"Jangan lakukan hal bodoh ini hanya karena aku …."
Pemilik alis tebal itu tak meneruskan kalimatnya. Ucapannya membuatku jadi berpikir penuh tanda tanya. Aku apa?
Lalu, tangannya menghapus lembut jejak air mataku yang sedari tadi tak mau berhenti mengalir. Hanya saja, percuma ia hapus, kenyataannya tak mau berhenti.
"Maaf," bisik Den Abimanyu lirih.Mata lelakiku kini sudah basah sama halnya denganku. Sementara, bibirnya menempel di pipiku.
Jantungku ini seakan berhenti terpompa. Bahkan saluran pernapasanku pun seolah tersumbat. Aku bisa mati kalau begini, dengan cara Den Abimanyu mendekatiku.
"Setelah makan, kamu minum obat dan beristirahatlah," titahnya.
Kepalanya dijauhkan dari wajahku. Sekali lagi, Den Abimanyu mengusap pipiku dengan lembut, lalu tangannya menggenggam erat jemariku.
Lelaki tinggi tegap itu langsung berdiri menjauh setelah memastikan air mataku berhenti mengalir. Kuiringi langkahnya yang berbalik memunggungiku, semakin lama semakin menjauh. Kuelus dada yang terus berdebar-debar menetralkan detaknya.
"Den Abimanyu barusan menyentuhku," batinku.
Tak dapat aku pungkiri jika ada benih cinta yang bergetar dalam hati ini. Tapi, bisakah cinta ini bersatu dengan jiwanya mengingat kedudukkan Nyonya Nadia ada diposisi tertinggi. Wanita yang lahir dari keluarga konglongmerat itu tak mungkin mau membagi suaminya dengan yang derajatnya lebih rendah.
***
Kututup jendela sebelum angin malam menembus masuk ke dalam. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Suara jangkrik dan binatang malam mengiringi perjalanan waktu yang semakin berputar cepat.
Dari balik tirai aku masih bisa menyaksikan sinar bulan yang merasuk ke celah-celah lubang angin. Mataku menatap dari balik kaca yang transfaran keindahan bulan purnama yang bersinar penuh.
Indah, tapi tak tergapai tanganku. Sama halnya dengan Den Abimanyu lelaki yang sangat sempurna, namun tak dapat kumiliki. Kalau boleh aku masuk ke dalam hatinya ingin kulihat di sana, apakah ada nama Salma terukir indah di dalamnya.
Aku rela, meski bagianku hanya lima persen saja. Sedangkan yang lainnya buat Nyonya Nadia. Bagiku sudah luar biasa, mendapat perhatian kecil meski hanya sesaat saja.
Sesekali kudengar suara jangkrik bernyanyi merdu. Mungkin binatang malam itu hendak menemani wanita yang sedang kesepian ini menahan rindu pada lelakinya. Apalah daya kasihku tak sampai padanya yang sekarang mungkin sedang memadu kasih dengan belahan jiwanya.
Aduhai Salma, mengapa kamu tak pernah jera menunggu kekasihmu datang? Apakah tidak lelah dirimu menerima duka darinya yang hanya menyentuhmu sekali dua kali saja.
Kuhempaskan tubuhku di atas ranjang memejamkan mata yang terasa lelah, berharap bercinta dengan kekasih pujaan hatiku meski itu dalam mimpi. Meski ranjang yang aku tiduri begitu luas, tetap saja terasa sempit seperti hatiku yang sedang merindukan kehadiran Den Abimanyu.
"Salma," samar kudengar suara Den Abimanyu di luar kamar memanggilku
Refleks aku bangun dari tidur dan menarik handel pintu mendatangi sumber suara yang tadi menyapaku.
"Den Abimanyu!"
Sosok yang mampu menggetarkan detak jantungku kini sudah berdiri tegak dihadapanku. Netranya mengunci pandanganku dengan gerakkan yang tak dapat aku jabarkan.
Den Abimanyu selangkah demi langkah maju mendekatiku, hingga jarak kami nyaris tak ada batas. Tubuhnya rapat menghimpitku dan tidak ada lagi penghalang yang menjadi pemisah antara kami berdua. Tangannya mengunci gerakkanku.
Tubuhku terbang, jiwaku melayang kala lelaki yang sangat kurindukan berbisik di telingaku. "Malam ini aku akan menghabiskan waktu bersammu."
Malam ini, kuserahkan ragaku seutuhnya untuk Den Abimanyu. Lelaki yang sudah menyatu dalam jiwaku. Aku serahkan kesucianku hanya untuknya meski hati ini menolak sentuhannya. Tak dapat kutolak bila aku jantuh cinta pada ketampanannya. Pria gagah, sempurna di mata para wanita.
Desahan napasku, menyatu dengannya seiring gerakan erotis yang dilakukannya. Satu-persatu Den Abimanyu melepas kancing bajuku hingga tanpa sadar aku sudah tanpa sehelai benang pun.
"Aku akan melakukannya pelan-pelan, Salma. Kamu harus bisa menahan rasa sakitnya sebentar saja," ucapnya berbisik.
Kupejamkan mata menikmati sentuhan demi sentuhan yang ia lakukan. Aku tenggelam dalam samudra kenikmatan yang ia ciptakan malam ini, dan tak mampu keluar dari dasarnya.
Terpenjara dalam satu kata cinta. Meski jiwaku terbelenggu dalam ikatan sementara aku lupa kalau cinta ini seperti tak ada logika yang membuatku gila.
Seorang Salma, lupa dengan kedudukkannya. Ia lupa kalau cintanya hanya untuk sementara demi melahirkan anak dari keturunan seorang pria besar seperti Den Abimnyu. Yah, aku rela walau cinta Den Abimanyu hanya sementara.
Penyatuan jiwa ini membuatku lupa dalam gelora asmara yang membara. Kurasakan hal yang sama pada Den Abimanyu yang bukan hanya sekedar menunaikan kewajiban saja, tapi lebih dari itu ia menginkanku. Ibarat serigala kelaparan ingin segera mengenyangkan perutnya.
Sprei yang tertata rapi, kini sudah ternoda bercak darah. Seorang Salma sudah kehilangan kesuciannya. Bantal dan selimut pun sudah tak ada di posisinya, sudah jatuh berserakkan di atas lantai.
Percintaan yang dilakukan Den Abimanyu membuatku gila, untung aku bisa mengimbangi gerakannya. Sampai sesaat kemudian aku sadar sudah kehilangan mahkota yang paling berharga.
"Aku mencintaimu, Salma. Terimakasih sudah membuatku bahagia malam ini."
Den Abimanyu membisikkan kata cinta hingga membuatku terbang melayang ke angkasa. Kata cinta itu membuat daun telingaku terasa panas. Meski apa yang di katakannya dusta aku rela. Andai pun setelah ini aku hamil dan ia tak menyentuhku lagi juga tak mengapa.
"Salma, kaulah pemenangnya. Sikap dinginku ini sudah mengalahkan hasratku untuk tak mendekatimu."
Seulas senyum menghias di bibir tipis itu. Kembali Den Abimanyu mengecup keningku dengan lembut dan membisikkan kata mesra. Dan kemudian ia menenggalamkan kepalaku di dadanya.
Setelah kedua raga ini merasa lelah memadu cinta, kami saling menatap melempar senyum. Aku menunduk dengan malu menatap lelaki yang barusan saja menyentuhku.
Runtuh, runtuh sudah tekadku untuk tak mencintainya. Terbukti aku tak bisa menolak sentuhannya yang begitu menggelora hingga membuat dadaku berdebar hebat. Dan aku pun tak mampu menahan diri untuk menolak setiap gerakkan yang ia lakukan dalam menyusuri lekuk tubuhku.
Kalau sudah begini, bagaimana aku tak jatuh cinta dengannya. Lelaki, tampan yang terlihat sempurna itu begitu gagah di mataku bagai seekor kuda jantan yang berani maju di Medan perang.
***
Esok harinya aku mandi keramas dan begitu juga dengan Den Abimanyu. Sebelum akhirnya kami turun ke bawah untuk menemui nyonya besar.
"Selamat pagi, Mami," sapa Den Abimanyu menarik kursi meja makan.
Nyonya Besar Kinanti hanya tersenyum saat menatapku. Rambut basah, dan tubuh yang wangi membuat ia semakin tertawa puas."Hem … pagi juga, Anakku," jawabnya singkat.
Sebuah hidangan pagi sudah tersiapkan di atas meja makan dan tertata dengan sempurna. Tak lupa juga dipersiapkan ramuan khusus untukku yang sudah tersedia di hadapanku.
"Salma, minum ramuan ini untukmu! Biar kamu cepat hamil dan benih dalam rahimmu bisa bertahan," ucap Nyonya Besar Kianti.
Aku dan Den Abimanyu saling berpandangan satu sama lain. Mungkin nyonya besar sudah tahu kalau tadi malam kami sudah menghabiskan waktu bersama dalam satu kamar.
"Ramuan apa ini, Mami?" tanya Den Abimanyu memperhatikan isinya.
"Ramuan agar Salma segera hamil dan cepat memberikan Mami seorang cucu," kata nyonya besar menyuapkan roti tawar ke dalam mulutnya.
Aku hanya diam tak menimpali pembicaraan nyonya besar dan Den Abimanyu. Sedikit demi sedikit kunikmati makananku yang sudah tersedia di hadapanku.
Tak lama kemudian muncul Ibu membawakan jus jeruk ke meja makan. Ia menuangkan ke gelas nyonya besar dan Den Abimanyu. Sekilas bisa kulihat wajah wanita yang sudah dua puluh lima tahun membesarkanku itu tersenyum menatapku lekat.
"Silahkan diminum, Den jus jeruknya!" ucap Ibu selesai menuangkan jus itu.
"Hem."
Den Abimanyu hanya menjawab deheman saja.
Setelah selesai melayani kami, Ibu kemudian kembali ke belakang membawa gelas kosong dengan nampan. Ramuan yang tadi disediakan sudah aku tandaskan isinya dengan cepat.
***
Bersambung.
"Selamat pagi, Sayang. Kamu lagi masak apa?" Sapaan kata sayang dari Den Abimanyu, membuatku hampir saja menjatuhkan alat penggorengan. Jantungku seakan bertengakar di dalamnya kala tangan kekarnya melingkar di pinggangku. Mimpikah aku? Kucubit lenganku sendiri untuk memastikan ini bukan sekedar mimpi. Jika benar aku pun tak ingin cepat-cepat bangun dari tidur yang panjang. Keromantisan Den Abimanyu tidak berakhir dalam waktu semalaman saja. Lelakiku kini terlihat menyugar rambutnya yang masih basah. Berlanjut dengan kecupan lembut yang mendarat di tengkuk leherku. Kini aku menjadi wanita yang paling bahagia karena digilai seorang pria tampan, kaya raya, serta pewaris tunggal keluarga Cokro Widodo. "Den, maaf
Aku dan Den Abimanyu kembali saat matahari hampir tenggelam di arah barat. Sampai detik ini aku gak bisa berbohong lagi kalau jiwaku sudah menyatu dengan raga lelakiku. Kakiku sudah terasa ditusuk-tusuk duri. Pegal dan nyeri rasanya saat harus mengelilingi perkebunan yang luasnya tak dapat aku ukur. Aku dan Den Abimanyu berkeliling di area perkebunan sembari bergandengan tangan. Sepanjang jalan hanya ada senyum dan tawa kecil mengiringi langkah. Den Abimanyu merangkul bahuku saat berjalan menyusuri bukit setapak yang hanya pas untuk ukuran satu pejalan kaki. Lelakiku khawatir kalau aku terjatuh karena harus menyusuri jalanan kecil yang berlubang. Biasa jalan ini hanya dilalui para pekerja kebun jika ingin mengangkat hasil panen mereka akan memilih lebih bagus untuk dilewati dan lebar dari pada jalan setapak ini. Seiring langkah kaki ternyata pria beralis tebal itu
"Nduk, bangun!" suara panggilan Ibu membangunkanku dari alam mimpi. Mataku perlahan terbuka, namun kepalaku rasanya berat dan pusing. Bahkan untuk bangun saja aku malas beranjak dari tempat tidur. "Salma, buka pintunya! Nyonya Besar Kinanti sudah menunggumu di meja makan." Ibu berkata kembali sembari mengetuk pintu. Suara wanita pemilik bibir tipis itu terdengar pelan. Aku tidak bersemangat untuk bangun menemui Nyonya Besar Kinanti, Den Abimanyu dan juga Nyonya Nadia. Sedikit pun tidak ada seleraku untuk makan. Berdiam diri di dalam kamar dan tarik selimut adalah pilihan yang tepat. Sekarang aku baru menyadari kalau Nyonya Besar Kinanti, menampung kami hanya untuk mengadaikan hargai diri padanya.
Di ruangan yang luas ini lelakiku duduk berhadapan dengan ibunya. Posisinya bagai seorang terdakwa yang menunggu vonis hukuman mati. Tentu saja Nyonya Besar Kinanti harus menyelesaikan masalah kami karena dari dialah masalah ini berawal. Sekarang ini masalah yang timbul harus segera diselesaikan karena sudah muncul ke permukaan. Selama duduk di ruang bak persidangan ini aku dan juga Nyonya Nadia hanya saling diam dan menjauh dari Den Abimanyu. Jarak diantara kami terpisah oleh Nyonya Besar Kinanti dan Den Abimanyu. Netraku menatap lelakiku dengan miris, pria yang telah memberiku sentuhan itu hanya menunduk menghadap ibunya. Aku hanya memperhatikan nyonya besar dengan fokus saat duduk berhadapan dengan Den Abimanyu. Bagai terdakwa pesakitan lelakiku disidang u
Setelah persidangan itu selesai Den Abimanyu meminta kami untuk kembali ke kamar masing-masing. Lelaki berhidung mancung itu tak bisa berbicara apa-apa lagi selain menunggu perintah sang Ibunda tercinta. Begitu pun juga denganku dan Nyonya Nadia tak bisa berbuat banyak. Karena dari Nyonya Besar Kinanti semuanya berawal hingga timbul gejolak Nyonya Nadia untuk memberontak pada suaminya. Saat aku memasuki kamar telah banyak berubah dari mulai cat yang berganti hingga gorden yang diikat sisinya bergelembong. Tak lupa juga ranjang dengan sprei yang menjuntai ke bawah dan juga lemari jati yang terukir indah terlihat baru. Mata akan dimanjakan dengan pemandangan yang indah saat berada dalam nuansa kamar layaknya pengantin baru. Saat aku sedang di kamar Ibu datang, namun tak bertanya hal apa pun tentang diriku. Mungkin ia tahu kalau kondisiku sekarang sedang tidak baik. Wanita
Lagi kukuatkan hati ini agar tak menangis di hadapannya. Sebisa mungkin aku tak menjatuhkan air mata bila melihat lelakiku bersanding dengan istri pertamanya. "Sabar ya, Nduk. Jangan putus asa, tapi perbanyaklah zikir dan do'a mudah-mudahan semua akan berbuah manis suatu hari nanti." Ibu menghiburku di saat aku sedang terluka dan bersedih. Hanya Ibu satu-satunya orang yang mengerti penderitaanku sebagai istri yang dimadu. Memang dalam kehidupan manusia tidak ada yang abadi apalagi kebahagian dan penderitaan. Semuanya pasti akan berakhir pada masanya yang tepat bila waktunya telah tiba. Aku harus menguatkan hati ini ketika kudengar berita dari Nyonya Besar Kinanti lelakiku ak
Sore itu, kala senja hampir saja tengelam di ufuk barat aku duduk di bawah pohon akasia yang menjulang tinggi. Debaran angin sepoi-sepoi menyapu wajahku hingga mempermainkan rambutku yang sebatas bahu melambai-lambai tertiup angin. Di bawah pohon ini aku membaca buku novel sebuah karya dari penulis terkenal Asma Nadia, surga yang tak dirindukan. Anganku melambung tinggi memikirkan lelakiku nun jauh di sana. Lagi apakah dirinya di sana? Mungkin ia sama sepertiku yang di sini sedang merindukannya dan menanti kedatangannya? Ah, mana mungkin ia memikirkanku. Sedangkan dirinya sedang menikmati bulan madu bersama pujaan hatinya. Mengapa aku masih mengharapkan lelaki itu yang sudah jelas-jelas tak bisa menepati janjin
Kuseret kaki ini menuju kamar sebisa mungkin aku bertahan agar tidak jatuh saat menuju taman belakang. Di ruang itulah aku sering menangis menumpahkan segela kekesalan yang ada dalam hati. Pandanganku mengablur, kepala terasa pusing dan pandangan juga berkunang-kunang. Aku berharap tidak akan pingsan saat berjalan menuju taman belakang tempat para pembantu biasa berkumpul. Jika sampai aku pingsan maka sudah pasti akan dituduh cari perhatian. Lambat-laun kaki ini sampai juga di taman belakang. Aku duduk di bangku taman dengan menyandarkan kepala yang terasa berdenyut. Butuh waktu yang lama untuk tiba di sini dalam keadaan tak baik. Kurebahkan diri ini dia atas kursi panjang agar bisa merenggangkan kaki, namun sebuah suara mengagetkanku.
"Kau akan bercerai dengan Abimanyu dan terbebas darinya. Tapi … tidak boleh membawa Arkan." Nyonya Besar Kinanti berkata dengan nada tinggi.Sudah kuduga, perempuan angkuh itu pasti tidak akan pernah melepaskan kami begitu saja. Dia akan menggunakan kekuasaan, dan uangnya untuk memenjarakanku."Maaf, Nyonya. Keputusan saya sudah bulat. Saya tidak akan kembali pada Den Abimanyu."Nyonya Besar Kinanti murka, dia langsung berdiri menatapku tajam. Wanita angkuh itu tidak terima. Aku membawa keturunan keluarga Widodo."Sudahlah, Mami. Aku sudah memutuskan untuk menceraikan Salma." Den Abimanyu menimpali."Tidak. Salma tidak mungkin bisa membesarkan Arkan dengan baik. Mau dikasih makan apa cucuku." Ibu mertua berteriak.Dadanya bergemuruh menahan amarah. Jelas di netranya terlihat berapi-api, seperti akan m
"Maafkan, aku. Gara-gara aku kamu jadi terluka seperti ini." Aku tak berani menatap wajah Saka. Lelaki jangkung itu terbaring lemah di ranjang periksa.Sudah dua hari dia tidak berdaya, terluka karena tusukan pisau. Saka terluka parah, ketika beberapa preman melukainya."Tidak apa. Cinta perlu pengorbanan."Aku terdiam. Nyaliku tidak cukup kuat untuk sekedar bertanya pada Saka. Siapakah para berandalan itu, yang sudah membuatnya terluka. Meski beberapa kata-kata ingin berdesakan keluar, namun niat ini kuurungkan."Ada apa? Kenapa kamu menatapku seperti itu?""Tidak ada. Aku hanya ….""Aku tahu apa yang ada dalam pikiranmu.""Apa?""Kamu pasti ingin tahu siapa mereka yang sudah menyerangku, bukan?"Aku bergeming. Saka menatap ke arah kaca jendela. Dia dirawat di lantai atas. Tampak pemandangan di bawah sangat indah."Siapa mereka?""Prema
Setelah kejadian mengerikan itu, Den Abimanyu meminta rujuk, namun aku menolaknya mentah-mentah. Aku menyapu pandangan ke taman bunga yang terhampar di halaman depan. Dia berdiri di sana memakai balutan jas mahal."Ayo kita pulang Salma! Aku berjanji akan berbuat adil padamu." Kata Den Abimanyu. Dia menatapku dengan pandangan sayu."Maaf, Den. Aku tidak bisa kembali padamu." Suaraku tercekat di tenggorokan, menatap wajahnya yang lesu."Kenapa?""Aku lelah.""Haruskah ku buktikan padamu jika permohonanku ini serius. Sejujurnya aku tak bisa hidup tanpa kamu."Tidak kulihat senyumnya yang biasa terpancar, hanya wajah sendu dan mata yang berembun dengan buliran bening hampir menitik di kedua kelopaknya."Sudah kuputuskan, Den. Aku mundur dari pernikahan ini. Biarlah aku yang mengalah, mundur dari kehidu
Bagiku keputusan pergi dari rumah terkutuk itu adalah akhir sebuah kisah. Aku meninggalkan Den Abimanyu bukan karena tidak sayang. Hubungan ini sudah berakhir sejak lama setelah ia pergi bersama Nyonya Nadia.Kemarin ia masih bersamaku merasakan indahnya bersama mahligai cinta meski itu hanya satu malam merasakan sentuhan. Aku sudah tidak peduli dengan hatinya. Wanita berhati busuk itu sudah menguasai suamiku. Dia tidak ingin berbagi suami denganku yang derajatnya terlalu rendah sebagai babu.Disini aku dihargai layaknya seorang wanita yang sama derajatnya dengan mereka. Keluarga Saka sangat baik memperlakukanku. Merek menyambut kedatanganku bak seorang ratu."Selamat datang di istana kami, Salma," ucap wanita berparas cantik menyambut kami.Aku menoleh ke arah Saka yang tersenyum memperlihatkan lesung pipinya. Lelaki itu hanya mengangguk hormat kepada ibunya.Lantai marmer putih menjadi sak
Aku sudah mempersiapkan semuanya untuk kabur dari rumah neraka ini. Aku akan pergi membawa Arkan bayi mungil yang baru dilahirkan beberapa minggu. Menghadapi sikap Abimanyu membuatku tak sanggup bertahan lebih lama."Bu, malam ini aku akan kabur lewat jalan belakang setelah semua para pelayan tidur dan penjaga gerbang juga tidur," ucapku lirih."Apa tidak sebaiknya kamu pikirkan dulu, Nduk. Ibu tidak mau kamu tertangkap dan akan mendapat hukuman dari Nyonya Besar Kinanti."Sepasang mata sembab ku menatap wanita tua yang duduk di tepi ranjang. Aku merasa sedih karena harus meninggalkan Ibu sendiri di tempat ini. Aku tahu konsekuensinya bila kabur dari rumah ini. Jika sampai tertangkap maka hukumannya berat.Nyonya Besar Kinanti pasti tidak akan memaafkan bila ketahuan pergi dari rumah dengan membawa putra mahkota. Sudah bisa dipastikan hukuman sangat berat dan mendapat ganjaran yang setimpal.Tidak mungk
Aku tak ingin memupuk angkara, ingin lekas berpisah dari derita. Tidak ingin bertambah lagi bebannya.Membayangkan menjadi Cinderella? Pernah. Memang itulah diri ini yang beruntung dipersunting oleh lelaki yang tampan bak pangeran. Pekerjaan mapan, punya rumah dan mobil mewah juga penerus kekayaan tujuh turunan. Namun, ketika malam demi malam tersiksa sendirian dan tidur dengan kamar terpisah saat itu baru aku sadar. Aku tidak layak menjadi Cinderella layaknya putri dalam cerita.Tapi, keinginan itu bangkit kembali ketika hadirnya Arkan pangeran kecil dan dukungan dari Saka. Aku wanita tanpa kasta yang bersimpuh memohon perpisahan demi kebaikan semua. Kehadiranku di tengah rumah tangga Den Abimanyu hanya membawa malapetaka, pertengkaran dan kebencian Nyonya Nadia."Putuskan saja ikatan pernikahan ini, Den agar kalian bisa kembali seperti dulu seperti pasangan yang romantis."Pertahanan yang kumiliki selama ini
Hari ini sinar mentari begitu cerah, tepat pukul sebelas siang aku diizinkan pulang oleh pihak rumah sakit. Meski kondisi masih lemah selesai melahirkan, namun dokter sudah memberikan obat untuk mengeringkan luka bekas jahitan melahirkan.Den Abimanyu membantuku mendorong kursi roda walau aku sudah melarangnya. Lelaki itu tetap memaksa. Sepanjang derap kaki melangkah tak ada yang bicara. Baik aku maupun Ibu hanya saling diam tak banyak bicara menyusuri koridor rumah sakit.Apalagi Den Abimanyu yang menyorong kursi roda, ia hanya fokus melihat ke depan melewati beberapa pengunjung yang berlalu lalang.Saat hendak masuk ke dalam mobil Den Abimanyu menggendongku. Tak ingin menatapnya aku pun mengalihkan pandangan agar netra ini tak bertatapan. Jujur saja hati masih membenci
"Maaf, aku jadi keterusan ngobrol tentang keluargaku," ucap Saka mengembangkan senyum.Aku hanya memperhatikan lelaki itu dengan pandangan yang tak bisa diartikan. Terkadang aku ingin Den Abimanyu seperti dia perhatian dan lemah lembut, namun semuanya hanya mimpi yang tak akan pernah terwujud."Perut kamu masih sering sakit ya?" tanyanya mengalihkan pembicaraan."Iya," jawabku."Ini belum bulannya, kan?""Belum.""Tapi, aku lihat kamu sering mengeluh sakit.""Iya, padahal ini belum jadwalnya lahiran.""Mungkin Fina bisa menjelaskannya."
Tuan Besar Cokro menuntunku berjalan diatas lantai marmer berwarna hitam langkah ini seimbang dengannya. Lelaki sepuh itu terlihat bersedih kala bercerita tentang kisah hidupnya."Dulu ketika ibunya Abimanyu meninggal akulah penyebabnya. Wanita lembut itu menderita karena aku," ungkapnya dengan suara serak.Berkali-kali pria sepuh itu menghela nafas untuk mengurangi rasa sesak di dadanya. Hampir saja aku terjatuh kala kalimat itu terucap dari bibirnya yang gemetar. Wajah itu sudah basah oleh air mata."Aku sudah mengatur semua rencana agar Abimanyu bisa datang berkunjung ke tempatmu secara sembunyi-sembunyi," lanjutnya dengan air mata yang masih membasahi pipi keriput itu.Hatiku iba melihat pria pendiam itu, mungkin dia juga merasa bersalah karena kematian ibunya