Home / Romansa / Memar Termanis / 03. Balasan Untukmu

Share

03. Balasan Untukmu

Author: Mira Lee
last update Last Updated: 2024-10-31 19:36:00

Suara ambulance terdengar tepat di ujung luar gedung rumah sakit. Beberapa perawat terlihat mendorong ranjang pasien dan membawanya ke unit gawat darurat (UGD) berselang beberapa menit Dante yang tiba langsung mencari-cari keberadaan orang yang dia kenal dan akhirnya, dia menemui Javeline yang terlihat memiliki luka ringan dibandingkan Paula dan pak Han supir mereka berdua.

“Javeline?” panggil Dante, saat melihat Javeline dengan napas yang tersengal-sengal.

“Oh, gege kamu disini.” Ucap Javeline yang terbaring dengan beberapa luka diwajahnya.

Sejenak, Dante menatap wajah Javeline yang terluka. Dia bahkan memperhatikan infus yang mengalir dengan selang berwarna bening.

Dimana napas itu dia hela perlahan, dan mencoba untuk berancang-ancang dengan pertanyaan selanjutnya.

“Dimana Paula?” Tanya Dante dengan cemasnya.

“Dia masih diruangan ICU.” Javeline menjawab dengan suara yang terdengar begitu lemas.

“I-ICU?” lagi, dengan nada terbata-bata.

Javeline mengangguk pelan, dia mengatakan dengan cemas, “i-iya, dia dan pak Han berada di ruangan ICU.” Dimana mata itu, mulai terlihat berkaca-kaca.

Javeline merasa sedih dimana mereka pada akhirnya menunggu kabar dari dokter yang menangani Paula mau pun pak Han supir mereka.

Namun saat itu, ruangan ICU yang tidak jauh dari UGD terdengar jelas alarm gawat darurat dan membuat Dante begitu pun Javeline semakin resah.

“Ada apa suster?” Tanya suster lain yang terdengar jelas ditelinga Dante, yang berdiri tepat di samping ranjang pasien Javeline.

“Satu pasien kecelakaan mengalami pendarahan hebat dan dia sedang kritis.” Jawab suster lain, dengan jelas.

DEG! tentu saja, setelah mendengar ucapan itu, jantung Javeline berdegup semakin cepat.

**

📍Wang's House

Malam itu, suasana di ruang keluarga rumah keluarga Wang terasa hening dan tegang. Elisabeth duduk di sofa besar, matanya tertuju serius pada layar televisi, memperhatikan siaran berita tentang kecelakaan yang menimpa Paula, seorang model yang baru saja menandatangani kontrak dengan J&T Entertainment.

Reporter di televisi menjelaskan kronologi peristiwa kecelakaan tersebut dengan detail, memberikan update terbaru.

Reporter : “Permirsa, sampai hari ini kami belum mendengar kabar dari model yang dikabarkan menandatangani kontrak kerjasama dengan J&T Entertainment. Kabarnya, setelah tanda tangan kontrak selesai, Paula yang diduga menjadi korban kecelakaan akan melakukan perjalanan menuju Chongqing untuk pekerjaannya. Namun nahas, mobil yang ditumpanginya mengalami kecelakaan yang melibatkan dia, manajernya, serta pengemudi mereka.”

Suara berita itu mengisi kesunyian ruangan, sementara Elisabeth tak sadar betapa seriusnya ekspresi wajahnya. Tiba-tiba, sebuah suara serak dan berat terdengar di belakangnya, menarik perhatiannya.

Jexon yang baru saja tiba di rumah, beranjak naik ke lantai atas dan berdiri tepat di belakang sofa yang diduduki Elisabeth sendirian.

Dengan tenangnya, ketika dia membuka kancing dipergelangan tangan kemeja. “Terlihat sangat serius?”

Elisabeth, membalikkan badan, terkejut “Jexon? Kamu sudah pulang?”

Jexon, mengangguk pelan “Hm, iya, Mama.” Jawabnya singkat.

Elisabeth yang langsung menatapnya cemas, langsung bertanya. “Apa yang terjadi dengannya, Nak?”

Jexon tak menjawab langsung, hanya diam dengan tatapan tajam yang tak memberikan banyak penjelasan. Elisabeth mulai merasa ada sesuatu yang tak beres, dan ekspresi wajah Jexon membuatnya mulai memahami apa yang sebenarnya terjadi.

Elisabeth berbicara dengan nada suara mulai terdengar ragu “J-jangan bilang kalau…?”

Dan Jexon, yang menatap ibunya dingin “Ya, itu satu peringatan untuknya, secara tidak langsung.”

Elisabeth langsung terkejut dengan mata yang membelalak, suara bergetar, khawatir “J-Jexon, ini sangat berbahaya, Nak. Bagaimana bisa kamu melakukan semua ini?” mengamati sekeliling, memastikan tak ada yang mendengar “Bagaimana kalau Papa kamu mengetahui hal ini?” nadanya nyari tak terdengar keras.

“Jangan sampai Papa tahu, Ma. Tapi kalau pada akhirnya Papa mengetahui, Jexon akan menjelaskan ketidaksukaan Jexon pada perempuan itu.” Jawab Jexon dengan nada yang justru terdengar santai dan tenang.

Wajah Elisabeth penuh dengan kecemasan, tak percaya bahwa putranya bisa mengambil tindakan yang begitu berisiko. Ia tahu bahwa sikap Jexon kadang bisa keras, tapi tidak pernah menyangka dia akan sejauh ini.

Elisabeth menahan napasnya sejenak, suara cemas kembali terdengar “J-Jexon, bagaimana kalau dia mati? Kasus ini pasti akan diselidiki polisi, Nak.”

Masih, dia masih bersikap tenang menjelaskan pada Elisabeth. “Mama tenang saja, Jexon sudah menyelesaikannya sebelum polisi turun untuk memeriksa semuanya.”

Tetap saja, wajah itu gelisah “T-tapi, Nak, Mama sangat khawatir.”

Jexon mencoba untuk meyakinkan Elisabeth. “Jangan khawatir, Ma. Percaya pada Jexon. Mama tidak akan terlibat.”

Mata itu tertunduk, Elisabeth menggenggam tangan Jexon, suara bergetar “Ini bukan soal Mama terlibat atau tidak, Jexon. Ini tentang kamu.”

Dengan nada yang kenbali tenang dan dingin “Sudah, Jexon bilang, Mama gak perlu khawatir ya. Semua akan baik-baik saja.”

Meskipun Jexon berusaha menenangkannya, kecemasan tetap membayangi Elisabeth. Ia tahu betul betapa rumitnya situasi ini. Jexon tidak menyadari risiko besar yang ia ambil, dan Elisabeth bisa merasakan ketakutan dalam dirinya.

Jika tindakan ini diketahui, ia tahu Jexon bisa ditangkap atas tuduhan pembunuhan berencana—sebuah rencana yang tampaknya sudah disusun sejak ia tahu Paula akan mengunjungi kantor Nicholas.

Elisabeth menatap putranya dengan kekhawatiran yang mendalam, berdoa dalam hatinya agar segalanya tidak berujung tragis.

**

📍Hotel

Malam itu di ruang kerja hotel tempat Nicholas menginap, suasana terasa berat dan hening. Nicholas duduk di kursi kerjanya, tampak cemas dan gelisah. Sinar lampu ruangan memantulkan bayangan wajahnya yang serius dan berkerut.

Dia tak bisa tenang sejak mendengar kabar kecelakaan yang menimpa Paula. Meskipun saat ini dia berada di luar kota untuk pertemuan bisnis penting yang tak mungkin dibatalkan, pikirannya terus tertuju pada kondisi Paula.

“Bagaimana, sudah dapat kabar?” Tatapannya tajam pada sekretaris yang berdiri di hadapannya.

Sekretarisnya yang berdiri, menggeleng pelan “Belum, Pak Presedir. Javeline juga tidak bisa dihubungi untuk saat ini.”

Nicholas menghela napas panjang, menekan rasa frustrasi yang semakin membebani dirinya. Setiap kali ia mencoba menelepon untuk mencari informasi lebih lanjut, yang ia dapatkan hanyalah ketidakpastian. Kecemasan itu perlahan menguasai hatinya, membayangkan kondisi Paula yang belum juga diketahui.

Nicholas berbisik, lebih kepada dirinya sendiri “Bagaimana mungkin ini bisa terjadi…” dengan wajah yang kebingungan.

Sekretaris menatap Nicholas dengan simpati, menyadari satu beban yang sedang dipikulnya. Sekilas, Nicholas terlihat mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Lampu-lampu kota yang berkelap-kelip terasa hampa baginya malam itu, mengingat orang yang tengah ia khawatirkan berada dalam kondisi yang tak menentu.

“Mungkin akan ada kabar lebih jelas dalam beberapa jam ke depan, Pak. Saya akan terus mencoba menghubungi Javeline dan mencari informasi dari pihak rumah sakit.” Ucap sekretarisnya yang masih setia berdiri di belakang Nicholas.

Nicholas mengangguk pelan, berusaha tenang “Baik… Terima kasih. Teruskan upayamu, beri kabar secepatnya jika ada perkembangan.” Ucapnya tanpa berbalik arah.

Setelah sekretaris meninggalkan ruangan, Nicholas beranjak duduk di kursinya, memandang kosong pada dokumen-dokumen di atas meja. Dalam diamnya, Nicholas merasa dirinya tak berdaya. Biasanya, ia adalah sosok yang tegas dan sigap dalam menghadapi situasi sulit, tetapi kali ini, jarak dan waktu membuatnya tak bisa melakukan apa-apa.

Nicholas pun berbisik pelan “Paula… bertahanlah…”

Bayangan wajah Paula yang selalu penuh percaya diri terlintas dibenaknya. Malam itu terasa sangat panjang bagi Nicholas, yang hanya bisa berharap dan berdoa bahwa semua akan baik-baik saja.

Dan kembali disisi Jexon yang menghubungi seseorang yang bertanggung jawab dalam kasus kecelakan yang menimpah Paula sore tadi.

“Saya sudah membereskan semua hal yang pak Jexon perintahkan.” Ucap seorang pria di ujung sana.

“Saya sudah transfer uang kerekening anda dengan rekening yang berbeda.” Jawab Jexon dengan tenang.

“Baik pak, saya sudah menerima notifikasi penerimaan uang yang bapak berikan.” Tegas seseorang itu menerima hal yang diberikan Jexon.

Sejenak, dia meneguk wine. Tatapan itu terlihat dingin dan tajam ke arah luar jendela kamarnya. Dimana, malam yang semakin larut, udara yang begitu dingin setelah hujan berhenti.

“Semuanya sesuai dengan jumlah yang saya katakan sejak awal.” Jawab Jexon kembali setelah meletakan gelas berisi wine merah.

“Iya pak dan saya izin untuk pergi dari kota ini.” Pria di ujung sana, mengatakan kalau dia akan pergi.

“Iya, hapus semuanya.” Permintaan itu, terdengar sudah direncanakan Jexon dengan begitu rapi.

Rencana yang dia buat berhasil 100%, dimana kemenangan ada pada dirinya. Dia melakukan hal itu semata-mata tidak ingin melihat ibunya menangis dan tersiksa atas ulah ayahnya sendiri. Iya, pikirnya pula menjodohkan Rachquela adik perempuannya adalah salah satu alasan untuk menutupi niat busuk.

Dimana perselingkuhan itu sangat dibenci Jexon dan mengapa harus terjadi di dalam keluarganya yang padahal sudah jelas, kalau mereka tidak kekurangan apapun bahkan kasih sayang diantara semuanya. Namun semuanya terlihat palsu di dalam.

**

📍Rumah Sakit

- Ruang Gawat Darurat -

Suasana di ruang gawat darurat menjadi semakin tegang. Seorang pasien kecelakaan dengan kondisi kritis sedang berjuang untuk tetap hidup, dan para tim medis melakukan segala cara untuk menyelamatkannya. Monitor detak jantung berdetak pelan, memberikan isyarat bahwa waktu semakin terbatas.

Dokter dengan nada tegas dan cepat “Suster, siapkan defibrilator sekarang juga!”

Suster segera bergegas mengambil defibrilator, sementara dokter mulai melakukan CPR dengan ritme cepat, menekan dada pasien dengan intensitas yang semakin meningkat.

Suster lain menyiapkan alat bantu pernapasan ambu bag, memompa udara ke paru-paru pasien yang napasnya semakin lemah. Semua bekerja dalam diam yang penuh ketegangan, fokus untuk menjaga denyut nadi pasien tetap bertahan.

Suster yang datang membawa defibrilator “Dokter, ini defibrilatornya.”

Dimana dokter menghentikan sejenak CPR dan meraih defibrilator “Atur ke 20 joule. Cepat!”

Suster segera mengatur daya defibrilator sesuai instruksi, sementara suster lain mengoleskan gel pada permukaan defibrilator agar dapat menghantarkan energi dengan baik ke tubuh pasien.

Dokter kembali bersiap untuk mengejutkan jantung pasien “Siap? Clear!” Lalu, ia menekan tombol pengejut listrik.

DUUUKKK! Suara hentakan kuat terdengar ketika defibrilator bekerja, tubuh pasien tersentak naik sedikit dari ranjang. Namun, monitor detak jantung masih menunjukkan ritme yang lemah.

Dokter pun melihat monitor, masih tegang “Naikkan ke 30 joule, cepat!” ucapnya meminta pada suster dengan wajah yang panik.

“Baik, Dokter.” Suster dengan cepat mengatur alat defibrilator ke tingkat energi yang lebih tinggi.

Dokter yang kembali memberikan instruksi keras sambil berkeringat “Clear!”

Defibrilator kembali bekerja, kali ini dengan daya yang lebih besar. Tubuh pasien kembali tersentak, namun sinyal di monitor masih belum menunjukkan peningkatan signifikan.

Dokter terus berusaha menahan kegelisahan, memandang suster “Lagi! Naikkan ke 40 joule!”

Suster pun ikut meningkatkan daya sesuai permintaan dokter, wajahnya tegang dan penuh kekhawatiran “Sudah siap, Dokter.”

Dengan suara tegas, sedikit gemetar dokter pun terus berupaya. “Clear!”

Kali ini, ruangan ber-AC tak cukup menahan keringat yang menetes di wajah dokter dan para tim medis lainnya. Defibrilator kembali ditempelkan ke dada pasien dan… DUUK! Tubuh pasien kembali tersentak. Mereka semua menahan napas, memandang monitor dengan harapan lebih.

**

“Gege, kenapa dokter belum juga keluar dari ruangan.” Javeline terlihat begitu resah saat dokter belum juga keluar dari ruangan ICU.

“Kita berdoa saja Javeline, semoga semuanya baik-baik saja.” Padahal Dante pun terlihat cemas dan gelisah, tetapi dia berusaha tenang di samping Javeline yang menangis sejak tadi.

“Aku takut, Dante gege.” Ucapnya dengan nada yang kembali bergetar menangis.

“Semua akan baik-baik saja Javeline.” Dimana Dante mencoba terus meyakinkan Javeline.

Dan saat itu juga Javeline menunduk menutup wajahnya dengan kedua tangan, menangis ketika dokter belum juga keluar dari ruangan itu.

Hiks.

Hiks.

Hiks.

Tetapi, yang terjadi…

“Tanggal 30 oktober 20xx, pada pukul 21.31pm pasien dinyatakan meninggal.” Ucap dokter saat melihat pasien kecelakaan itu tidak mampu dia selamatkan karena penghentian jantung secara mendadak.

Related chapters

  • Memar Termanis   04. Kabar Duka

    📍 Rumah Sakit - Kamar Pasien -Di dalam kamar rumah sakit yang hening, hanya suara mesin dan detak jantung yang terdengar, Paula perlahan membuka matanya setelah dua hari terbaring koma akibat kecelakaan. Cahaya lampu kamar yang lembut menembus tirai, dan ruangan terasa tenang.Di samping tempat tidur, Javeline duduk dengan wajah cemas, menatap layar ponselnya. Namun, ketika ia mendengar suara nafas Paula yang lebih teratur, ia terkejut melihat mata Paula perlahan terbuka.Javeline, melihat Paula yang mulai membuka mata, dengan suara terkejut “Paula! Kamu sudah sadar?”Javeline hampir tidak percaya, dengan cepat ia bangkit dari kursinya dan berlari menuju pintu kamar untuk memanggil dokter. Wajahnya yang semula cemas kini berubah menjadi harapan.Javeline pun menoleh sambil berlari keluar ruangan “Tunggu, aku panggil dokter dulu!”Javeline segera keluar ruangan, berlari cepat menuju meja resepsionis untuk memberitahukan perawat. Beberapa detik kemudian, dia kembali dengan dokter ya

    Last Updated : 2024-10-31
  • Memar Termanis   05. Dan Sebuah Kepalsuan

    Malam itu, seperti biasa Jexon terjaga dari tidurnya. Dia masih terduduk dikursi kerja dengan penampilan casualnya. Matanya terlihat tajam dengan raut wajah serius ketika dia memikirkan semua hal yang terjadi beberapa hari ini. Dia mencoba tenang setelah membunuh seseorang secara tidak langsung atau… dimana dia terlibat sebagai perencanaan pembunuhan. “Hhhh…” napas yang dia hela, terlihat begitu berat setelah mengusap-usap wajahnya. Dan dia meyakinkan di dalam hatinya, semata-mata yang dia lakukan hanya untuk mamanya dan melindungi keluarganya. Terlepas itu benar atau salah, dia sudah tidak memperdulikan hal itu. “Tapi… berpura-pura justru melelahkan. Dan itu, harus aku lakukan disetiap harinya. Mungkin, menarik niat untuk memberikan pelajaran secara berat agar polisi pun gak semakin curiga dengan hal ini.” Ucap Jexon tenang, menatap lekat jam pasir yang ada di atas meja kerja miliknya. **Dia adalah Dominic Jexon Wang, 32 Tahun; seorang pria yang memiliki kharisma kuat dengan

    Last Updated : 2024-10-31
  • Memar Termanis   06. Kasus Ditutup

    📍J&T Entertaiment - Ruangan Pertemuan - Seorang polisi, Inspektur Lee, duduk di seberang Jexon, CEO J&T Entertainment. Dan tepat hari ini, akhirnya Jexon berhadapan dengan seorang polisi dari kepolisian yang sedang menyelidiki kasus kecelakaan yang menimpah Paula. Dengan membawa sebuah map yang penuh dokumen, Inspektur Lee membuka percakapan. Wajahnya dingin dan penuh konsentrasi. “Terima kasih, Pak Jexon, sudah meluangkan waktu,” ucapnya tanpa basa-basi. Nada suaranya serius, sesuai dengan raut wajahnya yang tajam. “Saya hanya ingin bertanya beberapa hal mengenai Paula. Anda pasti sudah mendengar kecelakaan yang dialaminya kemarin?” Jexon menghela napas sejenak sebelum menjawab. “Iya, Inspektur. Saya sangat terkejut saat mendengar kabar itu.” Nada suaranya tenang, namun ada getaran halus yang sulit disembunyikan. “Saya baru mengenal Paula. Dia baru saja menjadi talent di perusahaan kami. Bahkan baru menandatangani kontrak.” Inspektur Lee menyipitkan matanya, mencata

    Last Updated : 2024-11-20
  • Memar Termanis   07. Dan Sebuah Kepalsuan - 02

    📍J&T Entertaiment - Ruangan Presedir -Beberapa hari berlalu, dimana… Di Ruang Kerja Presedir Perusahaan, Nicholas dan Jexon Duduk Berhadapan.Suasana sunyi dan tegang setelah makan siang usai. Nicholas duduk di belakang meja kerjanya dengan wajah serius. Dia menatap Jexon, yang terlihat hanya diam menatapnya. “Jexon, papa ingin tahu alasan kenapa kasus kecelakaan Paula ditutup dengan catatan murni kecelakaan tunggal. Kenapa tidak ada tersangka, terutama pemilik mobil yang berlawan arah? Kecelakaan itu fatal, dan pak Han sampai kehilangan nyawanya. Bagaimana ini bisa dianggap murni kecelakaan?” Suara itu terdengar dengan nada tegasJexon menunduk sejenak, menghela napas.“Pa, Jexon tahu ini rumit, tapi kita tidak bisa melanjutkan kasus ini. Jika kita memihak Paula terlalu keras, saham perusahaan akan terpengaruh. Jangan lupa, dia adalah model yang punya banyak pembenci di luar sana. Publikasinya bisa merusak citra kita. Kita harus berhati-hati.”Nicholas, mengetukkan jarinya di

    Last Updated : 2024-11-21
  • Memar Termanis   08. Seiring Waktu Berjalan

    📍ApartementKetukan lembut terdengar di pintu kamar. Paula, yang sedang bersandar di ranjang dengan sebuah buku di tangannya, menoleh.“Masuk,” katanya setengah berteriak.Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok anak laki-laki dengan baki berisi cookies dan segelas jus jeruk di tangannya. Langkahnya pelan, penuh hati-hati agar baki itu tak terguncang.“Auntie?” panggilnya lembut, sambil mendekat.Paula tersenyum melihatnya. “Dk? Ada apa, sayang?”“Aku bawakan cookies dan jus untukmu,” jawab Dk sambil meletakkan baki di atas meja kecil di samping tempat tidur.“Kamu nggak perlu repot-repot, sayang,” ujar Paula sambil bangkit. Dia mengambil baki itu, lalu duduk di kursi kecil di dekat meja.Dk, dengan wajah serius, menggeleng pelan. “Aku cuma beli di toko kue dekat sini. Mana bisa itu disebut repot?”Paula tertawa kecil, senyum lembut menghiasi wajahnya. “Kamu selalu bijak, ya. Terima kasih, Dk. Aku akan habiskan semuanya.”“Hm,” sahut Dk singkat, lalu duduk di sofa kecil di sudut

    Last Updated : 2024-11-22
  • Memar Termanis   09. Seiring Waktu Berjalan - 02

    📍Rumah Duka - Tempat Peristirahatan Terakhir -Paula mengunjungi rumah terakhir milik Pak Han, bersama dengan Javeline. Wajahnya terlihat muram dan sedih. Matanya berkaca-kaca menatap kaca pembatas yang di hadapannya terdapat foto berbingkai pak Han. “Pak Han… maaf kalau saya baru bisa mengunjungi bapak saat ini.” Saat itu, dia menunduk. Dia tidak dapat menahan air matanya yang kemudian jatuh ke lantai. Hiks.Hiks.Isak tangisan terdengar jelas ditelinga Javeline yang ikut menangis. “T-terima kasih pak, sudah begitu banyak membantu saya, dalam hal apapun.” Ucap Paula terbata-bata saat dirinya menangis. “Terima kasih juga sudah begitu baik dengan saya, pak Han. Maaf… maaf kalau saya tidak bisa membantu bapak untuk keadilan itu. Maaf kalau saya pun, gak tahu harus bertindak apa ketika pengadilan dan polisi sepakat menutup kasus kecelakaan kita. Maaf pak, maaf sekali lagi. Bapak harus tenang disana. Dan sekali lagi, terima kasih. Saya akan berdoa, untuk renkarnasi bapak akan menj

    Last Updated : 2024-11-23
  • Memar Termanis   10. Ancaman Dari Segala Sisi

    📍J&T Entertainment“Celine?” Jexon memanggil dengan nada tenang.Celine, yang tengah sibuk memasukkan ponsel ke dalam tasnya, menoleh cepat. “Oh, selamat sore, Pak Jexon.” Ia tersenyum kecil sambil menunduk sedikit, memberi hormat.“Saya baru melihat kamu,” ujar Jexon, langkahnya mendekati Celine.“Itu… selama satu minggu saya ada di Paris, Pak,” jawab Celine sambil membenarkan posisi tas di pundaknya.“Ah, benar!” Jexon menepuk dahinya perlahan, seolah baru mengingat sesuatu. “Saya hampir lupa kalau kamu ada pekerjaan di sana.”Celine tersenyum simpul. “Sepertinya… Pak Jexon sangat sibuk, sampai-sampai tidak mengingat kegiatan talent-nya?” Nada bicaranya terdengar setengah menggoda, namun tetap sopan.“Maaf, maaf, Celine,” ujar Jexon sambil mengangkat kedua tangannya, seperti mengakui kesalahan.Celine tertawa kecil, tatapannya melunak. “Gak apa-apa, Pak Jexon,” katanya ramah.Jexon mengangguk sambil memperhatikan wajah Celine yang tampak lelah. “Kamu mau pulang?”“Iya, Pak. Saya ma

    Last Updated : 2024-11-24
  • Memar Termanis   11. Tipe Idaman

    📍Wang’s House - Ruangan Kerja Jexon -Di dalam ruangan kerja, Jexon menghentikan apa yang tengah dia lakukan. Saat itu, terlintas di dalam benaknya, ketika Elisabeth mengatakan kalau; Paula memiliki anak dari hasil hubungan gelap dengan Nicholas, papanya. “Anak?…” ucap Jexon mengetuk-ngetuk pen di atas meja kerja. “Kenapa gak ada berita tentang anaknya. Dimana dia menyembunyikan anak itu? atau… papa membantunya untuk menyembunyikan anak mereka? dan… mungkin aja, anak itu pun, tidak berada di negara ini?”Pertanyaan demi pertanyaan terucap dibibirnya.“Hhhh…” napas yang dia hela terasa begitu berat, saat dia mulai menyenderkan tubuhnya dikursi kerja berbahan kulit itu. Jexon kembali duduk tegak. Dia mengambil kertas yang ada dilaci terkunci di bawah meja kerja. Disitu, dia menatap profil milik Dk; Darex Kendrick. “Atau jangan-jangan, anak ini anak papa dan dia?” Jexon menebak hal itu. “Tapi… usianya sudah 9 Tahun. Kalau begitu, papa dan dia sudah bersama lebih dari 10 Tahun? ya

    Last Updated : 2024-11-25

Latest chapter

  • Memar Termanis   62. Apa Kabar

    Pikiran itu berputar liar, tak mau berhenti, seperti badai yang tak kunjung reda. Bayangan kecelakaan-kecelakaan akhir-akhir ini menghantui Jexon, mengisi setiap sudut ruang kosong dalam kepalanya. Ia mencoba merasionalisasi, tapi semakin keras ia berpikir, semakin banyak pertanyaan tanpa jawaban yang muncul.Jexon menatap kosong ke tumpukan dokumen di mejanya, di ruangan kerja yang luas dan sunyi itu. Udara di sekeliling terasa berat, terlalu penuh dengan pikiran yang menggantung. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gejolak di dadanya. Namun pikirannya segera kembali ke sosok Andreas—seseorang yang baru ini mulai masuk dalam kecurigaannya.“Dalang dari semua ini,” gumam Jexon pelan, nada suaranya rendah dan penuh tekanan. Andreas Liu. Nama itu terus berulang di benaknya, menghantui seperti bayangan gelap yang tak mau pergi.Dengan gerakan cepat, Jexon meraih ponselnya di meja. Jari-jarinya menekan layar, mencari nama kontak yang ia butuhkan. Seketika, ia menghubungi Ar

  • Memar Termanis   61. Dendam Yang Ingin Dibalas

    📍Rumah Sakit Kamar rumah sakit itu terasa hangat, meski aroma antiseptik yang khas masih terasa di udara. Rean terbaring di ranjang dengan infus yang terpasang di tangannya. Wajahnya sudah tidak terlihat pucat, tapi senyumnya tak pernah pudar saat melihat Paula masuk membawa sekotak buah dan bunga mawar putih di tangannya. “Rean, gimana kabarnya?” tanya Paula sambil mendekat ke sisi ranjang. Suaranya lembut, penuh perhatian. “Lebih baik, auntie Paula. Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk datang,” jawab Rean, meski suaranya terdengar sedikit lemah. Di sudut ruangan, Dk, terlihat duduk menemani Rean sahabatnya di kamar pasien itu. “Auntie!” panggil Dk beranjak mendekati Paula. Paula tersenyum. “Hai, Dk. Maaf ya, kalau auntie baru sempat jenguk sahabat kamu.” Sambil mengusap kepala bocah itu. Dk mengangguk dengan semangat. “Iya, gpp auntie. Kami berdua, cuma lihat berita ditelevisi.” Paula mengerutkan kening, merasa penasaran. “Oh ya? Apa yang kamu lihat?” “Tent

  • Memar Termanis   60. Hubungan Serius

    Berita Eksklusif: Kencan Paula dan Jexon!Hari ini, dunia hiburan digemparkan dengan kabar hangat seputar hubungan romantis antara Paula, model terkenal dari agensi J&T Entertainment, dan Jexon, CEO agensi tersebut. Foto-foto yang diambil secara diam-diam oleh paparazi menunjukkan keduanya berpelukan di rumah sakit, menciptakan spekulasi besar di media.📍J&T Entertainment -Ruang Presdir-“Ini foto yang beredar semalam?” tanya Nicholas, presiden direktur J&T Entertainment, sambil menyelipkan senyum tipis. Matanya menatap tajam pada sebuah foto di tangannya.Albert, asistennya, mengangguk mantap. “Iya, Pak Presdir. Ini diambil oleh seorang wartawan.”Nicholas menghela napas lega, menyandarkan tubuhnya ke kursi kulit di balik meja kerjanya. “Kalau begini, sepertinya mereka sudah menyelesaikan masalah mereka.” Ucapannya terdengar ringan, namun jelas menyiratkan kebahagiaan.****Sebaliknya, suasana di rumah keluarga Wang penuh dengan ketegangan. Elisabeth, ibu Jexon, menatap layar tel

  • Memar Termanis   59. Menutup Mata Dan Memaafkan

    Celine tersentak, tersadar dari lamunannya. Dia melihat punggung Andreas yang semakin jauh di ujung koridor hotel. Dengan tergesa-gesa, dia mengejarnya. Langkah kakinya terdengar berdebum pelan di atas karpet tebal.“Andreas!” serunya, suaranya gemetar.Andreas tetap berjalan tanpa menoleh, namun tubuhnya menegang saat Celine menggenggam pergelangan tangannya. Ia berhenti, tapi tidak langsung berbalik.“Kamu mau ke mana?” tanya Celine, suaranya memohon, hampir putus asa. Matanya yang berkaca-kaca menatap punggung pria itu.Andreas menarik napas panjang sebelum akhirnya berbalik. Wajahnya dingin, matanya tajam seperti pisau. “Mau balik. Saya harus temui Abex dan mencari Serena,” jawabnya dengan nada rendah tapi tegas, seolah tidak ingin ada diskusi lebih lanjut.“J-jangan pergi,” pinta Celine sambil menggenggam tangannya lebih erat. “T-tidak ada yang menemaniku di sini.”Andreas mendengus, tawa pendek yang lebih terdengar seperti ejekan. Dia menatap Celine dengan tatapan sinis. “Tidak

  • Memar Termanis   58. Dia Adalah Serena

    📍J&T Entertainment-Ruangan Presiden Direktur-Elisabeth membuka pintu ruangan dengan gerakan cepat, langkahnya penuh tekad saat memasuki ruang kerja suaminya. Suara hak sepatu yang menghantam lantai terdengar nyaring, mengisi keheningan di ruangan itu. Matanya tajam, seperti ingin menembus setiap rahasia yang tersembunyi di balik wajah tenang Nicholas.Nicholas mendongak dari berkas-berkas di mejanya, lalu bersandar santai di kursi, menatap istrinya dengan sikap tenang. “Ada apa, Elisabeth?” tanyanya dengan suara datar, meski sorot matanya meneliti ekspresi di wajah wanita itu.Elisabeth berdiri tegak di depan meja, kedua tangannya mengepal, menggenggam emosi yang hampir meledak. “Sudah dua hari aku menunggu kamu mengatakannya sendiri,” ucapnya, suaranya tajam. “Tapi sepertinya kamu tidak berniat untuk mengakuinya, Nicholas.”Nicholas menarik napas dalam-dalam. Tanpa berkata apa-apa, dia berdiri perlahan dari kursinya dan berjalan mendekati Elisabeth. Sorot matanya kini serius, ta

  • Memar Termanis   57. Flashback On: Akhir Yang Tragis

    Satu minggu berlalu. Suasana rumah terasa sepi, hanya terdengar suara angin yang sesekali menggesek jendela kayu. Clara duduk di sofa kecil yang mulai memudar warnanya, tubuhnya tenggelam dalam keheningan. Matanya menatap kosong ke arah lantai, seolah mencoba mencari sesuatu yang hilang di dalam pikirannya. Langkah-langkah ringan terdengar dari belakang, dan suara Andreas memecah keheningan. “Ce,” panggil Andreas dengan nada ceria. Clara mengangkat wajahnya perlahan, matanya lelah. “Ada apa, Andreas?” tanyanya singkat, tanpa banyak ekspresi. Andreas tersenyum lebar, wajahnya polos dan penuh semangat seperti anak kecil yang baru mendapatkan mainan baru. “Aku berhasil menemukan alamat rumah Jexon,” katanya antusias. “Aku akan ke sana. Aku harus bicara dengannya!” Kata-kata Andreas seperti pisau yang menusuk hati Clara. Ia mencoba mempertahankan senyumnya, meski dalam hatinya ia merasa hancur. Andreas tampak begitu bersemangat, namun kabar tentang Jexon justru membuat Clara semakin

  • Memar Termanis   56. Flashback On: Keinginanku

    Flashback OnMalam itu, udara dingin menyelimuti kota kecil di China. Clara duduk di ruang tamu sebuah rumah sederhana yang mereka sewa sementara. Perutnya yang besar tampak jelas di balik sweater tebal yang ia kenakan. Andreas berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan sorot mata khawatir yang sulit disembunyikan.“Ce, aku mohon… jangan terlalu memaksakan diri. Kamu harus istirahat.” Andreas berjalan mendekat, suaranya lirih namun penuh tekanan, tangannya terulur seolah ingin menenangkan wanita di hadapannya.Clara mendongak, tatapannya tajam meskipun terlihat lelah. “Aku tidak bisa, Andreas. Kita sudah sampai sejauh ini. Aku akan menemui Jexon dan mengatakan kepadanya, kalau aku sudah menjaga kandungan ini.”Andreas menghela napas panjang, menatap wanita yang kini begitu bertekad. “Tapi cece tidak bisa terus begini, ce. Apa cece pikir Jexon akan langsung berubah hanya karena cece memberitahunya soal anak ini?”“Pasti,” Clara memotong, matanya berkaca-kaca namun penuh keyakinan. “Di

  • Memar Termanis   55. Ingatan Yang Kembali

    Deringan telepon memecah keheningan dalam kamar mewah yang diterangi cahaya senja dari balik tirai tipis. Andreas mengerjapkan matanya perlahan, mengangkat kepala dari bantal empuk, sementara tangannya yang lain tetap menjadi sandaran untuk kepala Celine. Rambut panjang wanita itu menyebar di atas dadanya, dan tubuh mereka hanya terbungkus selimut putih tebal.Dia meraba-raba meja nakas tanpa banyak gerakan, khawatir membangunkan wanita di sampingnya. Setelah menemukan ponselnya, ia menggeser layar dengan satu gerakan malas.“In calling.”“Hm?” sahut Andreas singkat, suaranya berat, masih diselimuti kantuk.Suara seorang pria terdengar di ujung telepon, tenang tetapi penuh tekanan. “Lampu itu sudah saya kendorkan. Itu jatuh tepat di kepala Paula. Tapi… seseorang mendorongnya. Dia selamat, dan kecelakaan malah menimpa orang lain.”Andreas memijat keningnya, mendengar detail tersebut dengan mata yang kini terbuka lebar. “Tidak masalah,” jawabnya dingin. “Ini lebih dari cukup untuk memb

  • Memar Termanis   54. Teror Yang Terus Berdatangan

    📍J&T EntertainmentLangkahnya terhenti tepat di depan Paula. Wanita muda itu juga berhenti, pandangan mereka bertemu untuk sesaat sebelum Paula mengalihkan wajahnya ke arah lain.“Jexon, ayo!” Valentine memanggilnya dari kejauhan, suaranya tajam seperti pisau yang memotong udara.“Duluan aja.” Jexon menjawab tanpa menoleh. Nadanya datar, seolah tak ingin diganggu.Valentine menghela napas, wajahnya mulai memerah karena kesal. Tatapannya tajam menyorot Paula, yang tanpa sepatah kata memilih berjalan menjauh ke arah kanan. Namun, Jexon tak membiarkannya pergi begitu saja. Dengan langkah cepat, hampir seperti berlari kecil, dia mengejar Paula.“Paula,” panggilnya seraya meraih pergelangan tangan wanita muda itu. Genggamannya kuat, memastikan Paula tak bisa melangkah lebih jauh.Paula menghentikan langkahnya, tetapi tidak berbalik. Tatapannya tetap lurus ke depan, menghindari Jexon.“Saya mau bicara sama kamu. Ini penting,” ujar Jexon tegas, nada suaranya lebih serius dari biasanya.Per

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status