Janice terus meregangkan otot tubuhnya pagi itu karena rasanya pegal-pegal. Edgard begitu tega menyuruhnya tidur di lantai tanpa selimut ataupun bantal, tapi Janice sendiri terlalu gengsi untuk memintanya juga. Janice ingin membuktikan kalau walaupun ia tertekan, ia tidak butuh dikasihani. Tapi konsekuensinya ya sakit pinggang. Entah sampai kapan ia harus tidur di lantai seperti kemarin malam. Janice pun melangkah cepat ke kamar si kembar agar Edgard tidak mencarinya lagi. Sebelum Edgard bangun tadi, Janice sudah keluar dan menuju kamar Nara lalu meminjam baju ibunya itu. Untung saja ada kaos dan celana biasa yang bisa ia pakai. Janice pun memanfaatkan pagi itu dengan mengurus si kembar. "Selamat pagi, Sayang! Kalian sudah bangun?" "Woah, Mama... Collin tidurnya enak sekali..." pekik Collin sambil memeluk Janice. "Calista juga... ranjangnya empuk dan acnya dingin, Mama... Calista tidak takut tidur sendirian karena ada boneka besar ini yang Calista peluk tadi malam!" Calista
"Dasar pria cabul! Kalau memang dia sudah menyediakan baju untukku, mengapa membiarkan aku tidur dengan jubah mandi!"Janice tidak berhenti mengumpat kesal dan mengomel saat ia selesai mandi di kamar Edgard dan menemukan beberapa paper bag berisi baju di ranjang. Janice pun segera membongkar paper bag itu dan menemukan banyak baju baru yang semuanya cocok dengan ukurannya. Segera saja ia meraih kemeja dan rok formal serta pakaian dalam di sana. "Astaga, bahkan ukuran pakaian dalam ini juga pas, oh, dasar pria cabul! Dia sudah tahu ukuranku, aku malu sekali!" Janice menunduk dan menutup wajahnya malu untuk beberapa saat sebelum akhirnya ia memakai bajunya dan bersiap. Dengan cepat Janice pun akhirnya turun ke bawah dan langsung disambut suara ribut anaknya yang sedang berlarian di ruang tamu. Collin dan Calista terkekeh dengan begitu ribut sampai jantung Janice pun berdebar kencang, takut Edgard akan marah dan memukul anak-anak itu mengingat Edgard yang dulu sangat temperamen. W
"Kau ... tidak berniat jahat pada anak-anakku kan?" Janice nampak ragu saat ia sudah duduk di mobil di samping Edgard.Walaupun melihat sikap Edgard yang begitu lembut pada anak-anak tadi, tapi jujur saja hati Janice masih belum sepenuhnya plong dan ingin memastikannya lagi. Edgard yang mendengarnya pun langsung menoleh ke arah Janice dan memicingkan matanya. "Bukankah aku sudah pernah bilang aku tidak akan menyakiti mereka? Kau tidak percaya padaku? Lagipula apa kau pikir aku sejahat itu, hah?""Err, bukan begitu! Tapi kau sendiri bersikap sangat kasar padaku dari awal sampai akhir, lalu bagaimana aku bisa percaya kalau kau tidak akan kasar juga pada anak-anakku?""Aku hanya akan bersikap buruk pada orang yang sudah jahat padaku, begitupun sebaliknya. Dan mengapa aku kasar padamu karena kau juga kasar padaku." Janice menegang mendengarnya. "Itu ... kapan aku kasar padamu?""Oh, perlu kuingatkan kalau usaha pembunuhan adalah hal yang sangat jahat, Janice. Kau juga memukulku dan me
"Pelayan itu belum datang, Jefry?""Sabar, Bos! Kau tidak sabaran sekali!" goda Jefry saat Edgard sudah keluar dari ruang kerjanya. Jefry pun mengajak Edgard berdiri di depan meja salah satu karyawan untuk memeriksa berkas di sana dan Edgard pun masih serius membaca saat ia mendadak mendengar suara langkah sepatu hak tinggi yang begitu mantap. Sontak Edgard dan Jefry pun menoleh dan Jefry langsung menganga menatap seorang wanita cantik dengan penampilan paripurnanya. Wanita cantik bak model itu langsung tersenyum menatap Edgard dan Jefry. Sementara tatapan Edgard sendiri malah menangkap wanita lain yang sedang ia tunggu di belakang sana. Edgard menatap Janice yang sedang melangkah bersama Wina itu. Namun sedetik kemudian, fokus Edgard pecah karena sapaan wanita cantik yang berjalan di depan Janice. "Hai, Sayang ...."Edgard pun langsung menyadari keberadaan wanita lain yang mendadak mendekatinya dan memeluknya. "Aku sangat merindukanmu, Edgard!" seru wanita itu sambil tersenyu
"Kau lama sekali di toilet, Janice!" "Eh, maaf, Wina! Aku ... perutku sakit!" dusta Janice, padahal ia sibuk mengumpati Edgard di sana. Setelah menenangkan dirinya dari rasa kesal dan sakit hati yang berlebih, akhirnya Janice keluar dari toilet. Dan setelah kembali ke ruang kerjanya, Janice pun baru menyadari kalau ternyata ia cukup lama mengurung diri di toilet. "Ah, baiklah! Ini ada pekerjaan baru," kata Wina sambil menyerahkan beberapa dokuman. Janice pun menerimanya dan mulai mempelajarinya, sementara Wina malah sibuk melamun sendiri. "Hei, Janice, apa menurutmu wanita tadi memang kekasihnya Pak Edgard? Mengapa aku masih belum terima ya? Sejak awal aku begitu mengagumi Pak Edgard, tapi mendapati dia yang sudah punya kekasih, mendadak aku patah hati." "Sekalipun kekasihnya luar biasa cantik dan modis, dan kalau dibandingkan denganku bagaikan bumi dan langit, aku masih tetap patah hati," ucap Wina dengan lemas. Janice yang mendengarnya pun menoleh sambil memaksakan senyumnya.
Janice masih tertegun menatap pria baik hati yang mengambilkan ponselnya itu dan jantung Janice pun langsung berdebar kencang melihat pria sempurna yang sedang tersenyum padanya itu. "Kau baik-baik saja kan, Nona?" ulang pria itu karena Janice tidak kunjung menjawab. "Astaga, iya aku baik-baik saja! Terima kasih! Ah, ini ponselku! Terima kasih juga sudah mengambilkan ponselku!" seru Janice cepat sambil mengambil ponsel itu dengan lembut dari tangan pria tampan itu. Pria itu pun mengangguk dan kembali tersenyum. "Sama-sama! Tapi lain kali berhati-hatilah kalau berjalan! Kalau kau terjatuh bagaimana?""Eh, itu ... astaga, maaf sekali lagi ya, tadi aku buru-buru tapi terima kasih atas perhatianmu!"Janice menunduk sopan dengan jantung yang masih berdebar kencang. Pria tampan saja sudah biasa, tapi tampan dan perhatian tentu saja luar biasa. Tapi siapa pria tampan ini? Sepertinya Janice tidak pernah melihatnya di Emerald Group sebelumnya, namun kepo di pertemuan pertama itu sama sek
"Jadi kau akan langsung pulang, Devan?""Iya, Kak. Masih ada beberapa pekerjaan yang harus kuselesaikan malam ini." Edgard tersenyum tipis mendengarnya lalu ia pun memeluk ringan dan menepuk bahu Devan. "Kau rajin sekali, Devan! Bekerjalah dengan baik tapi jangan lupa istirahat juga!""Haha, kau juga, Kak!" Edgard dan Devan masih mengobrol santai dengan Jefry dan asisten Devan masih berdiri di belakang Bos masing-masing saat pintu lift akhirnya terbuka. Ting!Edgard dan Jefry langsung melangkah keluar dari sana sementara Devan yang baru saja akan maju nampak kaget karena ada seorang wanita yang juga maju. Entah bagaimana menjelaskan kondisi yang begitu cepat itu, namun Devan dan wanita itu sama-sama melangkah maju dan saat menyadari ada orang, mereka sama-sama mundur tapi wanita itu kaget, tersentak, dan oleng. Dengan sigap, Devan yang melihatnya pun langsung menangkap wanita itu dan refleks memeluk pinggang wanita itu agar wanita itu tidak jatuh. Hap!Untuk sesaat, suasana menj
"Tega sekali kau membuat anak-anak menunggu!"Janice menggeram kesal saat ia dan Edgard masih duduk di dalam mobil.Pertengkaran mereka tadi berhenti saat tiba-tiba Edgard teringat tentang si kembar dan Edgard pun langsung melepaskan rambut Janice yang awalnya dijambak karena ia ingin melihat jam tangannya. "Sial! Aku juga tidak bermaksud membuat mereka menunggu!""Lain kali tidak usah berjanji dan memberikan harapan palsu! Mereka sudah meneleponku berkali-kali! Lebih baik biarkan aku membawa mereka dan kau bersenang-senang dengan kekasihmu yang seksi itu saja!" "Sial, Janice! Kau itu bicara apa? Kau tahu mengapa kita terlambat kan? Itu karena kau yang genit dan sok dekat dengan Devan tadi! Kalau saja aku tidak mengajakmu pulang mungkin sampai sekarang kau masih menyodorkan dirimu padanya!"Janice menganga mendengar ucapan Edgard. "Menyodorkan diri? Apa kau tidak punya kalimat yang lebih bagus, hah? Kau pikir aku begitu murahan?" Janice dan Edgard pun mendadak kembali berdebat samp