Share

Melepas Belenggu Abang Ipar
Melepas Belenggu Abang Ipar
Penulis: Pelangipena

kedatangan Anjani Maharani

"kakak!"panggil Anjani begitu senang, saat dia baru saja menapaki teras rumah sang kakak.

Seorang perempuan yang baru hamil delapan bulan, begitu senang saat melihat adik satu-satunya yang dia miliki, kini terlihat di depan matanya kini.

"Apa kabar, kak?"tanya anjani dengan wajah yang masih sama, seraya mencium pipi kiri dan kanan sang kakak.

"Alhamdulillah, kakak baik-baik saja. Mak sama abah tidak ikut?"tanya Aina, sembari melihat ke arah sekeliling rumahnya.

"Tidak, kak. Mak sama abah tidak bisa ikut, mereka bilang sebentar lagi padi mau di panen. Yah, gitu lah kak. Oh ya, kak. Mak sama abah hanya menitip ini untuk kakak."Anjani memperlihatkan satu rantang plastik berisi ayam kampung, di mana ayam kampung olahan sang emak sangat di sukai oleh Aina.

Aina sendiri berasal dari kampung, di mana dia mengadu nasib di perkotaan pada sebuah perusahaan. Dia yang menjadi seorang office girls di sebuah perusahaan ternama, mendadak dinikahi oleh seorang bos besar pemilik perusahaan tersebut.

Meski awalnya banyak rintangan dan halangan dari orang tua Yudha dirgantara, hubungan mereka akhirnya di restui oleh mereka saat ancaman dari Yudha yang ingin mengundurkan dirinya dari keluarga besar dan perusahaannya.

Sanjaya yang tidak memiliki anak lelaki selain Yudha, terpaksa menyetujui permintaan sang anak untuk merestui hubungan mereka berdua.

"Yuk, masuk ke dalam."ajak Aina, seraya menggandeng tangan sang adik kandungnya.

"Anak perempuan kakak dimana? Kok rumah kakak sepi,"sela Anjani, seraya duduk di sofa ruang tamu.

"Dia lagi tidur siang, sebentar lagi juga bangun kok. Kamu kok tidak bawa baju ganti?"tanya Aina, sembari membawa rantang itu ke dapur. "Rani kan harus pulang, kak. Kasian Mak sama Abah di rumah."balas Anjani, yang berjalan mengekori langkah kakak nya.

"Kan kakak sudah bilang sama, Mak."imbuh Aina, sembari membuka rantang. "Bilang apa, kak? Mak tidak bilang apapun pada Rani."balas Rani, yang sedang menuangkan air putih ke dalam gelas yang ada di tangannya.

"Kakak bilang, kalau Rani harus menginap di rumah kakak. Temani kakak beberapa Minggu, sebentar lagi, kakak mau lahiran."balas Aina, sembari menyimpan daging ayam masakan sang emak di tempat penyimpanannya.

Rani adalah panggilan khusus sang kakak, di mana Aina lebih suka nama Maharani dari pada Anjani. Hanya dia yang memanggil Anjani dengan nama Rani, sedangkan orang tuanya memanggil Anjani dengan nama Anjani.

"Eh, Mak tidak bilang apapun pada Rani, kak. Jadi, Rani tidak bawa baju ganti. Lagian kalau Rani tinggal di rumah kakak, sayang Mak dan Abah di rumah. Pasti Mak capek nggak ada yang masak, kak. Rani pulang aja ya.."sela Rani, seraya duduk di kursi meja makan.

"Plis lah, Ran. Tinggallah sama kakak, sebentar lagi kakak mau melahirkan. Mas Yudha sibuk banget di kantornya."pinta Aina dengan wajah serius.

"Mama!"panggil anak perempuan dengan Isak tangis.

"Iya sayang! Mama lagi ada di dapur.. sini nak!"lambaian tangan Aina membuat anak perempuan yang berusia empat tahun berjalan menghampiri mereka berdua.

"Eh,, keponakan Tante. Apa kabar? Salim dulu dong."sikap Anjani terkesan hangat dan ceria. Dia bukanlah perempuan pendiam seperti kakaknya Aina.

"Baik, Tante."balas Aurel, seraya menyalami tangan tantenya. Aurel pun berlalu menghampiri sang bunda yang kelihatan kecapean dengan perut besarnya.

"Mau minum susu?"Aurel pun menganggukkan kepalanya, Sembari ikut duduk di kursi meja makan.

"Rani, kalau kamu lapar, makan saja ya dek. Kakak mau bikin susu Aurel dulu."imbuh Aina, yang ingin bangkit dari duduknya.

"Biar Rani saja yang bikin, kak. Kakak pasti capek bila harus berjalan terus, biar Rani saja kak. Kehamilan kakak berapa bulan sekarang?"Anjani pun membuat susu untuk keponakan nya, di mana sudah kebiasaan Aurel yang bangun tidur langsung minum susu.

"Delapan bulan, dek. Makanya, Rani jangan pulang ya. Nanti, kakak bilang sama Mak dan Abah kalau Rani menginap di rumah kakak beberapa Minggu. Kasian Aurel tidak ada yang mengurusnya."balas Aina, dengan tangan yang kembali mencengkeram kuat pinggangnya yang terasa sakit.

Lagi-lagi, rasa sakit itu kembali menghampiri nya. Sebuah sakit yang hanya dia dan tuhan yang tau, tanpa mau memberitahukan sang suami tercinta.

"Kan ada mas Yudha, kak. Rani tidak mau,"tolak Anjani, seraya memberikan segelas susu untuk Aurel.

"Nanti, kakak minta izin sama mas Yudha. Kamu menginaplah di rumah kakak, pakai baju kakak dulu malam ini ya. Besok, kakak belikan baju untuk kamu."usul Aina lagi, agar sang adik mau tinggal di rumahnya.

Rumah yang begitu besar dengan dua tingkat, hanya memiliki seorang pembantu di rumahnya, itupun tidak menginap di rumah mereka. Yudha sendiri tidak menyukai orang lain ada dalam rumahnya, alasan nya hanya ingin setiap saat bisa bermesraan dengan sang istri tanpa takut di lihat orang lain.

"Tapi kak_"

"Plis, Rani.. mau ya, kakak sendirian di rumah ini."potong Aina dengan wajah yang sedang menahan rasa sakit di pinggangnya.

"Baiklah kak, Rani mau menginap di rumah kakak. Tapi, selesai kakak melahirkan, Rani harus pulang ya."papar Anjani dengan senyum ramah.

"Iya, makasih ya dek."Anjani pun menganggukkan kepalanya, sembari mengelus rambut lurus keponakannya.

-----***-----

"Iya sayang, Anjani hanya tinggal beberapa Minggu di rumah kak Aina. Setelah Anjani pulang, kita akan melangsungkan pernikahan kita ya. Yang sabar,"ucap Anjani, yang sedang melakukan panggilan dengan tunangannya yang tak lain adalah Bara.

"Jangan lama, awas, matanya di jaga biar gak jatuh hati sama Abang ipar."imbuh bara, dengan suara cemberut. Bara adalah anak juragan perkebunan sawit, di mana dia adalah Seorang dokter terkenal di tempatnya.

Tempat tinggal Anjani dengan Bara tidaklah begitu jauh, kampung mereka hanya bersebelahan saja.

"Iya calon imam, ku. Anjani akan menjaga mata dan hati. Ya sudah ya, Anjani mau menemani keponakan Anjani dulu."

"Iya, mas tunggu kepulangan sayang ya. Pulang lah lebih cepat, agar mas tidak di ambil orang. By.. ummuuaahhh.."canda Bara, sembari memberikan satu kecupan lewat ponselnya. Dia pun buru-buru menutup panggilan nya, agar tidak mendapatkan kemarahan dari Anjani yang sering menasehati nya untuk banyak bersabar.

"Dasar, lelaki bar-bar."gumam Anjani, dengan senyum manis.

"Kak, kakak mau kemana?"tanya Anjani saat Aina ingin ke dapur. Anjani saat ini dia duduk di ruang keluarga, di mana dia menemani sang keponakan yang sedang bermain-main dengan boneka nya.

"Kakak mau buat jus alpukat, dek."balas Aina, seraya berjalan ke arah dapur. "Biar Rani saja yang buat kak, kakak istirahat lah. Kakak belum makan malam kan?"

"Kakak tidak nafsu makan, dek. Makanya, kakak mau bikin jus alpukat saja."balas Aina, seraya menghampiri anak sulungnya.

"Biar Rani saja yang buat kak, kakak istirahat lah. Nanti kalau udah selesai, Rani antar ke kamar kakak ya."Aina pun menganggukkan kepalanya, Sembari mengajak sang putri ke kamarnya.

Di dapur, Anjani begitu antusias membuat satu gelas jus kesukan kakaknya. Baju tunik selutut, di padu dengan celana panjang, di tambah dengan hijab yang senada dengan celana hitamnya, seolah-olah itu adalah Aina.

Di luar rumah, seorang lelaki yang tak lain adalah Yudha dirgantara, dia baru saja sampai di rumahnya pada pukul delapan lewat. Pekerjaan kantor yang semakin hari semakin padat, membuat lelaki itu lebih lama berada di luar rumah.

"Sayang!"panggil Yudha, usai membuka pintu rumahnya dengan kunci yang selalu dia bawa pergi.

"Sayang!"panggil Yudha lagi, sembari meletakkan tas kerjanya di atas sofa.

Panggilan keduanya, juga belum mendapatkan jawaban dari sang pemilik hati. Dia pun berlalu ke arah dapur hanya untuk mengambil air putih.

"Sayang!"panggil Yudha lembut, sembari memeluk seorang perempuan dari arah belakang. Mereka sama-sama terkejut saat mendapatkan hal yang baru mereka sadari akan kejadian tersebut.

Yudha yang terkejut saat perut sang istri yang masih rata, sedangkan Anjani terkejut saat lelaki yang dia yakini adalah Abang iparnya memeluk nya dengan erat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status