Edgard tidak mengerti apa yang terjadi pada dirinya sekarang. Seharusnya Edgard membentak Janice atau malah menjambaknya makin keras karena wanita itu tidak berhenti bicara. Tapi alih-alih melakukan semua hal kasar, Edgard malah memilih membungkam bibir wanita itu dengan bibirnya sendiri. Fokus Edgard sendiri memang sudah terpusat pada bibir Janice sejak tadi. Edgard sempat memicingkan mata menatapnya, bibir yang merah alami walau tanpa lipstik. Bibir itu terus mengomel dan semakin Edgard menatap, ada dorongan yang begitu kuat untuk melakukan sebuah hal absurd. Hingga akhirnya Edgard pun menunduk dan membungkam bibir Janice dengan bibirnya sampai Janice langsung membelalak lebar merasakannya. Jantung Janice yang tadinya sudah berdebar kencang karena Edgard menjambak rambutnya sekarang pun berdebar makin kencang. Janice pun tidak pernah mengira kalau Edgard akan melakukan hal ini. "Edgard, apa yang kau ...." Janice sempat memekik sebelum bibirnya kembali dibungkam. Refleks k
Collin dan Calista masih menatap kaget dan kegirangan saat mereka menemukan Janice di kamar Edgard, namun mereka kaget melihat Edgard yang sedang menindih Janice. "Mama ...," pekik Collin dan Calista bersamaan. Sontak Edgard dan Janice yang sedang bermesraan pun membelalak dan Janice langsung mendorong Edgard. Janice langsung menurunkan lagi bajunya yang sudah terangkat dan memasang senyumannya menatap anaknya itu. "Collin? Calista? Sayang? Apa yang kalian lakukan di sini?" seru Janice kaget. Edgard sendiri pun langsung salah tingkah. Seumur hidup ini pertama kalinya ia dipergoki anak kecil seperti ini. "Ehem! Ehem!" Edgard benar-benar tidak tahu harus bersikap seperti apa sekarang. Janice sendiri dengan cepat turun dari ranjang dan menghampiri kedua anaknya. "Kalian terbangun? Mama tidak ada di sana ya? Maaf ya ...." "Calista mencari Mama ke kamar Oma tapi Mama juga tidak ada." "Terus Collin dipanggil bangun, Mama ...." Kedua anak itu pun nampak bersahut-sahutan menjelaska
Janice terbangun dengan salah tingkah pagi itu karena ia melihat Edgard yang masih tidur sambil dipeluk oleh si kembar. Senyuman pun mendadak terbit di wajah Janice walaupun Janice tetap salah tingkah. Dengan cepat, Janice pun turun dari ranjangnya dan segera berlari keluar dari kamar. Janice pun berniat menyapa ke kamar Nara, namun Nara sudah tidak ada di kamarnya dan malah terdengar suara dari kamar si kembar. "Astaga, ke mana anak-anak itu!" seru Nara cemas sambil melangkah keluar dari kamar si kembar. "Eh, Ibu sudah bangun?" sapa Janice. "Janice, ke mana anak-anak? Mengapa mereka tidak tidur di sini? Tidak mungkin mereka sudah bangun kan?" "Eh, anak-anak tidur di kamar ... Edgard, Ibu ...," jawab Janice canggung. Nara yang mendengarnya pun langsung terdiam sejenak. "Apa? Apa kau bilang, Janice? Anak-anak itu tidur di mana?""Itu ... di kamar Edgard ...," ulang Janice ragu. Nara pun kembali terdiam mendengarnya. "Bagaimana mereka bisa tidur di sana? Dan mengapa mereka tidu
Ucapan Nara terus terngiang di telinga Janice sampai Janice sama sekali tidak bisa berkonsentrasi bekerja hari itu.Janice langsung saja meninggalkan Nara tadi tanpa bicara lebih lanjut lagi. Ia pun akhirnya berangkat ke kantor bersama Edgard dengan mereka yang saling diam di sepanjang perjalanan. Bahkan Janice pun terus diam sampai sekarang dan ia hanya terus melamun. Wina yang sejak tadi hanya melirik dan memperhatikan Janice pun akhirnya kepo dan menggeser kursinya mendekati Janice. "Hei, Janice, kau kenapa? Apa yang kau pikirkan sampai kau terus merenung seperti itu?"Janice yang mendengar suara Wina pun refleks mengelak seperti biasa. "Eh, aku tidak apa, Wina."Namun, Wina pantang menyerah dan malah memicingkan matanya. "Ckckck, setiap aku bertanya, kau selalu bilang tidak apa. Sebenarnya kapan kau baru mau bercerita padaku, hah? Kita ini setiap hari bersama, dari pagi sampai malam, bahkan kau lebih sering melihatku dibanding orang rumahmu, apa kau masih belum menganggapku
"Edgard, tunggu aku!"Suara sepatu hak tinggi terdengar berlari kecil di lobby perusahaan. Anneth yang baru saja datang nampak mengejar Edgard masuk ke perusahaan. Awalnya Edgard sendiri ingin makan siang di luar, walaupun jamnya sudah terlambat, tapi mendadak ia bertemu Anneth dan ia mengurungkan niatnya. Lebih baik makan di ruang kerjanya saja daripada harus makan di luar tapi Anneth ikut. "Ck, Jefry, singkirkan wanita itu! Aku tidak mau dekat-dekat dengannya!" "Err, iya, Bos!" Jefry pun segera menghalangi Anneth dan mengajaknya bicara, sedangkan Edgard langsung cepat-cepat masuk ke dalam lift. Di sisi lain, Janice juga berniat ke atas setelah menyelesaikan makan siangnya. "Kau mau kembali duluan, Janice?""Iya, Wina. Kau santai dulu saja! Aku ada sesuatu yang harus kukerjakan di atas." "Ah, baiklah!" Janice dan Wina yang awalnya sedang makan siang bersama di kantin perusahaan pun akhirnya berpisah. Janice segera berlari kecil ke arah lift, namun langkahnya sempat terhent
"Itu milikku!""Milikku!" "Milikku!" Collin dan Calista mendadak berebut di ruang makan malam itu dan mereka begitu ribut. "Hei hei, jangan begitu, malu dilihat Uncle Edgard!" tegur Nara. Collin dan Calista pun akhirnya mendadak diam dan tidak berebut lagi, sementara Edgard hanya tersenyum tipis melihatnya. "Tidak apa, Bu. Namanya juga anak kecil, mereka akan selalu berebut sesuatu," kata Edgard pengertian. Nara hanya memaksakan senyumnya ke arah Edgard, sebelum ia kembali menyantap makan malamnya. Hati Nara juga sedang tidak karuan sekarang. Sejak mendengar bahwa Edgard menindih Janice, Nara mulai tidak nyaman. Ibu mana yang rela anaknya menjadi wanita seperti itu? Wanita yang bisa disentuh oleh pria sembarangan hanya karena pria itu sudah menampung keluarga mereka di rumahnya?Walaupun keluarga Nara bukan keluarga kaya, tapi Nara punya harga diri. Sekalipun selama ini Janice mencari uang ke mana-mana dan Nara begitu sulit mengasuh si kembar, paling Nara hanya suka mengomel,
Suara lantang Janice yang penuh harap itu mendadak membuat Edgard tersentak sampai ia terdiam dan tidak bersuara lagi. Bahkan ekspresi yang tadi masih kesal pun mendadak berubah menjadi tidak jelas. Cukup lama Edgard terdiam sampai akhirnya ia kembali bersuara. "Pertanyaan apa itu, Janice?" serunya ketus. "Apa yang salah dengan pertanyaanku? Kau bisa bilang menyukai anak-anakku karena itu kau menahan mereka di sini, lalu bagaimana denganku? Apa kau menahanku karena kau menyukaiku juga?" ulang Janice kukuh. Edgard pun mengeraskan rahangnya dan kembali terdiam, sebelum Edgard melangkah mendekati Janice dan meraih tubuh Janice lalu mendorongnya ke arah pintu. "Sial, Janice! Jangan banyak berpikir dan besok kita bicarakan lagi, sekarang keluarlah dari sini dan kau juga bisa tidur di kamar anak-anakmu malam ini!"Namun, Janice tetap kukuh dan menahan dirinya. Bahkan Janice membalikkan tubuhnya dan menyandarkan punggungnya ke arah pintu, tidak mau keluar dari sana sampai Edgard pun me
"Sial! Mengapa aku terus memikirkan wanita itu?"Edgard terus mengembuskan napas kesalnya setelah Janice keluar dari ruang kerjanya dan Edgard pun berpikir keras, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk pergi mencari Janice. Edgard pun melangkah cepat turun ke bawah dan ia langsung mendengar suara-suara dari ruang tamu. "Suara itu ... seperti suara Anneth. Benarkah? Apa yang dia lakukan di sini semalam ini?" Edgard mempercepat langkahnya dan ia sempat membelalak saat melihat semua orang berkumpul di ruang tamu, apalagi saat mendengar ucapan Anneth. "Aku yang meminta mereka tinggal di sini!" seru Edgard dengan lantang sambil langsung melangkah ke samping Janice. Sontak semua orang menatap ke arah Edgard dan Edgard pun memicingkan matanya menatap Anneth. Anneth sendiri begitu kaget melihat Edgard yang muncul begitu saja dan malah membela wanita itu dan anak-anaknya. "E-Edgard ....""Apa yang kau lakukan di rumahku semalam ini, Anneth? Bukankah sudah kubilang kalau aku tidak mengijin