Senja memasang wajah datar melihat sosok di depannya. Sudah dua kali mereka bertemu secara tidak sengaja dan itu mulai membuat Senja merasa terganggu.
“Kenapa Pak Senja bisa ada di sini?” tanya Aya. Bisa-bisanya dia bisa bertemu dengan pasiennya di tempat umum seperti ini. Bahkan pria itu baru saja menyelamatkan nyawanya dari amukan sang abang.
“Harusnya saya yang tanya. Kenapa ribut-ribut di tempat seperti ini?” balas Senja sambil berjalan ke tempat dimana dia duduk tadi. Lalu Senja membereskan barang-barangnya yang terletak di rumput, walaupun hanya sekadar botol air minum dan tas bahu kecil.
“Eh, itu..” Aya bingung harus menjawab apa. Dia tidak mungkin menceritakan masalah psikologis abangnya pada Senja, yang masih berstatus pasiennya.
“Sudahlah. Saya juga tidak tertarik,” ucap Senja meninggalkan Aya yang masih sibuk berpikir. Dia tidak habis pikir bagaimana gadis itu bertengkar dengan abangnya di tepi danau yang dianggapnya suci ini, bila salah satu dari mereka nekad dan sampai terjadi pembunuhan, maka tempat itu akan menjadi horror. Spot favoritnya sejak dulu akan tercemar.
Melihat Senja yang sudah jauh menuju parkiran membuat Aya berlari mengejarnya. Aya heran kenapa pria itu sudah berjalan sangat jauh padahal Aya merasa dirinya baru berkedip sebentar saja, belum sampai lima menit malah. Tanpa berpikir lagi, Aya memutuskan berlari untuk mengejar pria itu karena berhutang terima kasih kepada Senja.
“Hah..Hah..” Nafas Aya ngos-ngosan setelah tiba di samping mobil Senja.
“Ada apa?” tanya Senja menurunkan kaca mobilnya. Sedikit pun tidak ada niat di hati Senja untuk menunjukkan sopan santun dengan turun dari mobil atau menawarkan gadis itu untuk menyejukkan diri sejenak di mobilnya yang ber-ac.
“Anu Pak Senja, sa.. saya, mau.. mau mengucapkan terima kasih.” Aya mengelap dahinya yang berkeringat, padahal baru berlari sebentar.
“Sama-sama. Manusia itu wajar saling menolong,” jawab Senja sekenanya. Lalu tanpa hati tangannya menekan tombol di badan pintu sehingga kaca mobilnya perlahan naik lagi. Aya hanya berdiri tanpa kata, dia tidak habis pikir. Senja terlalu dingin dan datar, padahal masih ada yang ingin dia katakan pada pria itu.
“Tu, TUNGGU!” teriak Aya untuk mencegah pria itu pergi. Lututnya sampai tersenggol karena tergesa-gesa mengikuti kepala mobil Senja yang hendak memutar.
Kaca mobil terbuka lagi dan menunjukkan wajah Senja yang sedikit kesal. Pria itu masih tetap diam di dalam mobilnya yang menyala. Walaupun sempat melihat Aya yang tadi meringis karena kakinya terkena badan mobil, Senja sepertinya tidak peduli karena Senja tetap tenang, diam di tempat.
Aya menahan nafas melihat Senja yang menunggunya dengan sabar, setidaknya itu menurut penglihatan gadis itu.
“Pak, untuk menunjukkan rasa terima kasih saya, bagaimana kalau kita sekalian makan siang? Saya tau tempat makan yang enak di sekitar sini,” tawar Aya. Masih mengatur nafasnya yang gugup, dia tidak boleh mundur mengadapi sikap dingin Senja.
Senja mengangkat alis, terlihat ingin memperjelas ajakan Aya yang mungkin salah di telingannya. “Makan siang?”
“Ya, itu jika bapak berkenan dan tidak sibuk,” jawab Aya menampilkan senyum di wajahnya.
“Bukannya para dokter yang lebih sibuk? Lagi pula saudaramu tadi memangnya tidak perlu kau urusi lagi? Kulihat kesehatan mentalnya sedikit terganggu,” ucap Senja tidak sadar diri.
Aya merasa cubitan di hatinya. Mulut Senja sepertinya tidak punya filter sedikit pun. “Hehe, abang saya memang orangnya begitu, Pak dan saya tidak sibuk hari ini,” jawab Aya.
Senja menghela nafas lalu mengangguk. Gadis yang berdiri di luar mobilnya itu keras kepala. Padahal Senja mengatakan kalimat kasar tadi agar Aya berpikir ulang tentang tawarannya dan akhirnya membatalkan karena sakit hati. Rupanya Aya lebih tangguh dari penampilannya.
Kali ke dua Aya naik ke mobil Senja dan sensasinya masih sama, mencekam, dingin dan mendebarkan. Sampai-sampai mereka makan dan pulang Aya tidak mengatakan sesuatu yang berarti. Strateginya tidak berjalan mulus. Ada tembok yang sengaja dibangun Senja untuk melindungi dirinya, termasuk masa lalu pria itu.
***
Senja geleng-geleng kepala dengan tingkah laku Aya, dokter psikiaternya itu. Gadis itu suka memaksa dan keras kepala. Energi yang dimiliki gadis itu membuat Senja teringat pada seseorang di masa lalu, seseorang yang teramat muda, bersemangat dan suka tersenyum. Senja merasakan bahwa Aya melakukan pendekatan padanya sebagai dokter dan pasien. Mungkin untuk menciptakan rasa nyaman yang memperlancar pengobatan Senja. Begitu pemikiran pria itu.
Di tengah kepadatan kota, Senja dan mobilnya tentu saja harus merasakan sensasi kemacetan. Apalagi di sore hari pekan seperti sekarang ini, tapi Senja bukanlah orang yang emosian. Dia lebih memilih untuk mengamati aktivitas di jalanan. Termasuk pada bus transjakarta yang hilir mudik di terminal untuk menurunkan lalu menaikkan penumpang. Pemandangan itu membuat Senja teringat masa lalu. Saat...
*Flashback On
Senja berjalan menuju terminal bus transjakarta seperti biasa. Situasi yang ramai ditambah lagi wajah letih membuatnya ingin segera tiba di kantor. Tapi, di tengah kerumanan para pekerja yang saling mendesak masuk ke dalam bus, Senja malah terdorong kuat. Semua terjadi begitu cepat, Enja tidak waspada. Bagai slow motion, tubuhnya perlahan melayang bersiap menyapa kerasnya bebatuan dan aspal di bawah pembawas terminal. Senja tidak melawan sama sekali, atau berniat berpegang pada benda apapun di dekatnya. Tubuhnya hanya terus bergerak seperti jarum jam.
“ASTAGA!! TAHAN PAK!!!!” teriak seseorang. Tangannya mencengkeram celana bagian belakang Enja.
“BANTUIN PAK BUK..! ADUH MALAH DILIATIN, KASIHAN BAPAKNYA INI UDAH MAU JATUH !!!”
Saat itu, untuk pertama kalinya Enja merasa ada tangan mencengkeram celananya kuat-kuat seolah pinggang sampai kakinya dipaksa untuk kembali ke posisi semula. Sementara perut sampai kepala setengah membungkuk, Enja bisa melihat tembok dan batu yang sudah bersiap membuat kepalanya pecah menjadi kecewa. Enja terkesiap, dan saat itu juga ada tangan-tangan lain yang menariknya kembali ke dalam bus yang masih belum berangkat itu.
“Bapak gak apa-apa?”
Pertanyaan singkat dari gadis SMA yang tadi menarik celana Enja mengembalikannya pada kenyataan. Gadis itu mengerut melihat tangannya yang menyodorkan air mineral dianggurkan cukup lama. Hanya ucapan terima kasih singkat yang diucapkan Enja pada gadis penolongnya itu sebelum dia menghindar ke bagian belakang bus.
*Flashback Off
Tin Tin Tin
Lamunan Senja buyar sudah. Rupanya mobil-mobil di depan pria itu sudah melaju jauh sementara Senja sibuk menghayal masa lalu.
“Woi Mas! MAJUIN GAK MOBIL LOH! JANGAN SAMPAI GUA SERET PAKAI DEREK NIH!” Salah satu pengemudi di belakang Senja berteriak. Senja kaget saat melihat dari spion, ternyata sopir urakan yang tidak sabaran itu benar-benar mengendarai mobil derek besar. Dengan gesit, Senja pun melajukan mobilnya sebelum terjadi kekacauan di sana.
Hampir seminggu berlalu dari pertemuan terakhir Aya dengan Senja. Sejak itu pula, pria bernama lengkap Senja Adikaya itu seperti menghilang. Jadwal temu dibatalkan dua kali dengan alasan kesibukan. Padahal Aya sudah mempersiapkan dirinya dengan baik. Malam hari Aya sampai rutin menggunakan masker di seluruh wajahnya agar semakin cantik bersinar.Namun sayangnya usahanya itu tidak ada hasil sama sekali. Senja tidak ada waktu untuk melihat wajahnya.“Ada apa dengan wajahmu itu, hah?” tanya Adimas.Aya yang duduk di teras rumah melihat abangnya membawa celana jeans yang robek, entah karena apa. Kening Aya berkerut sambil membetulkan duduknya menjadi tegap di kursi rotan itu.“Jahitkan celanaku,” pinta abangnya. Celana jeans tadi diletakkan di atas meja beserta kotak berisi jarum dan benang.Mengingat kejadian seminggu lalu, saat abangnya hampir mengamuk di danau, Aya kembali emosi. Aya tidak mengindahkan pemintaan Adimas. Gadis
Pasar loak adalah pasar tradisional yang menjual segala macam kebutuhan rumah tangga termasuk pakaian, makanan dan juga perabotan. Aya suka belanja ke tempat yang ramai ini karena harganya lebih murah dari pakaian di mall. Apalagi jika penjualnya cuci gudang, beuh... Aya paling senang. Dia rela desak-desakan dengan yang lain demi mendapat barang diskon yang bagus. Dan tentunya pilihan Aya tidak kalah bagusnya dengan baju-baju di mall.Tapi kini, rasa senang itu tergantikan dengan rasa was-was. Sepanjang mengekori abangnya, Aya selalu melirik kiri-kanan depan-belakang, untuk jaga-jaga siapa tahu ada musuh abangnya.“Pak, itu celananya ukuran berapa?” tanya Aya. Adimas yang mendengar Aya singgah di salah satu lapak pakaian berhenti dan mendekat.“Ukuran XL ini, Neng. Untuk siapa celananya, Neng?” tanya si bapak yang berjualan.“Ini untuk abang saya, Pak,” jawab Aya, mengambil celana itu dan meneliti mereknya. Apa
Senja hilang di balik pegunungan yang gagah, membawa serta cahaya kuning dan perlahan mengikis birunya langit. Laksana tuan bagai gelap, kepergiannya pun tidak sendiri. Ada awan berarak hitam kelabu megantar beramai-ramai.Sore itu, Senja merasa berat. Sesak di dadanya hampir melumpuhkan pikiran. Bayang-bayang gadis yang sudah terpatri lama dalam hatinya terus mengganggu. Senja tersenyum mengutuk hatinya yang masih berharap pada gadis yang sudah bahagia itu.“Kenapa lagi kau?” tanya Kenta menghampiri Senja, lelaki yang terlihat menyedihkan juga stres.“Hm.”“Ck. Kau tau kan Sey tak akan membiarkan ku tidur di rumah kalau kita sampai mabuk di tempat ini?” cibir Kenta pada Senja, sahabat karibnya sedari SMA.“Aku melihatnya lagi tadi, tertawa lepas,” ucap Senja. Lalu, dia meneguk minuman merah di tangannya.Kenta mendesah, paham maksud Senja. Selalu saja seperti ini, abang dari istrinya itu masih
“Selamat pagi, Pak Senja. Silakan duduk.” sapa Aya dengan ramah.Penampilan Senja yang mengenakan baju lebih santai dari konsultasi pertama membuatnya semakin tampan. Aya bahkan dapat mencium parfum maskulin pria itu sedari masuk ke ruangannya, perpaduan yang membuat hati Aya berdesir terpesona pada pasien yang tidak bisa melupakan cinta masa lalunya. Anehnya lagi, Senja tidak tampak seperti pasien. Dia errr bak titisan dewa menggoda di mata Aya.“Baiklah, Pak. Silakan formulir tempo hari dilengkapi dulu.” Aya menyerahkan kertas berisi beberapa pertanyaan kepada Senja. Kali ini Aya tidak akan berlari ke lemari berkasnya atau mengutak atik sesuatu di lacinya, walau ingin. Bagaimana pun, tegangan yang dibawa senja terlalu berat. Tapi, Aya ingin memberi perhatian kepada pasien, bahwa dia sungguh-sungguh perduli dengan masalah mereka. Lagi pula, Aya diam-diam merasa beruntung bisa sepuasnya memandangi wajah Senja.“Ada yang salah di waj
Sudah lima menit mereka di dalam mobil Senja dan selama itu pula mereka hanya diam. Semua pertanyaan Aya hanya tertahan dalam kepala. Keberaniannya menguap tanpa sisa kala aura dingin senja mewarnai perjalanan mereka.“Gang nomor berapa rumahmu?” tanya Senja tanpa menoleh.Aya yang tadi sibuk dengan pikirannya tersentak pelan dan melihat ke arah depan. Ternyata mereka sudah sampai di depan perumahan. “Ah nomor 10. Gang rumahku nomor 10 tepat di ujung.”“Itu rumahku,” ucap Aya beberapa saat kemudian. Menunjuk rumah minimalis yang terang benderang. Terlihat pula beberapa pria duduk di teras yang terdapat beberapa kursi rotan.“Ada pesta di rumahmu.” Bukan pertanyaan, tapi pernyataan yang disimpulkan Senja.Aya meringis, dia teringat kebiasaan abangnya yang selalu mengadakan pesta kecil-kecilan dengan teman-teman gengnya. Aya ingat pula bahwa itulah salah satu alasan yang membuatnya memilih lembur
Kenta menghampiri istrinya yang sedang duduk di atas sofa dengan wajah yang loyo. ‘Tidak biasanya seperti ini, dan tidak mungkin di masa hamil masuk lima bulan, Seya loyo karena muntah-muntah. Pasti ada yang sedang dipikirkan istrinya ini,’ batin Kenta.Kenta mendekat dan duduk di samping Seya. “Kenapa wajahmu macam kucing ditinggal kawin begitu?” cerocos Kenta seperti kebiasaannya sejak dulu. Tidak peduli apakah Seya sekarang sudah berganti status menjadi istrinya dan sedang mengandung darah daging pria itu.Seya yang merasa kesal dikatai kucing langsung mencubit perut Kenta dengan kuat.“Aww stop stop ampun, Sayang,” ringis Kenta. Dahinya berkerut serta kedua alis terangkat naik, tangannya berusaha melepaskan tangan Seya dari perutnya.“Makanya jangan sembarangan ngatain istri, ck! Buat kesal aja!” cibir Seya kesal.“Nah itu, kutanya kan tadi kenapa muka kau kesal sayang?” ucap Kenta mem
Pasar loak adalah pasar tradisional yang menjual segala macam kebutuhan rumah tangga termasuk pakaian, makanan dan juga perabotan. Aya suka belanja ke tempat yang ramai ini karena harganya lebih murah dari pakaian di mall. Apalagi jika penjualnya cuci gudang, beuh... Aya paling senang. Dia rela desak-desakan dengan yang lain demi mendapat barang diskon yang bagus. Dan tentunya pilihan Aya tidak kalah bagusnya dengan baju-baju di mall.Tapi kini, rasa senang itu tergantikan dengan rasa was-was. Sepanjang mengekori abangnya, Aya selalu melirik kiri-kanan depan-belakang, untuk jaga-jaga siapa tahu ada musuh abangnya.“Pak, itu celananya ukuran berapa?” tanya Aya. Adimas yang mendengar Aya singgah di salah satu lapak pakaian berhenti dan mendekat.“Ukuran XL ini, Neng. Untuk siapa celananya, Neng?” tanya si bapak yang berjualan.“Ini untuk abang saya, Pak,” jawab Aya, mengambil celana itu dan meneliti mereknya. Apa
Hampir seminggu berlalu dari pertemuan terakhir Aya dengan Senja. Sejak itu pula, pria bernama lengkap Senja Adikaya itu seperti menghilang. Jadwal temu dibatalkan dua kali dengan alasan kesibukan. Padahal Aya sudah mempersiapkan dirinya dengan baik. Malam hari Aya sampai rutin menggunakan masker di seluruh wajahnya agar semakin cantik bersinar.Namun sayangnya usahanya itu tidak ada hasil sama sekali. Senja tidak ada waktu untuk melihat wajahnya.“Ada apa dengan wajahmu itu, hah?” tanya Adimas.Aya yang duduk di teras rumah melihat abangnya membawa celana jeans yang robek, entah karena apa. Kening Aya berkerut sambil membetulkan duduknya menjadi tegap di kursi rotan itu.“Jahitkan celanaku,” pinta abangnya. Celana jeans tadi diletakkan di atas meja beserta kotak berisi jarum dan benang.Mengingat kejadian seminggu lalu, saat abangnya hampir mengamuk di danau, Aya kembali emosi. Aya tidak mengindahkan pemintaan Adimas. Gadis
Senja memasang wajah datar melihat sosok di depannya. Sudah dua kali mereka bertemu secara tidak sengaja dan itu mulai membuat Senja merasa terganggu.“Kenapa Pak Senja bisa ada di sini?” tanya Aya. Bisa-bisanya dia bisa bertemu dengan pasiennya di tempat umum seperti ini. Bahkan pria itu baru saja menyelamatkan nyawanya dari amukan sang abang.“Harusnya saya yang tanya. Kenapa ribut-ribut di tempat seperti ini?” balas Senja sambil berjalan ke tempat dimana dia duduk tadi. Lalu Senja membereskan barang-barangnya yang terletak di rumput, walaupun hanya sekadar botol air minum dan tas bahu kecil.“Eh, itu..” Aya bingung harus menjawab apa. Dia tidak mungkin menceritakan masalah psikologis abangnya pada Senja, yang masih berstatus pasiennya.“Sudahlah. Saya juga tidak tertarik,” ucap Senja meninggalkan Aya yang masih sibuk berpikir. Dia tidak habis pikir bagaimana gadis itu bertengkar dengan abangnya di tepi da
Kenta menghampiri istrinya yang sedang duduk di atas sofa dengan wajah yang loyo. ‘Tidak biasanya seperti ini, dan tidak mungkin di masa hamil masuk lima bulan, Seya loyo karena muntah-muntah. Pasti ada yang sedang dipikirkan istrinya ini,’ batin Kenta.Kenta mendekat dan duduk di samping Seya. “Kenapa wajahmu macam kucing ditinggal kawin begitu?” cerocos Kenta seperti kebiasaannya sejak dulu. Tidak peduli apakah Seya sekarang sudah berganti status menjadi istrinya dan sedang mengandung darah daging pria itu.Seya yang merasa kesal dikatai kucing langsung mencubit perut Kenta dengan kuat.“Aww stop stop ampun, Sayang,” ringis Kenta. Dahinya berkerut serta kedua alis terangkat naik, tangannya berusaha melepaskan tangan Seya dari perutnya.“Makanya jangan sembarangan ngatain istri, ck! Buat kesal aja!” cibir Seya kesal.“Nah itu, kutanya kan tadi kenapa muka kau kesal sayang?” ucap Kenta mem
Sudah lima menit mereka di dalam mobil Senja dan selama itu pula mereka hanya diam. Semua pertanyaan Aya hanya tertahan dalam kepala. Keberaniannya menguap tanpa sisa kala aura dingin senja mewarnai perjalanan mereka.“Gang nomor berapa rumahmu?” tanya Senja tanpa menoleh.Aya yang tadi sibuk dengan pikirannya tersentak pelan dan melihat ke arah depan. Ternyata mereka sudah sampai di depan perumahan. “Ah nomor 10. Gang rumahku nomor 10 tepat di ujung.”“Itu rumahku,” ucap Aya beberapa saat kemudian. Menunjuk rumah minimalis yang terang benderang. Terlihat pula beberapa pria duduk di teras yang terdapat beberapa kursi rotan.“Ada pesta di rumahmu.” Bukan pertanyaan, tapi pernyataan yang disimpulkan Senja.Aya meringis, dia teringat kebiasaan abangnya yang selalu mengadakan pesta kecil-kecilan dengan teman-teman gengnya. Aya ingat pula bahwa itulah salah satu alasan yang membuatnya memilih lembur
“Selamat pagi, Pak Senja. Silakan duduk.” sapa Aya dengan ramah.Penampilan Senja yang mengenakan baju lebih santai dari konsultasi pertama membuatnya semakin tampan. Aya bahkan dapat mencium parfum maskulin pria itu sedari masuk ke ruangannya, perpaduan yang membuat hati Aya berdesir terpesona pada pasien yang tidak bisa melupakan cinta masa lalunya. Anehnya lagi, Senja tidak tampak seperti pasien. Dia errr bak titisan dewa menggoda di mata Aya.“Baiklah, Pak. Silakan formulir tempo hari dilengkapi dulu.” Aya menyerahkan kertas berisi beberapa pertanyaan kepada Senja. Kali ini Aya tidak akan berlari ke lemari berkasnya atau mengutak atik sesuatu di lacinya, walau ingin. Bagaimana pun, tegangan yang dibawa senja terlalu berat. Tapi, Aya ingin memberi perhatian kepada pasien, bahwa dia sungguh-sungguh perduli dengan masalah mereka. Lagi pula, Aya diam-diam merasa beruntung bisa sepuasnya memandangi wajah Senja.“Ada yang salah di waj
Senja hilang di balik pegunungan yang gagah, membawa serta cahaya kuning dan perlahan mengikis birunya langit. Laksana tuan bagai gelap, kepergiannya pun tidak sendiri. Ada awan berarak hitam kelabu megantar beramai-ramai.Sore itu, Senja merasa berat. Sesak di dadanya hampir melumpuhkan pikiran. Bayang-bayang gadis yang sudah terpatri lama dalam hatinya terus mengganggu. Senja tersenyum mengutuk hatinya yang masih berharap pada gadis yang sudah bahagia itu.“Kenapa lagi kau?” tanya Kenta menghampiri Senja, lelaki yang terlihat menyedihkan juga stres.“Hm.”“Ck. Kau tau kan Sey tak akan membiarkan ku tidur di rumah kalau kita sampai mabuk di tempat ini?” cibir Kenta pada Senja, sahabat karibnya sedari SMA.“Aku melihatnya lagi tadi, tertawa lepas,” ucap Senja. Lalu, dia meneguk minuman merah di tangannya.Kenta mendesah, paham maksud Senja. Selalu saja seperti ini, abang dari istrinya itu masih