"Yudha, ayo kita pulang. Ikhlaskan kepergian Aina, dia saat ini sudah tenang di alam sana, nak." ujar seorang lelaki paruh baya, yang tak lain adalah mertuanya Yudha.
Pak Ahyar meminta pada Yudha untuk mengkebumikan Aina di halaman kampung kelahirannya, dengan begitu, sang Abah bisa kapan saja mengunjungi makam anak sulungnya itu. Sedangkan bayi kedua Aina dan Yudha, saat ini bayi itu masih dalam penanganan sang dokter di rumah sakit. "Saya nanti saja pulang, bah." balas Yudha, yang masih mencium nisan sang istri. Yudha merasa masih belum bangun dari mimpi buruknya, dimana dia masih tidak menyangka sang istri secepat itu pergi meninggalkan dirinya bersama dengan anak-anaknya. "Mas, seandainya aku yang lebih dulu pergi, mas jangan bersedih, ya. Yakinkan saja, Allah akan memberikan pengganti yang lebih cantik dan baik dari Aina." Perkataan Aina kembali terngiang-ngiang di telinganya, air matanya kembali turun dengan sendirinya tanpa di minta. "Ma-mas, ayo kita pulang." ajak Anjani, yang sedang menggendong Aurel. Yudha tidak menjawab, pikirannya saat ini benar-benar kosong sekosong hatinya yang hanya menyisakan sebuah nama tanpa pemiliknya. "Ba-baiklah, mas. Saya dan Aurel pulang dulu, ya." sambung Anjani lagi, seraya kemudian berlalu pergi meninggalkan Yudha seorang diri. "Sayang, kamu tau apa yang mas rasakan saat ini? Mas sedih, dik. Mas terluka, kecewa pada seorang perempuan yang melahirkan mas. Kenapa Setega itu dirinya pada mu, dik? Sayang, kita sudah banyak berjanji untuk saling bersama setiap saat. Tapi kenapa, Aina tega ninggalin mas dengan dua anak kecil yang masih membutuhkan kasih sayang aina. Seandainya mas tau seperti ini kejadiannya, mungkin sampai kapan pun mas tidak akan pernah menginjakkan kaki mas di rumah itu lagi." ungkap Yudha, seraya merebahkan tubuhnya di atas makamnya Aina. "Sayang, bila mas kangen sama Aina, apa yang harus mas lakukan, heum?" Monolog Yudha seorang diri, sambil menggenggam tanah makam sang istri. "Sayang tau, setelah Aina melahirkan anak kedua kita, mas berkeinginan mengajak sayang liburan. Mas sudah membelikan tiket liburan ke jepang. Sayang bilang pada mas, kalau sayang ingin berlari-lari kecil di taman bunga sakura, 'kan?" Sambung Yudha lagi, dengan sebuah senyuman yang merekah namun terdapat miris di dalamnya. "Tapi sekarang, Aina pergi dari mas dan meninggalkan sebuah pesan yang tidak sanggup mas wujudkan." Papar Yudha lagi, seraya kemudian bangkit dari makamnya Aina. "Bang! Abang!" teriak seorang anak kecil memanggilnya, dengan sebuah lambaian tangan ke arah Yudha. Anak kecil itu berlari kecil menghampiri Yudha yang sedang menyapu pelan bajunya yang terkena oleh deburan tanah. "Bang, Abah menyuruh Abang pulang. Ada orang yang ingin bertemu dengan Abang." ucap anak laki-laki yang berusia sembilan tahun, dengan nafas yang ngos-ngosan. "Rif, apa kamu tau orang itu siapa?" tanya Yudha, yang berjalan dengan langkah besar. Jarak rumah Aina dan makam, tidaklah terlalu jauh. Hanya beberapa menit saja, rumah Aina sudah terlihat di depan mata. "Dimana anak saya? Di mana kalian menyembunyikan putra satu-satunya saya, hah!" Tanya seorang perempuan paruh baya, yang tak lain adalah ibunya Yudha. "Besan, ini bisa kita bicarakan baik-baik." ujar ibunya Anjani dengan lembut, seraya berusaha menenangkan Bu Ratih. "Tidak perlu di bicarakan baik-baik, kedatangan saya kesini, saya ingin mengajak anak saya pulang dari gubuk reyot ini." papar ratih dengan tatapan sinis. Para tetangga yang membantu Bu Yuyun dan pak Ahyar, mereka melempar pandang satu sama lain, dimana mereka tidak menyangka bahwa Aina memiliki mertua yang toxic. "Yudha!" Panggil Bu Ratih dengan suara lantang, sembari berusaha masuk ke dalam rumahnya Aina. Evelyn yang selalu setia mendampingi Bu Ratih, kini dirinya punya kesempatan untuk memiliki sang pemilik tatapan tajam. "Mau ngapain kalian ke sini?" tanya Yudha dingin, yang berdiri tak jauh dari Bu Ratih dan Evelyn. Para warga san tetangga, mereka masih asyik melihat penampakan di depan mata. "Mama ke sini ingin mengajak kamu pulang, ayo!" ajak Bu Ratih, seraya menarik paksa tangannya Yudha. Yudha menepis kasar tangan sang ibu, sehingga membuat Bu Ratih menahan malu sekaligus murka terhadap anaknya. "Apa saja yang di ajarkan oleh orang miskin ini pada mu, heum? Menyuruh mu menentang mama? Mama kesini berniat baik-baik, mama ingin kamu pulang dan tinggalkan kampung ini sekarang juga. Antara kamu dan Aina telah berakhir, dan mama ingin kamu menikah dengan Evelyn secepat mungkin." sambung Bu Ratih, saat sang anak menapih kasar tangannya. "Apa hak mama mengatur-atur hidup ku, heum? Yudha tidak akan pernah menikahi perempuan bermuka dua ini, mah!" balas Yudha, dengan menunjuk kasar ke arah Evelyn. "Mama berhak mengatur-atur hidup mu, kamu anak mama. Kamu darah daging mama, mam--" "Cukup, mah! Yudha minta pada mama, sekarang juga angkat kaki dari rumah ini! Dan satu lagi yang harus mama ketahui, Yudha tidak akan pernah menginjakkan kaki di rumah mama lagi!" Potonh Yudha dengan suara tinggi, seraya menunjuk ke arah pintu pagar rumah mertuanya. "Mama tidak akan pulang sebelum kamu ikut dengan mama. Mama sudah bersepakat dengan papa dan pak hendrik, Minggu depan kalian akan bertunangan. Jadi mama minta, tinggalkan keluarga miskin ini, dan rajut hubungan mu dengan keluarga ninggrat!" Putus Bu Ratih tanpa memikirkan perasaan keluarga miskin. "Kalau bukan mengingat mama orang yang melahirkan ku, mungkin tamparan pertama yang akan aku layangkan yaitu di wajah mama! Satu hal yang harus mama tahu, Jum'at ini aku akan menikahi adiknya Aina, yaitu Anjani!" papar Yudha dengan suara lantang, sehingga membuat seorang perempuan menjatuhkan sesuatu yang ada dalam pergelangan tangannya. Nampan berisi minuman teh dingin yang di buatkan oleh Anjani untuk mertua almarhumah sang kakak, nampan itu jatuh dari tangannya begitu saja.Perkataan Yudha yang mengatakan akan menikahi adik almarhumah istrinya, membuat para warga ikut tercengang. Lebih-lebih, kedua orang tua Anjani yang ikut terkejut mendengar perkataan sang menantu. Anjani sendiri saat ini memilih mencari tempat untuk menyangga tubuhnya, kedua lututnya terasa lemah mendengar pernyataan dari kakak iparnya barusan. "Wah, pak Ahyar! Ternyata dugaan ku terhadap orang miskin itu benar, ya! Mereka tidak akan melepaskan begitu saja menantu kayanya ini! Seperti mu! Kamu kembali meminta putra ku untuk melanjutkan lagi hubungan dengan putri mu. Saya tidak menyangka, orang miskin seperti kalian benar-benar menjadi benalu dalam keluarga orang kaya! Kamu manusia serakah yang meminta anakku untuk menikahi putri mu lagi!" Hinaan dari bu Ratih membuat pak Ahyar menghampiri mereka. Beliau tidak mau warganya salah paham atas ucapan Bu Ratih barusan. "Yudha, bisakah kamu menjelaskan semua ini, nak? Kami memang orang miskin, tapi kami tidak pernah memi
"Tante, Aurel lapar." ucap Aurel, saat aku sedang menyajikan hidangan untuk para tamu yang datang mendoakan kak Aina. Tepat di hari kelima kak Aina dikebumikan, lelaki yang tak lain adalah mas Yudha, dia sama sekali tidak pernah hadir mendoakan mendiang istrinya. Semenjak pergi di hari pertama kak Aina di kebumikan, lelaki itu belum pernah sehari pun menjenguk anak perempuan yang dia tinggalkan bersama dengan kami. "Sebentar ya, Tante ambilkan dulu makanan yang cocok untuk Aurel. Sini, ikut Tante saja yuk." Aku pun menggendong Aurel membawanya masuk ke dalam rumah. "Tante, mama kemana ya? Aurel kangen banget sama mama," ujar Aurel, yang kini berada dalam gendongan ku. Anak sekecil dia, belum tau apa-apa tentang orang yang sudah meninggal. Meski aku sudah beberapa kali menjelaskan pada Aurel kalau ibunya telah pergi meninggalkan dia selama-lamanya, namun gadis kecil itu belum mengerti maksudku. "Sayang, kamu mau ayam goreng ini?" tanya ku, seraya memp
"Ta-tapi, bah. Sebentar lagi, Rani dan Bara akan menikah." sahut ku, sambil menatap manik hitam lelaki yang menjadi cinta pertama ku. Aku tidak mau menikah dengan lelaki yang tidak aku cintai, sedangkan lelaki yang aku cinta hanyalah Bara. Lelaki hangat dan baik serta lembut khas ciri seorang dokter, tidak mungkin aku mengecewakannya se menyakitkan itu. "Tapi, nak. Lihatlah mata anak kakak kamu, dia butuh seorang ibu yang baik." imbuh Abah. Abah melihat ke arah Aurel yang sedang merebahkan kepalanya di dada bidang papanya. "Mas Yudha bisa kok bah, memberikan ibu pengganti untuk anak-anaknya. Rani tidak bisa, bah." balas ku, seraya ingin pergi meninggalkan mereka bertiga. Meski ada rasa iba terhadapnya, namun menikah dengannya bukanlah keinginan ku. "Tidak apa-apa, bah. Yudha bisa menjaga mereka dengan baik. Yudha akan berusaha menjadi seorang ayah dan ibu untuk mereka berdua. Baiklah, bah. Yudha pergi dulu, oh ya Anjani, tolong berikan cincin Aina." Aku
Tak ada angin dan tidak ada hujan, namun keputusan ku sudah tepat. lelaki yang amat aku cintai, menatap lama ke arah ku dengan wajah terkejut. "Hahahaha, aku tau sayang, kamu lagi ngeprank aku, 'kan? ayo ngaku? sini mas pakaikan lagi," ucap Bara dengan senyum ramah. "Tidak, mas. Anjani serius, Anjani kembalikan lagi cincin tunangan kita. maafkan Anjani, mas. Anjani tidak bisa melanjutkan pernikahan kita," Kembali menjelaskan pada bawa kalau aku memang tidak bisa melanjutkan pernikahan ini. Ada anak bayi merah di sana yang membutuhkan kasih sayang dari seorang ibu. "Salah mas apa?! Apa yang mas lakukan sehingga membuat Anjani memutuskan pertunangan kita?! Apa mas ada salah?" Bara bangun dari duduknya, dia meraup wajahnya kasar saat melihat air bening yang memberontak minta turun dari mata ku. "Anjani tau, mas sudah menyebarkan surat undangan pernikahan kita! seluruh teman-teman mas sudah mas beritahukan semuanya! keluarga besar mas pun sudah menyiapkan segala keperluan kita! Dan
Begitu pintu rumah di buka oleh abah, dua orang laki menghajar Abah habis-habisan. Bug. Brak!! "Berhenti!! Abah!!" Aku shock saat melihat orang tua ku di pukul dan di tendang oleh mereka seperti itu. "Tolong, jangan lukai Abah saya." Mohon ku dengan berusaha menjadi penengah antara Abah dan mereka. Brak!! "Rani!!" Bukan permohonan yang mereka kabulkan, mereka malah mendorong ku ke arah lelaki yang berdiri dengan sebatang rokok di tangan kirinya. Lelaki yang tak lain adalah ayahnya Bara, lelaki itu kini mensejajarkan tubuhnya dengan ku yang terjerembab di hadapannya. "Tolong, jangan sakiti putri saya, juragan." Mohon Abah, sambil menggapai ku. Namun Abah tidak bisa menggapai ku dikarenakan anak buah juragan menahannya. khuk, khuk. Aku terbatuk-batuk saat lelaki paruh baya itu meniup asap rokoknya ke wajah ku. "Tolong jangan juragan," Pinta ku, saat ayahnya Bara mencengkeram kuat pipi ku. "Berani-beraninya kamu mempermainkan anak
"Ikhlaskan kepergian Abah, nak. Abah sudah tenang di alam sana," Ucapan Mak sama sekali tak ku indahkan, aku hanya ingin Abah ada di sisi ku lagi. Beliau cinta pertama ku, dan sekarang mereka menuntut ku untuk mengikhlaskan kepergiannya. Seandainya Abah meninggal bukan karena ku, aku masih bisa mengikhlaskan kepergiannya. Namun sayang, Abah pergi hanya karena ku memutuskan hubungan dengan Bara. "Abah! Kenapa Abah secepat ini pergi? Rani masih membutuhkan Abah!" "Sayang, ikhlaskan kepergian Abah. Abah sudah tenang di alam sana," jelas Mak lagi, sambil mengelus-elus bahuku. "Bagaimana bisa aku ikhlas, Mak? Mak tau sendiri apa sebab yang membuat Abah pergi! Ini semua karena kak Aina!" "Anjani, tolong jangan." cegat mas Yudha, saat aku ingin menarik nisan kak Aina. "Kak Aina! kakak lihatkan apa yang kakak lakukan?! Kakak lihatkan hasil dari yang kakak tinggalkan di dunia ini?! Kakak pergi meninggalkan kami, dan kakak tinggalkan luka untuk kami di si
"kakak!"panggil Anjani begitu senang, saat dia baru saja menapaki teras rumah sang kakak.Seorang perempuan yang baru hamil delapan bulan, begitu senang saat melihat adik satu-satunya yang dia miliki, kini terlihat di depan matanya kini. "Apa kabar, kak?"tanya anjani dengan wajah yang masih sama, seraya mencium pipi kiri dan kanan sang kakak."Alhamdulillah, kakak baik-baik saja. Mak sama abah tidak ikut?"tanya Aina, sembari melihat ke arah sekeliling rumahnya. "Tidak, kak. Mak sama abah tidak bisa ikut, mereka bilang sebentar lagi padi mau di panen. Yah, gitu lah kak. Oh ya, kak. Mak sama abah hanya menitip ini untuk kakak."Anjani memperlihatkan satu rantang plastik berisi ayam kampung, di mana ayam kampung olahan sang emak sangat di sukai oleh Aina. Aina sendiri berasal dari kampung, di mana dia mengadu nasib di perkotaan pada sebuah perusahaan. Dia yang menjadi seorang office girls di sebuah perusahaan ternama, mendadak dinikahi oleh seorang bos besar pemilik perus
"Ma-maaf, saya kira Aina."ujar Yudha dengan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Usai mengatakan sederet kalimat itu dengan wajah dingin yang di iringi dengan rasa bersalah, dia pun berlalu pergi meninggalkan Anjani yang juga termenung dengan kejadian tadi. Dia sendiri merasa cemas bila sang kakak melihat kejadian barusan, dimana dia di peluk oleh Abang iparnya sendiri tanpa ada kesengajaan. Anjani takut, bila sang kakak menuduhnya yang tidak-tidak."Mas, kamu sudah pulang? Capek ya, sini Aina pijitin."ucap Aina, saat Yudha baru saja masuk ke kamar nya. "Sayang, kamu kok tidak bilang sama mas kalau ada orang lain di rumah kita."imbuh Yudha, sembari melepaskan dasi yang melingkar di lehernya. "Hehehe, maaf ya sayang. Aina lupa mengabari mas lebih dulu,"Aina pun mendudukkan suaminya di bibir ranjang. Sudah kebiasaan Aina saat sang suami pulang, dia akan melayani suaminya dengan sebaik mungkin. "Sayang, kalau kamu memasukkan orang lain ke dalam rumah kita, seharu
"Ikhlaskan kepergian Abah, nak. Abah sudah tenang di alam sana," Ucapan Mak sama sekali tak ku indahkan, aku hanya ingin Abah ada di sisi ku lagi. Beliau cinta pertama ku, dan sekarang mereka menuntut ku untuk mengikhlaskan kepergiannya. Seandainya Abah meninggal bukan karena ku, aku masih bisa mengikhlaskan kepergiannya. Namun sayang, Abah pergi hanya karena ku memutuskan hubungan dengan Bara. "Abah! Kenapa Abah secepat ini pergi? Rani masih membutuhkan Abah!" "Sayang, ikhlaskan kepergian Abah. Abah sudah tenang di alam sana," jelas Mak lagi, sambil mengelus-elus bahuku. "Bagaimana bisa aku ikhlas, Mak? Mak tau sendiri apa sebab yang membuat Abah pergi! Ini semua karena kak Aina!" "Anjani, tolong jangan." cegat mas Yudha, saat aku ingin menarik nisan kak Aina. "Kak Aina! kakak lihatkan apa yang kakak lakukan?! Kakak lihatkan hasil dari yang kakak tinggalkan di dunia ini?! Kakak pergi meninggalkan kami, dan kakak tinggalkan luka untuk kami di si
Begitu pintu rumah di buka oleh abah, dua orang laki menghajar Abah habis-habisan. Bug. Brak!! "Berhenti!! Abah!!" Aku shock saat melihat orang tua ku di pukul dan di tendang oleh mereka seperti itu. "Tolong, jangan lukai Abah saya." Mohon ku dengan berusaha menjadi penengah antara Abah dan mereka. Brak!! "Rani!!" Bukan permohonan yang mereka kabulkan, mereka malah mendorong ku ke arah lelaki yang berdiri dengan sebatang rokok di tangan kirinya. Lelaki yang tak lain adalah ayahnya Bara, lelaki itu kini mensejajarkan tubuhnya dengan ku yang terjerembab di hadapannya. "Tolong, jangan sakiti putri saya, juragan." Mohon Abah, sambil menggapai ku. Namun Abah tidak bisa menggapai ku dikarenakan anak buah juragan menahannya. khuk, khuk. Aku terbatuk-batuk saat lelaki paruh baya itu meniup asap rokoknya ke wajah ku. "Tolong jangan juragan," Pinta ku, saat ayahnya Bara mencengkeram kuat pipi ku. "Berani-beraninya kamu mempermainkan anak
Tak ada angin dan tidak ada hujan, namun keputusan ku sudah tepat. lelaki yang amat aku cintai, menatap lama ke arah ku dengan wajah terkejut. "Hahahaha, aku tau sayang, kamu lagi ngeprank aku, 'kan? ayo ngaku? sini mas pakaikan lagi," ucap Bara dengan senyum ramah. "Tidak, mas. Anjani serius, Anjani kembalikan lagi cincin tunangan kita. maafkan Anjani, mas. Anjani tidak bisa melanjutkan pernikahan kita," Kembali menjelaskan pada bawa kalau aku memang tidak bisa melanjutkan pernikahan ini. Ada anak bayi merah di sana yang membutuhkan kasih sayang dari seorang ibu. "Salah mas apa?! Apa yang mas lakukan sehingga membuat Anjani memutuskan pertunangan kita?! Apa mas ada salah?" Bara bangun dari duduknya, dia meraup wajahnya kasar saat melihat air bening yang memberontak minta turun dari mata ku. "Anjani tau, mas sudah menyebarkan surat undangan pernikahan kita! seluruh teman-teman mas sudah mas beritahukan semuanya! keluarga besar mas pun sudah menyiapkan segala keperluan kita! Dan
"Ta-tapi, bah. Sebentar lagi, Rani dan Bara akan menikah." sahut ku, sambil menatap manik hitam lelaki yang menjadi cinta pertama ku. Aku tidak mau menikah dengan lelaki yang tidak aku cintai, sedangkan lelaki yang aku cinta hanyalah Bara. Lelaki hangat dan baik serta lembut khas ciri seorang dokter, tidak mungkin aku mengecewakannya se menyakitkan itu. "Tapi, nak. Lihatlah mata anak kakak kamu, dia butuh seorang ibu yang baik." imbuh Abah. Abah melihat ke arah Aurel yang sedang merebahkan kepalanya di dada bidang papanya. "Mas Yudha bisa kok bah, memberikan ibu pengganti untuk anak-anaknya. Rani tidak bisa, bah." balas ku, seraya ingin pergi meninggalkan mereka bertiga. Meski ada rasa iba terhadapnya, namun menikah dengannya bukanlah keinginan ku. "Tidak apa-apa, bah. Yudha bisa menjaga mereka dengan baik. Yudha akan berusaha menjadi seorang ayah dan ibu untuk mereka berdua. Baiklah, bah. Yudha pergi dulu, oh ya Anjani, tolong berikan cincin Aina." Aku
"Tante, Aurel lapar." ucap Aurel, saat aku sedang menyajikan hidangan untuk para tamu yang datang mendoakan kak Aina. Tepat di hari kelima kak Aina dikebumikan, lelaki yang tak lain adalah mas Yudha, dia sama sekali tidak pernah hadir mendoakan mendiang istrinya. Semenjak pergi di hari pertama kak Aina di kebumikan, lelaki itu belum pernah sehari pun menjenguk anak perempuan yang dia tinggalkan bersama dengan kami. "Sebentar ya, Tante ambilkan dulu makanan yang cocok untuk Aurel. Sini, ikut Tante saja yuk." Aku pun menggendong Aurel membawanya masuk ke dalam rumah. "Tante, mama kemana ya? Aurel kangen banget sama mama," ujar Aurel, yang kini berada dalam gendongan ku. Anak sekecil dia, belum tau apa-apa tentang orang yang sudah meninggal. Meski aku sudah beberapa kali menjelaskan pada Aurel kalau ibunya telah pergi meninggalkan dia selama-lamanya, namun gadis kecil itu belum mengerti maksudku. "Sayang, kamu mau ayam goreng ini?" tanya ku, seraya memp
Perkataan Yudha yang mengatakan akan menikahi adik almarhumah istrinya, membuat para warga ikut tercengang. Lebih-lebih, kedua orang tua Anjani yang ikut terkejut mendengar perkataan sang menantu. Anjani sendiri saat ini memilih mencari tempat untuk menyangga tubuhnya, kedua lututnya terasa lemah mendengar pernyataan dari kakak iparnya barusan. "Wah, pak Ahyar! Ternyata dugaan ku terhadap orang miskin itu benar, ya! Mereka tidak akan melepaskan begitu saja menantu kayanya ini! Seperti mu! Kamu kembali meminta putra ku untuk melanjutkan lagi hubungan dengan putri mu. Saya tidak menyangka, orang miskin seperti kalian benar-benar menjadi benalu dalam keluarga orang kaya! Kamu manusia serakah yang meminta anakku untuk menikahi putri mu lagi!" Hinaan dari bu Ratih membuat pak Ahyar menghampiri mereka. Beliau tidak mau warganya salah paham atas ucapan Bu Ratih barusan. "Yudha, bisakah kamu menjelaskan semua ini, nak? Kami memang orang miskin, tapi kami tidak pernah memi
"Yudha, ayo kita pulang. Ikhlaskan kepergian Aina, dia saat ini sudah tenang di alam sana, nak." ujar seorang lelaki paruh baya, yang tak lain adalah mertuanya Yudha. Pak Ahyar meminta pada Yudha untuk mengkebumikan Aina di halaman kampung kelahirannya, dengan begitu, sang Abah bisa kapan saja mengunjungi makam anak sulungnya itu.Sedangkan bayi kedua Aina dan Yudha, saat ini bayi itu masih dalam penanganan sang dokter di rumah sakit. "Saya nanti saja pulang, bah." balas Yudha, yang masih mencium nisan sang istri. Yudha merasa masih belum bangun dari mimpi buruknya, dimana dia masih tidak menyangka sang istri secepat itu pergi meninggalkan dirinya bersama dengan anak-anaknya. "Mas, seandainya aku yang lebih dulu pergi, mas jangan bersedih, ya. Yakinkan saja, Allah akan memberikan pengganti yang lebih cantik dan baik dari Aina." Perkataan Aina kembali terngiang-ngiang di telinganya, air matanya kembali turun dengan sendirinya tanpa di minta. "Ma-mas, ayo kita pulang
"Mama!!" teriak ku murka, saat melihat istri yang sangat aku perlakukan dengan lembut, di perlakukan kasar oleh orang yang telah melahirkan ku. Buru-buru aku berlari menghampiri istri ku yang sedang terduduk di lantai bersama dengan adik iparku yang berusaha membangunkan nya. "Cukup, ma! Yudha kecewa sama mama. Kalian benar-benar jahat! Kalian tidak punya hati nurani!" Papar ku sedih sekaligus marah, sembari membangunkan Aina yang matanya sedang berkaca-kaca. "Sayang, kamu tidak apa-apa?" tanya ku pada Aina, dia menggelengkan kepalanya dengan senyuman manis mengandung miris di dalamnya. "Mbak, baju mbak basah." beritahu Anjani saat menyentuh baju Aina yang basah. Entah basah dengan air apa, aku tidak tau. banyak para tamu undangan yang melihat ke arah kami tanpa mau membantu. Begitu juga dengan adik ku yang baru saja tiba dengan gaya angkuh. "Ada apa ini, kak?" tanya nindy, yaitu adik ku yang mau bertunangan. Dapat ku lihat wajah mama yang malu, usai ku bentak
"Kak, Rani mau pulang." ucapan Rani kembali membuat Aina menghembuskan nafas berat. "Kok pulang, dek. Kamu baru sehari di rumah kakak, masak langsung pulang. Nggak kasian sama kakak?"tanya Aina, seraya memilih duduk di sofa ruang tamu. Perut yang semakin hari semakin besar, membuat perempuan itu sangat kepayahan untuk berjalan. "Bukan gitu lho, kak. Kakak tau sendiri kan, kalau Rani akan menikah. Rani harus menyiapkan segala keperluannya, kak." alasan Anjani tidak ingin tinggal di rumah kakaknya, bukanlah alasan yang seperti itu. Dia tidak ingin menjadi orang ketiga yang bisa membuat keretakan rumah tangga kakaknya. Melihat sikap Yudha seperti itu, membuat Anjani bisa menebak kalau mereka habis berselisih paham tentang kehadirannya di rumah itu. "Kan pernikahan kamu sebulan lagi, dek. Tinggal lah di rumah kakak beberapa Minggu saja, setelah kakak melahirkan, Rani sudah boleh kok pulang." pinta Aina. "Pakaian kamu sudah kakak pesan, mungkin sebentar lagi aka