Sudah lebih tujuh hari pernikahanku berjalan dengan Den Abimanyu. Sedikit pun tidak ada tanda kalau Den Abimanyu akan meleleh hatinya. Padahal Nyonya Besar Kinanti sudah menyarankan aku untuk berdandan cetar agar terlihat cantik dan tampil seksi di hadapan Den Abimanyu. Saat akan tidur pun Nyonya Besar Kinanti memberiku hadiah gaun malam yang super tipis dan transparan. Sehingga menonjolkan bagian-bagian lekuk tubuhku.
Penampilanku sudah dirubah oleh nyonya besar agar menarik perhatian Den Abimanyu. Namun, lelaki dingin itu sama sekali tak memandangku sebelah mata. Reaksinya juga masih tetap sama acuh.
Terbuat dari apakah hati Den Abimanyu? Seorang laki-laki normal tak mungkin tidak tertarik pada seorang wanita bila di hadapannya menggoda dengan tarian erotis. Nyonya besar memintaku berpakaian seksi bila di dalam kamar dan lebih agresif lagi menggoda Den Abimanyu. Aku seperti wanita yang tak punya harga diri. Merayu lelaki dengan gerakkan liar.
Melayaninya makan pun aku ambil alih demi menarik perhatian Den Abimanyu. Meski pembatu yang biasa masak menyiapkan makanan itu melarangku mengerjakan sendiri.
Mati-matian aku menarik perhatian Den Abimanyu, dari menyiapkan makanan sampai pakain aku lakukan sendiri. Sudah habis akalku untuk menaklukan hati lelaki bertubuh tinggi tegap itu. Segala upaya sudah aku kerahkan, namun hasilnya tetap sama, nihil.
Malam ini aku tak punya keinginan untuk keluar dari kamar. Bagiku sama saja mau tampil cantik atau enggak, toh Den Abimanyu tak melirikku sama sekali. Aku hanya sembunyi di balik selimut sembari menangis terisak meratapi nasibku yang tak berdaya. Entah sudah berapa liter air mata kutumpahkan mengeluhkan hidupku yang malang.
Lelah, aku benar-benar lelah mengemis perhatian Den Abimanyu agar mau menyentuhku. Setiap kali aku ingin menyudahi pernikahan sandiwara ini, teringat akan nasehat Ibu.
Panggilan Bi Asih menyadarkanku dari lamunan. Berulang-ulang kali wanita separuh baya itu mengetuk pintu kamarku. Panggilan Bi Asih tidak aku pedulikan atau pun mengubrisnya.
Wanita separuh baya itu beberapa kali merayu agar aku mau membukakan pintu kamar dan mau makan bersama bareng Nyonya Besar Kinanti dan juga suaminya. Namun, aku enggan keluar dari kamar untuk makan bersama karena tidak ingin bertatap muka dengan Den Abimanyu. Terlebih Nyonya Nadia selalu ada di sisinya setiap saat.
Bagiku lebih baik mati kelaparan di sini dari pada disuruh lagi mengemis perhatian di depan Den Abimanyu. Bagiku tak masalah mati kelaparan dari pada harus terbelenggu oleh ikatan yang rumit ini. Berada di posisi madu sangat tidak mengenakkan, harus menerima sisa dari istri pertama.
Lepas dari Den Abimanyu tak mungkin, bertahan juga membuatku semakin menderita. Tetap disisinya hanya akan hidup berkalang derita yang sangat panjang.
Lama-kelamaan perutku terasa nyeri karena tidak diisi sedari sedari semalam. Batang tenggorokkanku juga terasa kering. Tubuhku hampir kehilangan energi.
Selepas salat magrib aku memejamkan mata di atas ranjang ukuran besar ini. Aku berharap jika esok sudah terbangun akan hilang sakitnya. Atau aku tidak bangun sama sekali bagiku juga tak apa-apa. Tidak ada yang akan bersedih melihat penderitaanku keculai Ibu yang sudah melahirkanku ke dunia dengan susah payah.
"Salma, buka pintunya!" suara Den Abimanyu terdengar mengedor pintu dari luar.
Mataku terpaksa aku buka karena mendengar volume Den Abimanyu yang makin lama makin meninggi. Benarkah suara itu Den Abimanyu? Aku masih tak percaya lelaki dingin itu memanggilku sampai mendatangi kamar. Biasa ia juga akan mengabaikanku begitu saja.
Kulirik jam dinding ternyata sudah pukul tujuh pagi. Aku tertidur hingga melewatkan salat lima waktu.
Ya Allah ….
Begitu lemahnya diriku hanya karena menunggu perhatian seorang laki-laki. Bahkan namanya saja tak pantas aku sebut. Den Abimanyu tak mau menyentuhku meski aku sudah berdandan sesuai dengan penampilan Nyonya Nadia.
"Salma, ayo buka pintunya! Salma!" suara ketukkan pintu kembali aku dengar.
Namun, tubuhku lemah karena tak punya kekuatan untuk sekedar bangkit dari tempat tidur.
Kepalaku rasanya bagai tertimpa batu, berat dan pusing. Tidak ada tenaga lagi untukku bangkit meski hanya sekedar mengerakkan tangan dan kaki.
Dengan sisa tenaga aku bangkit mengumpulkan kekuatan agar bisa membuka pintu. Namun, tubuhku kembali ambruk hanya terbaring di tempat tidur. Di sinilah sekarang aku terbaring di tempat tidur dengan ketidak berdayaan membelengguku. Tenaga bahkan habis walau hanya sekedar mengerakkan jari-jemari.
"Salma, buka pintunya, Nduk! Kamu jangan buat Ibu dan suamimu khawatir." Suara Ibu menimpali.
Aku jelas mendengar nada suaranya sangat cemas.
Aku mengucap sembari merutuki kebodohanmu yang menghukum diri sendiri. Mengapa seorang Salma menyiksa diri sendiri hanya karena mengemis perhatian laki-laki. Bagaimana jika aku tak bisa bangun lagi dan Allah mencabut nyawaku. Dosaku akan dicatat malaikat sebagai seorang hamba yang mati bunuh diri. Astagfirullahalazim.
Ya Robbi … mengapa aku sebodoh ini hanya karena menangisi cinta seorang laki-laki beristri yang jelas-jelas tidak mencintaiku sama sekali. Memandangku pun ia tak Sudi.
"Nduk, jangan begitu. Kamu gak boleh menghukum diri sendiri. Nanti Gust Allah marah karena kamu dicatat sebagai hamba tak bersyukur," ucap Ibu terdengar menangis.
Air mataku kembali berhamburan. Kali ini bukan karena menangisi cinta Den Abimanyu yang bertepuk sebelah tangan. Tapi, karena merutuki diri sendiri. Salma, pantas bahagia, tak pantas mati hanya karena lelaki yang tidak punya rasa.
Dadaku terasa sesak menahan tangis. Lamat-lamat pandanganku mengablur dan suara sumbang yang terdengar.
***
Rasanya kepalaku berat sekali, saat mata berusaha kubuka. Dan di sinilah aku sekarang berada di ruangan serba putih. Tanganku sudah terpasang jarum infus. Seorang dokter datang ke kamarku dan sudah selesai memasang infus. Benda tajam itu telah menembus denyut nadiku, setetes demi tetesan air infus masuk melalui peradaran darah.
Tak lama kemudian dokter Yang biasa menangani keluarga terlihat pamit keluar pada Nyonya Besar Kinanti. Nyonya besar hanya mengangguk saja saat dokter yang biasa di percaya mengobati keluarga itu pamit.
"Salma?" terdengar suara Ibu memanggil.
"Kamu sudah sadar, Salma?" tanya Den Abimanyu.
Tak kuhiraukan.
"Apa kamu mau mati bunuh diri, Salma? Sebelum melahirkan keturunan untukku?" cecar Nyonya Besar Kinanti.
Nyonya Besar Kinanti tak punya perasaan belas kasihan. Aku baru saja sadar dan membuka mata sudah dijejali omelan yang begitu panjang.
"Mami, sudahlah. Salma baru sadar dari siumannya," timpal Den Abimanyu.
Aku hanya menitikkan air mata.
"Aku kecewa padamu, Salma. Aku sengaja memilihmu menjadi menantuku dan mengangkat derajatmu jadi babu. Kalau begini aku menyesal karena sudah menikahkanku dengan Abimanyu," ucap Nyonya Besar Kinanti.
Jantungku berdegup dengan kencang mendengar suara Nyonya Besar Kinanti yang menghinaku barusan. Napasku turun naik menahan saliva yang susah payah aku telan. Bahkan, setetes air minum pun belum sempat membasahi batang tenggorokkanku dari kemarin. Tanpa simpati, Nyonya Besar Kinanti mencecarku dengan kata-kata kasar.
"Mami, semua bukan salah Salma. Akulah yang seharusnya Mami salahkan karena telah mengabaikan Salma jadi begini," potong Den Abimanyu.
Aku hanya diam sembari meremas selimut yang menutupi tubuhku. Rasanya aku ingin pergi sejauh mungkin menghindari Den Abi Manyu.
"Maafkan aku, Salma," bisik Den Abimanyu di telingaku.
Tak lama kemudian nyonya besar dan Ibu keluar dari kamar dan meninggalkanku berdua dengan Den Abimanyu. Kini hanya ada aku dan lelaki dingin itu yang saling diam dengan seribu bahasa.
Tangan Den Abimanyu kemudian meraih bubur di atas meja yang terbuat dari kayu jati, lantas menyuapkannya ke mulutku.
"Makanlah, Salma! Biar kamu punya tenaga," pintanya tersenyum.
Aku memalingkan pandangan ke arah lain sebagai bentuk perotes terhadapnya.
"Aku tahu kalau aku memang bersalah padamu. Setidaknya kamu terima tawaran makan ini demi kesehatanmu."
Kutatap wajahnya tak percaya kala sorot mata itu memandangku dengan penuh harap. Den Abimanyu lantas naik ke ranjang dan merengkuh tubuhku dalam pelukkannya. Aku berontak, tetapi ia pertahankan dalam dadanya.
Aku menangis tersedu. Dan ia mengelus pucuk kepalaku hingga tangisku reda.
"Maaf … maaf jika aku sudah membuatmu sakit dan kecewa," ucapnya pelan berbisik.
Paru-paruku seakan tersumbat hingga sulit sekali aliran udara ini bergerak, seperti ikan keluar dari air kolam megap-megap. Jantungku ini perlahan mulai berhenti berdegup dengan kencang dan melemah. Sesaat aku terbuai dalam pelukkan lelaki dingin yang tak kuharapkan.
"Jangan lakukan hal bodoh ini lagi, Salma," ucapnya menghapus jejak air mataku.
Den Abimanyu melonggarkan pelukkannya.
Bukankah di luar sedang tidak musim semi? Mengapa hatiku berbunga-bunga mendengar ucapan Den Abimanyu. Laksana bunga yang baru mekar dan banyak madu, kumbang datang mendekat ingin menghisap sarinya.
Laki-laki yang selama ini aku nilai dingin ternyata punya sedikit perhatian denganku. Meski cintanya tak seutuh untukku.
"Sekarang kamu makan! Aku tidak ingin lagi melihatmu lemah seperti ini."
Kembali tangan Den Abimanyu menyuapkan bubur ayam yang sedari tadi terletak di atas meja. Dengan telaten lelaki beralis tebal itu menyuapiku dan mengajakku mengobrol hingga tak terasa bubur itu sudah hampir habis dalam piring.
***
Bersambung.
"Jangan lakukan hal bodoh ini hanya karena aku …." Pemilik alis tebal itu tak meneruskan kalimatnya. Ucapannya membuatku jadi berpikir penuh tanda tanya. Aku apa? Lalu, tangannya menghapus lembut jejak air mataku yang sedari tadi tak mau berhenti mengalir. Hanya saja, percuma ia hapus, kenyataannya tak mau berhenti. "Maaf," bisik Den Abimanyu lirih. Mata lelakiku kini sudah basah sama halnya denganku. Sementara, bibirnya menempel di pipiku. Jantungku ini seakan berhenti terpompa. Bahkan saluran pernapasanku pun seolah tersumbat. Aku bisa mati kalau begini, dengan cara Den Abimanyu mendekatiku. "Setelah makan, kamu minum obat dan beristirahatlah," titahnya. Kepalanya d
"Selamat pagi, Sayang. Kamu lagi masak apa?" Sapaan kata sayang dari Den Abimanyu, membuatku hampir saja menjatuhkan alat penggorengan. Jantungku seakan bertengakar di dalamnya kala tangan kekarnya melingkar di pinggangku. Mimpikah aku? Kucubit lenganku sendiri untuk memastikan ini bukan sekedar mimpi. Jika benar aku pun tak ingin cepat-cepat bangun dari tidur yang panjang. Keromantisan Den Abimanyu tidak berakhir dalam waktu semalaman saja. Lelakiku kini terlihat menyugar rambutnya yang masih basah. Berlanjut dengan kecupan lembut yang mendarat di tengkuk leherku. Kini aku menjadi wanita yang paling bahagia karena digilai seorang pria tampan, kaya raya, serta pewaris tunggal keluarga Cokro Widodo. "Den, maaf
Aku dan Den Abimanyu kembali saat matahari hampir tenggelam di arah barat. Sampai detik ini aku gak bisa berbohong lagi kalau jiwaku sudah menyatu dengan raga lelakiku. Kakiku sudah terasa ditusuk-tusuk duri. Pegal dan nyeri rasanya saat harus mengelilingi perkebunan yang luasnya tak dapat aku ukur. Aku dan Den Abimanyu berkeliling di area perkebunan sembari bergandengan tangan. Sepanjang jalan hanya ada senyum dan tawa kecil mengiringi langkah. Den Abimanyu merangkul bahuku saat berjalan menyusuri bukit setapak yang hanya pas untuk ukuran satu pejalan kaki. Lelakiku khawatir kalau aku terjatuh karena harus menyusuri jalanan kecil yang berlubang. Biasa jalan ini hanya dilalui para pekerja kebun jika ingin mengangkat hasil panen mereka akan memilih lebih bagus untuk dilewati dan lebar dari pada jalan setapak ini. Seiring langkah kaki ternyata pria beralis tebal itu
"Nduk, bangun!" suara panggilan Ibu membangunkanku dari alam mimpi. Mataku perlahan terbuka, namun kepalaku rasanya berat dan pusing. Bahkan untuk bangun saja aku malas beranjak dari tempat tidur. "Salma, buka pintunya! Nyonya Besar Kinanti sudah menunggumu di meja makan." Ibu berkata kembali sembari mengetuk pintu. Suara wanita pemilik bibir tipis itu terdengar pelan. Aku tidak bersemangat untuk bangun menemui Nyonya Besar Kinanti, Den Abimanyu dan juga Nyonya Nadia. Sedikit pun tidak ada seleraku untuk makan. Berdiam diri di dalam kamar dan tarik selimut adalah pilihan yang tepat. Sekarang aku baru menyadari kalau Nyonya Besar Kinanti, menampung kami hanya untuk mengadaikan hargai diri padanya.
Di ruangan yang luas ini lelakiku duduk berhadapan dengan ibunya. Posisinya bagai seorang terdakwa yang menunggu vonis hukuman mati. Tentu saja Nyonya Besar Kinanti harus menyelesaikan masalah kami karena dari dialah masalah ini berawal. Sekarang ini masalah yang timbul harus segera diselesaikan karena sudah muncul ke permukaan. Selama duduk di ruang bak persidangan ini aku dan juga Nyonya Nadia hanya saling diam dan menjauh dari Den Abimanyu. Jarak diantara kami terpisah oleh Nyonya Besar Kinanti dan Den Abimanyu. Netraku menatap lelakiku dengan miris, pria yang telah memberiku sentuhan itu hanya menunduk menghadap ibunya. Aku hanya memperhatikan nyonya besar dengan fokus saat duduk berhadapan dengan Den Abimanyu. Bagai terdakwa pesakitan lelakiku disidang u
Setelah persidangan itu selesai Den Abimanyu meminta kami untuk kembali ke kamar masing-masing. Lelaki berhidung mancung itu tak bisa berbicara apa-apa lagi selain menunggu perintah sang Ibunda tercinta. Begitu pun juga denganku dan Nyonya Nadia tak bisa berbuat banyak. Karena dari Nyonya Besar Kinanti semuanya berawal hingga timbul gejolak Nyonya Nadia untuk memberontak pada suaminya. Saat aku memasuki kamar telah banyak berubah dari mulai cat yang berganti hingga gorden yang diikat sisinya bergelembong. Tak lupa juga ranjang dengan sprei yang menjuntai ke bawah dan juga lemari jati yang terukir indah terlihat baru. Mata akan dimanjakan dengan pemandangan yang indah saat berada dalam nuansa kamar layaknya pengantin baru. Saat aku sedang di kamar Ibu datang, namun tak bertanya hal apa pun tentang diriku. Mungkin ia tahu kalau kondisiku sekarang sedang tidak baik. Wanita
Lagi kukuatkan hati ini agar tak menangis di hadapannya. Sebisa mungkin aku tak menjatuhkan air mata bila melihat lelakiku bersanding dengan istri pertamanya. "Sabar ya, Nduk. Jangan putus asa, tapi perbanyaklah zikir dan do'a mudah-mudahan semua akan berbuah manis suatu hari nanti." Ibu menghiburku di saat aku sedang terluka dan bersedih. Hanya Ibu satu-satunya orang yang mengerti penderitaanku sebagai istri yang dimadu. Memang dalam kehidupan manusia tidak ada yang abadi apalagi kebahagian dan penderitaan. Semuanya pasti akan berakhir pada masanya yang tepat bila waktunya telah tiba. Aku harus menguatkan hati ini ketika kudengar berita dari Nyonya Besar Kinanti lelakiku ak
Sore itu, kala senja hampir saja tengelam di ufuk barat aku duduk di bawah pohon akasia yang menjulang tinggi. Debaran angin sepoi-sepoi menyapu wajahku hingga mempermainkan rambutku yang sebatas bahu melambai-lambai tertiup angin. Di bawah pohon ini aku membaca buku novel sebuah karya dari penulis terkenal Asma Nadia, surga yang tak dirindukan. Anganku melambung tinggi memikirkan lelakiku nun jauh di sana. Lagi apakah dirinya di sana? Mungkin ia sama sepertiku yang di sini sedang merindukannya dan menanti kedatangannya? Ah, mana mungkin ia memikirkanku. Sedangkan dirinya sedang menikmati bulan madu bersama pujaan hatinya. Mengapa aku masih mengharapkan lelaki itu yang sudah jelas-jelas tak bisa menepati janjin
"Kau akan bercerai dengan Abimanyu dan terbebas darinya. Tapi … tidak boleh membawa Arkan." Nyonya Besar Kinanti berkata dengan nada tinggi.Sudah kuduga, perempuan angkuh itu pasti tidak akan pernah melepaskan kami begitu saja. Dia akan menggunakan kekuasaan, dan uangnya untuk memenjarakanku."Maaf, Nyonya. Keputusan saya sudah bulat. Saya tidak akan kembali pada Den Abimanyu."Nyonya Besar Kinanti murka, dia langsung berdiri menatapku tajam. Wanita angkuh itu tidak terima. Aku membawa keturunan keluarga Widodo."Sudahlah, Mami. Aku sudah memutuskan untuk menceraikan Salma." Den Abimanyu menimpali."Tidak. Salma tidak mungkin bisa membesarkan Arkan dengan baik. Mau dikasih makan apa cucuku." Ibu mertua berteriak.Dadanya bergemuruh menahan amarah. Jelas di netranya terlihat berapi-api, seperti akan m
"Maafkan, aku. Gara-gara aku kamu jadi terluka seperti ini." Aku tak berani menatap wajah Saka. Lelaki jangkung itu terbaring lemah di ranjang periksa.Sudah dua hari dia tidak berdaya, terluka karena tusukan pisau. Saka terluka parah, ketika beberapa preman melukainya."Tidak apa. Cinta perlu pengorbanan."Aku terdiam. Nyaliku tidak cukup kuat untuk sekedar bertanya pada Saka. Siapakah para berandalan itu, yang sudah membuatnya terluka. Meski beberapa kata-kata ingin berdesakan keluar, namun niat ini kuurungkan."Ada apa? Kenapa kamu menatapku seperti itu?""Tidak ada. Aku hanya ….""Aku tahu apa yang ada dalam pikiranmu.""Apa?""Kamu pasti ingin tahu siapa mereka yang sudah menyerangku, bukan?"Aku bergeming. Saka menatap ke arah kaca jendela. Dia dirawat di lantai atas. Tampak pemandangan di bawah sangat indah."Siapa mereka?""Prema
Setelah kejadian mengerikan itu, Den Abimanyu meminta rujuk, namun aku menolaknya mentah-mentah. Aku menyapu pandangan ke taman bunga yang terhampar di halaman depan. Dia berdiri di sana memakai balutan jas mahal."Ayo kita pulang Salma! Aku berjanji akan berbuat adil padamu." Kata Den Abimanyu. Dia menatapku dengan pandangan sayu."Maaf, Den. Aku tidak bisa kembali padamu." Suaraku tercekat di tenggorokan, menatap wajahnya yang lesu."Kenapa?""Aku lelah.""Haruskah ku buktikan padamu jika permohonanku ini serius. Sejujurnya aku tak bisa hidup tanpa kamu."Tidak kulihat senyumnya yang biasa terpancar, hanya wajah sendu dan mata yang berembun dengan buliran bening hampir menitik di kedua kelopaknya."Sudah kuputuskan, Den. Aku mundur dari pernikahan ini. Biarlah aku yang mengalah, mundur dari kehidu
Bagiku keputusan pergi dari rumah terkutuk itu adalah akhir sebuah kisah. Aku meninggalkan Den Abimanyu bukan karena tidak sayang. Hubungan ini sudah berakhir sejak lama setelah ia pergi bersama Nyonya Nadia.Kemarin ia masih bersamaku merasakan indahnya bersama mahligai cinta meski itu hanya satu malam merasakan sentuhan. Aku sudah tidak peduli dengan hatinya. Wanita berhati busuk itu sudah menguasai suamiku. Dia tidak ingin berbagi suami denganku yang derajatnya terlalu rendah sebagai babu.Disini aku dihargai layaknya seorang wanita yang sama derajatnya dengan mereka. Keluarga Saka sangat baik memperlakukanku. Merek menyambut kedatanganku bak seorang ratu."Selamat datang di istana kami, Salma," ucap wanita berparas cantik menyambut kami.Aku menoleh ke arah Saka yang tersenyum memperlihatkan lesung pipinya. Lelaki itu hanya mengangguk hormat kepada ibunya.Lantai marmer putih menjadi sak
Aku sudah mempersiapkan semuanya untuk kabur dari rumah neraka ini. Aku akan pergi membawa Arkan bayi mungil yang baru dilahirkan beberapa minggu. Menghadapi sikap Abimanyu membuatku tak sanggup bertahan lebih lama."Bu, malam ini aku akan kabur lewat jalan belakang setelah semua para pelayan tidur dan penjaga gerbang juga tidur," ucapku lirih."Apa tidak sebaiknya kamu pikirkan dulu, Nduk. Ibu tidak mau kamu tertangkap dan akan mendapat hukuman dari Nyonya Besar Kinanti."Sepasang mata sembab ku menatap wanita tua yang duduk di tepi ranjang. Aku merasa sedih karena harus meninggalkan Ibu sendiri di tempat ini. Aku tahu konsekuensinya bila kabur dari rumah ini. Jika sampai tertangkap maka hukumannya berat.Nyonya Besar Kinanti pasti tidak akan memaafkan bila ketahuan pergi dari rumah dengan membawa putra mahkota. Sudah bisa dipastikan hukuman sangat berat dan mendapat ganjaran yang setimpal.Tidak mungk
Aku tak ingin memupuk angkara, ingin lekas berpisah dari derita. Tidak ingin bertambah lagi bebannya.Membayangkan menjadi Cinderella? Pernah. Memang itulah diri ini yang beruntung dipersunting oleh lelaki yang tampan bak pangeran. Pekerjaan mapan, punya rumah dan mobil mewah juga penerus kekayaan tujuh turunan. Namun, ketika malam demi malam tersiksa sendirian dan tidur dengan kamar terpisah saat itu baru aku sadar. Aku tidak layak menjadi Cinderella layaknya putri dalam cerita.Tapi, keinginan itu bangkit kembali ketika hadirnya Arkan pangeran kecil dan dukungan dari Saka. Aku wanita tanpa kasta yang bersimpuh memohon perpisahan demi kebaikan semua. Kehadiranku di tengah rumah tangga Den Abimanyu hanya membawa malapetaka, pertengkaran dan kebencian Nyonya Nadia."Putuskan saja ikatan pernikahan ini, Den agar kalian bisa kembali seperti dulu seperti pasangan yang romantis."Pertahanan yang kumiliki selama ini
Hari ini sinar mentari begitu cerah, tepat pukul sebelas siang aku diizinkan pulang oleh pihak rumah sakit. Meski kondisi masih lemah selesai melahirkan, namun dokter sudah memberikan obat untuk mengeringkan luka bekas jahitan melahirkan.Den Abimanyu membantuku mendorong kursi roda walau aku sudah melarangnya. Lelaki itu tetap memaksa. Sepanjang derap kaki melangkah tak ada yang bicara. Baik aku maupun Ibu hanya saling diam tak banyak bicara menyusuri koridor rumah sakit.Apalagi Den Abimanyu yang menyorong kursi roda, ia hanya fokus melihat ke depan melewati beberapa pengunjung yang berlalu lalang.Saat hendak masuk ke dalam mobil Den Abimanyu menggendongku. Tak ingin menatapnya aku pun mengalihkan pandangan agar netra ini tak bertatapan. Jujur saja hati masih membenci
"Maaf, aku jadi keterusan ngobrol tentang keluargaku," ucap Saka mengembangkan senyum.Aku hanya memperhatikan lelaki itu dengan pandangan yang tak bisa diartikan. Terkadang aku ingin Den Abimanyu seperti dia perhatian dan lemah lembut, namun semuanya hanya mimpi yang tak akan pernah terwujud."Perut kamu masih sering sakit ya?" tanyanya mengalihkan pembicaraan."Iya," jawabku."Ini belum bulannya, kan?""Belum.""Tapi, aku lihat kamu sering mengeluh sakit.""Iya, padahal ini belum jadwalnya lahiran.""Mungkin Fina bisa menjelaskannya."
Tuan Besar Cokro menuntunku berjalan diatas lantai marmer berwarna hitam langkah ini seimbang dengannya. Lelaki sepuh itu terlihat bersedih kala bercerita tentang kisah hidupnya."Dulu ketika ibunya Abimanyu meninggal akulah penyebabnya. Wanita lembut itu menderita karena aku," ungkapnya dengan suara serak.Berkali-kali pria sepuh itu menghela nafas untuk mengurangi rasa sesak di dadanya. Hampir saja aku terjatuh kala kalimat itu terucap dari bibirnya yang gemetar. Wajah itu sudah basah oleh air mata."Aku sudah mengatur semua rencana agar Abimanyu bisa datang berkunjung ke tempatmu secara sembunyi-sembunyi," lanjutnya dengan air mata yang masih membasahi pipi keriput itu.Hatiku iba melihat pria pendiam itu, mungkin dia juga merasa bersalah karena kematian ibunya