“Tenanglah, Mas di sini,” ucap Aarav membawa Kinara ke dalam dekapan. Pria itu tampak khawatir saja, sedari tadi Kinara terus berteriak ketakutan. Kinara masih terdiam, terisak di balik dada Aarav yang mampu menenangkanya. Kenapa, kenapa mimpi itu terasa nyata? Pikirnya berkecamuk. Ada rasa takut jika mimpi itu sampai nyata, tapi … itu hanya mimpi, kan? Bukan nyata kan? Lagi-lagi begitulah isi pikiran Kinara. “Tadi kamu mimpi apa, hm?” tanya Aarav. Sembari mengusap Aarav juga mencium ubun-ubun Kinara. “Mas …” “Iya, sayang?”Lembut. Jawaban Aarav begitu lembut, membuat Kinara merasakan ketenangan. Kinara tersenyum tipis, semakin mengeratkan pelukannya. Menyimpan kepalanya untuk tetap menempel di dada suaminya.“Mas punya mantan gak?” tanyanya. Dahi Aarav refleks bertaut. “Kenapa nanyain mantan?” “Ya kan Kinar kepo. Pengen tau.” Masih dalam posisi memeluk, Kinara enggan melepaskan.“Eum … mantan ya?” Kinara mengangguk. “Punya,” jawabnya sukses membuat Kinara menarik dari pelukan
Satu hari telah berlalu. Jangan tanyakan perihal malam pertama yang hendak dilakukan, semuanya gagal total! Ya, malam pertama diantara Aarav maupun Kinara nyatanya belum mereka lakukan, hingga detik ini. Aarav mulai uring-uringan, pria itu sudah mau melakukan hubungan itu, namun tiba-tiba Kinara malah mendadak sakit perut, alhasil tidak jadi. Dan sekarang pun perempuan itu mendadak aneh, biasanya setiap pagi Kinara akan menyapanya, memberi ucapan selamat pagi atau mungkin memberinya ciuman walau sebatas pipi. Namun semuanya tiba-tiba berubah. Tidak ada lagi hal-hal romantis untuk pagi ini membuat Aarav merasa lesu saja. Kriekk… Suara knop pintu yang diputar membuat Aarav mengalihkan perhatiannya. Ia menoleh pada Kinara yang baru keluar dari kamar mandi. “Ssyang?” Aarav langsung menyapa. Namun hanya dibalas gumaman oleh Kinara. “Mas izin gak masuk kerja hari ini,” ucapnya sembari mendekat ke arah Kinara. Perempuan itu menggulung rambutnya yang basah dengan handuk. Pakaian yang ia
Semua persiapan sudah dipersiapkan dengan baik. Sangat malah. Sebuah dekorasi dengan di penuhi berbagai hiasan bunga menutupi sebagian tempat yang ada. Ditambah hiasan yang tampak mewah nan elegan, menjadi perpadun begitu mewahnya acara ini diadakan. Kinara menatap binar rumah ini, tak sabar rasanya akan kepulangan Aarav yang akan disambut dengan begitu meriah. “Cepatlah pulang, sayang … aku menunggumu,” gumam Kinara mulai senyum-senyum sendiri. **Hari sudah menjelang sore, tapi Aarav belum juga kembali ke kediaman William. Kinara yang sedari tadi mondar-mandir dibuat resah akan hal itu. Bertanya ke mana suaminya pergi? Kenapa sampai sekarang belum pulang juga? Mengingat bahwa Aarav izin kerja membuat Kinara percaya saja, namun saat hari menjelang siang Aarav tak kunjung pulang membuat Kinara berpikir bahwa suaminya pasti tidak jadi izin, lelaki itu pasti bekerja. Namun anehnya, biasanya sore begini Aarav sudah pulang, tidak mungkin melebihi batas dari jam kerja biasanya. “Bag
“Ck! Sebenarnya ada apa dengan Kinara? Kenapa perempuan itu mendadak aneh?” ujar Aarav bertanya pada dirinya sendiri. Pria itu melirik terlebih dahulu ke arah pintu yang sebelumnya ia tutup dengan keras. Menghela nafas kemudian menghembuskannya. Aarav berjalan menuruni anak tangga dengan lesu. Pagi ini adalah pagi tanpa semangat, Kinaranya berubah acuh. Tanpa sapaan, tanpa senyuman dan tanpa ciuman. Kinara … melupakan hal itu. Aarav menuruni anak tangga, namun tepat di tangga terakhir ia melihat Pamannya berdiri—di hadapannya. “Ada hal yang harus kau ketahui,” ucap Devan to the point. Lelaki itu menatap datar keponakan. Tak kalah datar dengan Aarav, pria itu hanya mengalihkan perhatiannya, malas menatap Devan. “Aku ingin berbicara denganmu, Rav.”Aarav menaikan alisnya sebelah. “Maaf, tidak ada waktu!” jawab Aarav, dia melangkah melewati Devan. “Ini tentang Kinara.” Satu nama yang disebut berhasil membuat Aarav berhenti dari langkahnya. Aarav berbalik. “Apa? Apa yang ingin kau b
“Titik balik daripada sebuah takdir adalah menerimanya. Mau tak mau, siap tak siap, jika takdir itu menghampiri, maka kita tidak bisa menolaknya.Rasa sedih yang atas nama penderitaan mungkin selalu ada. Setiap hari. Tapi, tidak memungkinkan pula bahagia itu tak datang. Ia akan selalu ada, datang pada orang-orang yang sebelumnya merasakan kesedihan. Porsi setiap manusia itu sama. Antara bahagia dan sedih, tertawa dan menangis, yang datang dan pergi, semuanya sama.”“Lalu, bagaimana jika kita tidak menerima takdir itu, Ayah? Apa kita … menjadi manusia yang tak tau diri?” tanya gadis kecil. Pria itu menjawab. “Maka hanya ada rasa sakit yang akan selalu kita rasakan. Karena pada dasarnya … segala sesuatu yang ada di dalam diri kita, akan menjadi timbali balik dari kehidupan itu sendiri. Kau menerima takdirnya maka hatimu akan merasa baik. Pun sebaliknya, kau tidak menerima takdirnya maka kau sendiri yang akan merasakan sakitnya.”“Kinar … adanya sedih dan bahagia itu tidak harus menjadi
Satu hal yang terus Kinara pikirkan, menyalahkan dirinya sendiri atas kecelakaan yang menimpa suaminya. Kecelakaan itu tidak bohong, tidak diada-adakan. Kecelakaan itu benar adanya. Bahwa sang suami kini terkapar lemah di atas brankar rumah sakit. Kinara menangis sejadi-jadinya saat ia masuk ke rumah sakit dan langsung menyerobot masuk ke dalam. Tubuhnya bergetar hebat, membekap mulutnya sendiri tatkala melihat sang suami begitu lemah tak berdaya. Kepalanya di perban sampai ke dagu, hidung serta mulutnya tertutup selang oksigen, wajahnya tampak sangat pucat, memejam tanpa mau membukanya. Kinara melangkah pelan, semakin bergetar bahunya melihat Aarav menderita seperti ini.Tangis itu, tangis yang sedari tadi Kinara tahan lepas juga. Ia menangis tepat berada di samping Aarav. “Mas ….” Menunduk lemah, kepalanya menunduk dengan deraian air mata yang semakin berjatuhan. “Maafin Kinar….” Hancur pula hatinya saat Kinara menggenggam tangan Aarav yang amat dingin. Sangat. Seakan di depa
“Mas bakal sembuh, Mas bakal sadar kembali …,” ucap Kinara sembari tangan yang menggenggam telapak tangan Aarav. “Kinar di sini, akan selalu di sini,” lanjutnya lagi dengan suara parau. Suara Kinara tercekat, tiap kali melihat wajah pucat Aarav selalu saja berhasil membuatnya menangis. Ketakutan di dalam hati itu semakin hadir, membuat Kinara benar-benar takut apabila dirinya ditinggal pergi. “Kinar harap Mas cepat bangun … Kinar rindu suara Mas Aarav,” ujarnya sembari menghapus air mata. Kinara berusaha kuat, ia akan berusaha sabar dan ia akan berusaha yakin bahwa Aaravnya tidak akan meninggalkan dirinya. “Aarav?!”Kinara yang tengah melamun dikejutkan oleh seruan seseorang, refleks ia menoleh ke asal suara. “Bagaimana kabar Aarav?”Kinara terkejut saat mendapati Aavar dan Papa mertua ada di sini, dengan segera Kinara beranjak dari duduknya. “Kenapa bisa sampai seperti ini?” tanya Darren, tatapan matanya mengarah pada Kinara. “Pasti kau kan penyebabnya! Dasar tidak becus!”Kin
“Duarrrr!”“Aaaaa!” Melengking sudah suara itu menggema di udara. Jeritan keras dari sang korban membuat ia menoleh kepada sang pelaku. “Kak Aarav?” tanya gadis berumur 15 tahun. Dia Lusi, seseorang yang tadi menjerit terkejut kala seseorang mengejutkannya. Sebelumnya Lusi tengah mengumpulkan semua balon-balon yang katanya acara digagalkan. Tidak tahu permasalahannya karena apa Lusi hanya menurut. Rumah dari kediaman Vanzo dibersihkan kembali, semua yang sempat indah oleh hiasan dari berbagai bunga dan balon-balon harus segera dibersihkan. Dengan dibantu para pelayan Lusi hanya mengumpulkan balon-balonnya saja. Namun tak ia sangka, seseorang justru mengagetkannya dengan suara tersebut, tidak lupaa letusan dari balon pula menjadi pemicu keterkejutan Lusi. “Kak Aarav?” ulangnya lagi. Lusi mendengar bahwa Aarav kecelakaan, tapi kenapa pria itu sekarang ada di hadapannya? “Kak Aarav udah bisa pulang?” tanyanya berbinar. Sedang seseorang yang sedari tadi dipanggil Aarav tertawa renyah
“Assalamu'alaikum…?” Khalifa mengucap salam saat ia masuk ke dalam rumah, ah, bukan hanya Khalifa, Alby juga ada. Keduanya masuk dengan raut muka terlihat capek. “Kak, eum … aku mau mandi dulu ya, seharian kerja bikin aku gerah,” ucap Khalifa pada Alby. Alby tersenyum. “okke, tapi jangan lama-lama ya, udah malam soalnya. Ah iya, pake air hangat biar nggak kedinginan.”Khalifa terkekeh. “Aku bukan kamu yang harus pake air dingin kali, aku kan nggak alergi dingin,” timpal Khalifa menjawab. “Masalahnya kan udah malam, nggak baik buat kesehatan.”“Enggak bakal kak. Udah, lagian aku mandi bakal cepet kok. Dah ya, aku mau mandi dulu!” ucap Khalifa gegas berlari namun dengan cepat Alby menahannya lebih dahulu membuat Khalifa kembali berbalik menatap Alby. “Kalo udah mandi nanti turun ke bawah ya? Aku mau masakin kesukaan kamu. Kita makan bareng,” ucap Alby. Kebetulan sekali keduanya belum makan membuat Khalifa mengangguk antusias. “Cium dulu sini.” Alby menampilkan pipi kanannya. Ia men
Seminggu berlalu…Seorang wanita berjalan dengan menyeret kopernya. Tergesa-gesa sebab terlambat,bahkan saking tergesa-gesanya, wanita itu tanpa sengaja menabrak bahu seseorang membuat wanita itu menyeru minta maaf. “Ya ampun maaf, Mas. Saya enggak sengaja!” ucapnya sedikit menundukkan kepala, detik berikut kepala wanita itu mendongak. Namun… “Lho?” Sesaat pandangan keduanya bertemu. “Gama?”“Khanza?” Keduanya berseru secara berbarengan. Gama dengan pandangan mata menelisik, sedang Khanza menatap dengan tarikan napas. “Kukira siapa, taunya kamu,” ucapnya merubah raut wajah. Khanza menghela napas, tanpa sepatah kata apapun perempuan itu pergi begitu saja. Gama menaikan alisnya, namun sedetik kemudian ia mengedikkan bahu, ikut pergi dengan menyeret kopernya. Ia tahu yang dirinya tabrak, untuk itu tidak peduli baginya.Gama memilih duduk setelah melakukan check up,melalui maskapai yang telah memberitahukannya kini ia duduk menunggu antrian untuk masuk ke dalam pesawat. Gama menghel
Pagi ini Khalifa bangun lebih awal, melihat sosok suaminya yang tertidur pulas. Ah, mungkin efek cairan infus yang masuk ke dalam tubuhnya, membuat pria itu terjaga dari tidurnya. Merasa pegal dibagian lengannya, Khalifa merenggangkan otot-ototnya. Tidur seranjang dengan Alby jelas membuatnya tak bergerak sana-sini, menjadikan ia merasakan pegal. Khalifa menghela napas, ia menunduk melihat pakaiannya yang kotor nan penuh darah, lupa, bahwa memang ia tak mengganti baju. Ah, jangankan untuk mengganti baju, justru hatinya saat itu resah memikirkan Alby. “Aku harus memberitahukan Bunda. Jika tidak mereka pasti khawatir.” Khalifa menatap terlebih dahulu Alby, mumpung pria itu masih tertidur membuat Khalifa gegas pergi. Selain merasa tak nyaman dengan pakaiannya ia juga tak nyaman dengan keadaan ini. Sungguh, walau ada perasaan lega melihat Alby selamat namun ada sisi lain yang membuatnya resah. Mengenai Khanza … Ia belum berani untuk menghadap padanya dan mengatakan yang sejujurnya. *
Lihatlah, wajah Alby yang dulunya tampan kini banyak dipenuhi luka. Beberapa luka itu diperban, entah bagian kepala, rahang, maupun anggota tubuh lainnya. Tak kuasa melihat keadaannya seperti ini, Khalifa menunduk dengan hati penuh sesal. “Maafin, Alifa Kak… maaf ….” Khalifa terduduk di kursi yang berada di pinggir ranjang tersebut, menggenggam tangan Alby yang begitu kekar. Dulu, tangan inilah yang selalu siap siaga menggenggam tangannya. “Andai aku tidak menurutinya, andai kita kabur saat itu mungkin keadaan kamu enggak bakal separah ini Kak. Bodoh, harusnya aku menolak ajakanmu untuk melawan mereka. Bodoh!” Khalifa merutuk dirinya, menarik tangan Alby untuk ia kecup. “Sekarang aku baru menyadarinya, Kak. Kalau aku … benar-benar takut kehilangan kamu. Aku takut ….” Khalifa tak bisa lagi membendung tangis yang kian jatuh menimpa pipinya, bengkak sudah kedua matanya sebab terus menangis. “Setelah kehilangan Mama dan Papa, aku enggak mau kehilangan kamu, Kak. Boleh aku egois? Aku i
Khalifa menunduk, semakin menangis tertahan dengan tangan yang masi menyentuh kepala Alby. “Kak … tolong … jangan tinggalin aku kayak gini … tolong bangunlah….”“Uhuk!”Sebuah semburat darah tiba-tiba keluar di bibir Alby tatkala pria itu terbatuk. “Kak Al?” Terkejut, Khalifa mendapati Alby membuka matanya dengan ringisan kecil yang keluar. “Khalifa….”Sudah menangis deras kini Khalifa menambah tangisnya tatkala suara lembut itu terdengar. Bergetar hatinya mendengar hal itu. “Kak Al….” Khalifa menangis, memeluk kepala Alby. “maafin aku, Kak. Maaf….”Alby memejamkan matanya menahan rasa sakit, ia menggeleng. “aku kembali untuk kamu, Alif….”Khalifa mengangguk, entah harus bagaiamana tapi ia benar-benar senang tatkala Alby kembali. Terbangun untuk menepati janjinya. Menggenggam erat tangan yang amat dingin itu Khalifa berucap, ““Kita harus ke rumah sakit dulu, Kak. Secepatnya luka kakak harus diatasi,” ucap Khalifa melihat keadaan Alby yang kian parah. “Kakak masih sanggup berdiri?
“Kau akan mati ditanganku!” Bugh! Alby langsung menghindar saat orang itu hendak menendang, belati yang dirinya pegang ia tusukkan ke depan untuk mengenal tubuh Alby, namun dengan gesit, Alby menghindar secara agresif. Memilih melawan dari belakang, Alby bisa menghajarnya dari belakang tersebut. Seseorang itu terjatuh, mukanya makin memerah. Satu diantara mereka berjalan maju, membuat Alby harus melawan dua orang sekaligus. Ah tidak, bahkan satunya lagi ikut-ikutan maju, menambah orang yang harus Alby lawan. Cukup kewalahan sebab mereka memiliki senjata masing-masing, sedang Alby hanya menggunakan tangan kosong sebagai tameng dirinya. Satu kali dua kali ia mendapat pukulan yang tak bisa ia hindari, bahkan goresan belati pula harus terkena sampai kulitnya saking keagresifan mereka. Murka, mereka murka sebab merasa terkalahkan oleh Alby. Alby mengatur napasnya dalam-dalam. Melawan 10 orang sekaligus benar-benar menguras tenaganya. Apalagi tidak diberi jeda untuk berhenti se
Khalifa berlari dan langsung memeluk Alby. Ia menangis dengan tubuh bergetar hebat. “Kak Al, makasih, makasih telah kembali….” Alby menelan salivanya pelan, bergetar hatinya kala melihat keadaan Khalifa seperti ini. “Maaf, maafkan aku baru datang Alif. Maaf telah meninggalkan kamu seorang diri.” Khalifa menggeleng, ia melerai pelukannya, mendongak untuk melihat wajah Alby. “Mereka … mereka ingin melecehkan aku, Kak. Aku--aku takut ….” Alby melihat wajah ketakutan itu, ia pegang tangan Khalifa untuk menenangkan gadisnya. Namun, yang ia lihat justru gurat merah dari pergelangan tangannya. Khalifa menunduk, ia masih terisak. “Mereka pegang tangan aku dengan keras Kak… mereka kasar dan menyeramkan….” Mendengar lirihan itu rahang Alby mengeras, menoleh ke kanan, ia dapati 11 orang itu yang tampak tertawa saja. “Ayo kabur, Kak. Mereka bukan tandingan kita,” ucap Khalifa kembali. Alby menatap Khalifa, memilih kabur? Itu bukan dirinya. “Tidak Alif, mereka harus membayar at
Nyatanya bukan sehabis magrib Khalifa pulang, melainkan sehabis isya baru ia bisa pulang. Jangan tanyakan kenapa, karena saat ini Khalifa ingin sendirian, menjadikan ia habiskan beberapa waktu sendirian di kantor. Dan sekarang waktunya ia pulang beberapa security yang jaga pula sebagian sudah pulang, paling hanya beberapa yang tetap berjaga karena bekerja sesuai shif. Khalifa berjalan terburu-buru menuju mobilnya, lantas melaju membelah jalan tanpa menunggu lama. Takut kemalaman Khalifa makin mempercepat lajunya. Sebuah dering ponsel terdengar namun tak Khalifa gubris untuk mengangkatnya. Memilih abai Khalifa terus melajukan mobilnya di tengah keramaian. Namun, kala ia berbelok ia harus di hadapkan dengan jalan yang cukup sepi. “Huft, semoga tidak terjadi apa-apa.” Khalifa mengucap doa dalam hati. Mau bagaimana pun ia perempuan, dan jelas ia takut jika tiba-tiba ada hal aneh yang melintas. Suara bisingnya motor terdengar dari arah belakang, memusat perhatian Khalifa untuk m
Khalifa menangkup kedua pipi di atas meja, bosan melanda hatinya. Hari ini tugas yang diberikan Aavar dalam mempelajari berbagai perbisnisan cukup menguras pikiran dan tenaga. Ternyata susah sekali untuk memahami berbagai persoalan dalam perbisnisan ini. Jika bukan karena otak yang encer mungkin Khalifa memilih tidur saja di atas kasur. Hari ini jam sudah menunjukan pukul empat sore. Tidak terasa, dari pagi sampai saat ini Khalifa menghabiskan waktu hanya di kantor saja, tentunya dengan Khanza. Namun, saat ini perempuan itu entah pergi ke mana, katanya izin keluar sebentar. “Khalifa, Om pulang lebih dulu ya, istri Om kasihan di rumah sendirian.” Tiba-tiba suara Aavar terdengar setelah pintu terbuka. “Kamu pulang lah, besok bisa dilanjutkan.” Punggung Khalifa berdiri tegap. “Nggak deh, Khalifa mau lembur. Soalnya masih banyak banget yang belum dikerjakan Om.” Aavar menoleh. “lembur?” Ia tertawa. “ya ampun Khalifa, ini kan cuma belajar aja. Gak usah terlalu dibuat serius jug