Janice masih tertegun menatap pria baik hati yang mengambilkan ponselnya itu dan jantung Janice pun langsung berdebar kencang melihat pria sempurna yang sedang tersenyum padanya itu. "Kau baik-baik saja kan, Nona?" ulang pria itu karena Janice tidak kunjung menjawab. "Astaga, iya aku baik-baik saja! Terima kasih! Ah, ini ponselku! Terima kasih juga sudah mengambilkan ponselku!" seru Janice cepat sambil mengambil ponsel itu dengan lembut dari tangan pria tampan itu. Pria itu pun mengangguk dan kembali tersenyum. "Sama-sama! Tapi lain kali berhati-hatilah kalau berjalan! Kalau kau terjatuh bagaimana?""Eh, itu ... astaga, maaf sekali lagi ya, tadi aku buru-buru tapi terima kasih atas perhatianmu!"Janice menunduk sopan dengan jantung yang masih berdebar kencang. Pria tampan saja sudah biasa, tapi tampan dan perhatian tentu saja luar biasa. Tapi siapa pria tampan ini? Sepertinya Janice tidak pernah melihatnya di Emerald Group sebelumnya, namun kepo di pertemuan pertama itu sama sek
"Jadi kau akan langsung pulang, Devan?""Iya, Kak. Masih ada beberapa pekerjaan yang harus kuselesaikan malam ini." Edgard tersenyum tipis mendengarnya lalu ia pun memeluk ringan dan menepuk bahu Devan. "Kau rajin sekali, Devan! Bekerjalah dengan baik tapi jangan lupa istirahat juga!""Haha, kau juga, Kak!" Edgard dan Devan masih mengobrol santai dengan Jefry dan asisten Devan masih berdiri di belakang Bos masing-masing saat pintu lift akhirnya terbuka. Ting!Edgard dan Jefry langsung melangkah keluar dari sana sementara Devan yang baru saja akan maju nampak kaget karena ada seorang wanita yang juga maju. Entah bagaimana menjelaskan kondisi yang begitu cepat itu, namun Devan dan wanita itu sama-sama melangkah maju dan saat menyadari ada orang, mereka sama-sama mundur tapi wanita itu kaget, tersentak, dan oleng. Dengan sigap, Devan yang melihatnya pun langsung menangkap wanita itu dan refleks memeluk pinggang wanita itu agar wanita itu tidak jatuh. Hap!Untuk sesaat, suasana menj
"Tega sekali kau membuat anak-anak menunggu!"Janice menggeram kesal saat ia dan Edgard masih duduk di dalam mobil.Pertengkaran mereka tadi berhenti saat tiba-tiba Edgard teringat tentang si kembar dan Edgard pun langsung melepaskan rambut Janice yang awalnya dijambak karena ia ingin melihat jam tangannya. "Sial! Aku juga tidak bermaksud membuat mereka menunggu!""Lain kali tidak usah berjanji dan memberikan harapan palsu! Mereka sudah meneleponku berkali-kali! Lebih baik biarkan aku membawa mereka dan kau bersenang-senang dengan kekasihmu yang seksi itu saja!" "Sial, Janice! Kau itu bicara apa? Kau tahu mengapa kita terlambat kan? Itu karena kau yang genit dan sok dekat dengan Devan tadi! Kalau saja aku tidak mengajakmu pulang mungkin sampai sekarang kau masih menyodorkan dirimu padanya!"Janice menganga mendengar ucapan Edgard. "Menyodorkan diri? Apa kau tidak punya kalimat yang lebih bagus, hah? Kau pikir aku begitu murahan?" Janice dan Edgard pun mendadak kembali berdebat samp
"Mengapa bisa begitu mirip, Janice?" Nara mulai bertanya pada Janice sejak mereka pulang ke rumah dan masuk ke kamar si kembar. Si kembar sendiri masih sibuk main air di kamar mandi sambil membersihkan diri dan menyikat giginya. Namun, Nara tidak bisa menahan dirinya lagi dan menarik Janice keluar dari kamar mandi. "Eh, apanya yang mirip, Ibu?" "Kau mengerti maksud Ibu, Janice! Pak Edgard itu dan si kembar sangat mirip."Janice nampak gugup sekarang sampai bibirnya gemetar dan jantungnya berdebar kencang. "Ibu pasti salah lihat! Bagaimana mungkin anakku bisa mirip dengan bosku!" "Janice, walaupun Ibu sudah tua, tapi Ibu bisa melihatnya. Mata, hidung, forum wajah, bahkan sampai rambut dan cara mereka tertawa semuanya mirip.""Astaga, Ibu! Semua orang kalau tertawa memang mirip. Bagaimana mengatakannya, mungkin Ibu hanya ....""Halu? Kau menganggap Ibu halu? Bahkan golongan darah mereka sama dan Pak Edgard mendonorkan darahnya untuk Calista. Ibu juga baru menyadari mengapa waktu
Edgard tidak mengerti apa yang terjadi pada dirinya sekarang. Seharusnya Edgard membentak Janice atau malah menjambaknya makin keras karena wanita itu tidak berhenti bicara. Tapi alih-alih melakukan semua hal kasar, Edgard malah memilih membungkam bibir wanita itu dengan bibirnya sendiri. Fokus Edgard sendiri memang sudah terpusat pada bibir Janice sejak tadi. Edgard sempat memicingkan mata menatapnya, bibir yang merah alami walau tanpa lipstik. Bibir itu terus mengomel dan semakin Edgard menatap, ada dorongan yang begitu kuat untuk melakukan sebuah hal absurd. Hingga akhirnya Edgard pun menunduk dan membungkam bibir Janice dengan bibirnya sampai Janice langsung membelalak lebar merasakannya. Jantung Janice yang tadinya sudah berdebar kencang karena Edgard menjambak rambutnya sekarang pun berdebar makin kencang. Janice pun tidak pernah mengira kalau Edgard akan melakukan hal ini. "Edgard, apa yang kau ...." Janice sempat memekik sebelum bibirnya kembali dibungkam. Refleks k
Collin dan Calista masih menatap kaget dan kegirangan saat mereka menemukan Janice di kamar Edgard, namun mereka kaget melihat Edgard yang sedang menindih Janice. "Mama ...," pekik Collin dan Calista bersamaan. Sontak Edgard dan Janice yang sedang bermesraan pun membelalak dan Janice langsung mendorong Edgard. Janice langsung menurunkan lagi bajunya yang sudah terangkat dan memasang senyumannya menatap anaknya itu. "Collin? Calista? Sayang? Apa yang kalian lakukan di sini?" seru Janice kaget. Edgard sendiri pun langsung salah tingkah. Seumur hidup ini pertama kalinya ia dipergoki anak kecil seperti ini. "Ehem! Ehem!" Edgard benar-benar tidak tahu harus bersikap seperti apa sekarang. Janice sendiri dengan cepat turun dari ranjang dan menghampiri kedua anaknya. "Kalian terbangun? Mama tidak ada di sana ya? Maaf ya ...." "Calista mencari Mama ke kamar Oma tapi Mama juga tidak ada." "Terus Collin dipanggil bangun, Mama ...." Kedua anak itu pun nampak bersahut-sahutan menjelaska
Janice terbangun dengan salah tingkah pagi itu karena ia melihat Edgard yang masih tidur sambil dipeluk oleh si kembar. Senyuman pun mendadak terbit di wajah Janice walaupun Janice tetap salah tingkah. Dengan cepat, Janice pun turun dari ranjangnya dan segera berlari keluar dari kamar. Janice pun berniat menyapa ke kamar Nara, namun Nara sudah tidak ada di kamarnya dan malah terdengar suara dari kamar si kembar. "Astaga, ke mana anak-anak itu!" seru Nara cemas sambil melangkah keluar dari kamar si kembar. "Eh, Ibu sudah bangun?" sapa Janice. "Janice, ke mana anak-anak? Mengapa mereka tidak tidur di sini? Tidak mungkin mereka sudah bangun kan?" "Eh, anak-anak tidur di kamar ... Edgard, Ibu ...," jawab Janice canggung. Nara yang mendengarnya pun langsung terdiam sejenak. "Apa? Apa kau bilang, Janice? Anak-anak itu tidur di mana?""Itu ... di kamar Edgard ...," ulang Janice ragu. Nara pun kembali terdiam mendengarnya. "Bagaimana mereka bisa tidur di sana? Dan mengapa mereka tidu
Ucapan Nara terus terngiang di telinga Janice sampai Janice sama sekali tidak bisa berkonsentrasi bekerja hari itu.Janice langsung saja meninggalkan Nara tadi tanpa bicara lebih lanjut lagi. Ia pun akhirnya berangkat ke kantor bersama Edgard dengan mereka yang saling diam di sepanjang perjalanan. Bahkan Janice pun terus diam sampai sekarang dan ia hanya terus melamun. Wina yang sejak tadi hanya melirik dan memperhatikan Janice pun akhirnya kepo dan menggeser kursinya mendekati Janice. "Hei, Janice, kau kenapa? Apa yang kau pikirkan sampai kau terus merenung seperti itu?"Janice yang mendengar suara Wina pun refleks mengelak seperti biasa. "Eh, aku tidak apa, Wina."Namun, Wina pantang menyerah dan malah memicingkan matanya. "Ckckck, setiap aku bertanya, kau selalu bilang tidak apa. Sebenarnya kapan kau baru mau bercerita padaku, hah? Kita ini setiap hari bersama, dari pagi sampai malam, bahkan kau lebih sering melihatku dibanding orang rumahmu, apa kau masih belum menganggapku