Tak ada angin dan tidak ada hujan, namun keputusan ku sudah tepat. lelaki yang amat aku cintai, menatap lama ke arah ku dengan wajah terkejut. "Hahahaha, aku tau sayang, kamu lagi ngeprank aku, 'kan? ayo ngaku? sini mas pakaikan lagi," ucap Bara dengan senyum ramah. "Tidak, mas. Anjani serius, Anjani kembalikan lagi cincin tunangan kita. maafkan Anjani, mas. Anjani tidak bisa melanjutkan pernikahan kita," Kembali menjelaskan pada bawa kalau aku memang tidak bisa melanjutkan pernikahan ini. Ada anak bayi merah di sana yang membutuhkan kasih sayang dari seorang ibu. "Salah mas apa?! Apa yang mas lakukan sehingga membuat Anjani memutuskan pertunangan kita?! Apa mas ada salah?" Bara bangun dari duduknya, dia meraup wajahnya kasar saat melihat air bening yang memberontak minta turun dari mata ku. "Anjani tau, mas sudah menyebarkan surat undangan pernikahan kita! seluruh teman-teman mas sudah mas beritahukan semuanya! keluarga besar mas pun sudah menyiapkan segala keperluan kita! Dan
Begitu pintu rumah di buka oleh abah, dua orang laki menghajar Abah habis-habisan. Bug. Brak!! "Berhenti!! Abah!!" Aku shock saat melihat orang tua ku di pukul dan di tendang oleh mereka seperti itu. "Tolong, jangan lukai Abah saya." Mohon ku dengan berusaha menjadi penengah antara Abah dan mereka. Brak!! "Rani!!" Bukan permohonan yang mereka kabulkan, mereka malah mendorong ku ke arah lelaki yang berdiri dengan sebatang rokok di tangan kirinya. Lelaki yang tak lain adalah ayahnya Bara, lelaki itu kini mensejajarkan tubuhnya dengan ku yang terjerembab di hadapannya. "Tolong, jangan sakiti putri saya, juragan." Mohon Abah, sambil menggapai ku. Namun Abah tidak bisa menggapai ku dikarenakan anak buah juragan menahannya. khuk, khuk. Aku terbatuk-batuk saat lelaki paruh baya itu meniup asap rokoknya ke wajah ku. "Tolong jangan juragan," Pinta ku, saat ayahnya Bara mencengkeram kuat pipi ku. "Berani-beraninya kamu mempermainkan anak
"Ikhlaskan kepergian Abah, nak. Abah sudah tenang di alam sana," Ucapan Mak sama sekali tak ku indahkan, aku hanya ingin Abah ada di sisi ku lagi. Beliau cinta pertama ku, dan sekarang mereka menuntut ku untuk mengikhlaskan kepergiannya. Seandainya Abah meninggal bukan karena ku, aku masih bisa mengikhlaskan kepergiannya. Namun sayang, Abah pergi hanya karena ku memutuskan hubungan dengan Bara. "Abah! Kenapa Abah secepat ini pergi? Rani masih membutuhkan Abah!" "Sayang, ikhlaskan kepergian Abah. Abah sudah tenang di alam sana," jelas Mak lagi, sambil mengelus-elus bahuku. "Bagaimana bisa aku ikhlas, Mak? Mak tau sendiri apa sebab yang membuat Abah pergi! Ini semua karena kak Aina!" "Anjani, tolong jangan." cegat mas Yudha, saat aku ingin menarik nisan kak Aina. "Kak Aina! kakak lihatkan apa yang kakak lakukan?! Kakak lihatkan hasil dari yang kakak tinggalkan di dunia ini?! Kakak pergi meninggalkan kami, dan kakak tinggalkan luka untuk kami di si
"kakak!"panggil Anjani begitu senang, saat dia baru saja menapaki teras rumah sang kakak.Seorang perempuan yang baru hamil delapan bulan, begitu senang saat melihat adik satu-satunya yang dia miliki, kini terlihat di depan matanya kini. "Apa kabar, kak?"tanya anjani dengan wajah yang masih sama, seraya mencium pipi kiri dan kanan sang kakak."Alhamdulillah, kakak baik-baik saja. Mak sama abah tidak ikut?"tanya Aina, sembari melihat ke arah sekeliling rumahnya. "Tidak, kak. Mak sama abah tidak bisa ikut, mereka bilang sebentar lagi padi mau di panen. Yah, gitu lah kak. Oh ya, kak. Mak sama abah hanya menitip ini untuk kakak."Anjani memperlihatkan satu rantang plastik berisi ayam kampung, di mana ayam kampung olahan sang emak sangat di sukai oleh Aina. Aina sendiri berasal dari kampung, di mana dia mengadu nasib di perkotaan pada sebuah perusahaan. Dia yang menjadi seorang office girls di sebuah perusahaan ternama, mendadak dinikahi oleh seorang bos besar pemilik perus
"Ma-maaf, saya kira Aina."ujar Yudha dengan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Usai mengatakan sederet kalimat itu dengan wajah dingin yang di iringi dengan rasa bersalah, dia pun berlalu pergi meninggalkan Anjani yang juga termenung dengan kejadian tadi. Dia sendiri merasa cemas bila sang kakak melihat kejadian barusan, dimana dia di peluk oleh Abang iparnya sendiri tanpa ada kesengajaan. Anjani takut, bila sang kakak menuduhnya yang tidak-tidak."Mas, kamu sudah pulang? Capek ya, sini Aina pijitin."ucap Aina, saat Yudha baru saja masuk ke kamar nya. "Sayang, kamu kok tidak bilang sama mas kalau ada orang lain di rumah kita."imbuh Yudha, sembari melepaskan dasi yang melingkar di lehernya. "Hehehe, maaf ya sayang. Aina lupa mengabari mas lebih dulu,"Aina pun mendudukkan suaminya di bibir ranjang. Sudah kebiasaan Aina saat sang suami pulang, dia akan melayani suaminya dengan sebaik mungkin. "Sayang, kalau kamu memasukkan orang lain ke dalam rumah kita, seharu
"Kak, Rani mau pulang." ucapan Rani kembali membuat Aina menghembuskan nafas berat. "Kok pulang, dek. Kamu baru sehari di rumah kakak, masak langsung pulang. Nggak kasian sama kakak?"tanya Aina, seraya memilih duduk di sofa ruang tamu. Perut yang semakin hari semakin besar, membuat perempuan itu sangat kepayahan untuk berjalan. "Bukan gitu lho, kak. Kakak tau sendiri kan, kalau Rani akan menikah. Rani harus menyiapkan segala keperluannya, kak." alasan Anjani tidak ingin tinggal di rumah kakaknya, bukanlah alasan yang seperti itu. Dia tidak ingin menjadi orang ketiga yang bisa membuat keretakan rumah tangga kakaknya. Melihat sikap Yudha seperti itu, membuat Anjani bisa menebak kalau mereka habis berselisih paham tentang kehadirannya di rumah itu. "Kan pernikahan kamu sebulan lagi, dek. Tinggal lah di rumah kakak beberapa Minggu saja, setelah kakak melahirkan, Rani sudah boleh kok pulang." pinta Aina. "Pakaian kamu sudah kakak pesan, mungkin sebentar lagi aka
"Mama!!" teriak ku murka, saat melihat istri yang sangat aku perlakukan dengan lembut, di perlakukan kasar oleh orang yang telah melahirkan ku. Buru-buru aku berlari menghampiri istri ku yang sedang terduduk di lantai bersama dengan adik iparku yang berusaha membangunkan nya. "Cukup, ma! Yudha kecewa sama mama. Kalian benar-benar jahat! Kalian tidak punya hati nurani!" Papar ku sedih sekaligus marah, sembari membangunkan Aina yang matanya sedang berkaca-kaca. "Sayang, kamu tidak apa-apa?" tanya ku pada Aina, dia menggelengkan kepalanya dengan senyuman manis mengandung miris di dalamnya. "Mbak, baju mbak basah." beritahu Anjani saat menyentuh baju Aina yang basah. Entah basah dengan air apa, aku tidak tau. banyak para tamu undangan yang melihat ke arah kami tanpa mau membantu. Begitu juga dengan adik ku yang baru saja tiba dengan gaya angkuh. "Ada apa ini, kak?" tanya nindy, yaitu adik ku yang mau bertunangan. Dapat ku lihat wajah mama yang malu, usai ku bentak
"Yudha, ayo kita pulang. Ikhlaskan kepergian Aina, dia saat ini sudah tenang di alam sana, nak." ujar seorang lelaki paruh baya, yang tak lain adalah mertuanya Yudha. Pak Ahyar meminta pada Yudha untuk mengkebumikan Aina di halaman kampung kelahirannya, dengan begitu, sang Abah bisa kapan saja mengunjungi makam anak sulungnya itu.Sedangkan bayi kedua Aina dan Yudha, saat ini bayi itu masih dalam penanganan sang dokter di rumah sakit. "Saya nanti saja pulang, bah." balas Yudha, yang masih mencium nisan sang istri. Yudha merasa masih belum bangun dari mimpi buruknya, dimana dia masih tidak menyangka sang istri secepat itu pergi meninggalkan dirinya bersama dengan anak-anaknya. "Mas, seandainya aku yang lebih dulu pergi, mas jangan bersedih, ya. Yakinkan saja, Allah akan memberikan pengganti yang lebih cantik dan baik dari Aina." Perkataan Aina kembali terngiang-ngiang di telinganya, air matanya kembali turun dengan sendirinya tanpa di minta. "Ma-mas, ayo kita pulang