Edgard sudah duduk manis di mobilnya saat melihat Janice yang masih berdiri di depan gedung perusahaan karena menunggu Pak ojek. Setelah dipijat oleh Janice tadi, Edgard mengusir Janice keluar dan Janice pun bernapas lega. Janice kembali melanjutkan pekerjaannya sampai jam pulang kantor tiba dan berniat pulang lebih cepat, tapi sialnya Pak ojek malah terlambat menjemputnya. Janice sendiri masih terus mengumpat kesal saat tiba-tiba sebuah mobil berhenti di hadapannya dan ia melihat wajah Edgard begitu kaca mobil dibuka. "Masuk, Janice!" titah Edgard tegas. "Untuk apa aku masuk ke mobilmu? Aku tidak mau masuk!" tolak Janice. "Kubilang masuk, Janice! Kau ingat siapa kau kan? Masuk atau aku akan meminta orang menculikmu lagi seperti waktu itu!" Janice terdiam mendengarnya sambil mengerjapkan matanya. "Astaga, kau mengancamku ya! Dasar keterlaluan! Coba saja kalau kau berani macam-macam! Ini di tempat umum dan akan ada banyak orang yang melihatmu!""Memangnya aku peduli? Kau sendiri
"Ini rumah Calista, Uncle!" Calista terus menggandeng Edgard, sedangkan Collin sudah melepaskan gandengannya dan berlari masuk menghampiri Janice dan Nara. "Ayo, Uncle!" ajak Calista lagi sampai Edgard merasa kikuk sekarang. Ia hanya bisa terus mengikuti Calista walaupun sebenarnya ia tidak mau masuk ke rumah kecil ini. "Eh, Pak Edgard, apa kabar? Astaga, aku malu sekali menerimamu berkunjung di sini karena rumah kami sempit dan kotor," kata Nara sungkan. "Ah, tidak apa, Oma!" Edgard tidak menyahutinya dan malah Jefry yang menyahut. "Bosku ini sudah biasa blusukan! Haha!" "Astaga, benarkah begitu? Ayo, silakan duduk di sini, Pak!" Nara buru-buru membersihkan kursi di meja makan dan mempersilakan Edgard duduk, sedangkan Calista sudah mengernyit bingung. "Apa itu blusukan, Uncle?" tanya Calista yang sekarang berdiri di samping Edgard dengan gaya begitu manis. Edgard pun sempat menahan napasnya sejenak karena ia sama sekali tidak mengharapkan interaksi apa pun dengan keluarga Ja
Edgard masih mematung tidak jelas saat akhirnya suara Jefry pun terdengar di sana. "Hmm, kurasa Oma benar, Bos. Sekali-sekali kita makan di sini saja ya! Aku juga bosan makan steak terus," celetuk Jefry tiba-tiba."Eh, memangnya Uncle makan steak setiap hari ya? Wow, Calista juga mau ...," pekik Calista antusias sambil menatap Jefry.Jefry hanya tersenyum mendengarnya, namun mendadak Edgard yang menyahutinya. "Kalau kau mau, kau juga bisa makan steak setiap hari," sahut Edgard tiba-tiba sambil menatap Calista layaknya seorang pria yang menatap cinta pertamanya. Semua orang pun terus menatap bingung melihat sikap Edgard yang lebih diam, lebih jinak, dan lebih lembut hari ini. Sedangkan Calista yang mendengar ucapan Edgard pun langsung menatap Edgard dengan mata yang berbinar-binar. "Apa Uncle mau mengajak Calista sama Collin makan steak?" Edgard sendiri langsung menelan saliva mendengarnya. Sial! Mengapa lagi-lagi Edgard terpaku mendengar ajakan Calista. Ada keinginan dalam diri
"Uncle Edgard itu baik ya, Mama ...." Entah sudah berapa kali Calista memuji Edgard sampai Janice yang mendengarnya pun bosan. "Iya, Sayang. Uncle Edgard baik, tapi ini sudah malam, Calista tidur dulu ya. Lihatlah Collin sudah tidur duluan!" Janice mengedikkan kepalanya ke arah Collin yang sudah tertidur sambil menganga sementara Calista tidak kunjung tidur juga. Seperti biasa, Nara masih sibuk membersihkan meja makan dan dapur sebelum tidur dan kalau Calista tidak tidur juga berarti Janice tidak bisa membantu Nara bersih-bersih. Calista terkekeh mendengar ucapan Janice dan Calista pun langsung memeluk Janice sambil memejamkan matanya namun tidak lama kemudian, ia kembali berbicara. "Mama ... apa besok kita akan bertemu dengan Uncle Edgard lagi?" Janice mengernyit tidak suka mendengarnya, tapi karena wajah Calista sedang didekap di dadanya sekarang, anak itu tidak bisa melihat kernyitan Janice. "Besok? Sepertinya tidak. Dia itu bosnya Mama dan dia sangat sibuk.""Sibuk apa, Ma
Edgard tidak menyukai pertanyaan Jefry, sangat tidak suka. Terutama karena kecurigaan Jefry itu sama dengan kecurigaannya, namun Edgard sendiri masih terus menyangkalnya sampai detik ini. Tentu saja ini adalah kecurigaan yang gila. Bagaimana bisa Edgard yang selama ini hidup sendiri dengan bebas mendadak mempunyai anak sebesar itu, bukan hanya satu tapi dua. Anak. Dan ia akan dipanggil Papa? Mendadak menjadi Papa dalam sekejap. Membayangkannya saja membuat Edgard hampir gila. "Tidak! Jangan gila, Jefry!" sahut Edgard yang masih berusaha berkelit. "Bos, bahkan umur mereka saja sesuai dengan kejadian waktu itu kan? Kalian melakukannya, Janice yang menyamar menjadi Emira kabur, lalu dia hamil dan melahirkan anak kembar. Semuanya begitu pas. Kurasa tidak ada yang perlu diragukan lagi, Bos. Sekarang kita hanya tinggal mencari tahu mengapa Janice menyamar menjadi pelayanmu dulu," seru Jefry dengan penuh keyakinan. Edgard pun memicingkan mata mendengarnya. Alasan Janice menyamar. Ya, i
"Apa kau tidak betah berada di satu ruangan yang sama denganku, Janice? Kau tahu kalau sikapmu sangat berlebihan padahal selama beberapa hari ini, kurasa kita sudah cukup akrab."Edgard menekan ucapannya sambil menatap Janice lekat-lekat. Janice pun mengembuskan napas panjangnya. "Tidak! Kau saja yang terlalu banyak berpikir. Tadi kan kau menyuruh bubar jadi aku pun berniat segera kembali ke ruang kerjaku untuk mempelajari materi rapat besok." "Ah, begitu ya? Memang aku menyuruh bubar karena rapatnya sudah selesai, tapi bukan berarti tugasmu juga selesai, Janice.""Err, tugas apa lagi maksudnya?" "Tugas sebagai pelayanku, apa lagi? Kemarin kau sudah membuat banyak alasan sampai akhirnya kau meliburkan diri sebagai pelayanku, tapi hari ini kau tidak akan mendapat libur lagi. Sekarang buatkan aku kopi dan antar ke ruang kerjaku! Ingat, aku mau kopi buatanmu, bukan office girl!" "Eh, kopi lagi?" pekik Janice begitu mendengarnya. "Ya, kopi lagi dan lagi karena setiap hari kau akan
"Apa wanita itu sudah datang?""Belum, Bos. Kita yang kepagian karena ini memang belum jam masuk kerja." Edgard dan Jefry berangkat begitu pagi hari itu karena Edgard ingin memberi pelajaran pada Janice yang lagi-lagi tidak menuruti perintahnya. Padahal perintahnya sudah begitu jelas yaitu Edgard meminta Tito mengantar Janice ke rumah Edgard, tapi Janice malah banyak beralasan sampai akhirnya Janice tidur di rumahnya sendiri. Edgard pun begitu gelisah kalau ada rencananya yang tidak berjalan lancar. Bahkan Edgard sempat menelepon dan mengomeli Tito kemarin, tapi apa daya, Janice, sang pelayan sudah tertidur lelap bersama dua anaknya. Dan kekesalan Edgard begitu awet sampai pagi ini. "Beritahu aku kalau dia sudah datang! Jangan biarkan dia pergi ke ruang kerjanya karena tempat pertama yang harus dia datangi adalah ruang kerjaku. Aku harus memberinya pelajaran!""Eh, iya, Bos." Jefry mengangguk patuh sebelum ia pun keluar dari sana dan menunggu Janice. Sementara Janice sendiri mas
Janice kembali membelalak lebar mendengar pilihan hukuman yang diberikan padanya itu. "Dasar pria brengsek yang cabul! Bisa-bisanya kau berpikiran untuk melecehkanku di kantor! Keterlaluan!" "Aku sudah memberimu pilihan, Janice!" seru Edgard yang langsung bangkit berdiri sambil membuka kancing kemejanya. Tapi Janice langsung panik dan seketika menyambar sapu di sampingnya. "Bersihkan ya bersihkan, apa susahnya?" Sambil melangkah menjauhi Edgard secepat kilat, Janice pun mulai bekerja. Janice mengelap perabot dan langsung menyapu lantai dengan begitu cepat dan lincah seperti yang biasanya ia lakukan di rumah. Edgard yang melihatnya pun langsung tersenyum puas, sesuatu yang sangat jarang ia rasakan. Biasanya Edgard hanya puas saat sudah menjatuhkan lawan bisnisnya atau saat berhasil menghukum karyawan yang nakal atau melakukan korupsi. Standar kepuasan Edgard semuanya berhubungan dengan pekerjaannya, walaupun akhir-akhir ini Edgard merasakan kepuasan yang lain, yaitu saat melih