“Ck! Sebenarnya ada apa dengan Kinara? Kenapa perempuan itu mendadak aneh?” ujar Aarav bertanya pada dirinya sendiri. Pria itu melirik terlebih dahulu ke arah pintu yang sebelumnya ia tutup dengan keras. Menghela nafas kemudian menghembuskannya. Aarav berjalan menuruni anak tangga dengan lesu. Pagi ini adalah pagi tanpa semangat, Kinaranya berubah acuh. Tanpa sapaan, tanpa senyuman dan tanpa ciuman. Kinara … melupakan hal itu. Aarav menuruni anak tangga, namun tepat di tangga terakhir ia melihat Pamannya berdiri—di hadapannya. “Ada hal yang harus kau ketahui,” ucap Devan to the point. Lelaki itu menatap datar keponakan. Tak kalah datar dengan Aarav, pria itu hanya mengalihkan perhatiannya, malas menatap Devan. “Aku ingin berbicara denganmu, Rav.”Aarav menaikan alisnya sebelah. “Maaf, tidak ada waktu!” jawab Aarav, dia melangkah melewati Devan. “Ini tentang Kinara.” Satu nama yang disebut berhasil membuat Aarav berhenti dari langkahnya. Aarav berbalik. “Apa? Apa yang ingin kau b
“Titik balik daripada sebuah takdir adalah menerimanya. Mau tak mau, siap tak siap, jika takdir itu menghampiri, maka kita tidak bisa menolaknya.Rasa sedih yang atas nama penderitaan mungkin selalu ada. Setiap hari. Tapi, tidak memungkinkan pula bahagia itu tak datang. Ia akan selalu ada, datang pada orang-orang yang sebelumnya merasakan kesedihan. Porsi setiap manusia itu sama. Antara bahagia dan sedih, tertawa dan menangis, yang datang dan pergi, semuanya sama.”“Lalu, bagaimana jika kita tidak menerima takdir itu, Ayah? Apa kita … menjadi manusia yang tak tau diri?” tanya gadis kecil. Pria itu menjawab. “Maka hanya ada rasa sakit yang akan selalu kita rasakan. Karena pada dasarnya … segala sesuatu yang ada di dalam diri kita, akan menjadi timbali balik dari kehidupan itu sendiri. Kau menerima takdirnya maka hatimu akan merasa baik. Pun sebaliknya, kau tidak menerima takdirnya maka kau sendiri yang akan merasakan sakitnya.”“Kinar … adanya sedih dan bahagia itu tidak harus menjadi
Satu hal yang terus Kinara pikirkan, menyalahkan dirinya sendiri atas kecelakaan yang menimpa suaminya. Kecelakaan itu tidak bohong, tidak diada-adakan. Kecelakaan itu benar adanya. Bahwa sang suami kini terkapar lemah di atas brankar rumah sakit. Kinara menangis sejadi-jadinya saat ia masuk ke rumah sakit dan langsung menyerobot masuk ke dalam. Tubuhnya bergetar hebat, membekap mulutnya sendiri tatkala melihat sang suami begitu lemah tak berdaya. Kepalanya di perban sampai ke dagu, hidung serta mulutnya tertutup selang oksigen, wajahnya tampak sangat pucat, memejam tanpa mau membukanya. Kinara melangkah pelan, semakin bergetar bahunya melihat Aarav menderita seperti ini.Tangis itu, tangis yang sedari tadi Kinara tahan lepas juga. Ia menangis tepat berada di samping Aarav. “Mas ….” Menunduk lemah, kepalanya menunduk dengan deraian air mata yang semakin berjatuhan. “Maafin Kinar….” Hancur pula hatinya saat Kinara menggenggam tangan Aarav yang amat dingin. Sangat. Seakan di depa
“Mas bakal sembuh, Mas bakal sadar kembali …,” ucap Kinara sembari tangan yang menggenggam telapak tangan Aarav. “Kinar di sini, akan selalu di sini,” lanjutnya lagi dengan suara parau. Suara Kinara tercekat, tiap kali melihat wajah pucat Aarav selalu saja berhasil membuatnya menangis. Ketakutan di dalam hati itu semakin hadir, membuat Kinara benar-benar takut apabila dirinya ditinggal pergi. “Kinar harap Mas cepat bangun … Kinar rindu suara Mas Aarav,” ujarnya sembari menghapus air mata. Kinara berusaha kuat, ia akan berusaha sabar dan ia akan berusaha yakin bahwa Aaravnya tidak akan meninggalkan dirinya. “Aarav?!”Kinara yang tengah melamun dikejutkan oleh seruan seseorang, refleks ia menoleh ke asal suara. “Bagaimana kabar Aarav?”Kinara terkejut saat mendapati Aavar dan Papa mertua ada di sini, dengan segera Kinara beranjak dari duduknya. “Kenapa bisa sampai seperti ini?” tanya Darren, tatapan matanya mengarah pada Kinara. “Pasti kau kan penyebabnya! Dasar tidak becus!”Kin
“Duarrrr!”“Aaaaa!” Melengking sudah suara itu menggema di udara. Jeritan keras dari sang korban membuat ia menoleh kepada sang pelaku. “Kak Aarav?” tanya gadis berumur 15 tahun. Dia Lusi, seseorang yang tadi menjerit terkejut kala seseorang mengejutkannya. Sebelumnya Lusi tengah mengumpulkan semua balon-balon yang katanya acara digagalkan. Tidak tahu permasalahannya karena apa Lusi hanya menurut. Rumah dari kediaman Vanzo dibersihkan kembali, semua yang sempat indah oleh hiasan dari berbagai bunga dan balon-balon harus segera dibersihkan. Dengan dibantu para pelayan Lusi hanya mengumpulkan balon-balonnya saja. Namun tak ia sangka, seseorang justru mengagetkannya dengan suara tersebut, tidak lupaa letusan dari balon pula menjadi pemicu keterkejutan Lusi. “Kak Aarav?” ulangnya lagi. Lusi mendengar bahwa Aarav kecelakaan, tapi kenapa pria itu sekarang ada di hadapannya? “Kak Aarav udah bisa pulang?” tanyanya berbinar. Sedang seseorang yang sedari tadi dipanggil Aarav tertawa renyah
Suara decitan mobil terdengar begitu nyaring. Mobil itu menepi di pinggir jalan, pria yang ada di dalamnya menatap lurus jalanan sana. Jalanan di mana kecelakaan itu terjadi. Dia Aavar, turun dari mobil dengan kaki jenjangnya. Sepatu yang tampak bermerek mewah itu mengenai aspal, ditambah dengan celana dan jas yang menambah perpaduan kemewahan dari keturunan William. Melangkah pada jalan tersebut, Aavar melangkah menuju garis kuning yang sudah dibatasi oleh polisi. Kecelakaan kemarin menjadi topik hangat untuk dibicarakan, apalagi mengetahui kalau cucu dari pemilik perusahaan tertinggi mengalami kecelakaan. Kecelakaan ini tak hanya menjadi sorotan publik, tapi juga akan membuat musuh yang ingin mendapatkan posisi tertinggi tertawa senang. Tidak aneh, karena setiap pembisnis akan merasa senang kala musuhnya mengalami titik terendah. Tapi, dari semua itu tidak akan Aavar biarkan terjadi. Tujuan ia ke sini selain menjenguk Aarav ia juga akan mengambil alih perusahaan Cavern Grup, se
“Mas … mas gak rindu Kinar apa? Kinar rindu Mas ,” rengek Kinara pada Aarav. Perempuan itu menarik punggung tangan Aarav agar ia kecup, kemudian beralih mengelus-elus kannya ke pipi. Rasa hangat, nyaman dan lembut dari tangan Aarav mampu membuatnya merasa sedikit tenang, walau di sisi lain ia tahu bahwa sang suami tak kunjung membuka mata. “Mas gak rindu ciuman kita apa?” ujarnya gemblang. “Mas gak mau bikin anak?” tanyanya lagi semakin gemblang. “Kinar udah umur 32 tahun lho sayang, mau sampai kapan keperawanan Kinar belum mas musnahkan?” Semakin melantur. Kinara benar-benar ingin Aarav membuka matanya, tapi tak urung pria itu hanya diam dan tidur. “Burung Mas juga masa Mas gak kasihan?” Tidak tahu malu. Kinara bahkan sampai menyebutkannya tanpa rasa malu. “Pasti tersiksa karena belum menemui sarangnya.” Bercelote sendiri dijawab sendiri, Kinara lagi-lagi hanya bisa menghela nafas kemudian menghembuskannya. “Aku penasaran malam pertama lho, sayang.” Tiba-tiba pikiran Kinara berpus
Rasa lelah seharian mengurus ini-itu membuat wajah Aavar tampak kusut saja. Ia mengusap wajahnya kasar, menguap untuk beberapa kali karena tidurnya terganggu. Ya, nyatanya dua hari ini ia terganggu akan kondisinya. Mudah lelah dan sering menguap, itu dikarenakan ia lebih berfokus pada tragedi terjadi kecelakaan itu. Mencari berbagai bukti yang mungkin menjawab semua pertanyaan. Selain itu, posisi Aarav yang digantikan terlebih dahulu oleh Aavar membuat pria itu dibuat sibuk. Mana menumpuk pula tugasnya. Dan sekarang Aavar tengah beristirahat sejenak. Memikirkan apa yang harus ia lakukan dalam proses selanjutnya? Karena dari yang ia lakukan ia hanya diam tidak melakukan apa-apa. Ah, informasi ini saja Aavar tidak memberitahukan terlebih dahulu kepada Kinara, takut apabila perempuan itu tiba-tiba syok. Menambah kekhawatirannya saja. Kepada Vanzo? Berpikir sama. Takut apabila Vanzo syok, menambah beban pikiran yang ada. Mana udah lanjut usia dikhawatirkan terjadi suatu hal yang tidak