"Aku akan menikahkanmu dengan putraku Abimanyu. Kamu harus melahirkan keturunan keluarga Cokro Widodo," ucap Nyonya Besar Kinanti.
Ia duduk santai sembari menikmati kopi di ruang keluarga.
Wanita yang selalu berpenampilan elegan itu menatapku dengan pandangan lekat. Setiap inci tubuhku ia perhatikan tak lepas dari pandangannya.
Di ruangan yang luas tiga kali lipat dari lapangan bola ini aku dan Ibu duduk menghadapnya. Bahkan hiasan lampu kristal yang tergantung di atas terlihat sangat mewah. Harganya bahkan mencapai puluhan juta.Pemilik perusahaan ternama di kota ini selalu menjaga penampilannya. Kami duduk dengan beralas permadani indah berwarna merah bata sembari kaki dilipat. Sementara Nyonya Besar Kinanti duduk dengan santai di atas sofa menikmati secangkir kopi dan cemilan. Nyonya Besar Kinanti paling berkuasa di rumah ini, semuanya harus berjalan sesuai dengan perintahnya.
Ia kemudian melanjutkan bicara setelah memastikan kami dua orang pelayannya dalam keadaan memperhatikan. "Kalian tahu kalau Nyonya Nadia tidak bisa memberikan Abimanyu seorang anak. Nadia sudah divonis mandul oleh dokter. Untuk itu aku akan menikahkan Salma sebagai istri simpanan sementara," ujarnya.Tangannya menyisihkan anak rambut yang sebahagian menutupi wajahnya.
Perempuan berparas cantik dan berpenampilan elegan itu terlihat santai melipat kakinya. Dia melekatkan pandangannya ke arahku dengan tarikkan napas. Tampak bulu mata palsunya hampir merapat saat kelopaknya meredup. Cantik dan berwibawa itulah identitas Nyonya Besar Kinanti."Keluarga Cokro Widodo harus punya keturunan. Untuk itu Salma harus melahirkan keturunan anak laki-laki yang akan menjadi penerus perusahaan keluarga Cokro Widodo," lanjutnya tersenyum miring.Jantungku berdetak cepat. Untung tidak copot saat mendengar ucapan nyonya besar barusan.
Wanita berwajah oval itu mengatakan tanpa meminta pendapatku. Aku melirik Ibu yang duduk di sebelahku. Kaget sudah pasti. Kondisinya juga sama terkejutnya denganku.
Sekilas kami hanya saling pandang, lalu kembali fokus memperhatikan nyonya besar. Nyonya besar tidak memperlihatkan wajah main-main. Ia mengatakan dengan tegas keinginannya untuk memiliki keturunan dariku, wanita dari kalangan bawah. Tanpa bertanya atau meminta pendapatku ia tutup poin mengatakan ingin menikahkanku seorang pembantu dengan anaknya yang berkedudukan tinggi.
Meski penasaran aku tidak berani bertanya kepadanya. Begitu juga dengan Ibu, ia hanya memilin baju batiknya, takut nyonya besar akan marah bila kami menyela ucapannya.Aku dan Ibu hanya duduk besedekap di atas permadani, sedangkan nyonya besar menyandarkan punggungnya di atas sofa. Jari-jemarinya yang lentik terlihat putih dan indah. Meski usianya sudah separuh baya ia tetap kelihatan anggun, menarik dan luwes dipandang mata.
"Tapi, pernikahan ini hanya sementara sebagai istri simpanan Abimanyu dan tak boleh ada satu orang luar pun yang tahu. Setelah anak itu lahir laki-laki kamu akan terbebas dari Abimanyu. Dan … anak itu akan menjadi milik Nyonya Nadia."Hatiku terasa diremas-remas. Menahan sesak di dada mendengar ucapan Nyonya Besar Kinanti. Melahirkan anak lalu, akan dibuang begitu saja ibarat tebu habis manisnya sepah dibuang. Sungguh terlalu.
Bukankah di luar tak hujan? Mengapa seperti ada guntur yang menyambar? Lalu, dada ini berdebar dan terasa bergetar menyentuh sesuatu di dalamnya. Tubuhku gemetar seperti terkena sengatan aliran listrik. Kuberanikan diri menatap kornea Nyonya Besar Kinanti dan mencoba menembus pekatnya manik hitam miliknya. Wanita bertubuh tinggi langsing itu menatapku dengan sorotan yang menikam. Aku pun menunduk kembali. Hanya saja tangan dan tubuh ini terlihat gemetar.Seorang wanita miskin sepertiku tidak di butuhkan pendapatnya. Jangankan mengeluarkan suara untuk sekedar berbicara saja harus ada tata caranya. Apa yang lebih menyakitkan dari ini jika kalian ada di posisiku.
***Bersambung.Menikah dengan Abimanyu? Melahirkan putra? Setelah itu aku akan dibuang begitu saja. Apakah aku ini pelacur? Atau mereka hanya menganggapku mesin pencetak anak. "Seminggu lagi kalian akan menikah. Pernikahan ini akan dilangsungkan secara diam-diam dan hanya dihadiri oleh keluarga dekat saja. Selanjutnya kalian harus segera melakukan hubungan suami istri!" Lepas menyampaikan kalimatnya, Nyonya Besar Kinanti bangkit dari sofa. Wanita cantik itu berjalan dengan dada yang dibusungkan ke depan. Layaknya nyonya besar yang punya pengaruh kedudukkan tinggi. Mataku terus mengikuti gerakkannya hingga ia menghilang dari pandangan. Aku tahu kalau ia sudah mengangkat kami dari jalanan dan memberi pekerjaan serta tempat tinggal. Namun, bukan berati harus mengatur hidupku bukan? Bukankah menolong sesama manusia adalah kewajiban? Kami hanya orang miskin yang tidak boleh bersuara atau pun menuntut hak. Kemudian Ibu menuntunku
Seminggu menjelang pernikahan, rumah Tuan Cokro Widodo diramaikan pertengkaran Nyonya Nadia dan Nyonya besar. Den Abimanyu yang selalu melerai pertengkaran mereka. Lelaki muda itu selalu memeluk sang istri dan membujuknya jika sudah menangis. Den Abimanyu dan Nyonya Nadia saling berpelukkan di belakang bangunan utama. Letaknya yang tersembunyi menjadi tempat untuk mereka berdua saling mencurahkan isi hati. Sering kali aku memergoki mereka berdua berada di sana jika kebetulan aku sedang bertugas membersihkan taman. Di hadapan mereka terhampar kebun bunga yang luas ditanami bunga mawar dan melati. Bunga kesukaan Nyonya Besar Kinanti. Sayup-sayup aku mendengar Den Abimanyu merayu istrinya dengan seribu kata-kata manis agar membuatnya tenang. Lalu, wanita berambut pirang itu akan luluh hatinya dan merebahkan kepalanya di dada sang suami. Sungguh nyata cinta yang mereka miliki, berbeda denganku
Pak penghulu menjabat tangan Den Abimanyu. Seraya meminta Den Abimanyu untuk mengikuti kata-katanya. Menjabat tangan Pak Penghulu, lalu mengucap ijab kabul. Tidak ada yang berani mengeluarkan suara kecuali hanya fokus memandang ke arah kedua mempelai. "Saudara Abimanyu bin Cokro Widodo aku nikahkan dan kawinkan engkau dengan Salma Wulandari binti Sastro dengan mas kawin emas sebesar lima puluh gram dan seperangkat alat salat dibayar tunai." "Aku terima nikah dan kawinnya Salma binti Sastro dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." Dengan satu tarikkan napas Den Abimanyu mengucapkan ikrar ijab kabul. "Bagaimana para saksi sah?" tanya Bapak Penghulu. "Sah." Para saksi yang menyaksikan pernikahanku dengan Den Abimanyu mengucapkan Alhamdulillah. Tak jauh dariku Ibu ikut menyaksikan proses ijab kabul dengan memandangku dengan tatapan sayu. Jarak kami hanya satu hasta saja
"Salma, nanti jika Mami bertanya kepadamu katakan saja kalau aku sudah menyentuhmu," ucap Den Abimanyu. Suara beratnya menyapaku. Tanpa memandang ke arahku Den Abimanyu berkata. Dadaku serasa sesak mendengar kalimatnya barusan. Aku terduduk lemas di tepi ranjang dengan rongga yang serak. Aku tidak tahu harus bersedih atau kah bahagia karena sampai detik ini Den Abimanyu tak menyentuhku sama sekali. Pemilik alis tebal itu hanya duduk di tepi ranjang dengan jarak satu hasta. Haruskah aku perotes padanya? Ataukah memang aku yang baper karena sudah menikah dengan seorang putra konlongmerat pemilik kekayaan nomer tiga di negeri ini. Bahkan hartanya tidak akan pernah habis dalam kurun waktu tujuh turunan. Den Abimanyu sama sekali tidak menginkanku menjadi istri pengganti Nyonya Nadia, di sisinya sudah ada wanita yang selalu setia menemaninya, meski tidak bisa melahirkan garis keturunannya.
Sudah lebih tujuh hari pernikahanku berjalan dengan Den Abimanyu. Sedikit pun tidak ada tanda kalau Den Abimanyu akan meleleh hatinya. Padahal Nyonya Besar Kinanti sudah menyarankan aku untuk berdandan cetar agar terlihat cantik dan tampil seksi di hadapan Den Abimanyu. Saat akan tidur pun Nyonya Besar Kinanti memberiku hadiah gaun malam yang super tipis dan transparan. Sehingga menonjolkan bagian-bagian lekuk tubuhku. Penampilanku sudah dirubah oleh nyonya besar agar menarik perhatian Den Abimanyu. Namun, lelaki dingin itu sama sekali tak memandangku sebelah mata. Reaksinya juga masih tetap sama acuh. Terbuat dari apakah hati Den Abimanyu? Seorang laki-laki normal tak mungkin tidak tertarik pada seorang wanita bila di hadapannya menggoda dengan tarian erotis. Nyonya besar memintaku berpakaian seksi bila di dalam kamar dan lebih agresif lagi menggoda Den Abimanyu. Aku seperti wa
"Jangan lakukan hal bodoh ini hanya karena aku …." Pemilik alis tebal itu tak meneruskan kalimatnya. Ucapannya membuatku jadi berpikir penuh tanda tanya. Aku apa? Lalu, tangannya menghapus lembut jejak air mataku yang sedari tadi tak mau berhenti mengalir. Hanya saja, percuma ia hapus, kenyataannya tak mau berhenti. "Maaf," bisik Den Abimanyu lirih. Mata lelakiku kini sudah basah sama halnya denganku. Sementara, bibirnya menempel di pipiku. Jantungku ini seakan berhenti terpompa. Bahkan saluran pernapasanku pun seolah tersumbat. Aku bisa mati kalau begini, dengan cara Den Abimanyu mendekatiku. "Setelah makan, kamu minum obat dan beristirahatlah," titahnya. Kepalanya d
"Selamat pagi, Sayang. Kamu lagi masak apa?" Sapaan kata sayang dari Den Abimanyu, membuatku hampir saja menjatuhkan alat penggorengan. Jantungku seakan bertengakar di dalamnya kala tangan kekarnya melingkar di pinggangku. Mimpikah aku? Kucubit lenganku sendiri untuk memastikan ini bukan sekedar mimpi. Jika benar aku pun tak ingin cepat-cepat bangun dari tidur yang panjang. Keromantisan Den Abimanyu tidak berakhir dalam waktu semalaman saja. Lelakiku kini terlihat menyugar rambutnya yang masih basah. Berlanjut dengan kecupan lembut yang mendarat di tengkuk leherku. Kini aku menjadi wanita yang paling bahagia karena digilai seorang pria tampan, kaya raya, serta pewaris tunggal keluarga Cokro Widodo. "Den, maaf
Aku dan Den Abimanyu kembali saat matahari hampir tenggelam di arah barat. Sampai detik ini aku gak bisa berbohong lagi kalau jiwaku sudah menyatu dengan raga lelakiku. Kakiku sudah terasa ditusuk-tusuk duri. Pegal dan nyeri rasanya saat harus mengelilingi perkebunan yang luasnya tak dapat aku ukur. Aku dan Den Abimanyu berkeliling di area perkebunan sembari bergandengan tangan. Sepanjang jalan hanya ada senyum dan tawa kecil mengiringi langkah. Den Abimanyu merangkul bahuku saat berjalan menyusuri bukit setapak yang hanya pas untuk ukuran satu pejalan kaki. Lelakiku khawatir kalau aku terjatuh karena harus menyusuri jalanan kecil yang berlubang. Biasa jalan ini hanya dilalui para pekerja kebun jika ingin mengangkat hasil panen mereka akan memilih lebih bagus untuk dilewati dan lebar dari pada jalan setapak ini. Seiring langkah kaki ternyata pria beralis tebal itu
"Kau akan bercerai dengan Abimanyu dan terbebas darinya. Tapi … tidak boleh membawa Arkan." Nyonya Besar Kinanti berkata dengan nada tinggi.Sudah kuduga, perempuan angkuh itu pasti tidak akan pernah melepaskan kami begitu saja. Dia akan menggunakan kekuasaan, dan uangnya untuk memenjarakanku."Maaf, Nyonya. Keputusan saya sudah bulat. Saya tidak akan kembali pada Den Abimanyu."Nyonya Besar Kinanti murka, dia langsung berdiri menatapku tajam. Wanita angkuh itu tidak terima. Aku membawa keturunan keluarga Widodo."Sudahlah, Mami. Aku sudah memutuskan untuk menceraikan Salma." Den Abimanyu menimpali."Tidak. Salma tidak mungkin bisa membesarkan Arkan dengan baik. Mau dikasih makan apa cucuku." Ibu mertua berteriak.Dadanya bergemuruh menahan amarah. Jelas di netranya terlihat berapi-api, seperti akan m
"Maafkan, aku. Gara-gara aku kamu jadi terluka seperti ini." Aku tak berani menatap wajah Saka. Lelaki jangkung itu terbaring lemah di ranjang periksa.Sudah dua hari dia tidak berdaya, terluka karena tusukan pisau. Saka terluka parah, ketika beberapa preman melukainya."Tidak apa. Cinta perlu pengorbanan."Aku terdiam. Nyaliku tidak cukup kuat untuk sekedar bertanya pada Saka. Siapakah para berandalan itu, yang sudah membuatnya terluka. Meski beberapa kata-kata ingin berdesakan keluar, namun niat ini kuurungkan."Ada apa? Kenapa kamu menatapku seperti itu?""Tidak ada. Aku hanya ….""Aku tahu apa yang ada dalam pikiranmu.""Apa?""Kamu pasti ingin tahu siapa mereka yang sudah menyerangku, bukan?"Aku bergeming. Saka menatap ke arah kaca jendela. Dia dirawat di lantai atas. Tampak pemandangan di bawah sangat indah."Siapa mereka?""Prema
Setelah kejadian mengerikan itu, Den Abimanyu meminta rujuk, namun aku menolaknya mentah-mentah. Aku menyapu pandangan ke taman bunga yang terhampar di halaman depan. Dia berdiri di sana memakai balutan jas mahal."Ayo kita pulang Salma! Aku berjanji akan berbuat adil padamu." Kata Den Abimanyu. Dia menatapku dengan pandangan sayu."Maaf, Den. Aku tidak bisa kembali padamu." Suaraku tercekat di tenggorokan, menatap wajahnya yang lesu."Kenapa?""Aku lelah.""Haruskah ku buktikan padamu jika permohonanku ini serius. Sejujurnya aku tak bisa hidup tanpa kamu."Tidak kulihat senyumnya yang biasa terpancar, hanya wajah sendu dan mata yang berembun dengan buliran bening hampir menitik di kedua kelopaknya."Sudah kuputuskan, Den. Aku mundur dari pernikahan ini. Biarlah aku yang mengalah, mundur dari kehidu
Bagiku keputusan pergi dari rumah terkutuk itu adalah akhir sebuah kisah. Aku meninggalkan Den Abimanyu bukan karena tidak sayang. Hubungan ini sudah berakhir sejak lama setelah ia pergi bersama Nyonya Nadia.Kemarin ia masih bersamaku merasakan indahnya bersama mahligai cinta meski itu hanya satu malam merasakan sentuhan. Aku sudah tidak peduli dengan hatinya. Wanita berhati busuk itu sudah menguasai suamiku. Dia tidak ingin berbagi suami denganku yang derajatnya terlalu rendah sebagai babu.Disini aku dihargai layaknya seorang wanita yang sama derajatnya dengan mereka. Keluarga Saka sangat baik memperlakukanku. Merek menyambut kedatanganku bak seorang ratu."Selamat datang di istana kami, Salma," ucap wanita berparas cantik menyambut kami.Aku menoleh ke arah Saka yang tersenyum memperlihatkan lesung pipinya. Lelaki itu hanya mengangguk hormat kepada ibunya.Lantai marmer putih menjadi sak
Aku sudah mempersiapkan semuanya untuk kabur dari rumah neraka ini. Aku akan pergi membawa Arkan bayi mungil yang baru dilahirkan beberapa minggu. Menghadapi sikap Abimanyu membuatku tak sanggup bertahan lebih lama."Bu, malam ini aku akan kabur lewat jalan belakang setelah semua para pelayan tidur dan penjaga gerbang juga tidur," ucapku lirih."Apa tidak sebaiknya kamu pikirkan dulu, Nduk. Ibu tidak mau kamu tertangkap dan akan mendapat hukuman dari Nyonya Besar Kinanti."Sepasang mata sembab ku menatap wanita tua yang duduk di tepi ranjang. Aku merasa sedih karena harus meninggalkan Ibu sendiri di tempat ini. Aku tahu konsekuensinya bila kabur dari rumah ini. Jika sampai tertangkap maka hukumannya berat.Nyonya Besar Kinanti pasti tidak akan memaafkan bila ketahuan pergi dari rumah dengan membawa putra mahkota. Sudah bisa dipastikan hukuman sangat berat dan mendapat ganjaran yang setimpal.Tidak mungk
Aku tak ingin memupuk angkara, ingin lekas berpisah dari derita. Tidak ingin bertambah lagi bebannya.Membayangkan menjadi Cinderella? Pernah. Memang itulah diri ini yang beruntung dipersunting oleh lelaki yang tampan bak pangeran. Pekerjaan mapan, punya rumah dan mobil mewah juga penerus kekayaan tujuh turunan. Namun, ketika malam demi malam tersiksa sendirian dan tidur dengan kamar terpisah saat itu baru aku sadar. Aku tidak layak menjadi Cinderella layaknya putri dalam cerita.Tapi, keinginan itu bangkit kembali ketika hadirnya Arkan pangeran kecil dan dukungan dari Saka. Aku wanita tanpa kasta yang bersimpuh memohon perpisahan demi kebaikan semua. Kehadiranku di tengah rumah tangga Den Abimanyu hanya membawa malapetaka, pertengkaran dan kebencian Nyonya Nadia."Putuskan saja ikatan pernikahan ini, Den agar kalian bisa kembali seperti dulu seperti pasangan yang romantis."Pertahanan yang kumiliki selama ini
Hari ini sinar mentari begitu cerah, tepat pukul sebelas siang aku diizinkan pulang oleh pihak rumah sakit. Meski kondisi masih lemah selesai melahirkan, namun dokter sudah memberikan obat untuk mengeringkan luka bekas jahitan melahirkan.Den Abimanyu membantuku mendorong kursi roda walau aku sudah melarangnya. Lelaki itu tetap memaksa. Sepanjang derap kaki melangkah tak ada yang bicara. Baik aku maupun Ibu hanya saling diam tak banyak bicara menyusuri koridor rumah sakit.Apalagi Den Abimanyu yang menyorong kursi roda, ia hanya fokus melihat ke depan melewati beberapa pengunjung yang berlalu lalang.Saat hendak masuk ke dalam mobil Den Abimanyu menggendongku. Tak ingin menatapnya aku pun mengalihkan pandangan agar netra ini tak bertatapan. Jujur saja hati masih membenci
"Maaf, aku jadi keterusan ngobrol tentang keluargaku," ucap Saka mengembangkan senyum.Aku hanya memperhatikan lelaki itu dengan pandangan yang tak bisa diartikan. Terkadang aku ingin Den Abimanyu seperti dia perhatian dan lemah lembut, namun semuanya hanya mimpi yang tak akan pernah terwujud."Perut kamu masih sering sakit ya?" tanyanya mengalihkan pembicaraan."Iya," jawabku."Ini belum bulannya, kan?""Belum.""Tapi, aku lihat kamu sering mengeluh sakit.""Iya, padahal ini belum jadwalnya lahiran.""Mungkin Fina bisa menjelaskannya."
Tuan Besar Cokro menuntunku berjalan diatas lantai marmer berwarna hitam langkah ini seimbang dengannya. Lelaki sepuh itu terlihat bersedih kala bercerita tentang kisah hidupnya."Dulu ketika ibunya Abimanyu meninggal akulah penyebabnya. Wanita lembut itu menderita karena aku," ungkapnya dengan suara serak.Berkali-kali pria sepuh itu menghela nafas untuk mengurangi rasa sesak di dadanya. Hampir saja aku terjatuh kala kalimat itu terucap dari bibirnya yang gemetar. Wajah itu sudah basah oleh air mata."Aku sudah mengatur semua rencana agar Abimanyu bisa datang berkunjung ke tempatmu secara sembunyi-sembunyi," lanjutnya dengan air mata yang masih membasahi pipi keriput itu.Hatiku iba melihat pria pendiam itu, mungkin dia juga merasa bersalah karena kematian ibunya