Den Abimanyu dan Nyonya Nadia saling berpelukkan di belakang bangunan utama. Letaknya yang tersembunyi menjadi tempat untuk mereka berdua saling mencurahkan isi hati. Sering kali aku memergoki mereka berdua berada di sana jika kebetulan aku sedang bertugas membersihkan taman. Di hadapan mereka terhampar kebun bunga yang luas ditanami bunga mawar dan melati. Bunga kesukaan Nyonya Besar Kinanti.
Sayup-sayup aku mendengar Den Abimanyu merayu istrinya dengan seribu kata-kata manis agar membuatnya tenang. Lalu, wanita berambut pirang itu akan luluh hatinya dan merebahkan kepalanya di dada sang suami.
Sungguh nyata cinta yang mereka miliki, berbeda denganku yang hanya seorang pembantu rumah tangga. Mana mungkin Den Abimanyu akan jatuh cinta padaku. Seorang Salma hanya gadis miskin yang bekerja menjadi pembatu rumah tangga tidak mungkin akan bersanding dengan seorang tuan muda besar yang tampan, kaya serta berpendidikan tinggi. Jangankan membayangkan wajahnya menatapnya saja aku tidak berani. Manalah mungkin aku menjadi istrinya. Kedudukkanku hanyalah akan dianggap rendah di matanya.
Seperti hari ini, Nyonya Besar Kinanti memintaku memanggilnya. Dengan ragu aku menuruti perintahnya. Menolak keinginan nyonya besar sama saja bunuh diri. Meski aku enggan mendekati kedua pasangan sejoli itu, harus kulakukan karena perintah Nyonya Besar Kinanti. "Ma, maaf, Den. Nyonya besar Kinanti memanggilmu." Dalam keraguan aku memberanikan diri menyampaikan pesan Nyonya Besar Kinanti.Di ambang pintu penghubung rumah utama dan beranda itu, aku terpaku menyaksikan Nyonya Nadia menangis dalam pelukkan lelakinya. Dengan sabar dan lembut Den Abimanyu membelai rambut sang istri sembari mengatakan hal-hal yang indah membuat Nyonya Nadia tersenyum seolah melupakan masalahnya sejenak.
Dua sejoli yang tadi berpelukkan itu terperangah melihat ke datanganku. Mereka langsung melepaskan pelukkan dan melemparkan pandangan ke arahku seperti sebuah pedang tajam yang siap menghujamku.Jantungku berdegup kencang seperti sebuah gendang yang dipukul bertalu-talu. Tatapan Nyonya Nadia tak mau lepas memperhatikanku. Jika saja bukan karena perintah nyonya besar sudah pasti aku juga enggan memanggil keduanya. Kedatanganku memanggil keduanya hanyalah karena tugas dari nyonya besar saja.
Aku menahan napas kala pasangan suami istri itu berjalan melewatiku. Jelas kudengar Nyonya Nadia mencibirku dengan kata calon madu.Mungkin ia ingin menampar atau menjambakku, namun enggan ia lakukan karena akan hanya memperburuk keadaan. Ia tahu betul kalau melakukan hal rendah hanya akan menjatuhkan harga diri dan martabatnya.
Seorang Nyonya Nadia yang berpendidikan tinggi dari keluarga terhormat tidak mungkin akan berbuat serendah itu pada seorang asisten rumah tangga. Jika sampai ia berani bertindak kriminal padaku sudah pasti hukuman menanti dari Nyonya Besar Kinanti.
Sampai di ruang keluarga Nyonya Nadia dan Den Abimanyu duduk berhadapan dengan Nyonya Besar Kinanti. Tangan Nyonya Nadia merangkul suaminya seakan tidak mau jauh darinya."Besok aku akan mengirimmu keluar negeri, Nadia. Kamu akan berlibur di sana selama satu minggu tanpa suamimu," ucap Nyonya Besar Kinanti santai.Tangannya dilipat ke dada menatap menantunya.
"Kenapa, Mas Abi tidak ikut, Mami?" tanya Nyonya Nadia ragu.Pandangannya menunduk tak berani menatap wajah mertuanya.
"Abimanyu sedang ada pekerjaan penting di kantor. Kamu tidak boleh manja sebagai istri. Harus bisa belajar mandiri jika suami sedang ada urusan kerja," lanjutnya lagi.Nyonya Nadia memandang ke arah suaminya. Den Abimanyu hanya mengenggam tangannya dan mengelus dengan lembut mencoba menenangkan istrinya. Ia tahu kalau ibunya akan melaksanakan pernikahan jika Nyonya Nadia sudah dikirim ke luar negri."Tenang, Sayang. Kamu gak usah takut, aku akan segera menyusulmu jika urusan ini sudah selesai di sini," bisik Den Abimanyu lembut.
Seraya mempererat genggaman tangannya kepada sang istri.
Kata Nyonya Besar Kinanti, istri Den Abimanyu akan dikirim keluar negeri jika suasana sudah tenang.
Nyonya Besar Kinanti akan mengijinkan Den Abimanyu menyusul istrinya jika sudah menyentuhku. Menanamkan benih di rahimku lebih tepatnya. Dan yang lebih menyedihkan lagi Den Abimanyu boleh tak mendatangi kamarku jika aku sudah hamil dalam satu kali sentuhan. Menyakitkan bukan? Aku tidak boleh menolak hanya bisa menerima aturan dari Nyonya Besar Kinanti.
Wanita bermata bulat itu lantas mengeluarkan sebuah tiket dari dalam tasnya dan menyerahkannya kepada Nyonya Nadia."Ini tiket keberangkatanmu besok, Nadia. Sopir akan mengantarkanmu ke bandara tepat pukul delapan pagi. Tujuanmu adalah Belanda, aku sudah mengatur semuanya di sana termasuk tempat kamu menginap."Nyonya Besar Kinanti berkata dengan wajah serius. Den Abimanyu dan istrinya hanya menundukkan kepala tak berani menatap wajahnya. Di rumah besar ini semuanya hanya tunduk terhadap perintahnya.
Sebelum Nyonya Nadia memalingkan pandangannya, aku masih bisa melihat setetes air mata jatuh membasahi pipi mulusnya. Di sini aku berprasangka kalau Nyonya Besar Kinanti tidak main-main dengan ucapannya. Menantunya saja harus tunduk pada perintahnya, apalagi hanya aku seorang pembantu yang tidak punya kedudukkan apa-apa di keluarga ini.
"Sayang, kamu jangan sedih lagi. Aku pasti akan segera menyusulmu di Belanda," ucap Den Abimanyu lembut.Den Abimanyu merengkuh tubuh wanitanya yang hendak pergi itu. Wanita yang sudah tiga tahun mendampinginya itu hanya menangis membenamkan kepalanya di dada lelakinya dengan sedih. Nyonya Nadia menangis sesenggukan di dada suaminya. Mungkin sakit yang ia rasakan bisa terobati hanya berada di samping sang suaminya.***
Dengan tekanan dari Nyonya Besar Kinanti pernikahanku, segera dilangsungkan. Dalam hitungan detik ijab kabul dilaksanakan. Hanya dihadiri keluarga dekat dan para saksi saat acara berlangsung. Kata sah pun terucap dari dua orang saksi setelah ikrar dilaksanakan.
Pernikahanku dengan Den Abimanyu sangat rahasia dan ditutupi oleh semua pihak. Tidak ada satu penghuni rumah pun yang boleh menyebarkan berita atau buka suara. Lolos satu kata, maka dipecat dari pekerjaan menjadi taruhannya.Acara pernikahanku dilaksanakan dalam aula. Acara sakral ini hanya di dampingi Ibu yang menjadi pihak keluargaku. Meski aula ini mampu menampung banyak orang, tapi Nyonya Besar Kinanti menyembunyikan identitas pernikahan kami. Dua orang Tuan besar, Nyonya Kinanti, Tuan Cokro Widodo, sepasang pengantin, dua orang saksi dan satu penghulu duduk dalam satu lingkaran di atas permadani indah.Tidak ada pakaian pengantin atau pun pelaminan sebagia tanda selamatan pernikahan. Hanya jamuan kecil sebagai formalitas terlaksananya pernikanku dengan Den Abimanyu. Selesai akad nikah tidak ada satu pun di antara kami yang mau menikmati hidangan itu. Di atas piring porselin itu masih utuh tertata hidangan yang tadi disuguhkan.Selesai acara akad nikah Den Abimanyu meninggalkanku sendiri yang masih duduk di aula bersama Ibu. Dadaku terasa sesak sepertinya Den Abimanyu enggan menuntunku ke kamar.Lepas kepergian, Den Abimanyu suasana menjadi sepi. Tak lama kemudian Pak Penghulu juga pamit pulang. Tinggal aku dan Ibu yang masih duduk di aula sembari bertatapan. Pemilik bibir tipis itu hanya tersenyum mengelus rambutku.
"Selamat ya, Nduk. Kamu sudah resmi menjadi istri Den Abimanyu," ucapnya mengulas senyum.Aku tahu ucapan Ibu hanya menghiburku. Maafkan anakmu Ibu. Aku hanya menorehkan luka di hatimu.
Sebagai orang kecil kita tak berdaya di bawah perintah orang yang berkuasa. Hanya bisa menerima tanpa bisa menolak keinginan para penguasa yang mempunyai uang dan kedudukkan.
***Bersambung.Pak penghulu menjabat tangan Den Abimanyu. Seraya meminta Den Abimanyu untuk mengikuti kata-katanya. Menjabat tangan Pak Penghulu, lalu mengucap ijab kabul. Tidak ada yang berani mengeluarkan suara kecuali hanya fokus memandang ke arah kedua mempelai. "Saudara Abimanyu bin Cokro Widodo aku nikahkan dan kawinkan engkau dengan Salma Wulandari binti Sastro dengan mas kawin emas sebesar lima puluh gram dan seperangkat alat salat dibayar tunai." "Aku terima nikah dan kawinnya Salma binti Sastro dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." Dengan satu tarikkan napas Den Abimanyu mengucapkan ikrar ijab kabul. "Bagaimana para saksi sah?" tanya Bapak Penghulu. "Sah." Para saksi yang menyaksikan pernikahanku dengan Den Abimanyu mengucapkan Alhamdulillah. Tak jauh dariku Ibu ikut menyaksikan proses ijab kabul dengan memandangku dengan tatapan sayu. Jarak kami hanya satu hasta saja
"Salma, nanti jika Mami bertanya kepadamu katakan saja kalau aku sudah menyentuhmu," ucap Den Abimanyu. Suara beratnya menyapaku. Tanpa memandang ke arahku Den Abimanyu berkata. Dadaku serasa sesak mendengar kalimatnya barusan. Aku terduduk lemas di tepi ranjang dengan rongga yang serak. Aku tidak tahu harus bersedih atau kah bahagia karena sampai detik ini Den Abimanyu tak menyentuhku sama sekali. Pemilik alis tebal itu hanya duduk di tepi ranjang dengan jarak satu hasta. Haruskah aku perotes padanya? Ataukah memang aku yang baper karena sudah menikah dengan seorang putra konlongmerat pemilik kekayaan nomer tiga di negeri ini. Bahkan hartanya tidak akan pernah habis dalam kurun waktu tujuh turunan. Den Abimanyu sama sekali tidak menginkanku menjadi istri pengganti Nyonya Nadia, di sisinya sudah ada wanita yang selalu setia menemaninya, meski tidak bisa melahirkan garis keturunannya.
Sudah lebih tujuh hari pernikahanku berjalan dengan Den Abimanyu. Sedikit pun tidak ada tanda kalau Den Abimanyu akan meleleh hatinya. Padahal Nyonya Besar Kinanti sudah menyarankan aku untuk berdandan cetar agar terlihat cantik dan tampil seksi di hadapan Den Abimanyu. Saat akan tidur pun Nyonya Besar Kinanti memberiku hadiah gaun malam yang super tipis dan transparan. Sehingga menonjolkan bagian-bagian lekuk tubuhku. Penampilanku sudah dirubah oleh nyonya besar agar menarik perhatian Den Abimanyu. Namun, lelaki dingin itu sama sekali tak memandangku sebelah mata. Reaksinya juga masih tetap sama acuh. Terbuat dari apakah hati Den Abimanyu? Seorang laki-laki normal tak mungkin tidak tertarik pada seorang wanita bila di hadapannya menggoda dengan tarian erotis. Nyonya besar memintaku berpakaian seksi bila di dalam kamar dan lebih agresif lagi menggoda Den Abimanyu. Aku seperti wa
"Jangan lakukan hal bodoh ini hanya karena aku …." Pemilik alis tebal itu tak meneruskan kalimatnya. Ucapannya membuatku jadi berpikir penuh tanda tanya. Aku apa? Lalu, tangannya menghapus lembut jejak air mataku yang sedari tadi tak mau berhenti mengalir. Hanya saja, percuma ia hapus, kenyataannya tak mau berhenti. "Maaf," bisik Den Abimanyu lirih. Mata lelakiku kini sudah basah sama halnya denganku. Sementara, bibirnya menempel di pipiku. Jantungku ini seakan berhenti terpompa. Bahkan saluran pernapasanku pun seolah tersumbat. Aku bisa mati kalau begini, dengan cara Den Abimanyu mendekatiku. "Setelah makan, kamu minum obat dan beristirahatlah," titahnya. Kepalanya d
"Selamat pagi, Sayang. Kamu lagi masak apa?" Sapaan kata sayang dari Den Abimanyu, membuatku hampir saja menjatuhkan alat penggorengan. Jantungku seakan bertengakar di dalamnya kala tangan kekarnya melingkar di pinggangku. Mimpikah aku? Kucubit lenganku sendiri untuk memastikan ini bukan sekedar mimpi. Jika benar aku pun tak ingin cepat-cepat bangun dari tidur yang panjang. Keromantisan Den Abimanyu tidak berakhir dalam waktu semalaman saja. Lelakiku kini terlihat menyugar rambutnya yang masih basah. Berlanjut dengan kecupan lembut yang mendarat di tengkuk leherku. Kini aku menjadi wanita yang paling bahagia karena digilai seorang pria tampan, kaya raya, serta pewaris tunggal keluarga Cokro Widodo. "Den, maaf
Aku dan Den Abimanyu kembali saat matahari hampir tenggelam di arah barat. Sampai detik ini aku gak bisa berbohong lagi kalau jiwaku sudah menyatu dengan raga lelakiku. Kakiku sudah terasa ditusuk-tusuk duri. Pegal dan nyeri rasanya saat harus mengelilingi perkebunan yang luasnya tak dapat aku ukur. Aku dan Den Abimanyu berkeliling di area perkebunan sembari bergandengan tangan. Sepanjang jalan hanya ada senyum dan tawa kecil mengiringi langkah. Den Abimanyu merangkul bahuku saat berjalan menyusuri bukit setapak yang hanya pas untuk ukuran satu pejalan kaki. Lelakiku khawatir kalau aku terjatuh karena harus menyusuri jalanan kecil yang berlubang. Biasa jalan ini hanya dilalui para pekerja kebun jika ingin mengangkat hasil panen mereka akan memilih lebih bagus untuk dilewati dan lebar dari pada jalan setapak ini. Seiring langkah kaki ternyata pria beralis tebal itu
"Nduk, bangun!" suara panggilan Ibu membangunkanku dari alam mimpi. Mataku perlahan terbuka, namun kepalaku rasanya berat dan pusing. Bahkan untuk bangun saja aku malas beranjak dari tempat tidur. "Salma, buka pintunya! Nyonya Besar Kinanti sudah menunggumu di meja makan." Ibu berkata kembali sembari mengetuk pintu. Suara wanita pemilik bibir tipis itu terdengar pelan. Aku tidak bersemangat untuk bangun menemui Nyonya Besar Kinanti, Den Abimanyu dan juga Nyonya Nadia. Sedikit pun tidak ada seleraku untuk makan. Berdiam diri di dalam kamar dan tarik selimut adalah pilihan yang tepat. Sekarang aku baru menyadari kalau Nyonya Besar Kinanti, menampung kami hanya untuk mengadaikan hargai diri padanya.
Di ruangan yang luas ini lelakiku duduk berhadapan dengan ibunya. Posisinya bagai seorang terdakwa yang menunggu vonis hukuman mati. Tentu saja Nyonya Besar Kinanti harus menyelesaikan masalah kami karena dari dialah masalah ini berawal. Sekarang ini masalah yang timbul harus segera diselesaikan karena sudah muncul ke permukaan. Selama duduk di ruang bak persidangan ini aku dan juga Nyonya Nadia hanya saling diam dan menjauh dari Den Abimanyu. Jarak diantara kami terpisah oleh Nyonya Besar Kinanti dan Den Abimanyu. Netraku menatap lelakiku dengan miris, pria yang telah memberiku sentuhan itu hanya menunduk menghadap ibunya. Aku hanya memperhatikan nyonya besar dengan fokus saat duduk berhadapan dengan Den Abimanyu. Bagai terdakwa pesakitan lelakiku disidang u
"Kau akan bercerai dengan Abimanyu dan terbebas darinya. Tapi … tidak boleh membawa Arkan." Nyonya Besar Kinanti berkata dengan nada tinggi.Sudah kuduga, perempuan angkuh itu pasti tidak akan pernah melepaskan kami begitu saja. Dia akan menggunakan kekuasaan, dan uangnya untuk memenjarakanku."Maaf, Nyonya. Keputusan saya sudah bulat. Saya tidak akan kembali pada Den Abimanyu."Nyonya Besar Kinanti murka, dia langsung berdiri menatapku tajam. Wanita angkuh itu tidak terima. Aku membawa keturunan keluarga Widodo."Sudahlah, Mami. Aku sudah memutuskan untuk menceraikan Salma." Den Abimanyu menimpali."Tidak. Salma tidak mungkin bisa membesarkan Arkan dengan baik. Mau dikasih makan apa cucuku." Ibu mertua berteriak.Dadanya bergemuruh menahan amarah. Jelas di netranya terlihat berapi-api, seperti akan m
"Maafkan, aku. Gara-gara aku kamu jadi terluka seperti ini." Aku tak berani menatap wajah Saka. Lelaki jangkung itu terbaring lemah di ranjang periksa.Sudah dua hari dia tidak berdaya, terluka karena tusukan pisau. Saka terluka parah, ketika beberapa preman melukainya."Tidak apa. Cinta perlu pengorbanan."Aku terdiam. Nyaliku tidak cukup kuat untuk sekedar bertanya pada Saka. Siapakah para berandalan itu, yang sudah membuatnya terluka. Meski beberapa kata-kata ingin berdesakan keluar, namun niat ini kuurungkan."Ada apa? Kenapa kamu menatapku seperti itu?""Tidak ada. Aku hanya ….""Aku tahu apa yang ada dalam pikiranmu.""Apa?""Kamu pasti ingin tahu siapa mereka yang sudah menyerangku, bukan?"Aku bergeming. Saka menatap ke arah kaca jendela. Dia dirawat di lantai atas. Tampak pemandangan di bawah sangat indah."Siapa mereka?""Prema
Setelah kejadian mengerikan itu, Den Abimanyu meminta rujuk, namun aku menolaknya mentah-mentah. Aku menyapu pandangan ke taman bunga yang terhampar di halaman depan. Dia berdiri di sana memakai balutan jas mahal."Ayo kita pulang Salma! Aku berjanji akan berbuat adil padamu." Kata Den Abimanyu. Dia menatapku dengan pandangan sayu."Maaf, Den. Aku tidak bisa kembali padamu." Suaraku tercekat di tenggorokan, menatap wajahnya yang lesu."Kenapa?""Aku lelah.""Haruskah ku buktikan padamu jika permohonanku ini serius. Sejujurnya aku tak bisa hidup tanpa kamu."Tidak kulihat senyumnya yang biasa terpancar, hanya wajah sendu dan mata yang berembun dengan buliran bening hampir menitik di kedua kelopaknya."Sudah kuputuskan, Den. Aku mundur dari pernikahan ini. Biarlah aku yang mengalah, mundur dari kehidu
Bagiku keputusan pergi dari rumah terkutuk itu adalah akhir sebuah kisah. Aku meninggalkan Den Abimanyu bukan karena tidak sayang. Hubungan ini sudah berakhir sejak lama setelah ia pergi bersama Nyonya Nadia.Kemarin ia masih bersamaku merasakan indahnya bersama mahligai cinta meski itu hanya satu malam merasakan sentuhan. Aku sudah tidak peduli dengan hatinya. Wanita berhati busuk itu sudah menguasai suamiku. Dia tidak ingin berbagi suami denganku yang derajatnya terlalu rendah sebagai babu.Disini aku dihargai layaknya seorang wanita yang sama derajatnya dengan mereka. Keluarga Saka sangat baik memperlakukanku. Merek menyambut kedatanganku bak seorang ratu."Selamat datang di istana kami, Salma," ucap wanita berparas cantik menyambut kami.Aku menoleh ke arah Saka yang tersenyum memperlihatkan lesung pipinya. Lelaki itu hanya mengangguk hormat kepada ibunya.Lantai marmer putih menjadi sak
Aku sudah mempersiapkan semuanya untuk kabur dari rumah neraka ini. Aku akan pergi membawa Arkan bayi mungil yang baru dilahirkan beberapa minggu. Menghadapi sikap Abimanyu membuatku tak sanggup bertahan lebih lama."Bu, malam ini aku akan kabur lewat jalan belakang setelah semua para pelayan tidur dan penjaga gerbang juga tidur," ucapku lirih."Apa tidak sebaiknya kamu pikirkan dulu, Nduk. Ibu tidak mau kamu tertangkap dan akan mendapat hukuman dari Nyonya Besar Kinanti."Sepasang mata sembab ku menatap wanita tua yang duduk di tepi ranjang. Aku merasa sedih karena harus meninggalkan Ibu sendiri di tempat ini. Aku tahu konsekuensinya bila kabur dari rumah ini. Jika sampai tertangkap maka hukumannya berat.Nyonya Besar Kinanti pasti tidak akan memaafkan bila ketahuan pergi dari rumah dengan membawa putra mahkota. Sudah bisa dipastikan hukuman sangat berat dan mendapat ganjaran yang setimpal.Tidak mungk
Aku tak ingin memupuk angkara, ingin lekas berpisah dari derita. Tidak ingin bertambah lagi bebannya.Membayangkan menjadi Cinderella? Pernah. Memang itulah diri ini yang beruntung dipersunting oleh lelaki yang tampan bak pangeran. Pekerjaan mapan, punya rumah dan mobil mewah juga penerus kekayaan tujuh turunan. Namun, ketika malam demi malam tersiksa sendirian dan tidur dengan kamar terpisah saat itu baru aku sadar. Aku tidak layak menjadi Cinderella layaknya putri dalam cerita.Tapi, keinginan itu bangkit kembali ketika hadirnya Arkan pangeran kecil dan dukungan dari Saka. Aku wanita tanpa kasta yang bersimpuh memohon perpisahan demi kebaikan semua. Kehadiranku di tengah rumah tangga Den Abimanyu hanya membawa malapetaka, pertengkaran dan kebencian Nyonya Nadia."Putuskan saja ikatan pernikahan ini, Den agar kalian bisa kembali seperti dulu seperti pasangan yang romantis."Pertahanan yang kumiliki selama ini
Hari ini sinar mentari begitu cerah, tepat pukul sebelas siang aku diizinkan pulang oleh pihak rumah sakit. Meski kondisi masih lemah selesai melahirkan, namun dokter sudah memberikan obat untuk mengeringkan luka bekas jahitan melahirkan.Den Abimanyu membantuku mendorong kursi roda walau aku sudah melarangnya. Lelaki itu tetap memaksa. Sepanjang derap kaki melangkah tak ada yang bicara. Baik aku maupun Ibu hanya saling diam tak banyak bicara menyusuri koridor rumah sakit.Apalagi Den Abimanyu yang menyorong kursi roda, ia hanya fokus melihat ke depan melewati beberapa pengunjung yang berlalu lalang.Saat hendak masuk ke dalam mobil Den Abimanyu menggendongku. Tak ingin menatapnya aku pun mengalihkan pandangan agar netra ini tak bertatapan. Jujur saja hati masih membenci
"Maaf, aku jadi keterusan ngobrol tentang keluargaku," ucap Saka mengembangkan senyum.Aku hanya memperhatikan lelaki itu dengan pandangan yang tak bisa diartikan. Terkadang aku ingin Den Abimanyu seperti dia perhatian dan lemah lembut, namun semuanya hanya mimpi yang tak akan pernah terwujud."Perut kamu masih sering sakit ya?" tanyanya mengalihkan pembicaraan."Iya," jawabku."Ini belum bulannya, kan?""Belum.""Tapi, aku lihat kamu sering mengeluh sakit.""Iya, padahal ini belum jadwalnya lahiran.""Mungkin Fina bisa menjelaskannya."
Tuan Besar Cokro menuntunku berjalan diatas lantai marmer berwarna hitam langkah ini seimbang dengannya. Lelaki sepuh itu terlihat bersedih kala bercerita tentang kisah hidupnya."Dulu ketika ibunya Abimanyu meninggal akulah penyebabnya. Wanita lembut itu menderita karena aku," ungkapnya dengan suara serak.Berkali-kali pria sepuh itu menghela nafas untuk mengurangi rasa sesak di dadanya. Hampir saja aku terjatuh kala kalimat itu terucap dari bibirnya yang gemetar. Wajah itu sudah basah oleh air mata."Aku sudah mengatur semua rencana agar Abimanyu bisa datang berkunjung ke tempatmu secara sembunyi-sembunyi," lanjutnya dengan air mata yang masih membasahi pipi keriput itu.Hatiku iba melihat pria pendiam itu, mungkin dia juga merasa bersalah karena kematian ibunya