“Awh!”“Ya ampun Kinar?” Aarav berseru, segera membantu Kinara yang tiba-tiba terjatuh di depan kakinya. “Kenapa bisa ceroboh gini sih?” tanya Aarav. Pria itu sudah merangkul bahu Kinara. Membantunya untuk berdiri. Kinara hanya cengengesan, walau hatinya benar-benar mengutuk akan kelakuan Devan. ‘Devan gila! Bisa-bisanya dia mendorongku!’ gerutu Kinara di dalam hatinya. Ya, setelah hitungan ketiga, Kinara didorong oleh Devan hingga terjatuh tepat di depan Aarav. Alhasil begini jadinya, Aarav langsung mengkhawatirkan dirinya seolah ia benar-benar terjatuh. “Mana yang sakit? Biar Mas lihat.” Aarav menarik lengan Kinara, perempuan itu sedikit meringis kala Aarav menyentuh sikunya. “Kamu tadi habis ngapain sampe jatuh kayak gini?” tanya Aarav sembari memberikan usapan kecil, amat lembut. “Gak ngapa-ngapain Mas. Kinar cuman lewat jalan ini dan yah, mungkin tidak sengaja Kinar menginjak baju Kinar sendiri, berakhir kayak gini,” ujarnya memberi alasan. Aarav bergeming, ia menelisik ba
“Kak, kakak beneran ngasih rumah ini ke Karin?” tanya Karin dengan tatapan tidak percaya. “Iya, daripada terbengkalai, kan? Lebih baik kau tempati dengan suamimu.”Karin terdiam. Ada perasaan tidak enak sebenarnya saat Kinara bertemu dengannya hanya untuk mengatakan hal ini. Ya, satu jam yang lalu Kinara menelfon adiknya—Karin, mengatakan agar perempuan itu segera datang ke rumah yang dulu pernah ditempati. Dan di sinilah sekarang mereka, berdua sembari mengamati isi rumah yang tidak ada perbedaan sedikitpun. Dari warna, bentuk bahkan isi dari dalamnya tidak ada satupun yang berubah. Tentu saja, karena Kinara sudah lama ini tidak berkunjung ke rumah ini. Selain karena sibuk dengan kehidupan rumah tangganya, ia juga tidak ada waktu untuk berkunjung. “Jika Dara ingin ke sini, izinkan saja,” ucap Kinara. Perempuan itu mengambil foto, seulas senyum terbit melihat siapa saja yang ada di dalam foto tersebut. Ayah, Ibu, dan kedua adiknya. Mereka tersenyum dengan lebar. Waktu itu umur me
Devan melajukan mobilnya dengan ugal-ugalan. Rasa amarah masih memuncak sampai ke ubun-ubunnya. Keponakan tidak tau diri! Bisa-bisanya dia merendahkan dirinya. Apa dia tidak sadar kalau dia hanyalah cucu dari keluarga William? Seharusnya dia yang lebih sadar akan statusnya itu. Sekiranya itulah yang ada di dalam pikiran Devan. “Sialan! Aku tidak akan pernah terima direndahkan begini!” desisnya semakin menancapkan gas. “Mentang-mentang dia cucu yang paling disayang Ayah, membuat ia besar kepala.” Devan masih sibuk menggerutu. Selain pikirannya yang kalut akan emosi hatinya juga masih menyimpan rasa cemburu luar biasa. Pagi tadi, saat Aarav kembali lagi karena ketinggalan dokumen. Dalam diam Devan mengintip dua pasangan itu. Rasa cinta untuk Kinara yang tersimpan membuat Devan membuntuti keduanya.Tak disangka, sebuah adegan panas ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Mana dengan durasi yang lama pula, membuat hatinya terbakar api cemburu. Devan masih mencintai Kinar, itu mengapa
Langit di atas sana sudah menunjukkan gelapnya. Tampak mendung juga, karena dari siang tadi langit memang sudah ingin turun hujan. Kinara mondar-mandir ke kiri dan kanan, menggigit jari telunjuknya dengan resah. Sekarang ia tengah berdiri di depan pintu rumah kediaman William, mau masuk tapi takut jika ia berpapasan dengan Devan. Tapi jika di luar pun hari sudah semakin gelap, apalagi sebentar lagi akan adzan magrib, membuat Kinara mau tak mau menghela nafas panjang untuk menghilangkan rasa resah nan gemasnya. “Kakek ada gak ya?” tanya Kinara pada dirinya sendiri. Pagi tadi ia memang tidak ikut ke kantor milik Aarav, melainkan pergi ke rumah dahulunya. Perbincangan bersama Karin siang tadi, Kinara akhiri karena sudah menjelang sore. Dan inilah sekarang. Sekarang ia sudah kembali lagi ke rumah Vanzo, dengan perasaan resah tentunya. “Bismillah, semoga Devan tidak ada di rumah,” ujarnya memberanikan diri. Dengan sekali gerakan Kinara melangkah masuk, tak lupa mengucap salam terlebih
“Tenanglah, Mas di sini,” ucap Aarav membawa Kinara ke dalam dekapan. Pria itu tampak khawatir saja, sedari tadi Kinara terus berteriak ketakutan. Kinara masih terdiam, terisak di balik dada Aarav yang mampu menenangkanya. Kenapa, kenapa mimpi itu terasa nyata? Pikirnya berkecamuk. Ada rasa takut jika mimpi itu sampai nyata, tapi … itu hanya mimpi, kan? Bukan nyata kan? Lagi-lagi begitulah isi pikiran Kinara. “Tadi kamu mimpi apa, hm?” tanya Aarav. Sembari mengusap Aarav juga mencium ubun-ubun Kinara. “Mas …” “Iya, sayang?”Lembut. Jawaban Aarav begitu lembut, membuat Kinara merasakan ketenangan. Kinara tersenyum tipis, semakin mengeratkan pelukannya. Menyimpan kepalanya untuk tetap menempel di dada suaminya.“Mas punya mantan gak?” tanyanya. Dahi Aarav refleks bertaut. “Kenapa nanyain mantan?” “Ya kan Kinar kepo. Pengen tau.” Masih dalam posisi memeluk, Kinara enggan melepaskan.“Eum … mantan ya?” Kinara mengangguk. “Punya,” jawabnya sukses membuat Kinara menarik dari pelukan
Satu hari telah berlalu. Jangan tanyakan perihal malam pertama yang hendak dilakukan, semuanya gagal total! Ya, malam pertama diantara Aarav maupun Kinara nyatanya belum mereka lakukan, hingga detik ini. Aarav mulai uring-uringan, pria itu sudah mau melakukan hubungan itu, namun tiba-tiba Kinara malah mendadak sakit perut, alhasil tidak jadi. Dan sekarang pun perempuan itu mendadak aneh, biasanya setiap pagi Kinara akan menyapanya, memberi ucapan selamat pagi atau mungkin memberinya ciuman walau sebatas pipi. Namun semuanya tiba-tiba berubah. Tidak ada lagi hal-hal romantis untuk pagi ini membuat Aarav merasa lesu saja. Kriekk… Suara knop pintu yang diputar membuat Aarav mengalihkan perhatiannya. Ia menoleh pada Kinara yang baru keluar dari kamar mandi. “Ssyang?” Aarav langsung menyapa. Namun hanya dibalas gumaman oleh Kinara. “Mas izin gak masuk kerja hari ini,” ucapnya sembari mendekat ke arah Kinara. Perempuan itu menggulung rambutnya yang basah dengan handuk. Pakaian yang ia
Semua persiapan sudah dipersiapkan dengan baik. Sangat malah. Sebuah dekorasi dengan di penuhi berbagai hiasan bunga menutupi sebagian tempat yang ada. Ditambah hiasan yang tampak mewah nan elegan, menjadi perpadun begitu mewahnya acara ini diadakan. Kinara menatap binar rumah ini, tak sabar rasanya akan kepulangan Aarav yang akan disambut dengan begitu meriah. “Cepatlah pulang, sayang … aku menunggumu,” gumam Kinara mulai senyum-senyum sendiri. **Hari sudah menjelang sore, tapi Aarav belum juga kembali ke kediaman William. Kinara yang sedari tadi mondar-mandir dibuat resah akan hal itu. Bertanya ke mana suaminya pergi? Kenapa sampai sekarang belum pulang juga? Mengingat bahwa Aarav izin kerja membuat Kinara percaya saja, namun saat hari menjelang siang Aarav tak kunjung pulang membuat Kinara berpikir bahwa suaminya pasti tidak jadi izin, lelaki itu pasti bekerja. Namun anehnya, biasanya sore begini Aarav sudah pulang, tidak mungkin melebihi batas dari jam kerja biasanya. “Bag
“Ck! Sebenarnya ada apa dengan Kinara? Kenapa perempuan itu mendadak aneh?” ujar Aarav bertanya pada dirinya sendiri. Pria itu melirik terlebih dahulu ke arah pintu yang sebelumnya ia tutup dengan keras. Menghela nafas kemudian menghembuskannya. Aarav berjalan menuruni anak tangga dengan lesu. Pagi ini adalah pagi tanpa semangat, Kinaranya berubah acuh. Tanpa sapaan, tanpa senyuman dan tanpa ciuman. Kinara … melupakan hal itu. Aarav menuruni anak tangga, namun tepat di tangga terakhir ia melihat Pamannya berdiri—di hadapannya. “Ada hal yang harus kau ketahui,” ucap Devan to the point. Lelaki itu menatap datar keponakan. Tak kalah datar dengan Aarav, pria itu hanya mengalihkan perhatiannya, malas menatap Devan. “Aku ingin berbicara denganmu, Rav.”Aarav menaikan alisnya sebelah. “Maaf, tidak ada waktu!” jawab Aarav, dia melangkah melewati Devan. “Ini tentang Kinara.” Satu nama yang disebut berhasil membuat Aarav berhenti dari langkahnya. Aarav berbalik. “Apa? Apa yang ingin kau b