"Selamat pagi, Sayang. Kamu lagi masak apa?"
Sapaan kata sayang dari Den Abimanyu, membuatku hampir saja menjatuhkan alat penggorengan. Jantungku seakan bertengakar di dalamnya kala tangan kekarnya melingkar di pinggangku. Mimpikah aku?
Kucubit lenganku sendiri untuk memastikan ini bukan sekedar mimpi. Jika benar aku pun tak ingin cepat-cepat bangun dari tidur yang panjang.
Keromantisan Den Abimanyu tidak berakhir dalam waktu semalaman saja. Lelakiku kini terlihat menyugar rambutnya yang masih basah. Berlanjut dengan kecupan lembut yang mendarat di tengkuk leherku. Kini aku menjadi wanita yang paling bahagia karena digilai seorang pria tampan, kaya raya, serta pewaris tunggal keluarga Cokro Widodo.
"Den, maaf saya mau mengangkat gorengan takut gosong."
"Kenapa kamu masih memanggil suamimu sebutan Den. Aku bukan lagi majikanmu, Salma."
Den Abimanyu membalikkan tubuhku hingga netra kami saling bertatapan. Mata elang lelakiku tak mau lepas saat sedang berhadapan.
"I, iya, Den."
"Panggil aku, sayang jika kita sedang berdua, tapi panggil Mas kalau depan yang lainnya," pintanya tersenyum.
"I, iya," jawabku malu-malu.
Duh, malu rasanya memanggil Den Abimanyu dengan sebutan kata sayang, tapi mau gimana lagi? Perintah suami harus dituruti.
"Bau gosong," ucap Den Abimanyu.
Segera aku menoleh ke arah pengorengan yang sedang menggoreng ikan nila. Mataku melotot ketika melihat warna hitam hampir menutupi bagian yang kecoklatan. Mana ikan nilanya besar lagi. Gagal rencanaku untuk membuat masakan asam manis kesukan suamiku. Den Abimanyu tak dapat menahan tawa melihat reaksiku yang mungkin menurutnya berlebihan.
"Biar Ibu saja yang nerusin goreng ikannya, Nduk," ucap Ibu yang tergesa-gesa menghampiriku.
Mungkin Ibu mencium bau yang tak sedap dari arah dapur. Tanpa menunggu persetujuanku, Ibu langsung mengambil alih alat masak itu dari tanganku.
Aku mencoba mempertahankan alat masak ini dan kembali berhasil merebutnya dari tangan Ibu. Namun, Den Abimanyu langsung merampasnya kembali dan segera mengembalikan pada Ibu. Rebutan alat masak membuat Den Abimanyu menarik tanganku dari dapur dan membawaku keluar berjalan ke arah taman.
Kalau sudah begini mana mungkin aku menolaknya. Ah, Den Abimanyu kenapa membuat jantungku selalu berdegup kencang. Andai ia bisa mendengar bunyinya sudah pasti akan tahu kalau detaknya kini tidak karuan.
Lelaki itu mendudukkanku di pangkuannya, padahal bangku yang kami duduki masih tersisa. Ia tak henti-hentinya menghirup aroma tubuhku dengan liar. Sudah bisa di pastikan wajahku kini merah merona karena ulah lelakiku.
Berlama-lama di taman ini tak ada rasa jemu, apalagi ditemani lelaki yang sangat tampan. Mata akan dimanjakan dengan pemandangan bunga serta kolam yang terisi ikan hias. Ada juga pohon yang rindang tempat kami berteduh di bawahnya.
Bukan hanya itu saja taman ini terlihat indah. Pemandangan pohon perdu yang rindang dan juga tanman yang dibonsai membuat membuat taman ini semakin indah. Berlama-lama di sini tidak akan membosankan ditambah adanya lelaki yang sangat aku rindukan.
Hamparan rumput hijau di depanku bagiakan alas kaki. Taman yang indah banyak ditumbuhi bunga warna-warni.
Suara panggilan Ibu menghentikan aktivitas Den Abimanyu yang sedari tadi sibuk menjahiliku.
"Maaf, Den. Nyonya Besar Kinanti memanggilmu," ucapnya.
Den Abimanyu mengaruk kepalanya yang tak gatal. Aktivitasnya merasa terganggu karena kehadiran Ibu. Lelakiku hanya mendengkus kesal karena kesenangannya terganggu.
Aku hanya bisa mengatakan. "Sabar ya, Sayang."
"Hem," suara Den Abimanyu menjawab.
Kemudian aku dan Den Abimanyu segera datang menemui panggilan nyonya besar untuk makan bersama.Di meja makan ini ternyata sikap lelaki sangat agresif. Kadang-kadang tangannya suka jahil menggodaku. Kadang piringku ditarik kala aku sedang makan. Mataku mentapnya dengan tatapan tajam. Dan Den Abimanyu hanya akan mengatakan Hem saja saat aku menatapnya.
Di kesempatan itu, ia akan kembali merayu dan mengenggam tanganku, lalu menciumnya berulang-ulang. Aku tertegun menyaksikan perubahannya yang berubah seratus dari sikap dingin menjadi hangat. Ternyat Den Abimanyu punya pesona tinggkat dewa. Bagiamana aku tidak jatuh cinta dengannya dan terjatuh dalam pelukkannya.
Lepas makan, Den Abimanyu mengajakku jalan-jalan di perkebunan. Ia akan mengajakku mengelilingi kebun stroberi yang ada di atas puncak. Aku dan Den Abimanyu menyusuri jalan setapak yang sempit dan meliuk-liuk di atas perbukitan.
"Apa kau bahagia, Salma?" tanya lelakiku mengulas senyum.
Sebuah pertanyaan yang tak perlu aku jawab. Kutatap lekat wajah lelakiku lekat yang menyimpan misteri. Mungkinkah ia sedang memikirkan masa depan kami ataukah ia sedang memikirkan belahan jiwanya yang lain sekarang.
Diantara apitan pohon-pohon stroberi tangan Den Abimanyu mengenggam erat jemariku. Kadang sesekali para pekerja akan menyapa kami saat sedang berpapasan di hadapan mereka.
Lelaki yang susah bersosialisasi dengan kalangan bawah itu tampaknya enggan menyapa para pekerja. Perbedaan kasta membuat ia hanya mengangguk sesekali saja saat berpapasan dengan para pekerja perkebunan.
"Jangan terus memikirkan apa yang akan terjadi ke depannya. Akan kupastikan kita tetap akan bersama meski tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya."
Lelakiku menyandarkan kepalaku di dadanya. Sedetik kemudian aku menghambur kepelukkannya. Air mataku tumpah membasahi baju ke meja yang ia kenakan. Benarkah Den Abimanyu akan mempertanyakan aku di sisinya?
Aku tak tahu akhir kisah ini berhenti dimana pada putaran waktu selanjutnya. Bagiamana setelah ini? Saat nanti Nyonya Nadia kembali dari luar negri. Tentu aku akan dihadapankan pada realita yang sebenarnya.
Nyonya Nadia sudah pasti tidak akan tinggal diam melihat kekasih hatinya mencintai wanita lain. Bunga di hatiku seketika menjadi layu dan kelopaknya kian berguguran jatuh berserakkan. Bayangan buruk Nyonya Nadia marah semakin terlihat jelas kala ia tahu suaminya sudah menikah denganku.
"Bagaimana jika Nyonya Nadia meradang tidak terima kita menikah?" tanyaku memecah kebisuan.
"Jangan pikirkan tentang Nadia. Aku sedang tidak ingin diganggu dengan kehadiran ia di tengah kita," desah Den Abimanyu.
Lelakiku kini menghapus jejak air mataku. Tak dapat kubendung air mata menetes begitu saja di pipiku.
Aku tertunduk merasakan denyut nyeri yang menyeruak dalam dadaku kembali terasa. Langit yang cerah seolah tiba-tiba mendung, begitu pula dengan hatiku yang dilanda badai.
Seperti tahu apa isi hatiku ini, lelaki dengan tangan kekar itu membingkai wajahku.
"Percayalah aku akan tetap mencintaimu, Salma."
Kata-katanya barusan menjadi penyejuk dalam kalbuku bagia salju yang turun di musim dingin. Aku kembali menghambur ke pelukkan Den Abimanyu dalam kungkungan kehangatan.
Aku hanya perlu meyakini bahwa ucapannya bisa di pertanggungjawabkan kemudian. Aku yakin Den Abimanyu akan menjaga cinta ini dengan segenap jiwa dan raganya.
***
Bersambung.
Aku dan Den Abimanyu kembali saat matahari hampir tenggelam di arah barat. Sampai detik ini aku gak bisa berbohong lagi kalau jiwaku sudah menyatu dengan raga lelakiku. Kakiku sudah terasa ditusuk-tusuk duri. Pegal dan nyeri rasanya saat harus mengelilingi perkebunan yang luasnya tak dapat aku ukur. Aku dan Den Abimanyu berkeliling di area perkebunan sembari bergandengan tangan. Sepanjang jalan hanya ada senyum dan tawa kecil mengiringi langkah. Den Abimanyu merangkul bahuku saat berjalan menyusuri bukit setapak yang hanya pas untuk ukuran satu pejalan kaki. Lelakiku khawatir kalau aku terjatuh karena harus menyusuri jalanan kecil yang berlubang. Biasa jalan ini hanya dilalui para pekerja kebun jika ingin mengangkat hasil panen mereka akan memilih lebih bagus untuk dilewati dan lebar dari pada jalan setapak ini. Seiring langkah kaki ternyata pria beralis tebal itu
"Nduk, bangun!" suara panggilan Ibu membangunkanku dari alam mimpi. Mataku perlahan terbuka, namun kepalaku rasanya berat dan pusing. Bahkan untuk bangun saja aku malas beranjak dari tempat tidur. "Salma, buka pintunya! Nyonya Besar Kinanti sudah menunggumu di meja makan." Ibu berkata kembali sembari mengetuk pintu. Suara wanita pemilik bibir tipis itu terdengar pelan. Aku tidak bersemangat untuk bangun menemui Nyonya Besar Kinanti, Den Abimanyu dan juga Nyonya Nadia. Sedikit pun tidak ada seleraku untuk makan. Berdiam diri di dalam kamar dan tarik selimut adalah pilihan yang tepat. Sekarang aku baru menyadari kalau Nyonya Besar Kinanti, menampung kami hanya untuk mengadaikan hargai diri padanya.
Di ruangan yang luas ini lelakiku duduk berhadapan dengan ibunya. Posisinya bagai seorang terdakwa yang menunggu vonis hukuman mati. Tentu saja Nyonya Besar Kinanti harus menyelesaikan masalah kami karena dari dialah masalah ini berawal. Sekarang ini masalah yang timbul harus segera diselesaikan karena sudah muncul ke permukaan. Selama duduk di ruang bak persidangan ini aku dan juga Nyonya Nadia hanya saling diam dan menjauh dari Den Abimanyu. Jarak diantara kami terpisah oleh Nyonya Besar Kinanti dan Den Abimanyu. Netraku menatap lelakiku dengan miris, pria yang telah memberiku sentuhan itu hanya menunduk menghadap ibunya. Aku hanya memperhatikan nyonya besar dengan fokus saat duduk berhadapan dengan Den Abimanyu. Bagai terdakwa pesakitan lelakiku disidang u
Setelah persidangan itu selesai Den Abimanyu meminta kami untuk kembali ke kamar masing-masing. Lelaki berhidung mancung itu tak bisa berbicara apa-apa lagi selain menunggu perintah sang Ibunda tercinta. Begitu pun juga denganku dan Nyonya Nadia tak bisa berbuat banyak. Karena dari Nyonya Besar Kinanti semuanya berawal hingga timbul gejolak Nyonya Nadia untuk memberontak pada suaminya. Saat aku memasuki kamar telah banyak berubah dari mulai cat yang berganti hingga gorden yang diikat sisinya bergelembong. Tak lupa juga ranjang dengan sprei yang menjuntai ke bawah dan juga lemari jati yang terukir indah terlihat baru. Mata akan dimanjakan dengan pemandangan yang indah saat berada dalam nuansa kamar layaknya pengantin baru. Saat aku sedang di kamar Ibu datang, namun tak bertanya hal apa pun tentang diriku. Mungkin ia tahu kalau kondisiku sekarang sedang tidak baik. Wanita
Lagi kukuatkan hati ini agar tak menangis di hadapannya. Sebisa mungkin aku tak menjatuhkan air mata bila melihat lelakiku bersanding dengan istri pertamanya. "Sabar ya, Nduk. Jangan putus asa, tapi perbanyaklah zikir dan do'a mudah-mudahan semua akan berbuah manis suatu hari nanti." Ibu menghiburku di saat aku sedang terluka dan bersedih. Hanya Ibu satu-satunya orang yang mengerti penderitaanku sebagai istri yang dimadu. Memang dalam kehidupan manusia tidak ada yang abadi apalagi kebahagian dan penderitaan. Semuanya pasti akan berakhir pada masanya yang tepat bila waktunya telah tiba. Aku harus menguatkan hati ini ketika kudengar berita dari Nyonya Besar Kinanti lelakiku ak
Sore itu, kala senja hampir saja tengelam di ufuk barat aku duduk di bawah pohon akasia yang menjulang tinggi. Debaran angin sepoi-sepoi menyapu wajahku hingga mempermainkan rambutku yang sebatas bahu melambai-lambai tertiup angin. Di bawah pohon ini aku membaca buku novel sebuah karya dari penulis terkenal Asma Nadia, surga yang tak dirindukan. Anganku melambung tinggi memikirkan lelakiku nun jauh di sana. Lagi apakah dirinya di sana? Mungkin ia sama sepertiku yang di sini sedang merindukannya dan menanti kedatangannya? Ah, mana mungkin ia memikirkanku. Sedangkan dirinya sedang menikmati bulan madu bersama pujaan hatinya. Mengapa aku masih mengharapkan lelaki itu yang sudah jelas-jelas tak bisa menepati janjin
Kuseret kaki ini menuju kamar sebisa mungkin aku bertahan agar tidak jatuh saat menuju taman belakang. Di ruang itulah aku sering menangis menumpahkan segela kekesalan yang ada dalam hati. Pandanganku mengablur, kepala terasa pusing dan pandangan juga berkunang-kunang. Aku berharap tidak akan pingsan saat berjalan menuju taman belakang tempat para pembantu biasa berkumpul. Jika sampai aku pingsan maka sudah pasti akan dituduh cari perhatian. Lambat-laun kaki ini sampai juga di taman belakang. Aku duduk di bangku taman dengan menyandarkan kepala yang terasa berdenyut. Butuh waktu yang lama untuk tiba di sini dalam keadaan tak baik. Kurebahkan diri ini dia atas kursi panjang agar bisa merenggangkan kaki, namun sebuah suara mengagetkanku.
Malam yang kulalui sendiri tak pernah berharap Den Abi Manyu datang kembali. Lelah aku menanti janjinya yang tak kunjung ditepati. Biarlah kusimpan kerinduan ini tanpa jeda, sementara yang kunanti tak kunjung tiba. Tidak mungkin juga aku minta pada lelaki itu untuk mendekatiku dan menemuiku sementara ia tak mau meninggalkan wanitanya. Nyonya Nadia terlalu berharga untuknya hingga ia tak rela berpisah atau menjauh dari pujaan hatinya. Sudah lewat beberapa hari sejak ia menangis bersama di kamar itu, dirinya tak pernah kembali menemuiku. Aku pun hanya bisa pasrah meratapi nasib seperti digantung statusnya janda bukan, istri pun tidak digauli. Di meja makan ini kami bertemu, itu pun tidak bertegur sapa hanya saling diam m
"Kau akan bercerai dengan Abimanyu dan terbebas darinya. Tapi … tidak boleh membawa Arkan." Nyonya Besar Kinanti berkata dengan nada tinggi.Sudah kuduga, perempuan angkuh itu pasti tidak akan pernah melepaskan kami begitu saja. Dia akan menggunakan kekuasaan, dan uangnya untuk memenjarakanku."Maaf, Nyonya. Keputusan saya sudah bulat. Saya tidak akan kembali pada Den Abimanyu."Nyonya Besar Kinanti murka, dia langsung berdiri menatapku tajam. Wanita angkuh itu tidak terima. Aku membawa keturunan keluarga Widodo."Sudahlah, Mami. Aku sudah memutuskan untuk menceraikan Salma." Den Abimanyu menimpali."Tidak. Salma tidak mungkin bisa membesarkan Arkan dengan baik. Mau dikasih makan apa cucuku." Ibu mertua berteriak.Dadanya bergemuruh menahan amarah. Jelas di netranya terlihat berapi-api, seperti akan m
"Maafkan, aku. Gara-gara aku kamu jadi terluka seperti ini." Aku tak berani menatap wajah Saka. Lelaki jangkung itu terbaring lemah di ranjang periksa.Sudah dua hari dia tidak berdaya, terluka karena tusukan pisau. Saka terluka parah, ketika beberapa preman melukainya."Tidak apa. Cinta perlu pengorbanan."Aku terdiam. Nyaliku tidak cukup kuat untuk sekedar bertanya pada Saka. Siapakah para berandalan itu, yang sudah membuatnya terluka. Meski beberapa kata-kata ingin berdesakan keluar, namun niat ini kuurungkan."Ada apa? Kenapa kamu menatapku seperti itu?""Tidak ada. Aku hanya ….""Aku tahu apa yang ada dalam pikiranmu.""Apa?""Kamu pasti ingin tahu siapa mereka yang sudah menyerangku, bukan?"Aku bergeming. Saka menatap ke arah kaca jendela. Dia dirawat di lantai atas. Tampak pemandangan di bawah sangat indah."Siapa mereka?""Prema
Setelah kejadian mengerikan itu, Den Abimanyu meminta rujuk, namun aku menolaknya mentah-mentah. Aku menyapu pandangan ke taman bunga yang terhampar di halaman depan. Dia berdiri di sana memakai balutan jas mahal."Ayo kita pulang Salma! Aku berjanji akan berbuat adil padamu." Kata Den Abimanyu. Dia menatapku dengan pandangan sayu."Maaf, Den. Aku tidak bisa kembali padamu." Suaraku tercekat di tenggorokan, menatap wajahnya yang lesu."Kenapa?""Aku lelah.""Haruskah ku buktikan padamu jika permohonanku ini serius. Sejujurnya aku tak bisa hidup tanpa kamu."Tidak kulihat senyumnya yang biasa terpancar, hanya wajah sendu dan mata yang berembun dengan buliran bening hampir menitik di kedua kelopaknya."Sudah kuputuskan, Den. Aku mundur dari pernikahan ini. Biarlah aku yang mengalah, mundur dari kehidu
Bagiku keputusan pergi dari rumah terkutuk itu adalah akhir sebuah kisah. Aku meninggalkan Den Abimanyu bukan karena tidak sayang. Hubungan ini sudah berakhir sejak lama setelah ia pergi bersama Nyonya Nadia.Kemarin ia masih bersamaku merasakan indahnya bersama mahligai cinta meski itu hanya satu malam merasakan sentuhan. Aku sudah tidak peduli dengan hatinya. Wanita berhati busuk itu sudah menguasai suamiku. Dia tidak ingin berbagi suami denganku yang derajatnya terlalu rendah sebagai babu.Disini aku dihargai layaknya seorang wanita yang sama derajatnya dengan mereka. Keluarga Saka sangat baik memperlakukanku. Merek menyambut kedatanganku bak seorang ratu."Selamat datang di istana kami, Salma," ucap wanita berparas cantik menyambut kami.Aku menoleh ke arah Saka yang tersenyum memperlihatkan lesung pipinya. Lelaki itu hanya mengangguk hormat kepada ibunya.Lantai marmer putih menjadi sak
Aku sudah mempersiapkan semuanya untuk kabur dari rumah neraka ini. Aku akan pergi membawa Arkan bayi mungil yang baru dilahirkan beberapa minggu. Menghadapi sikap Abimanyu membuatku tak sanggup bertahan lebih lama."Bu, malam ini aku akan kabur lewat jalan belakang setelah semua para pelayan tidur dan penjaga gerbang juga tidur," ucapku lirih."Apa tidak sebaiknya kamu pikirkan dulu, Nduk. Ibu tidak mau kamu tertangkap dan akan mendapat hukuman dari Nyonya Besar Kinanti."Sepasang mata sembab ku menatap wanita tua yang duduk di tepi ranjang. Aku merasa sedih karena harus meninggalkan Ibu sendiri di tempat ini. Aku tahu konsekuensinya bila kabur dari rumah ini. Jika sampai tertangkap maka hukumannya berat.Nyonya Besar Kinanti pasti tidak akan memaafkan bila ketahuan pergi dari rumah dengan membawa putra mahkota. Sudah bisa dipastikan hukuman sangat berat dan mendapat ganjaran yang setimpal.Tidak mungk
Aku tak ingin memupuk angkara, ingin lekas berpisah dari derita. Tidak ingin bertambah lagi bebannya.Membayangkan menjadi Cinderella? Pernah. Memang itulah diri ini yang beruntung dipersunting oleh lelaki yang tampan bak pangeran. Pekerjaan mapan, punya rumah dan mobil mewah juga penerus kekayaan tujuh turunan. Namun, ketika malam demi malam tersiksa sendirian dan tidur dengan kamar terpisah saat itu baru aku sadar. Aku tidak layak menjadi Cinderella layaknya putri dalam cerita.Tapi, keinginan itu bangkit kembali ketika hadirnya Arkan pangeran kecil dan dukungan dari Saka. Aku wanita tanpa kasta yang bersimpuh memohon perpisahan demi kebaikan semua. Kehadiranku di tengah rumah tangga Den Abimanyu hanya membawa malapetaka, pertengkaran dan kebencian Nyonya Nadia."Putuskan saja ikatan pernikahan ini, Den agar kalian bisa kembali seperti dulu seperti pasangan yang romantis."Pertahanan yang kumiliki selama ini
Hari ini sinar mentari begitu cerah, tepat pukul sebelas siang aku diizinkan pulang oleh pihak rumah sakit. Meski kondisi masih lemah selesai melahirkan, namun dokter sudah memberikan obat untuk mengeringkan luka bekas jahitan melahirkan.Den Abimanyu membantuku mendorong kursi roda walau aku sudah melarangnya. Lelaki itu tetap memaksa. Sepanjang derap kaki melangkah tak ada yang bicara. Baik aku maupun Ibu hanya saling diam tak banyak bicara menyusuri koridor rumah sakit.Apalagi Den Abimanyu yang menyorong kursi roda, ia hanya fokus melihat ke depan melewati beberapa pengunjung yang berlalu lalang.Saat hendak masuk ke dalam mobil Den Abimanyu menggendongku. Tak ingin menatapnya aku pun mengalihkan pandangan agar netra ini tak bertatapan. Jujur saja hati masih membenci
"Maaf, aku jadi keterusan ngobrol tentang keluargaku," ucap Saka mengembangkan senyum.Aku hanya memperhatikan lelaki itu dengan pandangan yang tak bisa diartikan. Terkadang aku ingin Den Abimanyu seperti dia perhatian dan lemah lembut, namun semuanya hanya mimpi yang tak akan pernah terwujud."Perut kamu masih sering sakit ya?" tanyanya mengalihkan pembicaraan."Iya," jawabku."Ini belum bulannya, kan?""Belum.""Tapi, aku lihat kamu sering mengeluh sakit.""Iya, padahal ini belum jadwalnya lahiran.""Mungkin Fina bisa menjelaskannya."
Tuan Besar Cokro menuntunku berjalan diatas lantai marmer berwarna hitam langkah ini seimbang dengannya. Lelaki sepuh itu terlihat bersedih kala bercerita tentang kisah hidupnya."Dulu ketika ibunya Abimanyu meninggal akulah penyebabnya. Wanita lembut itu menderita karena aku," ungkapnya dengan suara serak.Berkali-kali pria sepuh itu menghela nafas untuk mengurangi rasa sesak di dadanya. Hampir saja aku terjatuh kala kalimat itu terucap dari bibirnya yang gemetar. Wajah itu sudah basah oleh air mata."Aku sudah mengatur semua rencana agar Abimanyu bisa datang berkunjung ke tempatmu secara sembunyi-sembunyi," lanjutnya dengan air mata yang masih membasahi pipi keriput itu.Hatiku iba melihat pria pendiam itu, mungkin dia juga merasa bersalah karena kematian ibunya