kedua tangannya mengepal, menggenggam emosi yang hampir meledak. “Sudah dua hari aku menunggu kamu mengatakannya sendiri,” ucapnya, suaranya tajam. “Tapi sepertinya kamu tidak berniat untuk mengakuinya, Nicholas.”Nicholas menarik napas dalam-dalam. Tanpa berkata apa-apa, dia berdiri perlahan dari kursinya dan berjalan mendekati Elisabeth. Sorot matanya kini serius, ta
Satu minggu berlalu. Suasana rumah terasa sepi, hanya terdengar suara angin yang sesekali menggesek jendela kayu. Clara duduk di sofa kecil yang mulai memudar warnanya, tubuhnya tenggelam dalam keheningan. Matanya menatap kosong ke arah lantai, seolah mencoba mencari sesuatu yang hilang di dalam pikirannya. Langkah-langkah ringan terdengar dari belakang, dan suara Andreas memecah keheningan. “Ce,” panggil Andreas dengan nada ceria. Clara mengangkat wajahnya perlahan, matanya lelah. “Ada apa, Andreas?” tanyanya singkat, tanpa banyak ekspresi. Andreas tersenyum lebar, wajahnya polos dan penuh semangat seperti anak kecil yang baru mendapatkan mainan baru. “Aku berhasil menemukan alamat rumah Jexon,” katanya antusias. “Aku akan ke sana. Aku harus bicara dengannya!” Kata-kata Andreas seperti pisau yang menusuk hati Clara. Ia mencoba mempertahankan senyumnya, meski dalam hatinya ia merasa hancur. Andreas tampak begitu bersemangat, namun kabar tentang Jexon justru membuat Clara semakin
Flashback OnMalam itu, udara dingin menyelimuti kota kecil di China. Clara duduk di ruang tamu sebuah rumah sederhana yang mereka sewa sementara. Perutnya yang besar tampak jelas di balik sweater tebal yang ia kenakan. Andreas berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan sorot mata khawatir yang sulit disembunyikan.“Ce, aku mohon… jangan terlalu memaksakan diri. Kamu harus istirahat.” Andreas berjalan mendekat, suaranya lirih namun penuh tekanan, tangannya terulur seolah ingin menenangkan wanita di hadapannya.Clara mendongak, tatapannya tajam meskipun terlihat lelah. “Aku tidak bisa, Andreas. Kita sudah sampai sejauh ini. Aku akan menemui Jexon dan mengatakan kepadanya, kalau aku sudah menjaga kandungan ini.”Andreas menghela napas panjang, menatap wanita yang kini begitu bertekad. “Tapi cece tidak bisa terus begini, ce. Apa cece pikir Jexon akan langsung berubah hanya karena cece memberitahunya soal anak ini?”“Pasti,” Clara memotong, matanya berkaca-kaca namun penuh keyakinan. “Di
Deringan telepon memecah keheningan dalam kamar mewah yang diterangi cahaya senja dari balik tirai tipis. Andreas mengerjapkan matanya perlahan, mengangkat kepala dari bantal empuk, sementara tangannya yang lain tetap menjadi sandaran untuk kepala Celine. Rambut panjang wanita itu menyebar di atas dadanya, dan tubuh mereka hanya terbungkus selimut putih tebal.Dia meraba-raba meja nakas tanpa banyak gerakan, khawatir membangunkan wanita di sampingnya. Setelah menemukan ponselnya, ia menggeser layar dengan satu gerakan malas.“In calling.”“Hm?” sahut Andreas singkat, suaranya berat, masih diselimuti kantuk.Suara seorang pria terdengar di ujung telepon, tenang tetapi penuh tekanan. “Lampu itu sudah saya kendorkan. Itu jatuh tepat di kepala Paula. Tapi… seseorang mendorongnya. Dia selamat, dan kecelakaan malah menimpa orang lain.”Andreas memijat keningnya, mendengar detail tersebut dengan mata yang kini terbuka lebar. “Tidak masalah,” jawabnya dingin. “Ini lebih dari cukup untuk memb
📍J&T EntertainmentLangkahnya terhenti tepat di depan Paula. Wanita muda itu juga berhenti, pandangan mereka bertemu untuk sesaat sebelum Paula mengalihkan wajahnya ke arah lain.“Jexon, ayo!” Valentine memanggilnya dari kejauhan, suaranya tajam seperti pisau yang memotong udara.“Duluan aja.” Jexon menjawab tanpa menoleh. Nadanya datar, seolah tak ingin diganggu.Valentine menghela napas, wajahnya mulai memerah karena kesal. Tatapannya tajam menyorot Paula, yang tanpa sepatah kata memilih berjalan menjauh ke arah kanan. Namun, Jexon tak membiarkannya pergi begitu saja. Dengan langkah cepat, hampir seperti berlari kecil, dia mengejar Paula.“Paula,” panggilnya seraya meraih pergelangan tangan wanita muda itu. Genggamannya kuat, memastikan Paula tak bisa melangkah lebih jauh.Paula menghentikan langkahnya, tetapi tidak berbalik. Tatapannya tetap lurus ke depan, menghindari Jexon.“Saya mau bicara sama kamu. Ini penting,” ujar Jexon tegas, nada suaranya lebih serius dari biasanya.Per