📍Wang’s House - Ruangan Kerja Jexon -Di dalam ruangan kerja, Jexon menghentikan apa yang tengah dia lakukan. Saat itu, terlintas di dalam benaknya, ketika Elisabeth mengatakan kalau; Paula memiliki anak dari hasil hubungan gelap dengan Nicholas, papanya. “Anak?…” ucap Jexon mengetuk-ngetuk pen di atas meja kerja. “Kenapa gak ada berita tentang anaknya. Dimana dia menyembunyikan anak itu? atau… papa membantunya untuk menyembunyikan anak mereka? dan… mungkin aja, anak itu pun, tidak berada di negara ini?”Pertanyaan demi pertanyaan terucap dibibirnya.“Hhhh…” napas yang dia hela terasa begitu berat, saat dia mulai menyenderkan tubuhnya dikursi kerja berbahan kulit itu. Jexon kembali duduk tegak. Dia mengambil kertas yang ada dilaci terkunci di bawah meja kerja. Disitu, dia menatap profil milik Dk; Darex Kendrick. “Atau jangan-jangan, anak ini anak papa dan dia?” Jexon menebak hal itu. “Tapi… usianya sudah 9 Tahun. Kalau begitu, papa dan dia sudah bersama lebih dari 10 Tahun? ya
📍J&T Entertaiment Seminggu lebih setelah keluar dari rumah sakit, Paula menerima panggilan untuk datang ke kantor J&T Entertainment. Ini adalah pertemuan resmi pertamanya dengan Nicholas, presedir yang jarang terlihat kecuali dalam acara besar. Ada sedikit ketegangan yang tak bisa ia abaikan saat ia melangkah masuk ke dalam ruangan luas yang beraroma teh dan kayu cendana.-Ruangan Presedir-Paula duduk perlahan di kursi berlapis kulit di depan meja besar Nicholas. Sebuah cangkir teh hangat sudah disiapkan untuknya. Ia mengangkatnya sebentar, sekadar memanaskan tangannya, lalu meletakkannya kembali di atas meja tanpa menyentuh isinya.Nicholas, yang duduk tegap dengan postur penuh wibawa, memperhatikannya dengan saksama. Sorot matanya tajam, namun kali ini lebih tenang dari biasanya. “Kamu sudah baik-baik saja, Paula?”Paula menegakkan punggungnya, mencoba tersenyum meski terlihat sedikit canggung. “Saya baik-baik saja, Pak Presedir.”Nicholas menautkan kedua tangannya di atas meja.
📍Wang’s House-Ruang Makan-Nicholas memandangi meja makan dengan alis berkerut. Kursi di sebelah kiri di samping Jexon, tempat yang biasa diduduki Rach, kosong.“Di mana Rach?” tanyanya sambil menaruh garpu di piring, nada suaranya terdengar tajam.Elisabeth, yang duduk di seberangnya, melirik sekilas ke arah kursi itu sebelum menjawab. “Dia ada urusan dengan temannya, Irene.”“Urusan apa? Main-main?!” balas Nicholas, nadanya meninggi. Wajahnya mengeras, mencerminkan ketidaksenangan. “Sebentar lagi dia akan menikah. Dia tidak boleh bertingkah sesuka hati di luar.”Elisabeth mendesah pelan, meletakkan gelas di tangannya. “Pa… selama ini juga Rach tidak pernah bertingkah macam-macam,” ujarnya, berusaha meredakan kemarahan suaminya.Jexon, yang duduk di sisi kiri meja, hanya diam. Ia mengunyah makanannya perlahan, seolah tak ingin terlibat dalam percakapan itu.Nicholas melirik Jexon dari sudut matanya, menunggu reaksi. Namun, pria muda itu tetap tenang, fokus pada makan malamnya.“Jex
📍Hotel -Dalam Kamar-Akhir pekan tiba. Paula duduk di depan meja rias di kamar hotel yang mewah namun sederhana. Cermin besar di depannya memantulkan bayangan wajahnya yang tengah dirias oleh seorang make-up artist. Hari ini, ia akan menghadiri undangan spesial dari brand ternama Y*l di kota itu.Seseorang mengetuk pintu kamar pelan.“Paula, ini makan siang kamu,” ujar Javeline sambil melangkah masuk dengan sebuah box lunch di tangannya. Ia meletakkannya di meja kecil di dekat Paula.Paula melirik sekilas melalui pantulan cermin. “Thanks, Ce,” jawabnya singkat dengan senyum tipis, lalu kembali fokus pada proses riasannya.Javeline melipat tangannya di depan dada, memandang Paula dengan perhatian. “Kamu yakin cukup makan ini aja?” tanyanya dengan nada khawatir, menatap box lunch yang berisi potongan sayuran segar dengan saus mayones di atasnya.Paula menghela napas ringan, menoleh sedikit. “Udah cukup, Ce. Aku lagi jaga berat badan,” balas Paula sambil menyesuaikan posisi duduknya,
📍Hotel-Ballroom Runway-Penampilannya terlihat sangat elegan dan berkelas. Ia mengenakan busana serba hitam dengan desain modis, dihiasi bulu-bulu pada bagian lengan dan roknya, menciptakan kesan glamor. Kaki yang dihiasi dengan stoking hitam tipis dan sepatu hak tinggi mengilap menambah kesan feminin dan stylish. Rambutnya ditata bergelombang, memberi sentuhan klasik, sementara riasan wajahnya terlihat bold dan menonjolkan fitur wajah.****Paula melangkah dengan anggun, gaun hitamnya yang elegan di bawah cahaya lampu kristal yang menghiasi ballroom. Sepatu hak tinggi yang ia kenakan berbunyi halus saat menyentuh lantai marmer, menambah keanggunannya.Paula berhenti di depan tangga spiral besar, memandang sekilas ke bawah. Ballroom itu dipenuhi para selebritis, model, idol, dan tamu eksklusif lainnya. Dia menarik napas dalam, lalu mulai menuruni tangga dengan langkah percaya diri.“Malam ini harus sempurna. Semua mata tertuju pada fashion show ini. Jangan lupa senyum, Paula.” Ucap
Pertunjukan fashion show sedang berlangsung megah, lampu-lampu sorot menerangi panggung dan para model yang berjalan anggun. Namun, di tengah kemegahan itu, salah satu staf tiba-tiba menyadari sesuatu yang tidak beres. Kabel listrik di dekat kursi penonton di depan terlihat mengeluarkan percikan kecil. Dengan sigap, dia segera mematikan aliran listrik sebelum insiden yang lebih buruk terjadi.Staf tersebut berpandangan dengan Paula, salah satu model dari agensi terkenal, yang meskipun tampak tenang, jelas memperlihatkan wajah panik. Dia terkunci dengan tubuh yang tegang dan kaku. Setelah acara selesai, beberapa anggota tim, termasuk sang desainer, segera menghampiri Paula.“Nona Paula, Anda baik-baik saja?” tanya sang desainer dengan nada penuh kekhawatiran.Paula menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. “Saya baik-baik saja, Madam,” jawabnya dengan suara tenang, meskipun wajahnya masih terlihat pucat.Namun, suasana di kursi penonton berubah menjadi tegang. Kepala staf p
📍J&T Entertainment - Lobby Perusahaan -Setelah selesai makan siang bersama suaminya, Nicholas, Elisabeth menuruni tangga menuju lobby. Langkahnya terhenti seketika saat matanya menangkap sosok Paula yang baru saja memasuki pintu utama. Paula tampak anggun seperti biasa, namun Elisabeth bisa melihat ketegangan di wajah wanita itu. Tas jinjing yang dipegangnya terlihat lebih erat dari biasanya. Elisabeth berdiri di tempatnya, mencoba menenangkan emosi yang mendadak menyeruak. Ia menahan diri untuk tidak mendekati Paula.Sebelum Elisabeth bisa mengambil keputusan untuk bergerak, suara ceria menyapanya dari arah belakang.Valentine tersenyum sambil melambaikan tangan. “Tante Elisabeth! Apa kabar? Sudah selesai makan siang?”Elisabeth berbalik, memaksakan senyum kecil. “Oh, hai, Valentine. Ya, tante baru saja selesai. Kamu sendiri?”“Baru aja balik. Tante, mau ngopi di kafe? Saya punya waktu sebentar sebelum meeting.”Elisabeth menatap Paula sekali lagi yang kini tengah berbincang de
📍RestaurantMalam ini, Paula akhirnya duduk berdua bersama Dante untuk makan malam. Restoran itu dipenuhi suasana hangat dan tenang, dengan alunan musik lembut yang menyatu sempurna dengan atmosfer elegan. Dante terlihat puas ketika Paula tidak menolak ajakannya kali ini.“Bagaimana pekerjaanmu, Paula?” tanya Dante sambil menyesap segelas anggur, matanya memperhatikan Paula dengan penuh perhatian.Paula tersenyum tipis dan meletakkan sendoknya. “Sejauh ini baik dan lancar, gege.”Dante mengangguk kecil. “Syukurlah kalau begitu,” katanya dengan nada hangat. “Kalau gege sendiri, bagaimana? Paula bertanya balik. Dante pun mengangguk pelan, menatao Paula. “Semuanya juga berjalan lancar.”Perlahan, suasana itu sedikit hening. Tapi kemudian, Dante membuka pembahasan baru. “Bagaimana dengan Dk? Apakah ada masalah di sekolahnya?” tanya Dante dengan nada penasaran dan hati-hati.Paula menyandarkan tubuhnya ke kursi, wajahnya terlihat tenang. “Wali kelasnya atau guru belum ada yang menghubu
Pikiran itu berputar liar, tak mau berhenti, seperti badai yang tak kunjung reda. Bayangan kecelakaan-kecelakaan akhir-akhir ini menghantui Jexon, mengisi setiap sudut ruang kosong dalam kepalanya. Ia mencoba merasionalisasi, tapi semakin keras ia berpikir, semakin banyak pertanyaan tanpa jawaban yang muncul.Jexon menatap kosong ke tumpukan dokumen di mejanya, di ruangan kerja yang luas dan sunyi itu. Udara di sekeliling terasa berat, terlalu penuh dengan pikiran yang menggantung. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gejolak di dadanya. Namun pikirannya segera kembali ke sosok Andreas—seseorang yang baru ini mulai masuk dalam kecurigaannya.“Dalang dari semua ini,” gumam Jexon pelan, nada suaranya rendah dan penuh tekanan. Andreas Liu. Nama itu terus berulang di benaknya, menghantui seperti bayangan gelap yang tak mau pergi.Dengan gerakan cepat, Jexon meraih ponselnya di meja. Jari-jarinya menekan layar, mencari nama kontak yang ia butuhkan. Seketika, ia menghubungi Ar
📍Rumah Sakit Kamar rumah sakit itu terasa hangat, meski aroma antiseptik yang khas masih terasa di udara. Rean terbaring di ranjang dengan infus yang terpasang di tangannya. Wajahnya sudah tidak terlihat pucat, tapi senyumnya tak pernah pudar saat melihat Paula masuk membawa sekotak buah dan bunga mawar putih di tangannya. “Rean, gimana kabarnya?” tanya Paula sambil mendekat ke sisi ranjang. Suaranya lembut, penuh perhatian. “Lebih baik, auntie Paula. Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk datang,” jawab Rean, meski suaranya terdengar sedikit lemah. Di sudut ruangan, Dk, terlihat duduk menemani Rean sahabatnya di kamar pasien itu. “Auntie!” panggil Dk beranjak mendekati Paula. Paula tersenyum. “Hai, Dk. Maaf ya, kalau auntie baru sempat jenguk sahabat kamu.” Sambil mengusap kepala bocah itu. Dk mengangguk dengan semangat. “Iya, gpp auntie. Kami berdua, cuma lihat berita ditelevisi.” Paula mengerutkan kening, merasa penasaran. “Oh ya? Apa yang kamu lihat?” “Tent
Berita Eksklusif: Kencan Paula dan Jexon!Hari ini, dunia hiburan digemparkan dengan kabar hangat seputar hubungan romantis antara Paula, model terkenal dari agensi J&T Entertainment, dan Jexon, CEO agensi tersebut. Foto-foto yang diambil secara diam-diam oleh paparazi menunjukkan keduanya berpelukan di rumah sakit, menciptakan spekulasi besar di media.📍J&T Entertainment -Ruang Presdir-“Ini foto yang beredar semalam?” tanya Nicholas, presiden direktur J&T Entertainment, sambil menyelipkan senyum tipis. Matanya menatap tajam pada sebuah foto di tangannya.Albert, asistennya, mengangguk mantap. “Iya, Pak Presdir. Ini diambil oleh seorang wartawan.”Nicholas menghela napas lega, menyandarkan tubuhnya ke kursi kulit di balik meja kerjanya. “Kalau begini, sepertinya mereka sudah menyelesaikan masalah mereka.” Ucapannya terdengar ringan, namun jelas menyiratkan kebahagiaan.****Sebaliknya, suasana di rumah keluarga Wang penuh dengan ketegangan. Elisabeth, ibu Jexon, menatap layar tel
Celine tersentak, tersadar dari lamunannya. Dia melihat punggung Andreas yang semakin jauh di ujung koridor hotel. Dengan tergesa-gesa, dia mengejarnya. Langkah kakinya terdengar berdebum pelan di atas karpet tebal.“Andreas!” serunya, suaranya gemetar.Andreas tetap berjalan tanpa menoleh, namun tubuhnya menegang saat Celine menggenggam pergelangan tangannya. Ia berhenti, tapi tidak langsung berbalik.“Kamu mau ke mana?” tanya Celine, suaranya memohon, hampir putus asa. Matanya yang berkaca-kaca menatap punggung pria itu.Andreas menarik napas panjang sebelum akhirnya berbalik. Wajahnya dingin, matanya tajam seperti pisau. “Mau balik. Saya harus temui Abex dan mencari Serena,” jawabnya dengan nada rendah tapi tegas, seolah tidak ingin ada diskusi lebih lanjut.“J-jangan pergi,” pinta Celine sambil menggenggam tangannya lebih erat. “T-tidak ada yang menemaniku di sini.”Andreas mendengus, tawa pendek yang lebih terdengar seperti ejekan. Dia menatap Celine dengan tatapan sinis. “Tidak
📍J&T Entertainment-Ruangan Presiden Direktur-Elisabeth membuka pintu ruangan dengan gerakan cepat, langkahnya penuh tekad saat memasuki ruang kerja suaminya. Suara hak sepatu yang menghantam lantai terdengar nyaring, mengisi keheningan di ruangan itu. Matanya tajam, seperti ingin menembus setiap rahasia yang tersembunyi di balik wajah tenang Nicholas.Nicholas mendongak dari berkas-berkas di mejanya, lalu bersandar santai di kursi, menatap istrinya dengan sikap tenang. “Ada apa, Elisabeth?” tanyanya dengan suara datar, meski sorot matanya meneliti ekspresi di wajah wanita itu.Elisabeth berdiri tegak di depan meja, kedua tangannya mengepal, menggenggam emosi yang hampir meledak. “Sudah dua hari aku menunggu kamu mengatakannya sendiri,” ucapnya, suaranya tajam. “Tapi sepertinya kamu tidak berniat untuk mengakuinya, Nicholas.”Nicholas menarik napas dalam-dalam. Tanpa berkata apa-apa, dia berdiri perlahan dari kursinya dan berjalan mendekati Elisabeth. Sorot matanya kini serius, ta
Satu minggu berlalu. Suasana rumah terasa sepi, hanya terdengar suara angin yang sesekali menggesek jendela kayu. Clara duduk di sofa kecil yang mulai memudar warnanya, tubuhnya tenggelam dalam keheningan. Matanya menatap kosong ke arah lantai, seolah mencoba mencari sesuatu yang hilang di dalam pikirannya. Langkah-langkah ringan terdengar dari belakang, dan suara Andreas memecah keheningan. “Ce,” panggil Andreas dengan nada ceria. Clara mengangkat wajahnya perlahan, matanya lelah. “Ada apa, Andreas?” tanyanya singkat, tanpa banyak ekspresi. Andreas tersenyum lebar, wajahnya polos dan penuh semangat seperti anak kecil yang baru mendapatkan mainan baru. “Aku berhasil menemukan alamat rumah Jexon,” katanya antusias. “Aku akan ke sana. Aku harus bicara dengannya!” Kata-kata Andreas seperti pisau yang menusuk hati Clara. Ia mencoba mempertahankan senyumnya, meski dalam hatinya ia merasa hancur. Andreas tampak begitu bersemangat, namun kabar tentang Jexon justru membuat Clara semakin
Flashback OnMalam itu, udara dingin menyelimuti kota kecil di China. Clara duduk di ruang tamu sebuah rumah sederhana yang mereka sewa sementara. Perutnya yang besar tampak jelas di balik sweater tebal yang ia kenakan. Andreas berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan sorot mata khawatir yang sulit disembunyikan.“Ce, aku mohon… jangan terlalu memaksakan diri. Kamu harus istirahat.” Andreas berjalan mendekat, suaranya lirih namun penuh tekanan, tangannya terulur seolah ingin menenangkan wanita di hadapannya.Clara mendongak, tatapannya tajam meskipun terlihat lelah. “Aku tidak bisa, Andreas. Kita sudah sampai sejauh ini. Aku akan menemui Jexon dan mengatakan kepadanya, kalau aku sudah menjaga kandungan ini.”Andreas menghela napas panjang, menatap wanita yang kini begitu bertekad. “Tapi cece tidak bisa terus begini, ce. Apa cece pikir Jexon akan langsung berubah hanya karena cece memberitahunya soal anak ini?”“Pasti,” Clara memotong, matanya berkaca-kaca namun penuh keyakinan. “Di
Deringan telepon memecah keheningan dalam kamar mewah yang diterangi cahaya senja dari balik tirai tipis. Andreas mengerjapkan matanya perlahan, mengangkat kepala dari bantal empuk, sementara tangannya yang lain tetap menjadi sandaran untuk kepala Celine. Rambut panjang wanita itu menyebar di atas dadanya, dan tubuh mereka hanya terbungkus selimut putih tebal.Dia meraba-raba meja nakas tanpa banyak gerakan, khawatir membangunkan wanita di sampingnya. Setelah menemukan ponselnya, ia menggeser layar dengan satu gerakan malas.“In calling.”“Hm?” sahut Andreas singkat, suaranya berat, masih diselimuti kantuk.Suara seorang pria terdengar di ujung telepon, tenang tetapi penuh tekanan. “Lampu itu sudah saya kendorkan. Itu jatuh tepat di kepala Paula. Tapi… seseorang mendorongnya. Dia selamat, dan kecelakaan malah menimpa orang lain.”Andreas memijat keningnya, mendengar detail tersebut dengan mata yang kini terbuka lebar. “Tidak masalah,” jawabnya dingin. “Ini lebih dari cukup untuk memb
📍J&T EntertainmentLangkahnya terhenti tepat di depan Paula. Wanita muda itu juga berhenti, pandangan mereka bertemu untuk sesaat sebelum Paula mengalihkan wajahnya ke arah lain.“Jexon, ayo!” Valentine memanggilnya dari kejauhan, suaranya tajam seperti pisau yang memotong udara.“Duluan aja.” Jexon menjawab tanpa menoleh. Nadanya datar, seolah tak ingin diganggu.Valentine menghela napas, wajahnya mulai memerah karena kesal. Tatapannya tajam menyorot Paula, yang tanpa sepatah kata memilih berjalan menjauh ke arah kanan. Namun, Jexon tak membiarkannya pergi begitu saja. Dengan langkah cepat, hampir seperti berlari kecil, dia mengejar Paula.“Paula,” panggilnya seraya meraih pergelangan tangan wanita muda itu. Genggamannya kuat, memastikan Paula tak bisa melangkah lebih jauh.Paula menghentikan langkahnya, tetapi tidak berbalik. Tatapannya tetap lurus ke depan, menghindari Jexon.“Saya mau bicara sama kamu. Ini penting,” ujar Jexon tegas, nada suaranya lebih serius dari biasanya.Per