Edgard tidak menyukai pertanyaan Jefry, sangat tidak suka. Terutama karena kecurigaan Jefry itu sama dengan kecurigaannya, namun Edgard sendiri masih terus menyangkalnya sampai detik ini. Tentu saja ini adalah kecurigaan yang gila. Bagaimana bisa Edgard yang selama ini hidup sendiri dengan bebas mendadak mempunyai anak sebesar itu, bukan hanya satu tapi dua. Anak. Dan ia akan dipanggil Papa? Mendadak menjadi Papa dalam sekejap. Membayangkannya saja membuat Edgard hampir gila. "Tidak! Jangan gila, Jefry!" sahut Edgard yang masih berusaha berkelit. "Bos, bahkan umur mereka saja sesuai dengan kejadian waktu itu kan? Kalian melakukannya, Janice yang menyamar menjadi Emira kabur, lalu dia hamil dan melahirkan anak kembar. Semuanya begitu pas. Kurasa tidak ada yang perlu diragukan lagi, Bos. Sekarang kita hanya tinggal mencari tahu mengapa Janice menyamar menjadi pelayanmu dulu," seru Jefry dengan penuh keyakinan. Edgard pun memicingkan mata mendengarnya. Alasan Janice menyamar. Ya, i
"Apa kau tidak betah berada di satu ruangan yang sama denganku, Janice? Kau tahu kalau sikapmu sangat berlebihan padahal selama beberapa hari ini, kurasa kita sudah cukup akrab."Edgard menekan ucapannya sambil menatap Janice lekat-lekat. Janice pun mengembuskan napas panjangnya. "Tidak! Kau saja yang terlalu banyak berpikir. Tadi kan kau menyuruh bubar jadi aku pun berniat segera kembali ke ruang kerjaku untuk mempelajari materi rapat besok." "Ah, begitu ya? Memang aku menyuruh bubar karena rapatnya sudah selesai, tapi bukan berarti tugasmu juga selesai, Janice.""Err, tugas apa lagi maksudnya?" "Tugas sebagai pelayanku, apa lagi? Kemarin kau sudah membuat banyak alasan sampai akhirnya kau meliburkan diri sebagai pelayanku, tapi hari ini kau tidak akan mendapat libur lagi. Sekarang buatkan aku kopi dan antar ke ruang kerjaku! Ingat, aku mau kopi buatanmu, bukan office girl!" "Eh, kopi lagi?" pekik Janice begitu mendengarnya. "Ya, kopi lagi dan lagi karena setiap hari kau akan
"Apa wanita itu sudah datang?""Belum, Bos. Kita yang kepagian karena ini memang belum jam masuk kerja." Edgard dan Jefry berangkat begitu pagi hari itu karena Edgard ingin memberi pelajaran pada Janice yang lagi-lagi tidak menuruti perintahnya. Padahal perintahnya sudah begitu jelas yaitu Edgard meminta Tito mengantar Janice ke rumah Edgard, tapi Janice malah banyak beralasan sampai akhirnya Janice tidur di rumahnya sendiri. Edgard pun begitu gelisah kalau ada rencananya yang tidak berjalan lancar. Bahkan Edgard sempat menelepon dan mengomeli Tito kemarin, tapi apa daya, Janice, sang pelayan sudah tertidur lelap bersama dua anaknya. Dan kekesalan Edgard begitu awet sampai pagi ini. "Beritahu aku kalau dia sudah datang! Jangan biarkan dia pergi ke ruang kerjanya karena tempat pertama yang harus dia datangi adalah ruang kerjaku. Aku harus memberinya pelajaran!""Eh, iya, Bos." Jefry mengangguk patuh sebelum ia pun keluar dari sana dan menunggu Janice. Sementara Janice sendiri mas
Janice kembali membelalak lebar mendengar pilihan hukuman yang diberikan padanya itu. "Dasar pria brengsek yang cabul! Bisa-bisanya kau berpikiran untuk melecehkanku di kantor! Keterlaluan!" "Aku sudah memberimu pilihan, Janice!" seru Edgard yang langsung bangkit berdiri sambil membuka kancing kemejanya. Tapi Janice langsung panik dan seketika menyambar sapu di sampingnya. "Bersihkan ya bersihkan, apa susahnya?" Sambil melangkah menjauhi Edgard secepat kilat, Janice pun mulai bekerja. Janice mengelap perabot dan langsung menyapu lantai dengan begitu cepat dan lincah seperti yang biasanya ia lakukan di rumah. Edgard yang melihatnya pun langsung tersenyum puas, sesuatu yang sangat jarang ia rasakan. Biasanya Edgard hanya puas saat sudah menjatuhkan lawan bisnisnya atau saat berhasil menghukum karyawan yang nakal atau melakukan korupsi. Standar kepuasan Edgard semuanya berhubungan dengan pekerjaannya, walaupun akhir-akhir ini Edgard merasakan kepuasan yang lain, yaitu saat melih
"Wah, rumahnya besar sekali!" pekik Collin saat Jefry membawanya ke rumah Edgard. "Iya, bagus sekali rumah Uncle Edgard," timpal Calista. Nara sendiri hanya mengagumi dalam diam karena rasanya tidak sopan mengagumi rumah orang secara berlebihan. "Hehe, kita akan tinggal di sini. Collin dan Calista mau kan?" "Mau mau mau!" pekik Collin dan Calista bersama. Jefry pun tertawa senang mendengarnya. Awalnya Jefry tidak terlalu setuju dengan perintah Edgard untuk menculik keluarga Janice. Tapi ternyata kosa kata "menculik" itu terlalu kejam karena Edgard hanya ingin membawa keluarga Janice tinggal di rumah Edgard agar Janice tidak punya alasan kabur lagi. Dan tentu saja akhirnya Jefry setuju, apalagi Jefry sudah berpikir tentang kemungkinan bahwa si kembar adalah anak Edgard. Bukankah anak-anak memang harus tinggal dan dekat dengan ayahnya? Jefry pun menjadi ikut antusias. "Nah, nanti Uncle akan membawa kalian berkeliling, tapi sekarang kita akan makan malam dulu bersama Mama dan Un
Semua orang langsung terdiam mendengar permohonan absurd Calista. "Collin juga mau punya Papa sultan!" timpal Collin menanggapi Calista. Janice sampai begitu syok mendengarnya. "Astaga, Collin, Calista, apa yang kalian katakan? Sstt, diam saja! Jangan bicara lagi!" Janice pun kembali memelototi anak-anaknya. Nara sendiri pun nampak melirik Edgard dengan sungkan. "Eh, maafkan cucuku ya, Pak Edgard! Mereka hanya asal bicara. Astaga, Collin, Calista, itu tidak sopan!" tegur Nara. Collin dan Calista pun menunduk mendengarnya dan tidak membantah lagi. Edgard sendiri malah masih terdiam dan belum bisa bereaksi apa-apa, namun ia berusaha untuk tetap tenang. "Tidak apa, Bu Nara. Namanya juga anak kecil. Mereka bebas mengatakan apa saja yang mereka mau.""Ah, iya, tapi aku jadi sungkan padamu."Nara tersenyum sungkan, sedangkan Janice masih terus memelototi kedua anaknya. "Ayo kita pulang saja setelah ini!" ajak Janice akhirnya. "Kok pulang, Mama? Kan Collin mau tidur di sini!" seru
Janice langsung membelalak kaget dan menahan napasnya gugup. "T-tidur di kamar ini bersamamu? Jangan mimpi, Edgard! Menjauhlah dariku!" Janice langsung mendorong dada Edgard menjauh dan sontak Edgard pun langsung menegakkan tubuhnya dengan tatapan yang tidak pernah berpaling dari Janice. Sedangkan Jefry yang masih berdiri di sana pun mengulum senyumnya melihat interaksi yang menggemaskan antara Edgard dan Janice itu, apalagi selama ini belum pernah ada orang yang berani bersikap seperti itu pada Janice. Dan selama ini juga belum pernah ada orang yang bisa membuat Edgard sampai sejahil ini karena Edgard sendiri sebenarnya adalah pria yang sangat serius. "Jadi bagaimana?" ulang Edgard dengan santai. "Aku tidak akan tidur di sini bersamamu!" tegas Janice garang. Edgard pun mengangkat bahunya tetap dengan santai."Kau sudah memilih kan tadi?""Pilihanmu tidak ada yang menyenangkan!""Tidur denganku menyenangkan, Janice! Kamarnya besar, acnya dingin, namun kau akan tetap merasakan k
"Ah, aku pasti sudah berendam begitu lama! Aku mengantuk sekali!" Janice menggelengkan kepalanya dan membuka matanya saat ia merasa hampir tertidur di bathtub itu. Janice pun akhirnya beranjak bangkit sambil mengeringkan rambut dengan tangannya dan menyeka wajahnya. Dan tepat saat Janice akhirnya melangkah keluar dari bathtubnya untuk meraih handuk yang masih digantung, Janice pun menoleh ke arah pintu karena ia merasa ada bayangan di sana. Tatapan Janice pun langsung bertemu dengan tatapan Edgard dan butuh beberapa detik untuk Janice menyadari keberadaan Edgard yang sedang menatap tubuh polosnya. Janice sedang berdiri dengan tubuh yang benar-benar polos dengan satu kaki yang masih ada di dalam bathtub dan kaki yang lain sudah keluar menapak lantai. Dan posenya saat ini benar-benar menantang sampai tatapan Edgard pun berkabut melihatnya. Namun Janice yang kaget pun langsung berteriak kencang. "Aarrgghh!!""Apa yang kau lakukan?" pekik Janice sambil langsung menyilangkan tangan