Share

Kedatangan ibunya Yudha di rumah besan

"Yudha, ayo kita pulang. Ikhlaskan kepergian Aina, dia saat ini sudah tenang di alam sana, nak." ujar seorang lelaki paruh baya, yang tak lain adalah mertuanya Yudha.

Pak Ahyar meminta pada Yudha untuk mengkebumikan Aina di halaman kampung kelahirannya, dengan begitu, sang Abah bisa kapan saja mengunjungi makam anak sulungnya itu.

Sedangkan bayi kedua Aina dan Yudha, saat ini bayi itu masih dalam penanganan sang dokter di rumah sakit. "Saya nanti saja pulang, bah." balas Yudha, yang masih mencium nisan sang istri.

Yudha merasa masih belum bangun dari mimpi buruknya, dimana dia masih tidak menyangka sang istri secepat itu pergi meninggalkan dirinya bersama dengan anak-anaknya.

"Mas, seandainya aku yang lebih dulu pergi, mas jangan bersedih, ya. Yakinkan saja, Allah akan memberikan pengganti yang lebih cantik dan baik dari Aina." Perkataan Aina kembali terngiang-ngiang di telinganya, air matanya kembali turun dengan sendirinya tanpa di minta.

"Ma-mas, ayo kita pulang." ajak Anjani, yang sedang menggendong Aurel. Yudha tidak menjawab, pikirannya saat ini benar-benar kosong sekosong hatinya yang hanya menyisakan sebuah nama tanpa pemiliknya.

"Ba-baiklah, mas. Saya dan Aurel pulang dulu, ya." sambung Anjani lagi, seraya kemudian berlalu pergi meninggalkan Yudha seorang diri.

"Sayang, kamu tau apa yang mas rasakan saat ini? Mas sedih, dik. Mas terluka, kecewa pada seorang perempuan yang melahirkan mas. Kenapa Setega itu dirinya pada mu, dik? Sayang, kita sudah banyak berjanji untuk saling bersama setiap saat. Tapi kenapa, Aina tega ninggalin mas dengan dua anak kecil yang masih membutuhkan kasih sayang aina. Seandainya mas tau seperti ini kejadiannya, mungkin sampai kapan pun mas tidak akan pernah menginjakkan kaki mas di rumah itu lagi." ungkap Yudha, seraya merebahkan tubuhnya di atas makamnya Aina.

"Sayang, bila mas kangen sama Aina, apa yang harus mas lakukan, heum?" Monolog Yudha seorang diri, sambil menggenggam tanah makam sang istri.

"Sayang tau, setelah Aina melahirkan anak kedua kita, mas berkeinginan mengajak sayang liburan. Mas sudah membelikan tiket liburan ke jepang. Sayang bilang pada mas, kalau sayang ingin berlari-lari kecil di taman bunga sakura, 'kan?" Sambung Yudha lagi, dengan sebuah senyuman yang merekah namun terdapat miris di dalamnya.

"Tapi sekarang, Aina pergi dari mas dan meninggalkan sebuah pesan yang tidak sanggup mas wujudkan." Papar Yudha lagi, seraya kemudian bangkit dari makamnya Aina.

"Bang! Abang!" teriak seorang anak kecil memanggilnya, dengan sebuah lambaian tangan ke arah Yudha. Anak kecil itu berlari kecil menghampiri Yudha yang sedang menyapu pelan bajunya yang terkena oleh deburan tanah.

"Bang, Abah menyuruh Abang pulang. Ada orang yang ingin bertemu dengan Abang." ucap anak laki-laki yang berusia sembilan tahun, dengan nafas yang ngos-ngosan.

"Rif, apa kamu tau orang itu siapa?" tanya Yudha, yang berjalan dengan langkah besar. Jarak rumah Aina dan makam, tidaklah terlalu jauh. Hanya beberapa menit saja, rumah Aina sudah terlihat di depan mata.

"Dimana anak saya? Di mana kalian menyembunyikan putra satu-satunya saya, hah!" Tanya seorang perempuan paruh baya, yang tak lain adalah ibunya Yudha.

"Besan, ini bisa kita bicarakan baik-baik." ujar ibunya Anjani dengan lembut, seraya berusaha menenangkan Bu Ratih.

"Tidak perlu di bicarakan baik-baik, kedatangan saya kesini, saya ingin mengajak anak saya pulang dari gubuk reyot ini." papar ratih dengan tatapan sinis.

Para tetangga yang membantu Bu Yuyun dan pak Ahyar, mereka melempar pandang satu sama lain, dimana mereka tidak menyangka bahwa Aina memiliki mertua yang toxic.

"Yudha!" Panggil Bu Ratih dengan suara lantang, sembari berusaha masuk ke dalam rumahnya Aina.

Evelyn yang selalu setia mendampingi Bu Ratih, kini dirinya punya kesempatan untuk memiliki sang pemilik tatapan tajam.

"Mau ngapain kalian ke sini?" tanya Yudha dingin, yang berdiri tak jauh dari Bu Ratih dan Evelyn. Para warga san tetangga, mereka masih asyik melihat penampakan di depan mata.

"Mama ke sini ingin mengajak kamu pulang, ayo!" ajak Bu Ratih, seraya menarik paksa tangannya Yudha.

Yudha menepis kasar tangan sang ibu, sehingga membuat Bu Ratih menahan malu sekaligus murka terhadap anaknya.

"Apa saja yang di ajarkan oleh orang miskin ini pada mu, heum? Menyuruh mu menentang mama? Mama kesini berniat baik-baik, mama ingin kamu pulang dan tinggalkan kampung ini sekarang juga. Antara kamu dan Aina telah berakhir, dan mama ingin kamu menikah dengan Evelyn secepat mungkin." sambung Bu Ratih, saat sang anak menapih kasar tangannya.

"Apa hak mama mengatur-atur hidup ku, heum? Yudha tidak akan pernah menikahi perempuan bermuka dua ini, mah!" balas Yudha, dengan menunjuk kasar ke arah Evelyn.

"Mama berhak mengatur-atur hidup mu, kamu anak mama. Kamu darah daging mama, mam--"

"Cukup, mah! Yudha minta pada mama, sekarang juga angkat kaki dari rumah ini! Dan satu lagi yang harus mama ketahui, Yudha tidak akan pernah menginjakkan kaki di rumah mama lagi!" Potonh Yudha dengan suara tinggi, seraya menunjuk ke arah pintu pagar rumah mertuanya.

"Mama tidak akan pulang sebelum kamu ikut dengan mama. Mama sudah bersepakat dengan papa dan pak hendrik, Minggu depan kalian akan bertunangan. Jadi mama minta, tinggalkan keluarga miskin ini, dan rajut hubungan mu dengan keluarga ninggrat!" Putus Bu Ratih tanpa memikirkan perasaan keluarga miskin.

"Kalau bukan mengingat mama orang yang melahirkan ku, mungkin tamparan pertama yang akan aku layangkan yaitu di wajah mama! Satu hal yang harus mama tahu, Jum'at ini aku akan menikahi adiknya Aina, yaitu Anjani!" papar Yudha dengan suara lantang, sehingga membuat seorang perempuan menjatuhkan sesuatu yang ada dalam pergelangan tangannya.

Nampan berisi minuman teh dingin yang di buatkan oleh Anjani untuk mertua almarhumah sang kakak, nampan itu jatuh dari tangannya begitu saja.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status