"Tante, Aurel lapar." ucap Aurel, saat aku sedang menyajikan hidangan untuk para tamu yang datang mendoakan kak Aina.
Tepat di hari kelima kak Aina dikebumikan, lelaki yang tak lain adalah mas Yudha, dia sama sekali tidak pernah hadir mendoakan mendiang istrinya. Semenjak pergi di hari pertama kak Aina di kebumikan, lelaki itu belum pernah sehari pun menjenguk anak perempuan yang dia tinggalkan bersama dengan kami. "Sebentar ya, Tante ambilkan dulu makanan yang cocok untuk Aurel. Sini, ikut Tante saja yuk." Aku pun menggendong Aurel membawanya masuk ke dalam rumah. "Tante, mama kemana ya? Aurel kangen banget sama mama," ujar Aurel, yang kini berada dalam gendongan ku. Anak sekecil dia, belum tau apa-apa tentang orang yang sudah meninggal. Meski aku sudah beberapa kali menjelaskan pada Aurel kalau ibunya telah pergi meninggalkan dia selama-lamanya, namun gadis kecil itu belum mengerti maksudku. "Sayang, kamu mau ayam goreng ini?" tanya ku, seraya memperlihatkan sepotong paha ayam ke arah Aurel. "Mau Tante," balas Aurel. Dia tersenyum polos ke arah ku. Sedih, itu jelas ku rasakan saat anak sekecil nya sudah di tinggal pergi oleh ibunya. Belum lagi anak bayi yang masih merah di rumah sakit. "Sini, Tante gendong Aurel ya. Kita makan di luar saja, biar Aurel makannya lebih banyak." Sebisa mungkin aku membuatnya nyaman, agar Aurel tidak kekurangan kasih sayang dan perhatian. "Tante, papa kemana ya? Aurel pengen tidur sama papa." ujar Aurel, saat aku dudukkan dia di atas kursi yang berada di bawah pohon jambu. Rumah ku tidaklah terlalu besar, cuma hanya memiliki tiga kamar dan ruang tamu yang terlalu sempit. Kami bukanlah berasal dari keluarga kaya, kami hanyalah orang miskin yang beruntung di pinang oleh keluarga berada. Kak Aina di pinang oleh lelaki yang memiliki kekuasaan di kota, sedangkan aku di pinang oleh lelaki yang bergelar seorang dokter. Awalnya Abah menolak lamaran dari dua lelaki yang melamar kedua putrinya ini, beliau merasa tidak pantas putri-putri nya bersanding dengan keluarga orang berada. Namun, rasa cinta yang hadir dalam diri mas Yudha untuk kak Aina, membuat Abah menerima pinangan dari lelaki tersebut. Begitu juga dengan mas Bara, dia begitu antusias meyakinkan bahwa kedua orang tuannya merestui hubungan kami. Akhirnya, mau tak mau Abah menerima lamaran dari lelaki yang baru aku kenal beberapa bulan lalu. "Papa Aurel lagi sibuk, kan papa Aurel harus kerja." Sahut ku, seraya kemudian menyuapi makannya. "Aku rindu sama papa, Tante. Boleh Tante hubungi papa?" ragu-ragu ku anggukan kepala ku. Kasihan melihat anak sekecil itu yang terpisah dari ibu dan ayah, membuat ku menghubungi lelaki yang aku segani selama ini. "Heeumm." hanya deheman yang di berikan oleh mas Yudha saat mengangkat panggilan dari ku, kini membuat ku semakin dilema akan keputusannya. "Ma-mas, Aurel ingin bicara sama papanya." ucap ku kaku, dengan menyebut dirinya sebagai mas. Aku sendiri pun tidak tau, apa panggilan itu cocok untuknya. "Tolong berikan ponselnya pada Aurel." sahut mas Yudha dengan suara dingin. Buru-buru ku berikan ponsel pada Aurel, gadis kecil itupun langsung mengambil ponsel dari genggaman tangan ku. "Halo, pa. Papa kemana aja? Aurel rindu pada papa." ucap Aurel. "Sayang, maafkan papa ya nak. Papa belum bisa menjenguk Aurel, papa saat ini harus bolak balik rumah sakit untuk melihat adik bayinya Aurel. Mungkin, lusa papa akan ke sana ya. Kamu lagi apa?" suara yang sudah ku lons spiker agar lebih memudahkan Aurel bertutur kata dengan papanya, membuat ku bisa mendengar kalimat panjang dari lelaki dingin itu. "Lagi makan, pa. Tante yang menyuapi ku makan, pa. Tante baik banget sama Aurel, pa." Aku menggeleng kepala agar Aurel tidak mengatakan apapun tentang ku. "Tolong, kasih ponsel sebentar sama Tante ya, nak." Aurel pun memberikan ponsel pada ku, sedangkan hatiku harap-harap cemas saat mas Yudha ingin mengobrol dengan ku. "Anjani," panggil mas Yudha dingin, "Heeumm." Tak tau apa yang harus ku jawab saat mas Yudha memanggil namaku. Terpaksa, aku hanya memberikan respon seperti itu. "Lusa, anak saya sudah bisa keluar dari rumah sakit. Saya tidak tau, kemana saya akan membawakan nya. Kalau boleh, bolehkah saya membawa dia ke sana?" Ada perasaan sedih mendengar ucapan mas Yudha seperti itu. Aku tau bagaimana jadi dia, pasti dia bingung harus bawa bayi merah itu kemana. Anak kedua mereka harus di rawat inap beberapa hari di rumah sakit, mengingat kondisinya sangat lemah. "Bo-boleh, mas. Bagaimana pun mereka adalah keponakan ku." balas ku kaku. "Bagaimana dengan wasiat Aina?" deg. Aku bingung harus menjawab apa, lagi-lagi, jantung ku tidak tenang saat mendengar wasiat mbak Aina. "Ma-maaf, mas. Anjani tetap tidak bisa." balas ku dengan jantung berdebar-debar. "Baiklah, bila memang kamu tidak bisa. Saya pun tidak punya hak untuk memaksa mu menjadi ibu pengganti mereka. Lusa, saya akan menjemput Aurel. Maafkan atas sikap saya dan keluarga saya beberapa hari yang lalu." Tut. Setelah mengatakan sederet kalimat tersebut, mas Yudha mematikan sambungannya sepihak. 'kenapa dengan hatiku, tuhan.' batin ku, saat ada rasa yang entah seperti apa rasa itu. Tentunya, ada yang sakit di dalam sana. 'Anjani, hubungan mu dengan Bara hanya menghitung hari. Buanglah rasa yang ada dalam hatimu terhadap orang lain.' batin ku lagi, seraya menyuapi makan nya Aurel. Tidak banyak orang yang ikut hadir mendoakan kak Aina, karena kami hanyalah orang miskin yang sebagian memandang kami dengan sebelah mata. ** ** "Papa!" teriak Aurel begitu girang, saat mobil lelaki yang menjadi cinta pertamanya terparkir di halaman rumah kami yang tidak terlalu luas. Hari ini adalah hari ke tujuh kak Aina pergi. Lelaki yang memakai kemeja putih dengan lengan panjang, keluar dari mobil mewahnya tanpa sebuah senyuman menghiasi bibirnya. Hampa, wajah itu sangat terkesan hampa. "Dedek bayi mana, pa?" tanya Aurel, sembari memeluk tubuh kekar papanya yang mensejajarkan tubuhnya dengan sang anak. Saat ini, aku sedang menyambut beberapa tamu yang ikut hadir meramaikan hari ke tujuh kak Aina. "Dedek bayi masih di rumah sakit, nak. Nanti kita bawakan pulang ya. Kakek mana, sayang?" tanya mas Yudha, seraya menggendong Aurel. "Itu, pa." Tunjuk Aurel ke arah Abah yang duduk dengan para bapak-bapak yang sedang menikmati hidangan yang telah kami sediakan. Mas Yudha pun berlalu pergi ke arah Abah dengan Aurel yang masih di dalam gendongannya. "Abah," panggil mas Yudha, saat berada tepat di samping Abah. "Nak Yudha, silahkan duduk, nak." Sahut Abah, seraya mengambil kursi untuk mas Yudha. Aku memperhatikan lelaki yang penuh dengan wibawa duduk di samping para bapak-bapak. "Maaf sebelum nya, bah. Boleh saya bicara sebentar dengan Abah?" Abah pun menganggukkan kepalanya, seraya kemudian membawa mas Yudha menjauh dari para bapak-bapak di sana. Rasa penasaran ku meronta-ronta, aku takut kalau mas Yudha mengatakan sesuatu menyangkut kami. Aku tetap pada pendirian ku, yaitu tidak ingin menjalankan wasiat dari kak Aina. "Ada apa, nak Yudha?" tanya Abah, saat mereka berdua sudah duduk di kursi yang berada di sana. "Begini, bah. Yudha ingin membawa Aurel pulang ke rumah kami," balas mas Yudha dengan pandangan menunduk. Entah kenapa dengan langkah ku yang berjalan menghampiri mereka. "Aurel di sini saja, mas. Biarkan kami yang mengasuh nya." sahut ku. kini aku berdiri di samping Abah. "Tidak, Anjani. Dia adalah anak saya, jadi sudah kewajiban saya untuk menjaga dan merawatnya." balas mas Yudha, tanpa melihat ke arah ku. "Tapi, dia masih terlalu kecil, mas. Lagian, bukankah mas juga kerja?" "Iya, saya kerja. Tapi saya sudah menyewa dua baby sitter untuk menjaga mereka." balas mas Yudha, Sembari mendongakkan wajahnya ke arah ku. "Mas, baby sitter itu belum terlalu baik mengurus mereka. Biarkan Anjani saja yang merawat mereka di sini." jelas ku dengan mengambil Aurel dari pangkuan papanya. "Tidak Anjani, sebentar lagi kalian akan menikah. Saya tidak ingin anak-anak saya mengganggu mu, saya akan membawa anak saya pergi dari rumah ini." ucap mas Yudha, seraya bangkit dari duduknya. "Kamu tidak makan dulu, nak? Kamu kan baru saja tiba," cegat Abah, saat mas Yudha ingin mengambil Aurel dari gendongan ku. "Tidak, bah. Yudha ingin menjenguk makam Aina sebentar. Habis dari sana, Yudha harus pulang secepat mungkin, bah. Anak kedua kami sudah di perbolehkan pulang hari ini." jelas mas Yudha. Diapun kemudian menyalami tangan Abah. Ada rasa kasihan dalam hati ini untuknya, lebih-lebih untuk dua anak kecil yang harus hidup tanpa orang tua yang lengkap. "Anjani, terima kasih atas pelayanan yang kamu berikan untuk anak saya. Saya minta maaf, bila sikap saya dan keluarga saya beberapa hari yang lalu, membuat Abah dan Anjani sedih. Saya tidak bisa memaksa mu menjadi ibu pengganti untuk mereka, kalau boleh saya minta, saya ingin cincin Aina yang saya berikan pada mu, saya minta lagi ya. Saya hanya ingin menyimpan nya saja, dan membawa kemanapun saya pergi." ucap mas Yudha, dengan menatap ke arah lain. Ada rasa iba dalam diri ku saat menatap mata sendu Abang ipar ku itu. "Rani, menikahlah dengan nak Yudha, agar anak-anak kakak mu hidupnya terjamin di tangan mu, nak." deg. Ucapan bak sebuah perintah dari Abah, membuat jantung ku terkejut."Ta-tapi, bah. Sebentar lagi, Rani dan Bara akan menikah." sahut ku, sambil menatap manik hitam lelaki yang menjadi cinta pertama ku. Aku tidak mau menikah dengan lelaki yang tidak aku cintai, sedangkan lelaki yang aku cinta hanyalah Bara. Lelaki hangat dan baik serta lembut khas ciri seorang dokter, tidak mungkin aku mengecewakannya se menyakitkan itu. "Tapi, nak. Lihatlah mata anak kakak kamu, dia butuh seorang ibu yang baik." imbuh Abah. Abah melihat ke arah Aurel yang sedang merebahkan kepalanya di dada bidang papanya. "Mas Yudha bisa kok bah, memberikan ibu pengganti untuk anak-anaknya. Rani tidak bisa, bah." balas ku, seraya ingin pergi meninggalkan mereka bertiga. Meski ada rasa iba terhadapnya, namun menikah dengannya bukanlah keinginan ku. "Tidak apa-apa, bah. Yudha bisa menjaga mereka dengan baik. Yudha akan berusaha menjadi seorang ayah dan ibu untuk mereka berdua. Baiklah, bah. Yudha pergi dulu, oh ya Anjani, tolong berikan cincin Aina." Aku
Tak ada angin dan tidak ada hujan, namun keputusan ku sudah tepat. lelaki yang amat aku cintai, menatap lama ke arah ku dengan wajah terkejut. "Hahahaha, aku tau sayang, kamu lagi ngeprank aku, 'kan? ayo ngaku? sini mas pakaikan lagi," ucap Bara dengan senyum ramah. "Tidak, mas. Anjani serius, Anjani kembalikan lagi cincin tunangan kita. maafkan Anjani, mas. Anjani tidak bisa melanjutkan pernikahan kita," Kembali menjelaskan pada bawa kalau aku memang tidak bisa melanjutkan pernikahan ini. Ada anak bayi merah di sana yang membutuhkan kasih sayang dari seorang ibu. "Salah mas apa?! Apa yang mas lakukan sehingga membuat Anjani memutuskan pertunangan kita?! Apa mas ada salah?" Bara bangun dari duduknya, dia meraup wajahnya kasar saat melihat air bening yang memberontak minta turun dari mata ku. "Anjani tau, mas sudah menyebarkan surat undangan pernikahan kita! seluruh teman-teman mas sudah mas beritahukan semuanya! keluarga besar mas pun sudah menyiapkan segala keperluan kita! Dan
Begitu pintu rumah di buka oleh abah, dua orang laki menghajar Abah habis-habisan. Bug. Brak!! "Berhenti!! Abah!!" Aku shock saat melihat orang tua ku di pukul dan di tendang oleh mereka seperti itu. "Tolong, jangan lukai Abah saya." Mohon ku dengan berusaha menjadi penengah antara Abah dan mereka. Brak!! "Rani!!" Bukan permohonan yang mereka kabulkan, mereka malah mendorong ku ke arah lelaki yang berdiri dengan sebatang rokok di tangan kirinya. Lelaki yang tak lain adalah ayahnya Bara, lelaki itu kini mensejajarkan tubuhnya dengan ku yang terjerembab di hadapannya. "Tolong, jangan sakiti putri saya, juragan." Mohon Abah, sambil menggapai ku. Namun Abah tidak bisa menggapai ku dikarenakan anak buah juragan menahannya. khuk, khuk. Aku terbatuk-batuk saat lelaki paruh baya itu meniup asap rokoknya ke wajah ku. "Tolong jangan juragan," Pinta ku, saat ayahnya Bara mencengkeram kuat pipi ku. "Berani-beraninya kamu mempermainkan anak
"Ikhlaskan kepergian Abah, nak. Abah sudah tenang di alam sana," Ucapan Mak sama sekali tak ku indahkan, aku hanya ingin Abah ada di sisi ku lagi. Beliau cinta pertama ku, dan sekarang mereka menuntut ku untuk mengikhlaskan kepergiannya. Seandainya Abah meninggal bukan karena ku, aku masih bisa mengikhlaskan kepergiannya. Namun sayang, Abah pergi hanya karena ku memutuskan hubungan dengan Bara. "Abah! Kenapa Abah secepat ini pergi? Rani masih membutuhkan Abah!" "Sayang, ikhlaskan kepergian Abah. Abah sudah tenang di alam sana," jelas Mak lagi, sambil mengelus-elus bahuku. "Bagaimana bisa aku ikhlas, Mak? Mak tau sendiri apa sebab yang membuat Abah pergi! Ini semua karena kak Aina!" "Anjani, tolong jangan." cegat mas Yudha, saat aku ingin menarik nisan kak Aina. "Kak Aina! kakak lihatkan apa yang kakak lakukan?! Kakak lihatkan hasil dari yang kakak tinggalkan di dunia ini?! Kakak pergi meninggalkan kami, dan kakak tinggalkan luka untuk kami di si
"kakak!"panggil Anjani begitu senang, saat dia baru saja menapaki teras rumah sang kakak.Seorang perempuan yang baru hamil delapan bulan, begitu senang saat melihat adik satu-satunya yang dia miliki, kini terlihat di depan matanya kini. "Apa kabar, kak?"tanya anjani dengan wajah yang masih sama, seraya mencium pipi kiri dan kanan sang kakak."Alhamdulillah, kakak baik-baik saja. Mak sama abah tidak ikut?"tanya Aina, sembari melihat ke arah sekeliling rumahnya. "Tidak, kak. Mak sama abah tidak bisa ikut, mereka bilang sebentar lagi padi mau di panen. Yah, gitu lah kak. Oh ya, kak. Mak sama abah hanya menitip ini untuk kakak."Anjani memperlihatkan satu rantang plastik berisi ayam kampung, di mana ayam kampung olahan sang emak sangat di sukai oleh Aina. Aina sendiri berasal dari kampung, di mana dia mengadu nasib di perkotaan pada sebuah perusahaan. Dia yang menjadi seorang office girls di sebuah perusahaan ternama, mendadak dinikahi oleh seorang bos besar pemilik perus
"Ma-maaf, saya kira Aina."ujar Yudha dengan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Usai mengatakan sederet kalimat itu dengan wajah dingin yang di iringi dengan rasa bersalah, dia pun berlalu pergi meninggalkan Anjani yang juga termenung dengan kejadian tadi. Dia sendiri merasa cemas bila sang kakak melihat kejadian barusan, dimana dia di peluk oleh Abang iparnya sendiri tanpa ada kesengajaan. Anjani takut, bila sang kakak menuduhnya yang tidak-tidak."Mas, kamu sudah pulang? Capek ya, sini Aina pijitin."ucap Aina, saat Yudha baru saja masuk ke kamar nya. "Sayang, kamu kok tidak bilang sama mas kalau ada orang lain di rumah kita."imbuh Yudha, sembari melepaskan dasi yang melingkar di lehernya. "Hehehe, maaf ya sayang. Aina lupa mengabari mas lebih dulu,"Aina pun mendudukkan suaminya di bibir ranjang. Sudah kebiasaan Aina saat sang suami pulang, dia akan melayani suaminya dengan sebaik mungkin. "Sayang, kalau kamu memasukkan orang lain ke dalam rumah kita, seharu
"Kak, Rani mau pulang." ucapan Rani kembali membuat Aina menghembuskan nafas berat. "Kok pulang, dek. Kamu baru sehari di rumah kakak, masak langsung pulang. Nggak kasian sama kakak?"tanya Aina, seraya memilih duduk di sofa ruang tamu. Perut yang semakin hari semakin besar, membuat perempuan itu sangat kepayahan untuk berjalan. "Bukan gitu lho, kak. Kakak tau sendiri kan, kalau Rani akan menikah. Rani harus menyiapkan segala keperluannya, kak." alasan Anjani tidak ingin tinggal di rumah kakaknya, bukanlah alasan yang seperti itu. Dia tidak ingin menjadi orang ketiga yang bisa membuat keretakan rumah tangga kakaknya. Melihat sikap Yudha seperti itu, membuat Anjani bisa menebak kalau mereka habis berselisih paham tentang kehadirannya di rumah itu. "Kan pernikahan kamu sebulan lagi, dek. Tinggal lah di rumah kakak beberapa Minggu saja, setelah kakak melahirkan, Rani sudah boleh kok pulang." pinta Aina. "Pakaian kamu sudah kakak pesan, mungkin sebentar lagi aka
"Mama!!" teriak ku murka, saat melihat istri yang sangat aku perlakukan dengan lembut, di perlakukan kasar oleh orang yang telah melahirkan ku. Buru-buru aku berlari menghampiri istri ku yang sedang terduduk di lantai bersama dengan adik iparku yang berusaha membangunkan nya. "Cukup, ma! Yudha kecewa sama mama. Kalian benar-benar jahat! Kalian tidak punya hati nurani!" Papar ku sedih sekaligus marah, sembari membangunkan Aina yang matanya sedang berkaca-kaca. "Sayang, kamu tidak apa-apa?" tanya ku pada Aina, dia menggelengkan kepalanya dengan senyuman manis mengandung miris di dalamnya. "Mbak, baju mbak basah." beritahu Anjani saat menyentuh baju Aina yang basah. Entah basah dengan air apa, aku tidak tau. banyak para tamu undangan yang melihat ke arah kami tanpa mau membantu. Begitu juga dengan adik ku yang baru saja tiba dengan gaya angkuh. "Ada apa ini, kak?" tanya nindy, yaitu adik ku yang mau bertunangan. Dapat ku lihat wajah mama yang malu, usai ku bentak
"Ikhlaskan kepergian Abah, nak. Abah sudah tenang di alam sana," Ucapan Mak sama sekali tak ku indahkan, aku hanya ingin Abah ada di sisi ku lagi. Beliau cinta pertama ku, dan sekarang mereka menuntut ku untuk mengikhlaskan kepergiannya. Seandainya Abah meninggal bukan karena ku, aku masih bisa mengikhlaskan kepergiannya. Namun sayang, Abah pergi hanya karena ku memutuskan hubungan dengan Bara. "Abah! Kenapa Abah secepat ini pergi? Rani masih membutuhkan Abah!" "Sayang, ikhlaskan kepergian Abah. Abah sudah tenang di alam sana," jelas Mak lagi, sambil mengelus-elus bahuku. "Bagaimana bisa aku ikhlas, Mak? Mak tau sendiri apa sebab yang membuat Abah pergi! Ini semua karena kak Aina!" "Anjani, tolong jangan." cegat mas Yudha, saat aku ingin menarik nisan kak Aina. "Kak Aina! kakak lihatkan apa yang kakak lakukan?! Kakak lihatkan hasil dari yang kakak tinggalkan di dunia ini?! Kakak pergi meninggalkan kami, dan kakak tinggalkan luka untuk kami di si
Begitu pintu rumah di buka oleh abah, dua orang laki menghajar Abah habis-habisan. Bug. Brak!! "Berhenti!! Abah!!" Aku shock saat melihat orang tua ku di pukul dan di tendang oleh mereka seperti itu. "Tolong, jangan lukai Abah saya." Mohon ku dengan berusaha menjadi penengah antara Abah dan mereka. Brak!! "Rani!!" Bukan permohonan yang mereka kabulkan, mereka malah mendorong ku ke arah lelaki yang berdiri dengan sebatang rokok di tangan kirinya. Lelaki yang tak lain adalah ayahnya Bara, lelaki itu kini mensejajarkan tubuhnya dengan ku yang terjerembab di hadapannya. "Tolong, jangan sakiti putri saya, juragan." Mohon Abah, sambil menggapai ku. Namun Abah tidak bisa menggapai ku dikarenakan anak buah juragan menahannya. khuk, khuk. Aku terbatuk-batuk saat lelaki paruh baya itu meniup asap rokoknya ke wajah ku. "Tolong jangan juragan," Pinta ku, saat ayahnya Bara mencengkeram kuat pipi ku. "Berani-beraninya kamu mempermainkan anak
Tak ada angin dan tidak ada hujan, namun keputusan ku sudah tepat. lelaki yang amat aku cintai, menatap lama ke arah ku dengan wajah terkejut. "Hahahaha, aku tau sayang, kamu lagi ngeprank aku, 'kan? ayo ngaku? sini mas pakaikan lagi," ucap Bara dengan senyum ramah. "Tidak, mas. Anjani serius, Anjani kembalikan lagi cincin tunangan kita. maafkan Anjani, mas. Anjani tidak bisa melanjutkan pernikahan kita," Kembali menjelaskan pada bawa kalau aku memang tidak bisa melanjutkan pernikahan ini. Ada anak bayi merah di sana yang membutuhkan kasih sayang dari seorang ibu. "Salah mas apa?! Apa yang mas lakukan sehingga membuat Anjani memutuskan pertunangan kita?! Apa mas ada salah?" Bara bangun dari duduknya, dia meraup wajahnya kasar saat melihat air bening yang memberontak minta turun dari mata ku. "Anjani tau, mas sudah menyebarkan surat undangan pernikahan kita! seluruh teman-teman mas sudah mas beritahukan semuanya! keluarga besar mas pun sudah menyiapkan segala keperluan kita! Dan
"Ta-tapi, bah. Sebentar lagi, Rani dan Bara akan menikah." sahut ku, sambil menatap manik hitam lelaki yang menjadi cinta pertama ku. Aku tidak mau menikah dengan lelaki yang tidak aku cintai, sedangkan lelaki yang aku cinta hanyalah Bara. Lelaki hangat dan baik serta lembut khas ciri seorang dokter, tidak mungkin aku mengecewakannya se menyakitkan itu. "Tapi, nak. Lihatlah mata anak kakak kamu, dia butuh seorang ibu yang baik." imbuh Abah. Abah melihat ke arah Aurel yang sedang merebahkan kepalanya di dada bidang papanya. "Mas Yudha bisa kok bah, memberikan ibu pengganti untuk anak-anaknya. Rani tidak bisa, bah." balas ku, seraya ingin pergi meninggalkan mereka bertiga. Meski ada rasa iba terhadapnya, namun menikah dengannya bukanlah keinginan ku. "Tidak apa-apa, bah. Yudha bisa menjaga mereka dengan baik. Yudha akan berusaha menjadi seorang ayah dan ibu untuk mereka berdua. Baiklah, bah. Yudha pergi dulu, oh ya Anjani, tolong berikan cincin Aina." Aku
"Tante, Aurel lapar." ucap Aurel, saat aku sedang menyajikan hidangan untuk para tamu yang datang mendoakan kak Aina. Tepat di hari kelima kak Aina dikebumikan, lelaki yang tak lain adalah mas Yudha, dia sama sekali tidak pernah hadir mendoakan mendiang istrinya. Semenjak pergi di hari pertama kak Aina di kebumikan, lelaki itu belum pernah sehari pun menjenguk anak perempuan yang dia tinggalkan bersama dengan kami. "Sebentar ya, Tante ambilkan dulu makanan yang cocok untuk Aurel. Sini, ikut Tante saja yuk." Aku pun menggendong Aurel membawanya masuk ke dalam rumah. "Tante, mama kemana ya? Aurel kangen banget sama mama," ujar Aurel, yang kini berada dalam gendongan ku. Anak sekecil dia, belum tau apa-apa tentang orang yang sudah meninggal. Meski aku sudah beberapa kali menjelaskan pada Aurel kalau ibunya telah pergi meninggalkan dia selama-lamanya, namun gadis kecil itu belum mengerti maksudku. "Sayang, kamu mau ayam goreng ini?" tanya ku, seraya memp
Perkataan Yudha yang mengatakan akan menikahi adik almarhumah istrinya, membuat para warga ikut tercengang. Lebih-lebih, kedua orang tua Anjani yang ikut terkejut mendengar perkataan sang menantu. Anjani sendiri saat ini memilih mencari tempat untuk menyangga tubuhnya, kedua lututnya terasa lemah mendengar pernyataan dari kakak iparnya barusan. "Wah, pak Ahyar! Ternyata dugaan ku terhadap orang miskin itu benar, ya! Mereka tidak akan melepaskan begitu saja menantu kayanya ini! Seperti mu! Kamu kembali meminta putra ku untuk melanjutkan lagi hubungan dengan putri mu. Saya tidak menyangka, orang miskin seperti kalian benar-benar menjadi benalu dalam keluarga orang kaya! Kamu manusia serakah yang meminta anakku untuk menikahi putri mu lagi!" Hinaan dari bu Ratih membuat pak Ahyar menghampiri mereka. Beliau tidak mau warganya salah paham atas ucapan Bu Ratih barusan. "Yudha, bisakah kamu menjelaskan semua ini, nak? Kami memang orang miskin, tapi kami tidak pernah memi
"Yudha, ayo kita pulang. Ikhlaskan kepergian Aina, dia saat ini sudah tenang di alam sana, nak." ujar seorang lelaki paruh baya, yang tak lain adalah mertuanya Yudha. Pak Ahyar meminta pada Yudha untuk mengkebumikan Aina di halaman kampung kelahirannya, dengan begitu, sang Abah bisa kapan saja mengunjungi makam anak sulungnya itu.Sedangkan bayi kedua Aina dan Yudha, saat ini bayi itu masih dalam penanganan sang dokter di rumah sakit. "Saya nanti saja pulang, bah." balas Yudha, yang masih mencium nisan sang istri. Yudha merasa masih belum bangun dari mimpi buruknya, dimana dia masih tidak menyangka sang istri secepat itu pergi meninggalkan dirinya bersama dengan anak-anaknya. "Mas, seandainya aku yang lebih dulu pergi, mas jangan bersedih, ya. Yakinkan saja, Allah akan memberikan pengganti yang lebih cantik dan baik dari Aina." Perkataan Aina kembali terngiang-ngiang di telinganya, air matanya kembali turun dengan sendirinya tanpa di minta. "Ma-mas, ayo kita pulang
"Mama!!" teriak ku murka, saat melihat istri yang sangat aku perlakukan dengan lembut, di perlakukan kasar oleh orang yang telah melahirkan ku. Buru-buru aku berlari menghampiri istri ku yang sedang terduduk di lantai bersama dengan adik iparku yang berusaha membangunkan nya. "Cukup, ma! Yudha kecewa sama mama. Kalian benar-benar jahat! Kalian tidak punya hati nurani!" Papar ku sedih sekaligus marah, sembari membangunkan Aina yang matanya sedang berkaca-kaca. "Sayang, kamu tidak apa-apa?" tanya ku pada Aina, dia menggelengkan kepalanya dengan senyuman manis mengandung miris di dalamnya. "Mbak, baju mbak basah." beritahu Anjani saat menyentuh baju Aina yang basah. Entah basah dengan air apa, aku tidak tau. banyak para tamu undangan yang melihat ke arah kami tanpa mau membantu. Begitu juga dengan adik ku yang baru saja tiba dengan gaya angkuh. "Ada apa ini, kak?" tanya nindy, yaitu adik ku yang mau bertunangan. Dapat ku lihat wajah mama yang malu, usai ku bentak
"Kak, Rani mau pulang." ucapan Rani kembali membuat Aina menghembuskan nafas berat. "Kok pulang, dek. Kamu baru sehari di rumah kakak, masak langsung pulang. Nggak kasian sama kakak?"tanya Aina, seraya memilih duduk di sofa ruang tamu. Perut yang semakin hari semakin besar, membuat perempuan itu sangat kepayahan untuk berjalan. "Bukan gitu lho, kak. Kakak tau sendiri kan, kalau Rani akan menikah. Rani harus menyiapkan segala keperluannya, kak." alasan Anjani tidak ingin tinggal di rumah kakaknya, bukanlah alasan yang seperti itu. Dia tidak ingin menjadi orang ketiga yang bisa membuat keretakan rumah tangga kakaknya. Melihat sikap Yudha seperti itu, membuat Anjani bisa menebak kalau mereka habis berselisih paham tentang kehadirannya di rumah itu. "Kan pernikahan kamu sebulan lagi, dek. Tinggal lah di rumah kakak beberapa Minggu saja, setelah kakak melahirkan, Rani sudah boleh kok pulang." pinta Aina. "Pakaian kamu sudah kakak pesan, mungkin sebentar lagi aka