Malam itu, seperti biasa Jexon terjaga dari tidurnya. Dia masih terduduk dikursi kerja dengan penampilan casualnya.
Matanya terlihat tajam dengan raut wajah serius ketika dia memikirkan semua hal yang terjadi beberapa hari ini. Dia mencoba tenang setelah membunuh seseorang secara tidak langsung atau… dimana dia terlibat sebagai perencanaan pembunuhan. “Hhhh…” napas yang dia hela, terlihat begitu berat setelah mengusap-usap wajahnya. Dan dia meyakinkan di dalam hatinya, semata-mata yang dia lakukan hanya untuk mamanya dan melindungi keluarganya. Terlepas itu benar atau salah, dia sudah tidak memperdulikan hal itu. “Tapi… berpura-pura justru melelahkan. Dan itu, harus aku lakukan disetiap harinya. Mungkin, menarik niat untuk memberikan pelajaran secara berat agar polisi pun gak semakin curiga dengan hal ini.” Ucap Jexon tenang, menatap lekat jam pasir yang ada di atas meja kerja miliknya. ** Dia adalah Dominic Jexon Wang, 32 Tahun; seorang pria yang memiliki kharisma kuat dengan aura serius dan tajam. Tatapan matanya yang fokus, ditambah dengan postur tegas dan ekspresi tenang, memberi kesan penuh kepercayaan diri dan kedewasaan. Penampilannya mencerminkan karakter yang ambisius, bertanggung jawab, dan berdedikasi. ** Reporter: “Permisa, kabar berikutnya yang akan saya sampaikan; Dominic Jexon Wang telah mencatat prestasi luar biasa hingga dikenal di luar negeri. Ia mendapatkan pengakuan sebagai CEO muda yang berbakat dan digadang-gadang sebagai penerus dari ayahnya, Nicholas Wang, pemilik J&T Entertainment. Dengan visinya yang kuat dan kemampuan kepemimpinan yang mengesankan, dia berhasil membawa nama besar keluarga Wang ke kancah internasional.” Suara berita yang terdengar dari televisi yang terpajang di depan ranjang pasien, yang Paula tempati. Saat itu, Javeline yang masuk ketika Paula terlihat serius bahkan dia tidak menyadari kehadiran Javeline, semula. Javeline tersenyum tipis, langkahnya mendekati Paula. “Kamu kelihatan serius melihatnya, Paula.” Javeline yang baru saja masuk ke dalam kamar pasien, membuat Paula menoleh dari layar televisi. “Oh, ini… kebetulan, ada berita tentangnya.” Ucap Paula yang melihat Javeline, kemudian menatap ke layar televisi kembali. “Pak Jexon.” Tanya Javeline, menarik kursi dan duduk menghadap televisi. “Dia sangat hebat ya, masih muda tapi kemampuan kepemimpinannya cukup mengesankan.” Paula mengangguk, menyetujui ucapan Javeline. Suara dari pembawa berita itu menggema di dalam ruangan kamar pasien yang berwarna putih dipadu dengan beberapa ornamen berwarna hijau. “Ah! Apa dia sudah punya pacar?” tanya Javeline menatap Paula dengan penasaran. Sejenak, Paula diam menatap Javeline yang melemparkan pertanyaan itu padanya. “Itu… aku gak tahu.” Ucapnya sedikit ragu yang kembali melirik ke televisi. Javeline mengangguk. “Ya, aku salah bertanya. Kenapa juga aku tanya ke kamu, yang jelas-jelas kamu talent yang baru-baru ini masuk ke agensi mereka.” Paula hanya tersenyum tipis mendengar ucapan Javeline. Sejenak, pandangannya teralihkan kearah jendela kamar pasien, dimana dia melamun untuk beberapa detik ketika apa yang dia pikirkan buyar. Suara ketukan terdengar dari luar. Dua pria dengan postur tubuh tegap berjalan masuk menghampiri Paula yang masih terbaring di ranjang tempat tidur pasien. “Selamat siang, ibu Paula. Kami dari pihak kepolisian, datang untuk meminta keterangan mengenai kecelakaan yang ibu alami bersama ibu Javeline dan Pak Han. Kami harap ibu bisa bekerja sama, ya. Dan maaf sebelumnya, sudah mengagetkan ibu atas kedatangan kami secara tiba-tiba.” Ucap salah satu aparat kepolisian yang terlihat tegas dalam berucap namun terdengar hati-hati saat berbicara dengan Paula. Paula memilih untuk menarik dirinya dan setengah duduk. “Oh… ya, Pak. Apa yang ingin bapak ketahui?” tanya dia dengan nada lemasnya. “Kami sedang menyelidiki penyebab kecelakaan ini, ibu Paula.” Jawab sang polisi, dimana dia menatap serius Paula saat dia pun menaikan buku yang diketahui berisi catatan manual. “Bisa ceritakan apa yang ibu ingat dari kejadian itu?” dia pun, membuka buku catatan kecil itu, untuk mencatat beberapa pernyataan yang diberikan Paula. Paula pun berpikir sejenak, mencoba mengingat apa yang terjadi kemarin. Ruangan itu, seketika hening dimana beberapa pasang mata menatap Paula, menunggu pernyataan penting dari Paula. “Kami sedang dalam perjalanan menuju bandara, dimana saya ada kerjaan di Chongqing.” Ucapnya pelan, dengan raut wajah berpikir. “Saya, Javeline, dan Pak Han dalam satu mobil. Saya ingat, pak Han yang menyetir. Rasanya semua berjalan biasa saja, sampai tiba-tiba… ada mobil yang melaju cepat dari arah berlawanan, dan kami kehilangan kendali.” Kepalanya sedikit memiring, dengan tatapan serius yang entah berlabuh kemana. “Apakah ada hal yang mencurigakan atau sesuatu yang tidak biasa sebelum kecelakaan terjadi, bu Paula?” lagi, aparat kepolisian itu kembali bertanya dimana saat itu juga dia mencatat pernyataan yang keluar dari mulut Paula. “Tidak ada, pak. Semua baik-baik saja, bahkan seperti biasanya kami pulang atau pun pergi.” Singkatnya menatap sorotan mata salah satu polisi. Aparat kepolisian itu kembali bertanya, dengan begitu setianya berdiri di hadapan Paula. “Baik. Apakah sebelumnya ada masalah atau ancaman tertentu yang dialami oleh ibu, ibu Javeline, atau pak Han? Mungkin sesuatu yang terjadi di tempat kerja?” Dan dengan sikap tenangnya, Paula berusaha memberikan pernyataan yang sejujurnya, dimana polisi terus bertanya dan mencatat setiap jawaban darinya. Matanya kembali berada diarah lain, dimana dia berpikir dan, “sejauh ini tidak ada pak. Saya dan Javeline cece juga baik-baik saja. Tidak menerima ancaman atau yang seperti itu.” Polisi pun mengangguk, menerima pernyataan dari Paula.“Baiklah, terima kasih, Bu Paula. Kami hanya sedang memeriksa secara pribadi dari bu Paula dan juga mungkin bu Javeline kalau ada yang ingin disampaikan bisa menemui saya di kantor.” “Baik, Pak. Saya akan ke kantor kalau ada hal yang mungkin mencurigakan. Terima kasih sudah datang.” Sahut Javeline yang membalas ucapan sang polisi. “Sama-sama. Dan bu Paula, semoga cepat sembuh.” Ucap sang Polisi yang tersenyum singkat, saat menutup buku catatannya. Polisi kemudian beranjak pergi, meninggalkan Paula yang masih teringat akan kecelakaan tragis yang merenggut nyawa Pak Han dan meninggalkan tanda tanya besar dalam benaknya. “Kamu baik-baik aja Paula?” Javeline menatap resah Paula. Paula menunduk dan hanya menggelengkan kepalanya. “Pasti kamu masih syok untuk menjelaskan semuanya.” Ucap Javeline secara hati-hati. “Iya ce.” Jawabanya dengan nada lemas. “Aku benar-benar syok untuk kecelakaan itu. Tapi, aku mendengar kalau jalanan memang sedang licin.” Pernyataan yang membuat Paula terdengar sedih. Dengan hati-hati lagi, Javeline mengatakan, “mungkin… ini memang kelalaian atau… ketidaksengajaan.” Dia mengangguk pelan, setuju dengan apa yang dia ucapkan. “Aku juga melihat dengan jelas, pak Han membanting stir mobil dan membuat dirinya mungkin terhimpit dipembatas jalan.” ** 📍J&T Entertaiment -Ruangan Jexon- Suara ketukan terdengar dari luar ruangan kerja Jexon. Dan seorang perempuan beranjak masuk ke dalam ruangan itu. Langkahnya yang mendekati Jexon terlihat tidak membuat Jexon menatap ke arahnya. Jexon, masih terfokus dengan berkas-berkas yang ada di atas meja. “Jexon?” panggilnya dengan nada lembut. “Hm, ada apa Valentine?” jawab singkat Jexon, tanpa melihat Valentine. Ruangan berwarna abu-abu itu terasa tenang dan damai. Aroma coffee yang terasa begitu jelas, membuat mereka yang ada di dalamnya merasa nyaman. Valentine tersenyum, “selamat ya, aku melihat berita tentangmu pagi tadi.” Jexon pun mengangkat pandangannya, sejenak dia diam menatap Valentine yang berdiri di hadapannya. “Ah, itu… semua berkat papa yang membimbing saya.” “Dan aku sebagai sahabatmu sangat bangga dengan prestasi itu.” Senyum Valentine kembali, seorang perempuan yang dikenal sebagai sahabat dekat Jexon. “Hhhh…” Jexon menghela napas dengan panjang, dia menyenderkan punggungnya dikursi kerja. Kening itu mengernyit, mendengar jelas helaan napas yang terdengar berat. “Kenapa? kamu terlihat gak bahagia?” “Entahlah.” Jawab singkat Jexon, yang mengalihkan pandangannya menatap ke arah lain. Valentine menangkap dengan jelas sorotan mata itu. Dimana dia mengambil kesimpulan, dengan permasalahan yang terjadi beberapa hari ini. “Memikirkan kasus kecelakaan itu?” tanya Valentine penasaran dan hati-hati. “Mungkin.” Ucap Jexon tanpa melihat Valentine. Ruangan mulai terasa hening, dimana Jexon benar-benar tidak ingin membahas apa yang terjadi, namun… dia tidak begitu terganggu ketika Valentine bertanya, beberapa hal. “Kamu dimintai keterangan dengan polisi?” Valentine kembali bertanya, dengan sikap yang masih begitu penasaran. “Sejauh ini, polisi belum ada menghubungi saya.” Ucapnya yang menatap mata Valentine. “Lalu bagaimana soal korban yang meninggal?” lagi, dia masih penasaran dengan sorotan mata yang ingin tahu. Jexon pun beranjak dari kursi kerjanya, dia keluar dari area meja kerjanya. Tubuhnya, dia sandarkan tepat di belakang meja kerja dengan kedua tangan yang melipat ke depan dada. “Gerald sudah mengunjungi rumah duka dihari terakhir. Saya juga sudah memberikan imbalan sebagai turut berduka cita atas kepergian supir pribadi Paula.” Jawabnya dengan menunduk menatap ujung sepatunya sendiri. “Begitu ya? kamu baik-baik saja, kan?” dan mata itu berubah menjadi sorotan mata dengan perasaan khawatir. Jexon mengangguk. “Semua baik-baik saja. Saya juga harus memastikan kalau kabar kecelakaan itu tidak membawa-bawa nama perusahaan. Kalau itu sampai terjadi, saham akan turun dan merugikan perusahaan.” Sekilas, dia memperlihatkan perasaan gelisahnya, sekalipun dia bersikap tenang. “Ya, tapi soal Paula… bukannya dia model yang cukup kontrovesial. Ada banyak orang yang tidak setuju kalau dia masuk ke agensi ini.” Valentine, pun ikut melipat kedua tangannya ke hadapan depan dengan pernyataan yang dia tahu, tentang Paula dimuka umum. “Ya, soal itu pasti ada saja Valentine. Dia akan menerima dukungan dari penggemar atau pun penolakan dari pembencinya.” Kembali Jexon mengangguk, menolehkan pandangannya saat dia mengambil pen di atas meja. “Tapi ada yang banyak membencinya. Pak presedir cukup berani untuk memintanya masuk ke agensi ini.” Pernyataan Valentine, kembali membuat Jexon menatap Valentine. Dimana dia menunjukan wajah datar, setelah mendengar apa yang diucapkan Valentine. ** - Ruangan Presedir- Langkah itu terlihat tergesa-gesa, raut wajahnya terlihat tidak bahagia. Namun, terlukis jelas dengan kekecewaan yang melekat. Rach masuk ke ruangan dengan wajah tegang yang terlihat cemas, setelah menatap Nicholas yang tengah duduk dikursi kerja. “Pa, Rach dengar kabar kalau papa berniat menjodohkan Rach dengan Hanes gege? Ini benar, pa? tanya Rach, dengan cemas. Nicholas, menatap Rach dengan pandangan tegas. “Benar, Rach. Papa sudah memutuskan. Hanes adalah pilihan yang tepat untuk kamu dan keluarga kita.” “Tapi, pa! Rach belum siap untuk ini, dan Rach bahkan baru mengenal Hanes gege. Kenapa harus Rach yang menikah lebih dulu? Bukankah lebih baik kalau Jexon gege yang menikah dulu?” sikapnya yang cemas begitu pun gelisah, tergambar jelas saat dia tengah berdebat dengan Nicholas. Nicholas pun memotong ucapan Rach dengan tegas. “Jexon memiliki tanggung jawab lain saat ini. Posisi dia berbeda, dan Papa tahu apa yang terbaik untuk kamu. Hanes adalah pria yang berkualitas, pengacara handal, dan sudah setia dengan perusahaan kita. Dia akan jadi pendamping yang sempurna untuk kamu.” Rach yang mencoba untuk berusaha mengendalikan diri, dan masih terus berdebat dengan Nicholas. “Tapi, pa, Rach ingin memilih sendiri. Rach ingin menikah dengan orang yang benar-benar Rach cintai, bukan hanya demi perusahaan atau karena papa ingin seperti ini.” Pria itu menggelengkan kepalanya dengan tatapan tegas. “Papa tidak ingin mendengar alasan lagi, Rach. Papa sudah memikirkan semua ini dengan matang. Kamu akan menikah dengan Hanes, dan ini keputusan final. Saat semuanya sudah tenang, pernikahan ini akan berjalan sesuai rencana.” “Pa, tolong…” dia mulai memohon dengan nada yang terdengar hopeless. “Beri Rach kesempatan untuk memilih. Rach hanya ingin…” Dengan tegas pula, Nicholas memotong ucapan itu. “Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Rach. Ini adalah yang terbaik untuk kamu dan keluarga kita. Kamu harus belajar menerima ini.” Dengan wajah dinginnya menatap Rach anak perempuannya, Nicholas kembali berucap. “Pastikan kamu siap saat waktunya tiba.” Pada akhirnya, dia kalah dengan perdebatan itu. Dia beranjak keluar dengan raut wajah yang menahan kekecewaan. Matanya terlihat berkaca-kaca dengan perasaan yang bercampur aduk. Namun, perasaan gelisah, justru terlihat begitu jelas dia rasakan. “Aku bahkan tidak menyukainya. Bagaimana mungkin papa berlaku seperti ini denganku. Aku… gak ingin menikah karena dijodohkan. Aku ingin bertemu dengan seseorang yang aku cintai.” Cemasnya, menggigit ujung kuku ibu jarinya. “Rach?” panggil Jexon, yang kebetulan melihat meimeinya keluar dari ruangan Nicholas dengan wajah yang sedih. “Apa yang terjadi?” tanya Jexon yang berjalan mendekati Rach. Rach menoleh dan menatap Jexon. “Aku mendengar kabar, kalau papa akan menikahi ku. Kenapa harus aku? Kenapa bukan gege yang menikah duluan?” nadanya terdengar kesal, dimana dia tidak terima dengan apa yang terjadi pada dirinya sekarang. “Saya?” tanya Jexon, menunjuk dirinya sendiri. “Ya! siapa lagi kalau bukan gege!” ucapnya kesal. “Saya tidak bisa menikah, Rach!” dengan santainya, Jexon menjawab pertanyaan itu. Tanpa mendengar penjelasan lebih dari Jexon, Rach justru pergi dari hadapan Jexon. Kaki jenjang yang terlihat jelas, berjalan dengan langkah yang tergesa-gesa. Dan itu, terus diperhatikan Jexon sampai dimana Rach menghilang masuk ke dalam lift. “Hhhh… berada disatu hubungan serius itu menyusahkan, Rach. Dan itu, sangat mengganggu dan menghabiskan banyak waktu saya.” Ucap Jexon pada dirinya sendiri. Ketika dia masih berdiri diam dengan kedua tangan yang tersimpan disaku celana. Valentine menjawab ucapan itu. “Lalu menurutmu, kamu tidak akan menikah?” ketika dia mendengar dengan jelas, dia berjalan mendekati Jexon dengan senyum tersimpul dibibirnya. Pertanyaan itu, membuat Jexon menoleh melihat seseorang yang menyahuti ucapannya. “Ya, saya gak akan menikah Valentine.” Ucapnya dengan wajah datar dan santai. Valentine mengangguk pelan, mendengar pernyataan itu. “Kalau kamu berubah pikiran, bicarakan denganku.” Lagi, dia melepaskan senyum indahnya. “Bicarakan denganmu?” tanya Jexon penasaran. “Hm, karena… aku akan menikah denganmu.” Jawab Valentine dengan percaya diri melipat kedua tangannya ke depan, dengan mendorong sedikit wajahnya mendekati wajah Jexon. Jexon mendengus mendengarkan pernyataan dari sahabatnya itu. Seketika itu, Valentine menarik pandangannya dan mengernyit kebingungan. “Aku serius Jexon.” “Kamu mungkin, akan makan hati saat memiliki hubungan dengan saya Valentine.” Timpalnya dengan santai. “Setidaknya, kita sudah mengenal satu sama lainnya. Tidak ada salahnya kalau kita menikah, benarkan?” lagi, Valentine terlihat menjawab dengan tenang obrolan itu. “Tidak, jangan saya. Kamu harus bahagia dengan pria lain, Valentine.” Jexon menolak secara terang dan melemparkan senyum tipisnya. “Ah, kamu menolak ku ternyata.” Raut wajah itu berubah kecewa, namun Valentine mencoba untuk mengontrolnya. “Maafkan saya Valentine.” Yang dimana kali ini, suara Jexon terdengar serius bersamaan dengan sorotan matanya. “Jangan terlalu dibawa serius Jexon pembicaraan kita saat ini.” Valentine yang memilih untuk mengalah dan memberikan senyuman tulus pada sahabatnya.📍J&T Entertaiment - Ruangan Pertemuan - Seorang polisi, Inspektur Lee, duduk di seberang Jexon, CEO J&T Entertainment. Dan tepat hari ini, akhirnya Jexon berhadapan dengan seorang polisi dari kepolisian yang sedang menyelidiki kasus kecelakaan yang menimpah Paula. Dengan membawa sebuah map yang penuh dokumen, Inspektur Lee membuka percakapan. Wajahnya dingin dan penuh konsentrasi. “Terima kasih, Pak Jexon, sudah meluangkan waktu,” ucapnya tanpa basa-basi. Nada suaranya serius, sesuai dengan raut wajahnya yang tajam. “Saya hanya ingin bertanya beberapa hal mengenai Paula. Anda pasti sudah mendengar kecelakaan yang dialaminya kemarin?” Jexon menghela napas sejenak sebelum menjawab. “Iya, Inspektur. Saya sangat terkejut saat mendengar kabar itu.” Nada suaranya tenang, namun ada getaran halus yang sulit disembunyikan. “Saya baru mengenal Paula. Dia baru saja menjadi talent di perusahaan kami. Bahkan baru menandatangani kontrak.” Inspektur Lee menyipitkan matanya, mencata
📍J&T Entertaiment - Ruangan Presedir -Beberapa hari berlalu, dimana… Di Ruang Kerja Presedir Perusahaan, Nicholas dan Jexon Duduk Berhadapan.Suasana sunyi dan tegang setelah makan siang usai. Nicholas duduk di belakang meja kerjanya dengan wajah serius. Dia menatap Jexon, yang terlihat hanya diam menatapnya. “Jexon, papa ingin tahu alasan kenapa kasus kecelakaan Paula ditutup dengan catatan murni kecelakaan tunggal. Kenapa tidak ada tersangka, terutama pemilik mobil yang berlawan arah? Kecelakaan itu fatal, dan pak Han sampai kehilangan nyawanya. Bagaimana ini bisa dianggap murni kecelakaan?” Suara itu terdengar dengan nada tegasJexon menunduk sejenak, menghela napas.“Pa, Jexon tahu ini rumit, tapi kita tidak bisa melanjutkan kasus ini. Jika kita memihak Paula terlalu keras, saham perusahaan akan terpengaruh. Jangan lupa, dia adalah model yang punya banyak pembenci di luar sana. Publikasinya bisa merusak citra kita. Kita harus berhati-hati.”Nicholas, mengetukkan jarinya di
📍ApartementKetukan lembut terdengar di pintu kamar. Paula, yang sedang bersandar di ranjang dengan sebuah buku di tangannya, menoleh.“Masuk,” katanya setengah berteriak.Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok anak laki-laki dengan baki berisi cookies dan segelas jus jeruk di tangannya. Langkahnya pelan, penuh hati-hati agar baki itu tak terguncang.“Auntie?” panggilnya lembut, sambil mendekat.Paula tersenyum melihatnya. “Dk? Ada apa, sayang?”“Aku bawakan cookies dan jus untukmu,” jawab Dk sambil meletakkan baki di atas meja kecil di samping tempat tidur.“Kamu nggak perlu repot-repot, sayang,” ujar Paula sambil bangkit. Dia mengambil baki itu, lalu duduk di kursi kecil di dekat meja.Dk, dengan wajah serius, menggeleng pelan. “Aku cuma beli di toko kue dekat sini. Mana bisa itu disebut repot?”Paula tertawa kecil, senyum lembut menghiasi wajahnya. “Kamu selalu bijak, ya. Terima kasih, Dk. Aku akan habiskan semuanya.”“Hm,” sahut Dk singkat, lalu duduk di sofa kecil di sudut
📍Rumah Duka - Tempat Peristirahatan Terakhir -Paula mengunjungi rumah terakhir milik Pak Han, bersama dengan Javeline. Wajahnya terlihat muram dan sedih. Matanya berkaca-kaca menatap kaca pembatas yang di hadapannya terdapat foto berbingkai pak Han. “Pak Han… maaf kalau saya baru bisa mengunjungi bapak saat ini.” Saat itu, dia menunduk. Dia tidak dapat menahan air matanya yang kemudian jatuh ke lantai. Hiks.Hiks.Isak tangisan terdengar jelas ditelinga Javeline yang ikut menangis. “T-terima kasih pak, sudah begitu banyak membantu saya, dalam hal apapun.” Ucap Paula terbata-bata saat dirinya menangis. “Terima kasih juga sudah begitu baik dengan saya, pak Han. Maaf… maaf kalau saya tidak bisa membantu bapak untuk keadilan itu. Maaf kalau saya pun, gak tahu harus bertindak apa ketika pengadilan dan polisi sepakat menutup kasus kecelakaan kita. Maaf pak, maaf sekali lagi. Bapak harus tenang disana. Dan sekali lagi, terima kasih. Saya akan berdoa, untuk renkarnasi bapak akan menj
📍J&T Entertainment“Celine?” Jexon memanggil dengan nada tenang.Celine, yang tengah sibuk memasukkan ponsel ke dalam tasnya, menoleh cepat. “Oh, selamat sore, Pak Jexon.” Ia tersenyum kecil sambil menunduk sedikit, memberi hormat.“Saya baru melihat kamu,” ujar Jexon, langkahnya mendekati Celine.“Itu… selama satu minggu saya ada di Paris, Pak,” jawab Celine sambil membenarkan posisi tas di pundaknya.“Ah, benar!” Jexon menepuk dahinya perlahan, seolah baru mengingat sesuatu. “Saya hampir lupa kalau kamu ada pekerjaan di sana.”Celine tersenyum simpul. “Sepertinya… Pak Jexon sangat sibuk, sampai-sampai tidak mengingat kegiatan talent-nya?” Nada bicaranya terdengar setengah menggoda, namun tetap sopan.“Maaf, maaf, Celine,” ujar Jexon sambil mengangkat kedua tangannya, seperti mengakui kesalahan.Celine tertawa kecil, tatapannya melunak. “Gak apa-apa, Pak Jexon,” katanya ramah.Jexon mengangguk sambil memperhatikan wajah Celine yang tampak lelah. “Kamu mau pulang?”“Iya, Pak. Saya ma
📍Wang’s House - Ruangan Kerja Jexon -Di dalam ruangan kerja, Jexon menghentikan apa yang tengah dia lakukan. Saat itu, terlintas di dalam benaknya, ketika Elisabeth mengatakan kalau; Paula memiliki anak dari hasil hubungan gelap dengan Nicholas, papanya. “Anak?…” ucap Jexon mengetuk-ngetuk pen di atas meja kerja. “Kenapa gak ada berita tentang anaknya. Dimana dia menyembunyikan anak itu? atau… papa membantunya untuk menyembunyikan anak mereka? dan… mungkin aja, anak itu pun, tidak berada di negara ini?”Pertanyaan demi pertanyaan terucap dibibirnya.“Hhhh…” napas yang dia hela terasa begitu berat, saat dia mulai menyenderkan tubuhnya dikursi kerja berbahan kulit itu. Jexon kembali duduk tegak. Dia mengambil kertas yang ada dilaci terkunci di bawah meja kerja. Disitu, dia menatap profil milik Dk; Darex Kendrick. “Atau jangan-jangan, anak ini anak papa dan dia?” Jexon menebak hal itu. “Tapi… usianya sudah 9 Tahun. Kalau begitu, papa dan dia sudah bersama lebih dari 10 Tahun? ya
📍J&T Entertaiment Seminggu lebih setelah keluar dari rumah sakit, Paula menerima panggilan untuk datang ke kantor J&T Entertainment. Ini adalah pertemuan resmi pertamanya dengan Nicholas, presedir yang jarang terlihat kecuali dalam acara besar. Ada sedikit ketegangan yang tak bisa ia abaikan saat ia melangkah masuk ke dalam ruangan luas yang beraroma teh dan kayu cendana.-Ruangan Presedir-Paula duduk perlahan di kursi berlapis kulit di depan meja besar Nicholas. Sebuah cangkir teh hangat sudah disiapkan untuknya. Ia mengangkatnya sebentar, sekadar memanaskan tangannya, lalu meletakkannya kembali di atas meja tanpa menyentuh isinya.Nicholas, yang duduk tegap dengan postur penuh wibawa, memperhatikannya dengan saksama. Sorot matanya tajam, namun kali ini lebih tenang dari biasanya. “Kamu sudah baik-baik saja, Paula?”Paula menegakkan punggungnya, mencoba tersenyum meski terlihat sedikit canggung. “Saya baik-baik saja, Pak Presedir.”Nicholas menautkan kedua tangannya di atas meja.
📍Wang’s House-Ruang Makan-Nicholas memandangi meja makan dengan alis berkerut. Kursi di sebelah kiri di samping Jexon, tempat yang biasa diduduki Rach, kosong.“Di mana Rach?” tanyanya sambil menaruh garpu di piring, nada suaranya terdengar tajam.Elisabeth, yang duduk di seberangnya, melirik sekilas ke arah kursi itu sebelum menjawab. “Dia ada urusan dengan temannya, Irene.”“Urusan apa? Main-main?!” balas Nicholas, nadanya meninggi. Wajahnya mengeras, mencerminkan ketidaksenangan. “Sebentar lagi dia akan menikah. Dia tidak boleh bertingkah sesuka hati di luar.”Elisabeth mendesah pelan, meletakkan gelas di tangannya. “Pa… selama ini juga Rach tidak pernah bertingkah macam-macam,” ujarnya, berusaha meredakan kemarahan suaminya.Jexon, yang duduk di sisi kiri meja, hanya diam. Ia mengunyah makanannya perlahan, seolah tak ingin terlibat dalam percakapan itu.Nicholas melirik Jexon dari sudut matanya, menunggu reaksi. Namun, pria muda itu tetap tenang, fokus pada makan malamnya.“Jex
Pikiran itu berputar liar, tak mau berhenti, seperti badai yang tak kunjung reda. Bayangan kecelakaan-kecelakaan akhir-akhir ini menghantui Jexon, mengisi setiap sudut ruang kosong dalam kepalanya. Ia mencoba merasionalisasi, tapi semakin keras ia berpikir, semakin banyak pertanyaan tanpa jawaban yang muncul.Jexon menatap kosong ke tumpukan dokumen di mejanya, di ruangan kerja yang luas dan sunyi itu. Udara di sekeliling terasa berat, terlalu penuh dengan pikiran yang menggantung. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gejolak di dadanya. Namun pikirannya segera kembali ke sosok Andreas—seseorang yang baru ini mulai masuk dalam kecurigaannya.“Dalang dari semua ini,” gumam Jexon pelan, nada suaranya rendah dan penuh tekanan. Andreas Liu. Nama itu terus berulang di benaknya, menghantui seperti bayangan gelap yang tak mau pergi.Dengan gerakan cepat, Jexon meraih ponselnya di meja. Jari-jarinya menekan layar, mencari nama kontak yang ia butuhkan. Seketika, ia menghubungi Ar
📍Rumah Sakit Kamar rumah sakit itu terasa hangat, meski aroma antiseptik yang khas masih terasa di udara. Rean terbaring di ranjang dengan infus yang terpasang di tangannya. Wajahnya sudah tidak terlihat pucat, tapi senyumnya tak pernah pudar saat melihat Paula masuk membawa sekotak buah dan bunga mawar putih di tangannya. “Rean, gimana kabarnya?” tanya Paula sambil mendekat ke sisi ranjang. Suaranya lembut, penuh perhatian. “Lebih baik, auntie Paula. Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk datang,” jawab Rean, meski suaranya terdengar sedikit lemah. Di sudut ruangan, Dk, terlihat duduk menemani Rean sahabatnya di kamar pasien itu. “Auntie!” panggil Dk beranjak mendekati Paula. Paula tersenyum. “Hai, Dk. Maaf ya, kalau auntie baru sempat jenguk sahabat kamu.” Sambil mengusap kepala bocah itu. Dk mengangguk dengan semangat. “Iya, gpp auntie. Kami berdua, cuma lihat berita ditelevisi.” Paula mengerutkan kening, merasa penasaran. “Oh ya? Apa yang kamu lihat?” “Tent
Berita Eksklusif: Kencan Paula dan Jexon!Hari ini, dunia hiburan digemparkan dengan kabar hangat seputar hubungan romantis antara Paula, model terkenal dari agensi J&T Entertainment, dan Jexon, CEO agensi tersebut. Foto-foto yang diambil secara diam-diam oleh paparazi menunjukkan keduanya berpelukan di rumah sakit, menciptakan spekulasi besar di media.📍J&T Entertainment -Ruang Presdir-“Ini foto yang beredar semalam?” tanya Nicholas, presiden direktur J&T Entertainment, sambil menyelipkan senyum tipis. Matanya menatap tajam pada sebuah foto di tangannya.Albert, asistennya, mengangguk mantap. “Iya, Pak Presdir. Ini diambil oleh seorang wartawan.”Nicholas menghela napas lega, menyandarkan tubuhnya ke kursi kulit di balik meja kerjanya. “Kalau begini, sepertinya mereka sudah menyelesaikan masalah mereka.” Ucapannya terdengar ringan, namun jelas menyiratkan kebahagiaan.****Sebaliknya, suasana di rumah keluarga Wang penuh dengan ketegangan. Elisabeth, ibu Jexon, menatap layar tel
Celine tersentak, tersadar dari lamunannya. Dia melihat punggung Andreas yang semakin jauh di ujung koridor hotel. Dengan tergesa-gesa, dia mengejarnya. Langkah kakinya terdengar berdebum pelan di atas karpet tebal.“Andreas!” serunya, suaranya gemetar.Andreas tetap berjalan tanpa menoleh, namun tubuhnya menegang saat Celine menggenggam pergelangan tangannya. Ia berhenti, tapi tidak langsung berbalik.“Kamu mau ke mana?” tanya Celine, suaranya memohon, hampir putus asa. Matanya yang berkaca-kaca menatap punggung pria itu.Andreas menarik napas panjang sebelum akhirnya berbalik. Wajahnya dingin, matanya tajam seperti pisau. “Mau balik. Saya harus temui Abex dan mencari Serena,” jawabnya dengan nada rendah tapi tegas, seolah tidak ingin ada diskusi lebih lanjut.“J-jangan pergi,” pinta Celine sambil menggenggam tangannya lebih erat. “T-tidak ada yang menemaniku di sini.”Andreas mendengus, tawa pendek yang lebih terdengar seperti ejekan. Dia menatap Celine dengan tatapan sinis. “Tidak
📍J&T Entertainment-Ruangan Presiden Direktur-Elisabeth membuka pintu ruangan dengan gerakan cepat, langkahnya penuh tekad saat memasuki ruang kerja suaminya. Suara hak sepatu yang menghantam lantai terdengar nyaring, mengisi keheningan di ruangan itu. Matanya tajam, seperti ingin menembus setiap rahasia yang tersembunyi di balik wajah tenang Nicholas.Nicholas mendongak dari berkas-berkas di mejanya, lalu bersandar santai di kursi, menatap istrinya dengan sikap tenang. “Ada apa, Elisabeth?” tanyanya dengan suara datar, meski sorot matanya meneliti ekspresi di wajah wanita itu.Elisabeth berdiri tegak di depan meja, kedua tangannya mengepal, menggenggam emosi yang hampir meledak. “Sudah dua hari aku menunggu kamu mengatakannya sendiri,” ucapnya, suaranya tajam. “Tapi sepertinya kamu tidak berniat untuk mengakuinya, Nicholas.”Nicholas menarik napas dalam-dalam. Tanpa berkata apa-apa, dia berdiri perlahan dari kursinya dan berjalan mendekati Elisabeth. Sorot matanya kini serius, ta
Satu minggu berlalu. Suasana rumah terasa sepi, hanya terdengar suara angin yang sesekali menggesek jendela kayu. Clara duduk di sofa kecil yang mulai memudar warnanya, tubuhnya tenggelam dalam keheningan. Matanya menatap kosong ke arah lantai, seolah mencoba mencari sesuatu yang hilang di dalam pikirannya. Langkah-langkah ringan terdengar dari belakang, dan suara Andreas memecah keheningan. “Ce,” panggil Andreas dengan nada ceria. Clara mengangkat wajahnya perlahan, matanya lelah. “Ada apa, Andreas?” tanyanya singkat, tanpa banyak ekspresi. Andreas tersenyum lebar, wajahnya polos dan penuh semangat seperti anak kecil yang baru mendapatkan mainan baru. “Aku berhasil menemukan alamat rumah Jexon,” katanya antusias. “Aku akan ke sana. Aku harus bicara dengannya!” Kata-kata Andreas seperti pisau yang menusuk hati Clara. Ia mencoba mempertahankan senyumnya, meski dalam hatinya ia merasa hancur. Andreas tampak begitu bersemangat, namun kabar tentang Jexon justru membuat Clara semakin
Flashback OnMalam itu, udara dingin menyelimuti kota kecil di China. Clara duduk di ruang tamu sebuah rumah sederhana yang mereka sewa sementara. Perutnya yang besar tampak jelas di balik sweater tebal yang ia kenakan. Andreas berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan sorot mata khawatir yang sulit disembunyikan.“Ce, aku mohon… jangan terlalu memaksakan diri. Kamu harus istirahat.” Andreas berjalan mendekat, suaranya lirih namun penuh tekanan, tangannya terulur seolah ingin menenangkan wanita di hadapannya.Clara mendongak, tatapannya tajam meskipun terlihat lelah. “Aku tidak bisa, Andreas. Kita sudah sampai sejauh ini. Aku akan menemui Jexon dan mengatakan kepadanya, kalau aku sudah menjaga kandungan ini.”Andreas menghela napas panjang, menatap wanita yang kini begitu bertekad. “Tapi cece tidak bisa terus begini, ce. Apa cece pikir Jexon akan langsung berubah hanya karena cece memberitahunya soal anak ini?”“Pasti,” Clara memotong, matanya berkaca-kaca namun penuh keyakinan. “Di
Deringan telepon memecah keheningan dalam kamar mewah yang diterangi cahaya senja dari balik tirai tipis. Andreas mengerjapkan matanya perlahan, mengangkat kepala dari bantal empuk, sementara tangannya yang lain tetap menjadi sandaran untuk kepala Celine. Rambut panjang wanita itu menyebar di atas dadanya, dan tubuh mereka hanya terbungkus selimut putih tebal.Dia meraba-raba meja nakas tanpa banyak gerakan, khawatir membangunkan wanita di sampingnya. Setelah menemukan ponselnya, ia menggeser layar dengan satu gerakan malas.“In calling.”“Hm?” sahut Andreas singkat, suaranya berat, masih diselimuti kantuk.Suara seorang pria terdengar di ujung telepon, tenang tetapi penuh tekanan. “Lampu itu sudah saya kendorkan. Itu jatuh tepat di kepala Paula. Tapi… seseorang mendorongnya. Dia selamat, dan kecelakaan malah menimpa orang lain.”Andreas memijat keningnya, mendengar detail tersebut dengan mata yang kini terbuka lebar. “Tidak masalah,” jawabnya dingin. “Ini lebih dari cukup untuk memb
📍J&T EntertainmentLangkahnya terhenti tepat di depan Paula. Wanita muda itu juga berhenti, pandangan mereka bertemu untuk sesaat sebelum Paula mengalihkan wajahnya ke arah lain.“Jexon, ayo!” Valentine memanggilnya dari kejauhan, suaranya tajam seperti pisau yang memotong udara.“Duluan aja.” Jexon menjawab tanpa menoleh. Nadanya datar, seolah tak ingin diganggu.Valentine menghela napas, wajahnya mulai memerah karena kesal. Tatapannya tajam menyorot Paula, yang tanpa sepatah kata memilih berjalan menjauh ke arah kanan. Namun, Jexon tak membiarkannya pergi begitu saja. Dengan langkah cepat, hampir seperti berlari kecil, dia mengejar Paula.“Paula,” panggilnya seraya meraih pergelangan tangan wanita muda itu. Genggamannya kuat, memastikan Paula tak bisa melangkah lebih jauh.Paula menghentikan langkahnya, tetapi tidak berbalik. Tatapannya tetap lurus ke depan, menghindari Jexon.“Saya mau bicara sama kamu. Ini penting,” ujar Jexon tegas, nada suaranya lebih serius dari biasanya.Per