Share

Hinaan dari mertua Aina

"Kak, Rani mau pulang." ucapan Rani kembali membuat Aina menghembuskan nafas berat. "Kok pulang, dek. Kamu baru sehari di rumah kakak, masak langsung pulang. Nggak kasian sama kakak?"tanya Aina, seraya memilih duduk di sofa ruang tamu.

Perut yang semakin hari semakin besar, membuat perempuan itu sangat kepayahan untuk berjalan. "Bukan gitu lho, kak. Kakak tau sendiri kan, kalau Rani akan menikah. Rani harus menyiapkan segala keperluannya, kak." alasan Anjani tidak ingin tinggal di rumah kakaknya, bukanlah alasan yang seperti itu. Dia tidak ingin menjadi orang ketiga yang bisa membuat keretakan rumah tangga kakaknya.

Melihat sikap Yudha seperti itu, membuat Anjani bisa menebak kalau mereka habis berselisih paham tentang kehadirannya di rumah itu. "Kan pernikahan kamu sebulan lagi, dek. Tinggal lah di rumah kakak beberapa Minggu saja, setelah kakak melahirkan, Rani sudah boleh kok pulang." pinta Aina.

"Pakaian kamu sudah kakak pesan, mungkin sebentar lagi akan di kirim oleh kurirnya. Kakak ke kamar dulu ya." mau tak mau, Anjani pun menuruti kemauan kakaknya itu.

"Kakak mau apa? Biar nanti Rani buatkan." ujar Rani, saat sang kakak baru saja ingin menaiki tangga kamarnya. "Kakak tidak mau apapun, dek. Kakak hanya ingin Rani tinggal bersama dengan kakak."balas Aina, sembari kemudian berlalu pergi meninggalkan Rani yang sedang di lema.

"Apa hanya perasaan ku saja kak Aina menyembunyikan sesuatu,"batin Anjani, saat melihat tubuh Aina yang berjalan dengan kepayahan.

cling..

{Sayang, mas sudah menentukan tanggal pernikahan kita. Jadi, pulanglah lebih cepat.😘}" chat Bara di aplikasi berlogo hijau. {Dasar! Lelaki yang tidak bisa sabaran banget.🙃} Balas Anjani, seraya kemudian Rani pun pergi menjenguk keponakan nya.

----------*****----------

Di perusahaan, Yudha begitu sibuk dengan pekerjaannya sampai-sampai dia belum menyempatkan waktunya untuk sarapan pagi. Dia hanya meminta pada official boy untuk membuatkan kopi sesuai seleranya yang tidak suka manis-manis.

"Yudha," panggil pak Firlan yaitu papanya Yudha. "Heeummm." hanya itu yang di berikan oleh Yudha sebagai respon dari panggilan sang papa.

"Nanti malam, di rumah kita ada acara." Ucap pak Firlan sembari duduk di kursi yang berada di meja kerja anak lelakinya. "Acara apa?" tanya Yudha tanpa berniat menoleh ke arah sang papa.

"Pertunangan Nindya. Papa harap, kamu bisa pulang ke rumah." balas pak Firlan sembari mengambil dokumen yang ada di hadapannya Yudha. "Tidak, sebelum kalian menerima kehadiran Aina dan anak kami, Yudha tidak akan pernah menginjakkan kaki di rumah itu lagi."pungkas Yudha, yang masih standby di depan layar komputernya.

Yudha masih ingat, di mana dia melihat sang istri yang sedang mengandung besar di suruh-suruh oleh mereka. Malam itu, Yudha baru saja pulang dari kantor dengan kecapean, di tambah menyaksikan sang istri yang di jadikan babu di rumahnya sendiri, membuat lelaki itu marah besar dan membawa Aina pergi malam itu juga.

"Iya, kami sudah menerimanya."balas pak Firlan dengan wajah malas.. "pokoknya kamu harus pulang." Sambung beliau lagi, seraya berlalu pergi meninggalkan ruangan direktur utama perusahaannya.

Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Yudha pun berlalu pergi mencari makanan untuk menopang perutnya yang sedari tadi berbunyi. Kebiasaan nya, dia selalu makan pagi-pagi sekali sebelum berangkat kerja.

Di karenakan ada sang ipar di rumah yang membuatkan makanan untuk nya, dia pun pergi tanpa mencicipi terlebih dahulu masakan sang adik ipar.

Hubungan Yudha dengan keluarga Aina sangat baik, itupun hanya pada kedua orang tuanya saja. Untuk Anjani, Yudha belum pernah bertutur kata panjang lebar layaknya sebuah keluarga.

Dia adalah lelaki bersikap dingin untuk orang lain bahkan keluarga nya sendiri, tapi untuk sang istri, Yudha sangatlah romantis.

------*****------

"Mas, boleh Rani ikut? Kasian dia tinggal sendiri di rumah."ujar Aina, yang sedang menyiapkan pakaian suaminya. "Tapi sayang, inikan acara keluarga."balas Yudha yang enggan Rani ikut.

"Jadi, selama ini kamu tidak menganggap keluarga ku sebagai keluarga mu juga?" tanya Aina, seraya menyimpan kembali kalung yang hendak dia pakai.

Aina perempuan yang tidak berhijab, dia lebih senang dengan pakaian terbuka meski tidak terlalu terbuka. Yudha sendiri pun sama, dia lebih suka perempuan terbuka ketimbang perempuan tertutup.

"Bukan begitu sayang, kan kamu tau sendiri keluarga mas gimana. Mas takut saja, kalau nanti Anja_"

"Sudahlah, mas. Mas saja yang pergi, aku tidak." potong Aina, seraya berjalan ke ranjangnya. Yudha menghela nafas kasar, saat melihat sikap istrinya yang seperti itu.

"Papa!" panggil Aurel yang berlari ke arah mereka. Yudha yang ingin membujuk Aina, dia pun lebih mengutamakan anak perempuan yang sangat jarang dia manja-manjakan.

Berangkat pagi pulang malam, membuat Yudha tidak sempat untuk memanjakan sang anak sulung. "Pa, aku udah cantik 'kan?" tanya Aurel, usai mencium pipi sang papa.

"Cantik, bahkan sangat cantik seperti tuan putri. Tapi, masih kalah sama mamanya." balas Yudha, sembari mendudukkan Aurel di samping Aina. "Mama lagi ngambek sama papa, sayang. Papa rayu mama dulu ya. Aurel lihat Upin Ipin dulu, oke." Yudha memberikan ponselnya pada sang anak, agar tidak jenuh menunggu orang tuanya selesai bersiap-siap.

"Sayang, boleh kok Anjani ikut dengan kita. Maafkan mas ya." Imbuh Yudha, sembari mencium lembut tangan istrinya. "Mas hanya takut saja, kala Anjani kenapa-napa. Ya sudah, kamu beritahu Anjani sana, dia boleh ikut dengan kita."sambung Yudha lagi, seraya kemudian berlalu pergi ke meja rias untuk menyemprotkan parfum ke tubuhnya.

Begitu juga dengan Aina yang keluar dari kamarnya untuk memberitahukan sang adik. Meski Anjani beberapa kali menolak, akhirnya dia terpaksa mengiyakan permintaan sang kakak.

Pukul delapan malam, mereka sampai di kediaman Firlan yang tak lain adalah rumah masa kecilnya Yudha. Mobil-mobil memenuhi perkarangan rumah megah itu, lampu-lampu berkelap-kelip di setiap penjuru rumah maupun halaman. Anindya sendiri memilih mengadakan pertunangan nya di rumah, ketimbang di sebuah gedung.

"Kak, Rani tunggu kalian di mobil saja ya." ujar Rani yang duduk di belakang bersama dengan Aurel. "Jangan, masak kamu tunggu di mobil. Ayo kita turun."ajak Aina, sembari kemudian membuka pintu mobilnya.

Mereka pun turun dari mobilnya Yudha, sedangkan lelaki itu memutar bola mata malas saat melihat wajah Anjani yang terkesan lugu dan polos. Anjani sendiri pun takut saat melihat rumah besar yang di huni oleh para undangan.

"Ayo," ajak Yudha dingin, seraya menggendong anak perempuannya. "Cantik ya pa rumah eyang."ujar Aurel yang takjub melihat lampu berkelap-kelip di depan matanya kini.

"Pak Yudha," sapa seorang lelaki yang tak lain adalah teman bisnis kerjasamanya. Yudha hanya menganggukkan kepalanya dengan wajah datar. Dia adalah lelaki yang tidak suka banyak berkata-kata lebih-lebih berbasa-basi.

"Apa kabar, pak?"tanya lelaki itu, seraya mengulurkan tangannya untuk bersalaman. "Baik,"balas Yudha, dengan membalas uluran tangan lelaki itu. "Saya masuk ke dalam dulu."kaku, itulah ucapan Yudha bila dengan orang lain.

Yudha pun masuk ke dalam rumahnya yang telah di huni oleh beberapa orang-orang besar yang memiliki pangkat tinggi. "Yudha, akhirnya kamu datang juga."ujar Bu Ratih, dengan wajah senang.

Aina dan Anjani pun menyalami tangan Bu Ratih dengan takzim. Meski Bu Ratih enggan untuk memberikan tangannya, mau tak mau, beliau pun memberikan tangannya pada menantu yang tidak dia anggap.

"Ini baby sitter kalian?"tanya Bu Ratih, saat melihat perempuan cantik dengan balutan gamis yang anggun dan hijab yang senada dengan gamisnya.

"Bukan, ma. Dia adik, Aina." balas Aina dengan senyum ramah. "Oh, pantesan." Sela Bu Ratih dengan pandangan menghina.

"Yudha, kamu ikut mama sebentar. Mama ingin ngomong sesuatu sama kamu."sambung Bu ratih, seraya kemudian pergi meninggalkan mereka bertiga.

"Aina, mas temui mama dulu ya. Kamu jaga Aurel baik-baik,"imbuh Yudha seraya menurunkan Aurel dari gendongannya. Yudha pun berlalu pergi meninggalkan Aina dan Anjani yang memilih duduk di salah satu kursi.

"Kak, apa sikap orang tua mas Yudha seperti itu pada kakak?" tanya Anjani yang ikut duduk di samping kakaknya. "Iya dek, mereka bersikap kurang baik pada kakak. Tapi, meski mereka seperti itu, kakak sangat menghargai mereka sebagai keluarga kakak sendiri."balas Aina, seraya memberikan satu gelas minuman pada sang adik.

"Tapi, sikap mas Yudha beda dengan keluarga nya. Meski dia lelaki dingin di hadapan orang lain, tapi, dia lelaki hangat dan romantis. Kakak senang bisa mendapatkan lelaki seperti nya, dek. Dan kakak harap, kelak Rani akan mendapatkan lelaki yang seperti mas Yudha." Perkataan Aina bukanlah main-main. Dia sudah menetapkan hatinya saat nyawanya di ambang kematian, dia akan meninggalkan sebuah wasiat yang mengharuskan mereka untuk melaksanakan permintaan nya.

"Mas Bara ku juga gak kalah dari mas Yudha mu, kak."canda Anjani dengan tawa ringan. Mereka asik dengan pembicaraannya, sampai-sampai mereka melupakan Aurel yang sedang berjalan di keramaian.

Acara pertunangan belum di mulai oleh pemilik rumahnya, mereka masih menunggu kedatangan dari mempelai lelaki yang masih di perjalanan.

Pring...

Suara pecahan gelas terdengar nyaring ke telinga Aina dan Anjani, begitu juga sampai di telinga sang suami yang sedang duduk bersama dengan keluarga Evelyn.

"Aurel, Aurel kemana dek?"tanya Aina saat teringat akan anak sulungnya. "Rani tidak tau, kak. Tadi dia bermain di depan kita. Apa mungkin_"

"Aina!!!!"perkataan Anjani terhenti saat mendengar teriakkan dari seorang perempuan. Perempuan yang tak lain adalah Bu Ratih, dia sangat marah saat melihat anak perempuan yang tidak tau apa-apa menarik kain penutup meja bundar, sehingga semua gelas yang berada di atas meja jatuh berhamburan.

Yudha yang mendengar nama istrinya di panggil, dia pun buru-buru mencari keberadaan istri dan anaknya.

"Aurel,"Anjani pun berjalan lebih cepat, saat dia melihat anak perempuan berusia 4 tahun sedang meringkuk ketakutan di depan keramaian. "Sayang, kamu tidak apa-apa 'kan?"tanya Anjani, seraya memeluk tubuh kecil yang sedang bergetar takut.

Aurel menangis dalam pelukan Anjani, di mana dia benar-benar takut saat melihat tatapan mereka yang melihat ke arahnya. "Kamu masih sanggup menjaga anak mu tidak, hah? Ibunya kampungan anaknya pun sama! Dasar, keluarga miskin.."hina Bu Ratih, dengan wajah marah.

"Ma_"

"Tidak, saya tidak akan memaafkan mu dan anak mu. Cepat! Bersihkan lantai rumah saya!"potong Bu Ratih dengan suara lantang.

"Jangan, kak. Biar Rani saja yang membersihkan nya."imbuh Rani, yang sedih melihat kakaknya di hina-hinakan. "Tidak, anaknya yang salah, maka ibunya yang harus bertanggung jawab." cebik Bu Ratih dengan wajah sinis.

"Cepat, bersihkan lantai rumah saya!"dorong Bu Ratih tanpa tau bahwa menantunya saat ini sedang mengandung delapan bulan.

Bug.

"Mama!!!!!!!"teriak Yudha murka, saat istrinya di perlakukan seperti itu lebih tepatnya babu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status