Perkataan Yudha yang mengatakan akan menikahi adik almarhumah istrinya, membuat para warga ikut tercengang. Lebih-lebih, kedua orang tua Anjani yang ikut terkejut mendengar perkataan sang menantu.
Anjani sendiri saat ini memilih mencari tempat untuk menyangga tubuhnya, kedua lututnya terasa lemah mendengar pernyataan dari kakak iparnya barusan. "Wah, pak Ahyar! Ternyata dugaan ku terhadap orang miskin itu benar, ya! Mereka tidak akan melepaskan begitu saja menantu kayanya ini! Seperti mu! Kamu kembali meminta putra ku untuk melanjutkan lagi hubungan dengan putri mu. Saya tidak menyangka, orang miskin seperti kalian benar-benar menjadi benalu dalam keluarga orang kaya! Kamu manusia serakah yang meminta anakku untuk menikahi putri mu lagi!" Hinaan dari bu Ratih membuat pak Ahyar menghampiri mereka. Beliau tidak mau warganya salah paham atas ucapan Bu Ratih barusan. "Yudha, bisakah kamu menjelaskan semua ini, nak? Kami memang orang miskin, tapi kami tidak pernah meminta mu untuk menikahi putri kami, Rani." ucap pak Ahyar dengan gurat kesedihan, dimana beliau merasa hina dihadapan khalayak manusia. Bu Wati sendiri pun sama, beliau juga malu pada warga yang menyaksikan perdebatan mereka di hari putri sulungnya meninggal. "Maafkan saya, bah. Tapi, inilah yang terjadi. Jum'at esok, saya akan menikahi putri Abah." balas Yudha. Dia pun berlalu pergi meninggalkan mereka semua. "Tunggu dulu, Yudha! Mama tidak akan mengizinkan kamu meneruskan hubungan dengan keluarga miskin ini lagi!" teriak Bu Ratih murka, saat anaknya memilih pergi begitu saja. Yudha sama sekali tidak memperdulikan perkataan ibunya, dia sibuk dengan isi hatinya yang seakan-akan sedang mempermainkan dirinya sendiri. Tok.. Tok.. "Kak! Buka pintunya! Anjani ingin bicara dengan kakak!" ucap Anjani. Dia mengikuti langkah Yudha ke kamar. Krriiittt.. Bunyi pintu membuat Anjani mendongak ke arah lelaki yang berdiri membelakangi nya. "Ma-maksud kakak, apa? Ini salah, kak. Seben--" "Ini benar Anjani, bersiaplah, Jum'at ini saya akan menikahi mu." Potong Yudha dingin, sembari menutup lagi pintu kamarnya. "Ta-tapi, kak. Anjani sudah menjadi milik orang lain, kakak tidak bisa begitu saja mengambil kesimpulan untuk menikahi Anjani! Ini salah, kak! Perempuan yang sudah di pinang, tidak boleh di pinang oleh orang lain." cegat Anjani, seraya menahan pintu kamar agar tidak tertutup. "Putuskan tunangan kamu, bersiaplah Jum'at ini." balas Yudha dengan wajah dingin, tanpa melihat ke arah Anjani. Bug. Anjani terdiam mematung di depan pintu kamar kakak iparnya, dia merasa masih berada di alam mimpi buruk yang menghantuinya setelah menginjakkan kaki di teras rumah sang kakak beberapa hari yang lalu. Di luar rumah, Bu Ratih mengumpat kasar kepada keluarga pak Ahyar. Para tamu yang ikut melayat, hanya diam saja dengan mata yang masih mengarah ke arah mereka. "Keluarga miskin! Kalian manusia hina! Bisa-bisanya kamu pergunakan anak saya untuk hidup dalam kemewahan. Aina bajingan, kamu manusia serakah!" Hinaan masih keluar dari mulut Bu Ratih, sehingga mengharuskan kepala RT di sana yang menghampiri mereka. Pak Ahyar sendiri hanya bisa diam mendengar perkataan Bu Ratih, dirinya masih terngiang-ngiang akan ucapan Yudha barusan tanpa sebuah penjelasan, kenapa dia ingin menikahi Anjani? "Maaf yang sebesar-besarnya, Bu. Tolong, jangan buat keributan di sini. Kami masih berduka atas kepergian almarhumah Aina. Jadi tolong Bu, jaga tata tertib desa kami. Ibu bisa pergi dari sini." ucap pak RT dengan wajah ramah. "Saya tidak akan pergi sebelum anak saya pergi dari rumah bajingan ini! Yudha!!" Bu Ratih bagaikan kesetanan, beliau tidak rela bila Yudha kembali merajut hubungan dengan adiknya Aina. "Dimana kalian menyembunyikan Yudha?! Yudha, keluar! Atau mama akan membakar gubuk reyot ini!" Bu Ratih masuk ke dalam rumah tersebut tanpa izin dari pemiliknya. "Cukup, besan! Tolong, jangan seperti ini." ucap Bu Wati. beliau sudah lelah dalam menangisi akan umpatan yang di berikan oleh Bu Ratih. Pring!! Bu Ratih melemparkan gelas yang berada di atas meja kecil yang berada di ruang tamu. Rumah yang terlalu sempit, mengharuskan para tamu duduk di luar rumah yang sudah di hamparkan tikar karet oleh para tetangga. Anjani masih terdiam di depan pintu kamar kakak ipar, mendengar suara pecahan kaca dia pun berlalu ke ruang tamu yang tidak terlalu besar itu. "Bu, hentikan, Bu! Tolong, jangan lukai hati kami lebih dalam lagi." Papar Anjani, seraya menahan tangan Bu Ratih saat ingin menghancurkan bingkai foto pernikahan Aina dan Yudha. Pring... Bu Ratih sama sekali tidak memperdulikan peringatan dari Anjani, yang beliau butuhkan adalah anak lelakinya. "Cukup, Bu Ratih! Kami memang miskin! Kami memang orang hina! Tapi, kami tidak pernah sepeserpun menikmati harta anak kalian. Tubuh saya masih kuat untuk menafkahi istri dan anak saya. Saya tidak bisa tinggal diam lagi, saat melihat Bu Ratih semakin semena-mena terhadap keluarga saya. Sekarang, Bu Ratih pergi dari rumah saya!" ucap pak Ahyar dengan suara lantang, dimana kesabarannya hilang saat melihat bingkai foto anaknya di hancurkan oleh besannya. "Saya tidak akan pulang sebelum anak saya pulang!" Teriak Bu Ratih, yang tak kalah besarnya dari pak Ahyar. Kriittt. Bunyi pintu membuat mereka semua menoleh ke arah lelaki yang matanya sembab. Yudha berjalan ke arah bingkai foto yang sudah pecah tepatnya di hadapan Anjani. "Mama sudah berulang kali menyakiti hatiku. Belum puaskah mama mendorong istriku sampai tiada seperti ini? Sekarang, mama kembali menyakiti hati ini dengan menghancurkan kenangan kami. Tapi asal mana tau, saat ini hatiku hancur karena ulah mama." papar Yudha, sembari mengambil foto pernikahan dia dengan Aina. "Anjani, saya tau, antara kita memang tidak terjalin sebuah rasa. Dan saya tau, sebentar lagi kamu akan menikah dengan pilihan mu sendiri. Tapi Anjani, kamu sendiri tau apa wasiat Aina, kan? Dan aku ingin mewujudkan keinginannya agar dia tenang di alam sana." Sambung Yudha, seraya mendongakkan wajahnya ke arah gadis manis yang berdiri di depannya kini. "Maksud kamu apa, nak? Aina meminta kalian untuk menikah?" tanya pak Ahyar. Beliau baru mengerti akan keinginan menantu satu-satunya itu. "Iya, bah. Aina berwasiat pada saya untuk menikahi Anjani." balas Yudha yang masih bersimpuh di hadapan Anjani. "Mama tidak setuju, Yudha! Mama tidak akan pernah merestui hubungan kalian ini!" ucap Bu Ratih marah. Evelyn sendiri pun ikut marah saat mengetahui kalau dirinya kini kembali mempunyai saingan. Baru saja dia senang mendengar kabar kematian Aina, namun kini perempuan itu kembali marah saat Yudha memutuskan untuk menikah dengan adiknya Aina. "Aku tidak meminta restu dari mama, setuju atau tidak, Yudha akan tetap pada pendirian Yudha." balas Yudha, sembari merogoh saku bajunya. "Abah, hari ini saya akan meminang putri Abah ini." sambung Yudha, sembari memasang cincin perkawinan Aina di jari manis kanan Anjani. "Jangan, kak. Anjani tidak mau," tolak Anjani, seraya melepaskan kembali cincin kakaknya itu. "Anjani tidak mau, kak. Anjani tidak bisa." sambung Anjani, dengan air mata yang mengalir di pipinya. "Papa!" teriak Aurel. Anak perempuan kecil itu berlari menghamburkan dirinya kedalam pelukan sang papa. "Pa, aku lapar." ucap Aurel polos, tanpa tau apapun yang sedang terjadi. "Benar-benar keluarga miskin! Untuk mengenyangkan satu perut anak kecil saja tidak becus. Pantesan, Aina menyu--" "Cukup, mah! Satu kalimat lagi mama menghina mereka, aku tidak akan segan-segan membawa mama ke kantor polisi atas kasus kekerasan terhadap istriku! Mama yang membuat aina ku pergi, maka mama harus mempertanggung jawabkan atas kepergian istriku. Terserah Yudha mau menikah dengan siapa saja, itu tidak perlu mama ikut campur!" potong Yudha murka, seraya bangun dari hadapan Anjani. "Bah! Maafkan atas kekacauan ini. Yudha benar-benar meminta maaf atas apa yang terjadi. Izinkan Yudha menjalankan wasiat dari Aina, bah. Yudha ingin, Aina tenang di alam sana. Izinkan Yudha menikahi Anjani." sambung Yudha, seraya mengatupkan kedua tangannya di depan dada. "Maaf, nak. Abah tidak tau harus menjawab apa. Yudha sendiri tau, sebentar lagi Anjani akan menikah. Ini benar-benar rumit, nak." balas pak Ahyar, yang memilih duduk di atas lantai yang berbahan karpet. "Anjani, lihatlah wajah polos anak kecil ini. Ingatlah masih ada bayi merah di rumah sakit yang membutuhkan seorang ibu, apa kamu sanggup melihat mereka kekurangan kasih sayang seorang ibu? Aku bisa saja mencari ibu pengganti yang lain untuk mereka. Tapi, aku takut mereka tidak bisa menyayangi anak-anak ku. Dengan aku menikahi mu, aku bisa lega mereka ada bersama dengan tantenya ini." Air mata Yudha kembali ikut menetes saat melihat manik hitam anak perempuannya. "Aku bisa menjadi ibu yang baik untuknya, mas." Sahut evelyn, seraya berjalan ke arah Yudha. "Diam kamu!" teriak Yudha marah, sehingga membuat langkah evelyn terhenti. "Ma-maaf, kak. Anjani tetap tidak bisa, menikah bukanlah hal yang tepat. Untuk mereka, Anjani siap merawat mereka seperti anak Anjani sendiri." imbuh Anjani, seraya menghapus air matanya. "Anjani, kamu mengerti maksud ku, 'kan? Kamu ingat dengan wasiat kakak kamu, 'kan?" tanya Yudha, seraya mengambil cincin yang berada di dalam genggaman tangan Anjani. "Anjani mengerti maksud mu, kak! Anjani ingat dengan wasiat kak Aina. Tapi, kak. Menikah tanpa rasa itu sangat menyesakkan. Pernikahan bukan hanya tentang anak semata-mata." jelas Anjani supaya Yudha mengerti. "Perasaan akan hadir setelah kata sah menggema, Anjani. Bersiap-siaplah, Jum'at ini kita akan menikah." papar Yudha, sembari kemudian memakai cincin Aina lagi di tangan Anjani. Anjani menggeleng kepalanya pelan, tangannya bergetar saat Yudha memasang cincin permata. Pak Ahyar dan Bu Wati menggeleng kepala tak percaya pada apa yang tersaji di depan mata, mereka tidak teringat bagaimana kejadian bila kabar itu sampai di telinga sang juragan. Yudha mensejajarkan tubuhnya dengan pak Ahyar yang duduk di lantai. "Bah, maafkan Yudha. Maafkan atas keegoisan Yudha ini. Yudha hanya menjalankan wasiat dari Aina. Bah, Yudha pulang sebentar, ya. Yudha ingin menjenguk anak Yudha di rumah sakit. Ini, ambillah untuk keperluan nanti malam. Maafkan Yudha, bah." Yudha memeluk tubuh pak Ahyar yang terduduk di lantai karpet. Dua lelaki itu menangis sedih pada apa yang terjadi. Kenyataan ini benar-benar menyisakan batin. Anjani berlalu pergi meninggalkan mereka begitu saja, tak tau harus buat apa, wasiat kakaknya membuatnya terluka. Pak Ahyar sudah berusaha meyakinkan Yudha, Namun si lelaki itu sama sekali tidak mengerti, yang ada dalam pikirannya hanyalah Aina dan anak-anak. Berlari dari kenyataan itu sangat menyesakkan dada, meskipun begitu Anjani terus berlari sampai terhenti di depan makam sang kakak. "Kak! Kenapa kakak meninggalkan wasiat seperti itu? Rani adik mu ini tidak bisa menjalankan wasiat kakak. Rani tidak mencintai suami kakak! Rani tidak mau hidup bersama dengan suami kakak. Kita memang senang dalam berbagi, tapi Rani tidak suka kakak membagikan suami kakak pada Rani. Rani mencintai Bara, kak!" Anjani melampiaskan kesedihannya pada sang kakak yang sudah tidak bisa menyahut ucapannya lagi. "Kak, kakak tidak tau bila ini terjadi, apa yang akan kami hadapi kak. Keluarga Bara akan marah, kak. Mereka akan menghina kami. Mertua Kakak saja sudah banyak menghina Abah dan emak. Bagaimana bila keluarga Bara juga menghina abah? Apa yang harus Rani lakukan, kak? Kakak pergi meninggalkan luka untuk kami." sambung Anjani, sembari menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Lelah dalam menangis, itulah yang saat ini terjadi dalam diri Anjani Maharani."Tante, Aurel lapar." ucap Aurel, saat aku sedang menyajikan hidangan untuk para tamu yang datang mendoakan kak Aina. Tepat di hari kelima kak Aina dikebumikan, lelaki yang tak lain adalah mas Yudha, dia sama sekali tidak pernah hadir mendoakan mendiang istrinya. Semenjak pergi di hari pertama kak Aina di kebumikan, lelaki itu belum pernah sehari pun menjenguk anak perempuan yang dia tinggalkan bersama dengan kami. "Sebentar ya, Tante ambilkan dulu makanan yang cocok untuk Aurel. Sini, ikut Tante saja yuk." Aku pun menggendong Aurel membawanya masuk ke dalam rumah. "Tante, mama kemana ya? Aurel kangen banget sama mama," ujar Aurel, yang kini berada dalam gendongan ku. Anak sekecil dia, belum tau apa-apa tentang orang yang sudah meninggal. Meski aku sudah beberapa kali menjelaskan pada Aurel kalau ibunya telah pergi meninggalkan dia selama-lamanya, namun gadis kecil itu belum mengerti maksudku. "Sayang, kamu mau ayam goreng ini?" tanya ku, seraya memp
"Ta-tapi, bah. Sebentar lagi, Rani dan Bara akan menikah." sahut ku, sambil menatap manik hitam lelaki yang menjadi cinta pertama ku. Aku tidak mau menikah dengan lelaki yang tidak aku cintai, sedangkan lelaki yang aku cinta hanyalah Bara. Lelaki hangat dan baik serta lembut khas ciri seorang dokter, tidak mungkin aku mengecewakannya se menyakitkan itu. "Tapi, nak. Lihatlah mata anak kakak kamu, dia butuh seorang ibu yang baik." imbuh Abah. Abah melihat ke arah Aurel yang sedang merebahkan kepalanya di dada bidang papanya. "Mas Yudha bisa kok bah, memberikan ibu pengganti untuk anak-anaknya. Rani tidak bisa, bah." balas ku, seraya ingin pergi meninggalkan mereka bertiga. Meski ada rasa iba terhadapnya, namun menikah dengannya bukanlah keinginan ku. "Tidak apa-apa, bah. Yudha bisa menjaga mereka dengan baik. Yudha akan berusaha menjadi seorang ayah dan ibu untuk mereka berdua. Baiklah, bah. Yudha pergi dulu, oh ya Anjani, tolong berikan cincin Aina." Aku
Tak ada angin dan tidak ada hujan, namun keputusan ku sudah tepat. lelaki yang amat aku cintai, menatap lama ke arah ku dengan wajah terkejut. "Hahahaha, aku tau sayang, kamu lagi ngeprank aku, 'kan? ayo ngaku? sini mas pakaikan lagi," ucap Bara dengan senyum ramah. "Tidak, mas. Anjani serius, Anjani kembalikan lagi cincin tunangan kita. maafkan Anjani, mas. Anjani tidak bisa melanjutkan pernikahan kita," Kembali menjelaskan pada bawa kalau aku memang tidak bisa melanjutkan pernikahan ini. Ada anak bayi merah di sana yang membutuhkan kasih sayang dari seorang ibu. "Salah mas apa?! Apa yang mas lakukan sehingga membuat Anjani memutuskan pertunangan kita?! Apa mas ada salah?" Bara bangun dari duduknya, dia meraup wajahnya kasar saat melihat air bening yang memberontak minta turun dari mata ku. "Anjani tau, mas sudah menyebarkan surat undangan pernikahan kita! seluruh teman-teman mas sudah mas beritahukan semuanya! keluarga besar mas pun sudah menyiapkan segala keperluan kita! Dan
Begitu pintu rumah di buka oleh abah, dua orang laki menghajar Abah habis-habisan. Bug. Brak!! "Berhenti!! Abah!!" Aku shock saat melihat orang tua ku di pukul dan di tendang oleh mereka seperti itu. "Tolong, jangan lukai Abah saya." Mohon ku dengan berusaha menjadi penengah antara Abah dan mereka. Brak!! "Rani!!" Bukan permohonan yang mereka kabulkan, mereka malah mendorong ku ke arah lelaki yang berdiri dengan sebatang rokok di tangan kirinya. Lelaki yang tak lain adalah ayahnya Bara, lelaki itu kini mensejajarkan tubuhnya dengan ku yang terjerembab di hadapannya. "Tolong, jangan sakiti putri saya, juragan." Mohon Abah, sambil menggapai ku. Namun Abah tidak bisa menggapai ku dikarenakan anak buah juragan menahannya. khuk, khuk. Aku terbatuk-batuk saat lelaki paruh baya itu meniup asap rokoknya ke wajah ku. "Tolong jangan juragan," Pinta ku, saat ayahnya Bara mencengkeram kuat pipi ku. "Berani-beraninya kamu mempermainkan anak
"Ikhlaskan kepergian Abah, nak. Abah sudah tenang di alam sana," Ucapan Mak sama sekali tak ku indahkan, aku hanya ingin Abah ada di sisi ku lagi. Beliau cinta pertama ku, dan sekarang mereka menuntut ku untuk mengikhlaskan kepergiannya. Seandainya Abah meninggal bukan karena ku, aku masih bisa mengikhlaskan kepergiannya. Namun sayang, Abah pergi hanya karena ku memutuskan hubungan dengan Bara. "Abah! Kenapa Abah secepat ini pergi? Rani masih membutuhkan Abah!" "Sayang, ikhlaskan kepergian Abah. Abah sudah tenang di alam sana," jelas Mak lagi, sambil mengelus-elus bahuku. "Bagaimana bisa aku ikhlas, Mak? Mak tau sendiri apa sebab yang membuat Abah pergi! Ini semua karena kak Aina!" "Anjani, tolong jangan." cegat mas Yudha, saat aku ingin menarik nisan kak Aina. "Kak Aina! kakak lihatkan apa yang kakak lakukan?! Kakak lihatkan hasil dari yang kakak tinggalkan di dunia ini?! Kakak pergi meninggalkan kami, dan kakak tinggalkan luka untuk kami di si
"kakak!"panggil Anjani begitu senang, saat dia baru saja menapaki teras rumah sang kakak.Seorang perempuan yang baru hamil delapan bulan, begitu senang saat melihat adik satu-satunya yang dia miliki, kini terlihat di depan matanya kini. "Apa kabar, kak?"tanya anjani dengan wajah yang masih sama, seraya mencium pipi kiri dan kanan sang kakak."Alhamdulillah, kakak baik-baik saja. Mak sama abah tidak ikut?"tanya Aina, sembari melihat ke arah sekeliling rumahnya. "Tidak, kak. Mak sama abah tidak bisa ikut, mereka bilang sebentar lagi padi mau di panen. Yah, gitu lah kak. Oh ya, kak. Mak sama abah hanya menitip ini untuk kakak."Anjani memperlihatkan satu rantang plastik berisi ayam kampung, di mana ayam kampung olahan sang emak sangat di sukai oleh Aina. Aina sendiri berasal dari kampung, di mana dia mengadu nasib di perkotaan pada sebuah perusahaan. Dia yang menjadi seorang office girls di sebuah perusahaan ternama, mendadak dinikahi oleh seorang bos besar pemilik perus
"Ma-maaf, saya kira Aina."ujar Yudha dengan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Usai mengatakan sederet kalimat itu dengan wajah dingin yang di iringi dengan rasa bersalah, dia pun berlalu pergi meninggalkan Anjani yang juga termenung dengan kejadian tadi. Dia sendiri merasa cemas bila sang kakak melihat kejadian barusan, dimana dia di peluk oleh Abang iparnya sendiri tanpa ada kesengajaan. Anjani takut, bila sang kakak menuduhnya yang tidak-tidak."Mas, kamu sudah pulang? Capek ya, sini Aina pijitin."ucap Aina, saat Yudha baru saja masuk ke kamar nya. "Sayang, kamu kok tidak bilang sama mas kalau ada orang lain di rumah kita."imbuh Yudha, sembari melepaskan dasi yang melingkar di lehernya. "Hehehe, maaf ya sayang. Aina lupa mengabari mas lebih dulu,"Aina pun mendudukkan suaminya di bibir ranjang. Sudah kebiasaan Aina saat sang suami pulang, dia akan melayani suaminya dengan sebaik mungkin. "Sayang, kalau kamu memasukkan orang lain ke dalam rumah kita, seharu
"Kak, Rani mau pulang." ucapan Rani kembali membuat Aina menghembuskan nafas berat. "Kok pulang, dek. Kamu baru sehari di rumah kakak, masak langsung pulang. Nggak kasian sama kakak?"tanya Aina, seraya memilih duduk di sofa ruang tamu. Perut yang semakin hari semakin besar, membuat perempuan itu sangat kepayahan untuk berjalan. "Bukan gitu lho, kak. Kakak tau sendiri kan, kalau Rani akan menikah. Rani harus menyiapkan segala keperluannya, kak." alasan Anjani tidak ingin tinggal di rumah kakaknya, bukanlah alasan yang seperti itu. Dia tidak ingin menjadi orang ketiga yang bisa membuat keretakan rumah tangga kakaknya. Melihat sikap Yudha seperti itu, membuat Anjani bisa menebak kalau mereka habis berselisih paham tentang kehadirannya di rumah itu. "Kan pernikahan kamu sebulan lagi, dek. Tinggal lah di rumah kakak beberapa Minggu saja, setelah kakak melahirkan, Rani sudah boleh kok pulang." pinta Aina. "Pakaian kamu sudah kakak pesan, mungkin sebentar lagi aka
"Ikhlaskan kepergian Abah, nak. Abah sudah tenang di alam sana," Ucapan Mak sama sekali tak ku indahkan, aku hanya ingin Abah ada di sisi ku lagi. Beliau cinta pertama ku, dan sekarang mereka menuntut ku untuk mengikhlaskan kepergiannya. Seandainya Abah meninggal bukan karena ku, aku masih bisa mengikhlaskan kepergiannya. Namun sayang, Abah pergi hanya karena ku memutuskan hubungan dengan Bara. "Abah! Kenapa Abah secepat ini pergi? Rani masih membutuhkan Abah!" "Sayang, ikhlaskan kepergian Abah. Abah sudah tenang di alam sana," jelas Mak lagi, sambil mengelus-elus bahuku. "Bagaimana bisa aku ikhlas, Mak? Mak tau sendiri apa sebab yang membuat Abah pergi! Ini semua karena kak Aina!" "Anjani, tolong jangan." cegat mas Yudha, saat aku ingin menarik nisan kak Aina. "Kak Aina! kakak lihatkan apa yang kakak lakukan?! Kakak lihatkan hasil dari yang kakak tinggalkan di dunia ini?! Kakak pergi meninggalkan kami, dan kakak tinggalkan luka untuk kami di si
Begitu pintu rumah di buka oleh abah, dua orang laki menghajar Abah habis-habisan. Bug. Brak!! "Berhenti!! Abah!!" Aku shock saat melihat orang tua ku di pukul dan di tendang oleh mereka seperti itu. "Tolong, jangan lukai Abah saya." Mohon ku dengan berusaha menjadi penengah antara Abah dan mereka. Brak!! "Rani!!" Bukan permohonan yang mereka kabulkan, mereka malah mendorong ku ke arah lelaki yang berdiri dengan sebatang rokok di tangan kirinya. Lelaki yang tak lain adalah ayahnya Bara, lelaki itu kini mensejajarkan tubuhnya dengan ku yang terjerembab di hadapannya. "Tolong, jangan sakiti putri saya, juragan." Mohon Abah, sambil menggapai ku. Namun Abah tidak bisa menggapai ku dikarenakan anak buah juragan menahannya. khuk, khuk. Aku terbatuk-batuk saat lelaki paruh baya itu meniup asap rokoknya ke wajah ku. "Tolong jangan juragan," Pinta ku, saat ayahnya Bara mencengkeram kuat pipi ku. "Berani-beraninya kamu mempermainkan anak
Tak ada angin dan tidak ada hujan, namun keputusan ku sudah tepat. lelaki yang amat aku cintai, menatap lama ke arah ku dengan wajah terkejut. "Hahahaha, aku tau sayang, kamu lagi ngeprank aku, 'kan? ayo ngaku? sini mas pakaikan lagi," ucap Bara dengan senyum ramah. "Tidak, mas. Anjani serius, Anjani kembalikan lagi cincin tunangan kita. maafkan Anjani, mas. Anjani tidak bisa melanjutkan pernikahan kita," Kembali menjelaskan pada bawa kalau aku memang tidak bisa melanjutkan pernikahan ini. Ada anak bayi merah di sana yang membutuhkan kasih sayang dari seorang ibu. "Salah mas apa?! Apa yang mas lakukan sehingga membuat Anjani memutuskan pertunangan kita?! Apa mas ada salah?" Bara bangun dari duduknya, dia meraup wajahnya kasar saat melihat air bening yang memberontak minta turun dari mata ku. "Anjani tau, mas sudah menyebarkan surat undangan pernikahan kita! seluruh teman-teman mas sudah mas beritahukan semuanya! keluarga besar mas pun sudah menyiapkan segala keperluan kita! Dan
"Ta-tapi, bah. Sebentar lagi, Rani dan Bara akan menikah." sahut ku, sambil menatap manik hitam lelaki yang menjadi cinta pertama ku. Aku tidak mau menikah dengan lelaki yang tidak aku cintai, sedangkan lelaki yang aku cinta hanyalah Bara. Lelaki hangat dan baik serta lembut khas ciri seorang dokter, tidak mungkin aku mengecewakannya se menyakitkan itu. "Tapi, nak. Lihatlah mata anak kakak kamu, dia butuh seorang ibu yang baik." imbuh Abah. Abah melihat ke arah Aurel yang sedang merebahkan kepalanya di dada bidang papanya. "Mas Yudha bisa kok bah, memberikan ibu pengganti untuk anak-anaknya. Rani tidak bisa, bah." balas ku, seraya ingin pergi meninggalkan mereka bertiga. Meski ada rasa iba terhadapnya, namun menikah dengannya bukanlah keinginan ku. "Tidak apa-apa, bah. Yudha bisa menjaga mereka dengan baik. Yudha akan berusaha menjadi seorang ayah dan ibu untuk mereka berdua. Baiklah, bah. Yudha pergi dulu, oh ya Anjani, tolong berikan cincin Aina." Aku
"Tante, Aurel lapar." ucap Aurel, saat aku sedang menyajikan hidangan untuk para tamu yang datang mendoakan kak Aina. Tepat di hari kelima kak Aina dikebumikan, lelaki yang tak lain adalah mas Yudha, dia sama sekali tidak pernah hadir mendoakan mendiang istrinya. Semenjak pergi di hari pertama kak Aina di kebumikan, lelaki itu belum pernah sehari pun menjenguk anak perempuan yang dia tinggalkan bersama dengan kami. "Sebentar ya, Tante ambilkan dulu makanan yang cocok untuk Aurel. Sini, ikut Tante saja yuk." Aku pun menggendong Aurel membawanya masuk ke dalam rumah. "Tante, mama kemana ya? Aurel kangen banget sama mama," ujar Aurel, yang kini berada dalam gendongan ku. Anak sekecil dia, belum tau apa-apa tentang orang yang sudah meninggal. Meski aku sudah beberapa kali menjelaskan pada Aurel kalau ibunya telah pergi meninggalkan dia selama-lamanya, namun gadis kecil itu belum mengerti maksudku. "Sayang, kamu mau ayam goreng ini?" tanya ku, seraya memp
Perkataan Yudha yang mengatakan akan menikahi adik almarhumah istrinya, membuat para warga ikut tercengang. Lebih-lebih, kedua orang tua Anjani yang ikut terkejut mendengar perkataan sang menantu. Anjani sendiri saat ini memilih mencari tempat untuk menyangga tubuhnya, kedua lututnya terasa lemah mendengar pernyataan dari kakak iparnya barusan. "Wah, pak Ahyar! Ternyata dugaan ku terhadap orang miskin itu benar, ya! Mereka tidak akan melepaskan begitu saja menantu kayanya ini! Seperti mu! Kamu kembali meminta putra ku untuk melanjutkan lagi hubungan dengan putri mu. Saya tidak menyangka, orang miskin seperti kalian benar-benar menjadi benalu dalam keluarga orang kaya! Kamu manusia serakah yang meminta anakku untuk menikahi putri mu lagi!" Hinaan dari bu Ratih membuat pak Ahyar menghampiri mereka. Beliau tidak mau warganya salah paham atas ucapan Bu Ratih barusan. "Yudha, bisakah kamu menjelaskan semua ini, nak? Kami memang orang miskin, tapi kami tidak pernah memi
"Yudha, ayo kita pulang. Ikhlaskan kepergian Aina, dia saat ini sudah tenang di alam sana, nak." ujar seorang lelaki paruh baya, yang tak lain adalah mertuanya Yudha. Pak Ahyar meminta pada Yudha untuk mengkebumikan Aina di halaman kampung kelahirannya, dengan begitu, sang Abah bisa kapan saja mengunjungi makam anak sulungnya itu.Sedangkan bayi kedua Aina dan Yudha, saat ini bayi itu masih dalam penanganan sang dokter di rumah sakit. "Saya nanti saja pulang, bah." balas Yudha, yang masih mencium nisan sang istri. Yudha merasa masih belum bangun dari mimpi buruknya, dimana dia masih tidak menyangka sang istri secepat itu pergi meninggalkan dirinya bersama dengan anak-anaknya. "Mas, seandainya aku yang lebih dulu pergi, mas jangan bersedih, ya. Yakinkan saja, Allah akan memberikan pengganti yang lebih cantik dan baik dari Aina." Perkataan Aina kembali terngiang-ngiang di telinganya, air matanya kembali turun dengan sendirinya tanpa di minta. "Ma-mas, ayo kita pulang
"Mama!!" teriak ku murka, saat melihat istri yang sangat aku perlakukan dengan lembut, di perlakukan kasar oleh orang yang telah melahirkan ku. Buru-buru aku berlari menghampiri istri ku yang sedang terduduk di lantai bersama dengan adik iparku yang berusaha membangunkan nya. "Cukup, ma! Yudha kecewa sama mama. Kalian benar-benar jahat! Kalian tidak punya hati nurani!" Papar ku sedih sekaligus marah, sembari membangunkan Aina yang matanya sedang berkaca-kaca. "Sayang, kamu tidak apa-apa?" tanya ku pada Aina, dia menggelengkan kepalanya dengan senyuman manis mengandung miris di dalamnya. "Mbak, baju mbak basah." beritahu Anjani saat menyentuh baju Aina yang basah. Entah basah dengan air apa, aku tidak tau. banyak para tamu undangan yang melihat ke arah kami tanpa mau membantu. Begitu juga dengan adik ku yang baru saja tiba dengan gaya angkuh. "Ada apa ini, kak?" tanya nindy, yaitu adik ku yang mau bertunangan. Dapat ku lihat wajah mama yang malu, usai ku bentak
"Kak, Rani mau pulang." ucapan Rani kembali membuat Aina menghembuskan nafas berat. "Kok pulang, dek. Kamu baru sehari di rumah kakak, masak langsung pulang. Nggak kasian sama kakak?"tanya Aina, seraya memilih duduk di sofa ruang tamu. Perut yang semakin hari semakin besar, membuat perempuan itu sangat kepayahan untuk berjalan. "Bukan gitu lho, kak. Kakak tau sendiri kan, kalau Rani akan menikah. Rani harus menyiapkan segala keperluannya, kak." alasan Anjani tidak ingin tinggal di rumah kakaknya, bukanlah alasan yang seperti itu. Dia tidak ingin menjadi orang ketiga yang bisa membuat keretakan rumah tangga kakaknya. Melihat sikap Yudha seperti itu, membuat Anjani bisa menebak kalau mereka habis berselisih paham tentang kehadirannya di rumah itu. "Kan pernikahan kamu sebulan lagi, dek. Tinggal lah di rumah kakak beberapa Minggu saja, setelah kakak melahirkan, Rani sudah boleh kok pulang." pinta Aina. "Pakaian kamu sudah kakak pesan, mungkin sebentar lagi aka