đź“Ť Rumah Sakit
- Kamar Pasien - Di dalam kamar rumah sakit yang hening, hanya suara mesin dan detak jantung yang terdengar, Paula perlahan membuka matanya setelah dua hari terbaring koma akibat kecelakaan. Cahaya lampu kamar yang lembut menembus tirai, dan ruangan terasa tenang. Di samping tempat tidur, Javeline duduk dengan wajah cemas, menatap layar ponselnya. Namun, ketika ia mendengar suara nafas Paula yang lebih teratur, ia terkejut melihat mata Paula perlahan terbuka. Javeline, melihat Paula yang mulai membuka mata, dengan suara terkejut “Paula! Kamu sudah sadar?” Javeline hampir tidak percaya, dengan cepat ia bangkit dari kursinya dan berlari menuju pintu kamar untuk memanggil dokter. Wajahnya yang semula cemas kini berubah menjadi harapan. Javeline pun menoleh sambil berlari keluar ruangan “Tunggu, aku panggil dokter dulu!” Javeline segera keluar ruangan, berlari cepat menuju meja resepsionis untuk memberitahukan perawat. Beberapa detik kemudian, dia kembali dengan dokter yang langsung memasuki ruangan dan mendekat ke tempat tidur Paula. Dokter yang berkunjung dengan suara tenang dan lembut, melihat Paula yang terbangun. “Halo, Paula. Saya dokter yang merawatmu. Bagaimana, apakah kamu merasa pusing atau ada yang sakit?” Paula, menggerakkan kepala sedikit, mencoba merespon “Dok... kepala saya sedikit berat, tapi selain itu, saya baik-baik saja, kok.” Kembali dokter menatap monitor dan memeriksa kondisi Paula, memberikan penjelasan dengan tenang “Itu wajar. Kamu baru saja sadar dari koma setelah kecelakaan yang cukup parah. Kamu harus istirahat banyak dan kami akan memantau kondisimu lebih lanjut. Kondisimu sudah stabil, tapi masih perlu perawatan intensif.” Dengan seriusnya, Javeline menatap dokter dengan penuh perhatian, mencoba menahan kekhawatiran “Dok, kira-kira seberapa lama Paula perlu berada di sini?” Dokter berpikir sejenak, lalu menjawab dengan penuh perhatian “Kami akan memastikan keadaannya lebih baik dulu. Setelah observasi beberapa hari ke depan, kami bisa tentukan apakah Paula siap untuk perawatan di rumah.” Ucapan itu membuat Javeline mengangguk, menghela napas lega “Terima kasih, Dok.” Dengan jawaban dokter yang sedikit menenangkan, Javeline kembali duduk di samping Paula setelah dokter beranjak keluar. Javeline memegang tangan Paula dengan penuh perhatian. Meski kondisinya masih lemah, Paula telah melewati tahap kritis. Kini, semuanya tergantung pada pemulihannya. Tapi saat itu, Paula yang menyadari akan sikap Javeline yang sedikit berubah. Dimana raut wajah Javeline terlihat sedih dengan mata yang berkaca-kaca. Paula pun bertanya dengan nada hati-hati yang terdengar masih begitu lemah. “Cece, ada apa? Kamu terlihat sedih.” Sejenak, Javeline diam, dia menghela napas dengan berat. “Paula, aku… aku harus beritahu kamu sesuatu yang mungkin berat untuk didengar.” Ruangan terlihat mendukung setelah keheningan menyelimuti diantara mereka berdua. Dan Paula, menatap serius sororan mata Javeline yang resah. Dia menghela napas sejenak, kembali mengatakan. “Waktu kecelakaan itu, pak Han kita mengalami luka yang sangat serius. Dia sempat dibawa ke ruang operasi, tapi… jantungnya melemah saat di meja operasi dan… dia nggak bisa diselamatkan.” Paula terdiam, matanya berkaca-kaca. Seketika itu Paula menunduk. Air matanya pun terjatuh tepat diselimut putih yang menutupi setengah tubuhnya. “Dia… meninggal?” tanya Paula sekali lagi dengan suara yang gemetaran. Javeline pun mengangguk pelan menggenggam tangan Paula. “Iya, Paula. Maaf aku harus memberitahumu di saat kamu baru saja sadar. Kami semua sangat terpukul, termasuk keluarga pak Han. Dia sudah berusaha keras, tapi luka-lukanya terlalu parah.” Tangisan itu pecah dengan sesegukan. Javeline pun ikut menangis saat mengalihkan pandangannya melihat Paula yang tertunduk menangis. “Dia orang yang baik… Aku nggak pernah menyangka hal ini akan terjadi. Ini semua terasa seperti mimpi buruk.” Dengan suara yang begitu lemah, Paula menangis sejadi-jadinya. Javeline kembali menghela napasnya, berusaha meredam air matanya dan kembali menatap Paula. Saat itu juga, Javeline kembali menggenggam tangan Paula dan mengelus punggung tangan itu. “Aku tahu, Paula. Kita semua kehilangan. Sekarang yang penting kamu sembuh dulu, oke? Kita akan mengurus semuanya dan memberikan penghormatan terbaik untuknya.” Dengan nada lembut dia mencoba memberikan semangat untuk Paula. “Terima kasih, ce, untuk memberitahuku. Aku akan mencoba kuat. Dan untuk pak Han, aku berharap dia tenang di sana.” Dan Paula pun, mencoba untuk menghentikan tangisannya. “Itu pasti, Paula. Kamu istirahat dulu, ya. Aku akan selalu ada di sini kalau kamu butuh apa pun.” Javeline, mengusap lembut air mata dipipi Paula. Paula mengangguk perlahan, dan Javeline tetap berada di sisinya, memberikan dukungan di tengah rasa duka yang mendalam. Saat itu, ruangan yang perlahan-lahan mulai hening setelah Paula tenang, dia mencoba untuk memilih istirahat, akan tetapi… Paula menatap Javeline dengan mata sedikit terpejam, suara masih lemah “Ah! Ce?” Javeline pun menoleh ke Paula dengan senyum lembut “Hm?” Dengan mata yang penuh pertanyaan “B-bagaimana dengan Dk?” Dia bertanya tentang Dk. Lagi, Javeline menghela napas pelan, mencoba menenangkan Paula “Dihari kamu dilarikan ke rumah sakit, Dante gege mengantar Dk pulang, ah! Sebelumnya juga, Dante gege sudah menyelesaikan masalah Dk di sekolah. Dk diskors tiga hari dan Dante gege memastikan kalau Dk baik-baik saja.” Paula pun terkejut, sedikit terangkat alisnya “Diskors?” Javeline mengangguk dengan senyum tipis “Iya, mungkin… kamu bisa berbicara dengan Dk nanti. Dante gege bilang sama ku, kalau dia gak mengatakan apapun tentang kecelakaanmu. Tapi kemungkinan, Dante akan bicara kalau dia tahu kamu sudah sadar.” Wajahnya sedikit berubah, terlihat cemas “Aku takut, pasti dia mencemaskan ku. Aku berjanji akan menghubunginya, kalau aku sampai di Chongqing.” Javeline kembali tersenyum, mencoba memberi semangat “Itu pasti, tapi syukurnya, kamu punya orang yang sayang sama kamu berada di sampingmu.” Paula yang melihat Javeline dengan ekspresi bingung “Sayang denganku?” keningnya mengerut. Dengan tatapan serius, namun penuh perhatian Javeline mengatakan “Dante gege. Aku melihat raut wajahnya yang mencemaskanmu, Paula.” Mereka berdua saling memandang, suasana menjadi sedikit lebih hangat meskipun Paula masih merasa lemah. Namun, di saat yang sama, ketukan pintu terdengar dan suasana kamar pun berubah seketika. Jexon yang datang memasuki ruangan dengan langkah tenang, membawa buah tangan dan senyum tipis “Hai, Paula. Saya datang sebagai perwakilan dari Presedir untuk menjengukmu. Ini ada buah-buahan dari kantor, semoga bisa membantu pemulihanmu.” Sejenak, Paula terdiam menatap kehadiran Jexon. Tetapi, lamunan itu tersadar dan langsung tersenyum lemah, merasa senang melihat Jexon “Terima kasih, pak Jexon. Saya senang pak Jexon datang.” Jexon pun duduk di samping Paula, matanya menatap Paula dengan penuh perhatian “Semua orang khawatir dan mendoakan kesembuhanmu. Kecelakaan ini mengejutkan kami semua, terutama setelah mendengar kalau Pak Han juga…” tiba-tiba terhenti, suaranya menurun. Kalimat Jexon terhenti begitu saja, dan Paula yang mendengar itu menunduk, matanya terlihat sedih, menyadari apa yang dimaksud. Paula yang berucap dengan suara pelan, menunduk dengan kesedihan yang jelas. “Iya, saya masih belum percaya Pak Han meninggal. Dia sudah sangat membantu untuk saya, sebelum-sebelumnya.” Jexon menatap Paula dengan penuh simpati, suaranya lembut “Saya turut berduka, Paula. Pak Han orang yang baik pastinya untuk kamu dan sangat berjasa untuk kamu juga.” Sejenak, dia mengalihkan pandangannya, yang masih terisak. “Terima kasih, pak Jexon. Saya masih sulit menerima semuanya. Kecelakaan itu terlalu cepat, dan saya masih nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi.” Jexon pun mendekat sedikit, nada suaranya berubah lebih serius. “Itu juga yang jadi perhatian kami. Karena kecelakaan ini menimpa karyawan pribadi kamu. Presedir memutuskan untuk menindaklanjutinya ke polisi. Kami akan minta penyelidikan lebih dalam untuk memastikan apakah ini memang kecelakaan murni atau ada unsur lain.” Matanya terbuka lebar, ekspresi cemas Paula pun bertanya, “jadi, akan diselidiki lebih lanjut? Saya sempat merasa ada sesuatu yang aneh saat kecelakaan itu, tapi saya nggak ingat detailnya.” Jexon mengangguk, memberikan penjelasan dengan tenang “Betul. Kami akan mencari tahu apa yang terjadi. Jangan khawatir, Paula. Kami akan usahakan agar semua yang terlibat mendapat keadilan, terutama untuk kamu dan keluarga Pak Han.” Dan saat itu Paula sedikit lega, senyum tipis terbentuk “Terima kasih banyak, pak Jexon. Saya jadi merasa lebih tenang mendengar hal itu. Semoga cepat ada kejelasan.” Jexon juga melemparkan senyum tipis, dengan tatapan penuh perhatian “Itu harapan kami juga. Kamu nggak sendirian menghadapi ini, Paula. Presedir dan seluruh tim akan mendukungmu.” Kesedihan yang mendalam itu, perlahan mendapatkan jawaban keadilan. Iya, itulah yang ada di dalam pikiran Paula saat ini. Hatinya begitu terpukul saat dia mendengar kabar kalau pak Han, seseorang yang telah membantunya telah tiada. Paula menatap Jexon, suaranya penuh rasa terima kasih “Saya sangat menghargainya. Terima kasih sudah datang dan mendengar saya, pak Jexon.” Dan Jexon pun tersenyum lebar, menepuk bahu Paula dengan lembut “Tentu, Paula. Sekarang, fokus saja untuk sembuh. Kalau ada yang kamu butuhkan, langsung kabari saya, ya.” “Iya, akan saya ingat. Terima kasih sekali lagi, pak Jexon.” kembali, dia tersenyum dengan keadaan yang masih begitu lemah. Jexon tersenyum tipis dan dengan lembut menepuk bahu Paula, memastikan dia tahu bahwa dukungan untuknya akan terus ada. Namun, di dalam hatinya, ada rencana lain yang tersembunyi. Tanpa diketahui siapa pun, kecelakaan yang menimpa Paula bukanlah sebuah kebetulan. Di balik itu, Jexon telah menciptakan skenario yang begitu rapi, sebuah rencana yang dimulai jauh sebelumnya. ** 📍 Apartement Suara yang terdengar jelas dari ujung pintu berwarna hitam, mengalihkan pandangan Dk yang terduduk diam sendirian, di apartement. Dan, seseorang yang mengunjunginya adalah Dante. DK mendekati Dante yang baru saja tiba dengan wajah bingung dan cemas karena merasa tidak dihubungi oleh Paula seperti biasanya. Dengan sikap tidak sabarnya, Dk langsung bertanya dengan raut wajah kebingungan. “Uncle, kemana Auntie? Kenapa dari kemarin dia nggak ada kabar atau nggak balas pesanku?” Dante pun menghela napas, dia berlutut tepat di hadapan bocah laki-laki itu, lalu menatap Dk dengan hati-hati. “DK, ada sesuatu yang Uncle perlu sampaikan sama kamu.” Ucap Dante dengan nada hati-hati saat dia pun mengelus lengan Dk. “Paula Auntie… dia mengalami kecelakaan beberapa hari yang lalu.” Deg! Jantung Dk seketika berdegup dengan cepat saat mendengar kabar dari Dante. Tubuhnya mulai terasa dingin berdiri, keterdiaman menyelimuti Dante sejenak. “Kecelakaan? Sejak kapan, Uncle? Kok aku nggak dikasih tahu? Terus sekarang Auntie di mana?” wajahnya panik, suaranya gelisah memegang pundak Dante. Dante kembali menjawab dengan hati-hati. “Uncle minta maaf, DK.” Ditatapnya Dk dengan lekat, dan kemudian “Paula Auntie sedang dirawat di rumah sakit. Dia baru sadar siang tadi setelah dua hari dalam keadaan koma. Kami nggak mau kamu terlalu khawatir, jadi sementara waktu kami belum memberitahumu.” Suara itu mulai terdengar gemetar, hampir menangis. “Terus bagaimana keadaan Auntie sekarang, Uncle? Apa dia baik-baik saja? Boleh aku ketemu Auntie sekarang? Aku… aku mau pastikan Auntie baik-baik saja.” Dante mengusap punggung Dk dengan lembut. Dia mencoba untuk menenangkan bocah kecil itu. Dimana suara Dk pun, sudah terdengar gemetaran. Diusapnya lembut kepala Dk dengan menatap lekat netra yang berkaca-kaca itu. “Tenang, DK. Sekarang Paula Auntie sudah sadar dan kondisinya perlahan membaik, meski masih lemah. Dokter bilang dia butuh istirahat banyak.” “Aku ingin ke sana sekarang, Uncle. Aku harus lihat sendiri kalau Auntie benar-benar baik-baik saja. Boleh, kan?” pintanya, dengan nada memohon kepada Dante. Terlihat jelas, raut wajah itu sangat cemas. Sekalipun Dk terlihat dingin di depan Paula, namun di belakang Paula, dia seorang anak laki-laki yang mencemaskan perempuan itu. Dante tersenyum tipis. “Tentu, DK.” Dia beranjak berdiri sembari masih mengelus kepala Dk. “Kita bisa pergi sekarang, tapi ingat, saat bertemu Auntie, kita harus tenang supaya dia juga merasa nyaman. Kamu kuat, ya?” ucapnya meminta kepada Dk. Dia pun mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca. Sikapnya terlihat tidak sabar untuk bertemu dengan Paula yang berada di rumah sakit. “Aku akan tenang, Uncle. Aku cuma ingin lihat Paula Auntie dan pastikan dia baik-baik saja.” Dengan mata yang serius, Dk meyakinkan Dante. Dante pun mengangguk pelan. “Bagus. Kamu anak yang kuat, DK. Ayo, kita temui Paula Auntie bersama.” Dante merangkul DK, memberikan dukungan sambil menenangkan. Mereka lalu berangkat menuju rumah sakit untuk menemui Paula, dengan DK yang berusaha menahan tangis dan menguatkan diri. ** 📍Wang’s House - Ruangan Keluarga - Malam itu, suasana di ruang keluarga Wang terlihat cukup tegang. Jexon baru saja kembali ke rumah setelah beberapa waktu pergi, dan begitu memasuki ruangan, ia langsung melihat kedua orang tuanya duduk bersama, tampak cemas. Nicholas, ayahnya, yang duduk di kursi utama, langsung menoleh dan menyapanya. Nicholas melihat Jexon masuk, wajahnya menunjukkan tanda kelegaan “Jexon, kamu sudah pulang.” Jexon melangkah mendekat dengan tenang, suaranya datar “Iya pa, Jexon sudah pulang.” Pria itu menatap Jexon dengan penuh harap, terdengar cemas “Kamu menemuinya?” Dan Jexon membalas tatapan Nicholas, suaranya singkat namun tegas “Iya.” Jexon bisa merasakan kecemasan yang jelas terpancar dari wajah ayahnya. Nicholas sangat terpengaruh dengan kecelakaan yang menimpa Paula. Namun, Jexon tak terlihat terganggu. Sebaliknya, ia melirik ke arah ibunya, Elisabeth, yang duduk diam di samping Nicholas. Meskipun diam, Elisabeth jelas menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Kecelakaan yang menimpa Paula bukanlah sebuah kecelakaan biasa. Itu adalah hasil dari rencana yang disusun oleh Jexon sendiri. Nicholas kembali memandang Jexon dengan serius, nada suaranya penuh kekhawatiran “Polisi sedang memeriksa semuanya. Kita akan mencari tahu tentang kejanggalan yang terjadi dari kecelakaan itu.” Dia menghela napas sejenak dan menatap ayahnya dengan tatapan penuh penenangan, berusaha menjaga kesan tenang. “Pa… kemarin, jalanan cukup licin. Mungkin saja ban mobil van itu sudah menipis dan membuat supir Paula sendiri tidak dapat mengontrol stir. Kita juga tidak bisa mengambil kesimpulan, kalau keadaan ini terjadi karena ulah seseorang.” Jexon berusaha mengalihkan perhatian ayahnya dari pikiran-pikiran gelap yang mulai merasuki benaknya. Ia tahu betul betapa Nicholas sangat mencemaskan Paula, dan itu bisa membuatnya berpikir lebih jauh, lebih mendalam. Namun, dengan nada tenang, Jexon berusaha meredakan kekhawatiran ayahnya. Ya, sekalipun dia geram dan emosi. Akan tetapi, Jexon tetap berusaha tenang saat melihat ayahnya secara terangan mencemaskan Paula. Elisabeth berbicara dengan suara lembut namun penuh keyakinan, mencoba mengalihkan perhatian Nicholas “Yang dikatakan Jexon benar pa, mungkin… kita bisa menunggu kabar dari polisi saja.” Elisabeth akhirnya berbicara, meskipun dengan nada yang hati-hati. Ia berusaha menarik perhatian Nicholas agar tidak terjebak dalam dugaan yang bisa merusak ketenangannya. Elisabeth memahami bahwa jika Nicholas terus terobsesi dengan kemungkinan yang lebih buruk, itu hanya akan menambah kekacauan dalam keluarga mereka. Nicholas pun memandang Elisabeth sejenak, kemudian mengangguk perlahan “Kita tunggu saja.” Namun, meskipun kata-kata Elisabeth terdengar meyakinkan, perasaan cemas yang menggerogoti hati Nicholas tetap ada. Ia masih berpikir ada sesuatu yang belum diketahui, sesuatu yang tidak beres dengan kecelakaan itu. Namun, untuk saat ini, ia memutuskan untuk menunggu hasil penyelidikan polisi. Jexon kembali menatap ibunya dengan penuh perhatian, merasa sedikit lega mendengar dukungan dari Elisabeth secara tidak langsung. Elisabeth juga membalas menatap Jexon sejenak, lalu kembali menatap Nicholas dengan tatapan cemas yang berusaha dia kendalikan, saat kedua tangannya saling berjabat dalam kecemasan. ** 📍Rumah Sakit Suasana di kamar rumah sakit terasa hangat meskipun ada kecemasan yang masih menghantui. Paula terbaring lemah di tempat tidur, namun matanya masih memancarkan semangat. Di sisi lain, Dk berdiri di dekat pintu, wajahnya dipenuhi kecemasan, berusaha menahan tangis saat melihat kondisi Paula. Dk panggilannya lembut, dengan suara gemetar “Auntie?” Paula yang mendengar panggilan Dk, ia menoleh perlahan, senyum tipis menghiasi wajahnya “Hai, Dk.” Matanya berkaca-kaca, mencoba menahan tangis, suara gemetarnya terdengar jelas “Au-auntie, b-bagaimana bisa terjadi?” Paula menyandarkan dirinya dengan lebih nyaman di tempat tidur, berusaha menenangkan Dk dengan senyum lembut “Aku sudah baik-baik saja, Dk. Jangan khawatir. Mungkin beberapa hari lagi pun, aku sudah diizinkan pulang.” Ucapnya lembut mencoba menenangkan Dk. Bocak laki-laki itu menggigit bibir, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang “T-tapi…” Paula mencoba mengalihkan pembicaraan, menatap Dk dengan lembut, namun mata Paula berkilau dengan rasa khawatir “Aku ingin menanyakan kenapa kamu bisa diskors di sekolah, Dk?” Dk yang terkejut, wajahnya semakin memucat, bibirnya sedikit bergetar “Eungggg… itu…” Seketika, dia tidak dapat menjawab pertanyaan dari Paula yang masih terduduk setengah tidur diranjang pasien dalam kamar itu. Dante pun memasuki ruangan, menyela dengan suara yang tenang namun tegas “Mungkin, kamu bisa menanyakan hal ini nanti Paula.” Paula menoleh menatap Dante dengan mengerti, meskipun ada rasa penasaran yang masih menggantung di hatinya, sejenak dia menghela napas.“Baiklah, aku gak akan mempertanyakan hal ini dulu.” Belum usai bicara, pandangan itu berpindah pada Dk. “Tapi Dk, Auntie minta kepada kamu, tolong sedikit bersabar dengan lingkungan yang mungkin bisa saja membuatmu gak nyaman.” Dk menatap Paula dengan penuh rasa terima kasih, bibirnya menyunggingkan senyum kecil “Iya Auntie.” Paula tersenyum lebih lebar, mengelus lembut kepala Dk dengan penuh kasih sayang. Dk merasa sedikit lebih tenang, meskipun masih ada kekhawatiran di matanya. Paula tahu betul bahwa saat-saat seperti ini sangat berarti bagi Dk, dan ia ingin Dk merasa didukung, apapun yang terjadi. ** Hari mulai larut, dan saatnya bagi Paula untuk beristirahat. Setelah beberapa saat, Dante dan Dk memutuskan untuk pulang, memberikan Paula waktu untuk beristirahat. Tetapi, mata itu menatap buah tangan yang dibawa oleh Jexon siang tadi. Seketika, dia kembali mengingat beberapa hal pembicaraan diantaranya dengan Jexon tadi. Paula pun berbicara pada dirinya sendiri dengan nada ragu “Aku pikir, dia tidak akan datang kemari. Ternyata dugaan ku salah.” Ucapnya yang kemudian menghela napas panjang. “Hhhh… rasanya sedikit canggung berbicara dengan dia sebagai atasanku. Ya, dia memang atasan ku sekarang.” Dia menunduk, netra itu menatap lekat pada jari jemarinya sendiri yang ada di atas selimut. “Ini seperti mimpi.” nyaris, ucapan itu terdengar berbisik.Malam itu, seperti biasa Jexon terjaga dari tidurnya. Dia masih terduduk dikursi kerja dengan penampilan casualnya. Matanya terlihat tajam dengan raut wajah serius ketika dia memikirkan semua hal yang terjadi beberapa hari ini. Dia mencoba tenang setelah membunuh seseorang secara tidak langsung atau… dimana dia terlibat sebagai perencanaan pembunuhan. “Hhhh…” napas yang dia hela, terlihat begitu berat setelah mengusap-usap wajahnya. Dan dia meyakinkan di dalam hatinya, semata-mata yang dia lakukan hanya untuk mamanya dan melindungi keluarganya. Terlepas itu benar atau salah, dia sudah tidak memperdulikan hal itu. “Tapi… berpura-pura justru melelahkan. Dan itu, harus aku lakukan disetiap harinya. Mungkin, menarik niat untuk memberikan pelajaran secara berat agar polisi pun gak semakin curiga dengan hal ini.” Ucap Jexon tenang, menatap lekat jam pasir yang ada di atas meja kerja miliknya. **Dia adalah Dominic Jexon Wang, 32 Tahun; seorang pria yang memiliki kharisma kuat dengan
📍J&T Entertaiment - Ruangan Pertemuan - Seorang polisi, Inspektur Lee, duduk di seberang Jexon, CEO J&T Entertainment. Dan tepat hari ini, akhirnya Jexon berhadapan dengan seorang polisi dari kepolisian yang sedang menyelidiki kasus kecelakaan yang menimpah Paula. Dengan membawa sebuah map yang penuh dokumen, Inspektur Lee membuka percakapan. Wajahnya dingin dan penuh konsentrasi. “Terima kasih, Pak Jexon, sudah meluangkan waktu,” ucapnya tanpa basa-basi. Nada suaranya serius, sesuai dengan raut wajahnya yang tajam. “Saya hanya ingin bertanya beberapa hal mengenai Paula. Anda pasti sudah mendengar kecelakaan yang dialaminya kemarin?” Jexon menghela napas sejenak sebelum menjawab. “Iya, Inspektur. Saya sangat terkejut saat mendengar kabar itu.” Nada suaranya tenang, namun ada getaran halus yang sulit disembunyikan. “Saya baru mengenal Paula. Dia baru saja menjadi talent di perusahaan kami. Bahkan baru menandatangani kontrak.” Inspektur Lee menyipitkan matanya, mencata
📍J&T Entertaiment - Ruangan Presedir -Beberapa hari berlalu, dimana… Di Ruang Kerja Presedir Perusahaan, Nicholas dan Jexon Duduk Berhadapan.Suasana sunyi dan tegang setelah makan siang usai. Nicholas duduk di belakang meja kerjanya dengan wajah serius. Dia menatap Jexon, yang terlihat hanya diam menatapnya. “Jexon, papa ingin tahu alasan kenapa kasus kecelakaan Paula ditutup dengan catatan murni kecelakaan tunggal. Kenapa tidak ada tersangka, terutama pemilik mobil yang berlawan arah? Kecelakaan itu fatal, dan pak Han sampai kehilangan nyawanya. Bagaimana ini bisa dianggap murni kecelakaan?” Suara itu terdengar dengan nada tegasJexon menunduk sejenak, menghela napas.“Pa, Jexon tahu ini rumit, tapi kita tidak bisa melanjutkan kasus ini. Jika kita memihak Paula terlalu keras, saham perusahaan akan terpengaruh. Jangan lupa, dia adalah model yang punya banyak pembenci di luar sana. Publikasinya bisa merusak citra kita. Kita harus berhati-hati.”Nicholas, mengetukkan jarinya di
📍ApartementKetukan lembut terdengar di pintu kamar. Paula, yang sedang bersandar di ranjang dengan sebuah buku di tangannya, menoleh.“Masuk,” katanya setengah berteriak.Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok anak laki-laki dengan baki berisi cookies dan segelas jus jeruk di tangannya. Langkahnya pelan, penuh hati-hati agar baki itu tak terguncang.“Auntie?” panggilnya lembut, sambil mendekat.Paula tersenyum melihatnya. “Dk? Ada apa, sayang?”“Aku bawakan cookies dan jus untukmu,” jawab Dk sambil meletakkan baki di atas meja kecil di samping tempat tidur.“Kamu nggak perlu repot-repot, sayang,” ujar Paula sambil bangkit. Dia mengambil baki itu, lalu duduk di kursi kecil di dekat meja.Dk, dengan wajah serius, menggeleng pelan. “Aku cuma beli di toko kue dekat sini. Mana bisa itu disebut repot?”Paula tertawa kecil, senyum lembut menghiasi wajahnya. “Kamu selalu bijak, ya. Terima kasih, Dk. Aku akan habiskan semuanya.”“Hm,” sahut Dk singkat, lalu duduk di sofa kecil di sudut
📍Rumah Duka - Tempat Peristirahatan Terakhir -Paula mengunjungi rumah terakhir milik Pak Han, bersama dengan Javeline. Wajahnya terlihat muram dan sedih. Matanya berkaca-kaca menatap kaca pembatas yang di hadapannya terdapat foto berbingkai pak Han. “Pak Han… maaf kalau saya baru bisa mengunjungi bapak saat ini.” Saat itu, dia menunduk. Dia tidak dapat menahan air matanya yang kemudian jatuh ke lantai. Hiks.Hiks.Isak tangisan terdengar jelas ditelinga Javeline yang ikut menangis. “T-terima kasih pak, sudah begitu banyak membantu saya, dalam hal apapun.” Ucap Paula terbata-bata saat dirinya menangis. “Terima kasih juga sudah begitu baik dengan saya, pak Han. Maaf… maaf kalau saya tidak bisa membantu bapak untuk keadilan itu. Maaf kalau saya pun, gak tahu harus bertindak apa ketika pengadilan dan polisi sepakat menutup kasus kecelakaan kita. Maaf pak, maaf sekali lagi. Bapak harus tenang disana. Dan sekali lagi, terima kasih. Saya akan berdoa, untuk renkarnasi bapak akan menj
📍J&T Entertainment“Celine?” Jexon memanggil dengan nada tenang.Celine, yang tengah sibuk memasukkan ponsel ke dalam tasnya, menoleh cepat. “Oh, selamat sore, Pak Jexon.” Ia tersenyum kecil sambil menunduk sedikit, memberi hormat.“Saya baru melihat kamu,” ujar Jexon, langkahnya mendekati Celine.“Itu… selama satu minggu saya ada di Paris, Pak,” jawab Celine sambil membenarkan posisi tas di pundaknya.“Ah, benar!” Jexon menepuk dahinya perlahan, seolah baru mengingat sesuatu. “Saya hampir lupa kalau kamu ada pekerjaan di sana.”Celine tersenyum simpul. “Sepertinya… Pak Jexon sangat sibuk, sampai-sampai tidak mengingat kegiatan talent-nya?” Nada bicaranya terdengar setengah menggoda, namun tetap sopan.“Maaf, maaf, Celine,” ujar Jexon sambil mengangkat kedua tangannya, seperti mengakui kesalahan.Celine tertawa kecil, tatapannya melunak. “Gak apa-apa, Pak Jexon,” katanya ramah.Jexon mengangguk sambil memperhatikan wajah Celine yang tampak lelah. “Kamu mau pulang?”“Iya, Pak. Saya ma
📍Wang’s House - Ruangan Kerja Jexon -Di dalam ruangan kerja, Jexon menghentikan apa yang tengah dia lakukan. Saat itu, terlintas di dalam benaknya, ketika Elisabeth mengatakan kalau; Paula memiliki anak dari hasil hubungan gelap dengan Nicholas, papanya. “Anak?…” ucap Jexon mengetuk-ngetuk pen di atas meja kerja. “Kenapa gak ada berita tentang anaknya. Dimana dia menyembunyikan anak itu? atau… papa membantunya untuk menyembunyikan anak mereka? dan… mungkin aja, anak itu pun, tidak berada di negara ini?”Pertanyaan demi pertanyaan terucap dibibirnya.“Hhhh…” napas yang dia hela terasa begitu berat, saat dia mulai menyenderkan tubuhnya dikursi kerja berbahan kulit itu. Jexon kembali duduk tegak. Dia mengambil kertas yang ada dilaci terkunci di bawah meja kerja. Disitu, dia menatap profil milik Dk; Darex Kendrick. “Atau jangan-jangan, anak ini anak papa dan dia?” Jexon menebak hal itu. “Tapi… usianya sudah 9 Tahun. Kalau begitu, papa dan dia sudah bersama lebih dari 10 Tahun? ya
📍J&T Entertaiment Seminggu lebih setelah keluar dari rumah sakit, Paula menerima panggilan untuk datang ke kantor J&T Entertainment. Ini adalah pertemuan resmi pertamanya dengan Nicholas, presedir yang jarang terlihat kecuali dalam acara besar. Ada sedikit ketegangan yang tak bisa ia abaikan saat ia melangkah masuk ke dalam ruangan luas yang beraroma teh dan kayu cendana.-Ruangan Presedir-Paula duduk perlahan di kursi berlapis kulit di depan meja besar Nicholas. Sebuah cangkir teh hangat sudah disiapkan untuknya. Ia mengangkatnya sebentar, sekadar memanaskan tangannya, lalu meletakkannya kembali di atas meja tanpa menyentuh isinya.Nicholas, yang duduk tegap dengan postur penuh wibawa, memperhatikannya dengan saksama. Sorot matanya tajam, namun kali ini lebih tenang dari biasanya. “Kamu sudah baik-baik saja, Paula?”Paula menegakkan punggungnya, mencoba tersenyum meski terlihat sedikit canggung. “Saya baik-baik saja, Pak Presedir.”Nicholas menautkan kedua tangannya di atas meja.
Pikiran itu berputar liar, tak mau berhenti, seperti badai yang tak kunjung reda. Bayangan kecelakaan-kecelakaan akhir-akhir ini menghantui Jexon, mengisi setiap sudut ruang kosong dalam kepalanya. Ia mencoba merasionalisasi, tapi semakin keras ia berpikir, semakin banyak pertanyaan tanpa jawaban yang muncul.Jexon menatap kosong ke tumpukan dokumen di mejanya, di ruangan kerja yang luas dan sunyi itu. Udara di sekeliling terasa berat, terlalu penuh dengan pikiran yang menggantung. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gejolak di dadanya. Namun pikirannya segera kembali ke sosok Andreas—seseorang yang baru ini mulai masuk dalam kecurigaannya.“Dalang dari semua ini,” gumam Jexon pelan, nada suaranya rendah dan penuh tekanan. Andreas Liu. Nama itu terus berulang di benaknya, menghantui seperti bayangan gelap yang tak mau pergi.Dengan gerakan cepat, Jexon meraih ponselnya di meja. Jari-jarinya menekan layar, mencari nama kontak yang ia butuhkan. Seketika, ia menghubungi Ar
📍Rumah Sakit Kamar rumah sakit itu terasa hangat, meski aroma antiseptik yang khas masih terasa di udara. Rean terbaring di ranjang dengan infus yang terpasang di tangannya. Wajahnya sudah tidak terlihat pucat, tapi senyumnya tak pernah pudar saat melihat Paula masuk membawa sekotak buah dan bunga mawar putih di tangannya. “Rean, gimana kabarnya?” tanya Paula sambil mendekat ke sisi ranjang. Suaranya lembut, penuh perhatian. “Lebih baik, auntie Paula. Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk datang,” jawab Rean, meski suaranya terdengar sedikit lemah. Di sudut ruangan, Dk, terlihat duduk menemani Rean sahabatnya di kamar pasien itu. “Auntie!” panggil Dk beranjak mendekati Paula. Paula tersenyum. “Hai, Dk. Maaf ya, kalau auntie baru sempat jenguk sahabat kamu.” Sambil mengusap kepala bocah itu. Dk mengangguk dengan semangat. “Iya, gpp auntie. Kami berdua, cuma lihat berita ditelevisi.” Paula mengerutkan kening, merasa penasaran. “Oh ya? Apa yang kamu lihat?” “Tent
Berita Eksklusif: Kencan Paula dan Jexon!Hari ini, dunia hiburan digemparkan dengan kabar hangat seputar hubungan romantis antara Paula, model terkenal dari agensi J&T Entertainment, dan Jexon, CEO agensi tersebut. Foto-foto yang diambil secara diam-diam oleh paparazi menunjukkan keduanya berpelukan di rumah sakit, menciptakan spekulasi besar di media.📍J&T Entertainment -Ruang Presdir-“Ini foto yang beredar semalam?” tanya Nicholas, presiden direktur J&T Entertainment, sambil menyelipkan senyum tipis. Matanya menatap tajam pada sebuah foto di tangannya.Albert, asistennya, mengangguk mantap. “Iya, Pak Presdir. Ini diambil oleh seorang wartawan.”Nicholas menghela napas lega, menyandarkan tubuhnya ke kursi kulit di balik meja kerjanya. “Kalau begini, sepertinya mereka sudah menyelesaikan masalah mereka.” Ucapannya terdengar ringan, namun jelas menyiratkan kebahagiaan.****Sebaliknya, suasana di rumah keluarga Wang penuh dengan ketegangan. Elisabeth, ibu Jexon, menatap layar tel
Celine tersentak, tersadar dari lamunannya. Dia melihat punggung Andreas yang semakin jauh di ujung koridor hotel. Dengan tergesa-gesa, dia mengejarnya. Langkah kakinya terdengar berdebum pelan di atas karpet tebal.“Andreas!” serunya, suaranya gemetar.Andreas tetap berjalan tanpa menoleh, namun tubuhnya menegang saat Celine menggenggam pergelangan tangannya. Ia berhenti, tapi tidak langsung berbalik.“Kamu mau ke mana?” tanya Celine, suaranya memohon, hampir putus asa. Matanya yang berkaca-kaca menatap punggung pria itu.Andreas menarik napas panjang sebelum akhirnya berbalik. Wajahnya dingin, matanya tajam seperti pisau. “Mau balik. Saya harus temui Abex dan mencari Serena,” jawabnya dengan nada rendah tapi tegas, seolah tidak ingin ada diskusi lebih lanjut.“J-jangan pergi,” pinta Celine sambil menggenggam tangannya lebih erat. “T-tidak ada yang menemaniku di sini.”Andreas mendengus, tawa pendek yang lebih terdengar seperti ejekan. Dia menatap Celine dengan tatapan sinis. “Tidak
📍J&T Entertainment-Ruangan Presiden Direktur-Elisabeth membuka pintu ruangan dengan gerakan cepat, langkahnya penuh tekad saat memasuki ruang kerja suaminya. Suara hak sepatu yang menghantam lantai terdengar nyaring, mengisi keheningan di ruangan itu. Matanya tajam, seperti ingin menembus setiap rahasia yang tersembunyi di balik wajah tenang Nicholas.Nicholas mendongak dari berkas-berkas di mejanya, lalu bersandar santai di kursi, menatap istrinya dengan sikap tenang. “Ada apa, Elisabeth?” tanyanya dengan suara datar, meski sorot matanya meneliti ekspresi di wajah wanita itu.Elisabeth berdiri tegak di depan meja, kedua tangannya mengepal, menggenggam emosi yang hampir meledak. “Sudah dua hari aku menunggu kamu mengatakannya sendiri,” ucapnya, suaranya tajam. “Tapi sepertinya kamu tidak berniat untuk mengakuinya, Nicholas.”Nicholas menarik napas dalam-dalam. Tanpa berkata apa-apa, dia berdiri perlahan dari kursinya dan berjalan mendekati Elisabeth. Sorot matanya kini serius, ta
Satu minggu berlalu. Suasana rumah terasa sepi, hanya terdengar suara angin yang sesekali menggesek jendela kayu. Clara duduk di sofa kecil yang mulai memudar warnanya, tubuhnya tenggelam dalam keheningan. Matanya menatap kosong ke arah lantai, seolah mencoba mencari sesuatu yang hilang di dalam pikirannya. Langkah-langkah ringan terdengar dari belakang, dan suara Andreas memecah keheningan. “Ce,” panggil Andreas dengan nada ceria. Clara mengangkat wajahnya perlahan, matanya lelah. “Ada apa, Andreas?” tanyanya singkat, tanpa banyak ekspresi. Andreas tersenyum lebar, wajahnya polos dan penuh semangat seperti anak kecil yang baru mendapatkan mainan baru. “Aku berhasil menemukan alamat rumah Jexon,” katanya antusias. “Aku akan ke sana. Aku harus bicara dengannya!” Kata-kata Andreas seperti pisau yang menusuk hati Clara. Ia mencoba mempertahankan senyumnya, meski dalam hatinya ia merasa hancur. Andreas tampak begitu bersemangat, namun kabar tentang Jexon justru membuat Clara semakin
Flashback OnMalam itu, udara dingin menyelimuti kota kecil di China. Clara duduk di ruang tamu sebuah rumah sederhana yang mereka sewa sementara. Perutnya yang besar tampak jelas di balik sweater tebal yang ia kenakan. Andreas berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan sorot mata khawatir yang sulit disembunyikan.“Ce, aku mohon… jangan terlalu memaksakan diri. Kamu harus istirahat.” Andreas berjalan mendekat, suaranya lirih namun penuh tekanan, tangannya terulur seolah ingin menenangkan wanita di hadapannya.Clara mendongak, tatapannya tajam meskipun terlihat lelah. “Aku tidak bisa, Andreas. Kita sudah sampai sejauh ini. Aku akan menemui Jexon dan mengatakan kepadanya, kalau aku sudah menjaga kandungan ini.”Andreas menghela napas panjang, menatap wanita yang kini begitu bertekad. “Tapi cece tidak bisa terus begini, ce. Apa cece pikir Jexon akan langsung berubah hanya karena cece memberitahunya soal anak ini?”“Pasti,” Clara memotong, matanya berkaca-kaca namun penuh keyakinan. “Di
Deringan telepon memecah keheningan dalam kamar mewah yang diterangi cahaya senja dari balik tirai tipis. Andreas mengerjapkan matanya perlahan, mengangkat kepala dari bantal empuk, sementara tangannya yang lain tetap menjadi sandaran untuk kepala Celine. Rambut panjang wanita itu menyebar di atas dadanya, dan tubuh mereka hanya terbungkus selimut putih tebal.Dia meraba-raba meja nakas tanpa banyak gerakan, khawatir membangunkan wanita di sampingnya. Setelah menemukan ponselnya, ia menggeser layar dengan satu gerakan malas.“In calling.”“Hm?” sahut Andreas singkat, suaranya berat, masih diselimuti kantuk.Suara seorang pria terdengar di ujung telepon, tenang tetapi penuh tekanan. “Lampu itu sudah saya kendorkan. Itu jatuh tepat di kepala Paula. Tapi… seseorang mendorongnya. Dia selamat, dan kecelakaan malah menimpa orang lain.”Andreas memijat keningnya, mendengar detail tersebut dengan mata yang kini terbuka lebar. “Tidak masalah,” jawabnya dingin. “Ini lebih dari cukup untuk memb
📍J&T EntertainmentLangkahnya terhenti tepat di depan Paula. Wanita muda itu juga berhenti, pandangan mereka bertemu untuk sesaat sebelum Paula mengalihkan wajahnya ke arah lain.“Jexon, ayo!” Valentine memanggilnya dari kejauhan, suaranya tajam seperti pisau yang memotong udara.“Duluan aja.” Jexon menjawab tanpa menoleh. Nadanya datar, seolah tak ingin diganggu.Valentine menghela napas, wajahnya mulai memerah karena kesal. Tatapannya tajam menyorot Paula, yang tanpa sepatah kata memilih berjalan menjauh ke arah kanan. Namun, Jexon tak membiarkannya pergi begitu saja. Dengan langkah cepat, hampir seperti berlari kecil, dia mengejar Paula.“Paula,” panggilnya seraya meraih pergelangan tangan wanita muda itu. Genggamannya kuat, memastikan Paula tak bisa melangkah lebih jauh.Paula menghentikan langkahnya, tetapi tidak berbalik. Tatapannya tetap lurus ke depan, menghindari Jexon.“Saya mau bicara sama kamu. Ini penting,” ujar Jexon tegas, nada suaranya lebih serius dari biasanya.Per