“Selamat pagi, Pak Senja. Silakan duduk.” sapa Aya dengan ramah.
Penampilan Senja yang mengenakan baju lebih santai dari konsultasi pertama membuatnya semakin tampan. Aya bahkan dapat mencium parfum maskulin pria itu sedari masuk ke ruangannya, perpaduan yang membuat hati Aya berdesir terpesona pada pasien yang tidak bisa melupakan cinta masa lalunya. Anehnya lagi, Senja tidak tampak seperti pasien. Dia errr bak titisan dewa menggoda di mata Aya.
“Baiklah, Pak. Silakan formulir tempo hari dilengkapi dulu.” Aya menyerahkan kertas berisi beberapa pertanyaan kepada Senja. Kali ini Aya tidak akan berlari ke lemari berkasnya atau mengutak atik sesuatu di lacinya, walau ingin. Bagaimana pun, tegangan yang dibawa senja terlalu berat. Tapi, Aya ingin memberi perhatian kepada pasien, bahwa dia sungguh-sungguh perduli dengan masalah mereka. Lagi pula, Aya diam-diam merasa beruntung bisa sepuasnya memandangi wajah Senja.
“Ada yang salah di wajah saya?”
Aya tersentak pelan, tidak sadar lamunannya sudah sampai ke Antartika. Dia tidak sadar Senja sudah selesai mengisi formulir yang dia berikan. Aya menahan malu, meraih kertas itu dan membacanya. Kening Aya tertaut.
“Baiklah Pak Senja, pengobatan akan kita mulai. Sebelumnya, bapak bisa menceritakan masalah bapak kepada saya tanpa khawatir karena data-data pasien tidak akan dibocorkan kepada siapa pun. Semakin detail masalahnya, maka semakin mudah bagi saya untuk mengatasinya.”
Aya melihat wajah Senja yang datar tanpa ekspresi. “Pak Senja juga bisa mengatakan jika ada rasa tidak nyaman dengan pertanyaan yang saya ajukan. Oh, dan lagi tidak usah terlalu formal agar lebih nyaman.”
Senja mengangguk samar, membuat Aya lebih rileks.
“Apakah bisa diceritakan awal dari penyebab gangguan kepribadian dan depresi yang dirasakan?”
“Saat itu saya, maksudku.. aku bertemu seorang gadis yang ceria. Dia menolongku. Aku menyukainya. Kami berpacaran, tapi akhirnya kami berpisah karena keegoisanku. Aku tidak bisa melupakannya sampai saat ini.”
Aya berkedip lama mendengar ringkasan cerita hidup Senja yang hanya lima kalimat itu. Dia sudah menduga hal semacam ini akan terjadi. Pria seperti Senja tidak akan mau terbuka padanya begitu saja. Tadinya Aya mengharapkan sebuah cerita ringkas, tentunya tidak seringkas tadi. Tapi, apa daya Aya akan terus bertanya agar dia mendapat titik terang masalah pasiennya ini.
“Bagaimana kalian bertemu?”
“Saat itu dia datang ke rumah kami.”
“Apakah kau mengundangnya datang ke rumah?”
“Tidak. Dia datang bersama adikku.”
“Apakah gadis itu adalah teman adikmu?” Senja mengangguk.
“Ah, bagaimana cara gadis itu menolongmu saat itu?” tanya Aya ketika mengingat penjelasan Senja di awal tadi.
“Aku hampir jatuh dari tangga bus. Dia menarik tanganku.”
Aya membolak balik formulir yang sudah di isi Senja. Semua pertanyaan hanya dijawab dengan singkat. Hampir tidak ada informasi tambahan selain data di formulir awal. Waktu temu bahkan tidak sampai 40 menit dan Aya belum tau detail masalahnya, karena Senja tiba-tiba pergi karena ada urusan di kantornya. Aya menghela nafas, sepertinya pasien kali ini akan susah ditangani.
“Apa aku perlu minta bantuan?” gumam Aya.
***
Senja duduk di ruang makan, bermain dengan ponselnya dengan raut wajah datar. Saat ini Senja sedang memenuhi kewajibannya sebagai keluarga, abang dan abang ipar dengan mengikuti makan malam rutin di rumah Kenta dan istrinya Seya.
"Tak kusangka kau ikuti saranku, Sen!” ucap Kenta sambil meletakkan sup ayam di atas meja makan. Senja hanya melirik Kenta sambil melihat meja yang hampir penuh dengan berbagai makanan. Kebiasaan mubajir orang kaya.
“Kent, bawa lagi yang ini!” sahut Seya dari dapur. Kenta yang tadi sudah duduk di kursi berdiri lagi dan pergi ke dapur.
“Untung istriku baik, Sen. Kau bisa perbaikan gizi terus di rumah ini walau hanya sekali seminggu.” Kenta meletakkan kerupuk dan juga jus jeruk di atas meja. Saat ini tidak ada lagi celah tersisa di meja, bahkan untuk sekedar meletakkan ponsel.
“Bang, kenapa dari tadi main ponsel terus? Ambil jusnya cepat tuang, kau pikir aku tidak tau dari tadi kau hanya melamun saja? Ck sama sekali tidak membantu,” celoteh Seya kepada Senja.
Senja menghela nafas. Tangannya meraih jus di tengah meja lalu menuangnya ke dalam tiga gelas.
“Tambah satu gelas lagi, Bang. Ada tamu hari ini.”
“Siapa?” tanya Senja. Malam minggu begini biasanya hanya Senja yang diundang makan malam oleh adik dan adik iparnya.
Ting Tong
“Nah, itu orangnya sudah sampai, Bang. Sebentar, Seya bukakan dulu pintunya.” Aya langsung melesat untuk membuka pintu depan.
Senja bisa melihat Aya berjalan bersama Seya menuju meja makan. Penampilan Aya berbeda dengan gayanya saat di rumah sakit. Tanpa kaca mata dan rambut yang dilepas. Jika saja tidak melihat tahi lalat cukup besar di bawah matanya itu, Senja mungkin saja tidak akan tau jika gadis itu adalah Aya, si dokter psikiater.
“Woi, gimana si Aya? Kau gak demen gitu sama dia?” bisik Kenta. Sementara Senja hanya diam dengan wajah datarnya.
“Nah, karena dokter Aya sudah sampai kita mulai makan malamnya. Bang, pimpin doa, ya,” pinta Seya.
“Jadi, gimana Yak? Abang iparku ini gak ngerepotin kau kan?” tanya Kenta membuka pembicaraan ditengah makan malam mereka.
“Gak usah pencitraan panggil abang ipar, biasa juga panggil hoi, kau atau bajingan,”cibir Senja.
“Hush, Bang. Jangan bilang kata yang gak baik. Nanti bayiku ketularan, ck.” Seya protes pada kebiasaan Senja. Sementara Aya tersenyum melihat interaksi keluarga itu.
“Aya ini masih terhitung sepupu jauhku, Sen. Ngapain pula pencitraan. Dia udah tau sifatku,” Aya mengangguk dan tersenyum. Selama makan malam, Senja hanya banyak diam sedangkan Kenta, Seya dan Aya sebaliknya.
“Gimana si Aya, kau nyaman konsultasi ke dia?” tanya Kenta saat dia dan Senja sedang mencuci piring di dapur. Pembagian tugas yang dibuat Seya pada mereka berdua. Seya bagian masak dan mereka berdua bagian cuci piring.
“Dokter yang kau rekomendasikan adalah sepupumu. Ternyata kau terlalu melebih-lebihkan kualitasnya.”
“Woi, gitu-gitu sepupuku itu memang dokter psikiater terbaik di kota ini. Dan dia bisa membantumu,” bela Kenta tidak terima.
“Kau tau Sen, si Aya itu baru pulang dari luar negeri dua tahun lalu dan dia langsung meraih gelar dokter psikiater berbakat serumah sakit tempatnya kerja. Banyaklah masalah yang berhasil dia tangani, Sen. Apalagi masalahmu itu, kecil lah untuk dia.”
“Dia mengacau di hari pertama. Ini tidak akan berhasil," bantah Senja. Dia memang masih meragukan Aya.
“Lah? Justru karena itu, kau harus bekerja sama dengannya. Percayalah padanya," ucap Kenta meyakinkan Senja.
Sementara pria itu hanya diam, Senja menggosok piring-piring dengan cepat, lalu meninggalkan Kenta sendirian membilas piring-piring itu.
“Bang, kebetulan. Ini sudah malam, kau antar Aya pulang ya. Rumahnya searah dengan apartemenmu.” Senja mengerutkan dahi, menyimpan kesal namun tetap menurut pada Seya.
Sudah lima menit mereka di dalam mobil Senja dan selama itu pula mereka hanya diam. Semua pertanyaan Aya hanya tertahan dalam kepala. Keberaniannya menguap tanpa sisa kala aura dingin senja mewarnai perjalanan mereka.“Gang nomor berapa rumahmu?” tanya Senja tanpa menoleh.Aya yang tadi sibuk dengan pikirannya tersentak pelan dan melihat ke arah depan. Ternyata mereka sudah sampai di depan perumahan. “Ah nomor 10. Gang rumahku nomor 10 tepat di ujung.”“Itu rumahku,” ucap Aya beberapa saat kemudian. Menunjuk rumah minimalis yang terang benderang. Terlihat pula beberapa pria duduk di teras yang terdapat beberapa kursi rotan.“Ada pesta di rumahmu.” Bukan pertanyaan, tapi pernyataan yang disimpulkan Senja.Aya meringis, dia teringat kebiasaan abangnya yang selalu mengadakan pesta kecil-kecilan dengan teman-teman gengnya. Aya ingat pula bahwa itulah salah satu alasan yang membuatnya memilih lembur
Kenta menghampiri istrinya yang sedang duduk di atas sofa dengan wajah yang loyo. ‘Tidak biasanya seperti ini, dan tidak mungkin di masa hamil masuk lima bulan, Seya loyo karena muntah-muntah. Pasti ada yang sedang dipikirkan istrinya ini,’ batin Kenta.Kenta mendekat dan duduk di samping Seya. “Kenapa wajahmu macam kucing ditinggal kawin begitu?” cerocos Kenta seperti kebiasaannya sejak dulu. Tidak peduli apakah Seya sekarang sudah berganti status menjadi istrinya dan sedang mengandung darah daging pria itu.Seya yang merasa kesal dikatai kucing langsung mencubit perut Kenta dengan kuat.“Aww stop stop ampun, Sayang,” ringis Kenta. Dahinya berkerut serta kedua alis terangkat naik, tangannya berusaha melepaskan tangan Seya dari perutnya.“Makanya jangan sembarangan ngatain istri, ck! Buat kesal aja!” cibir Seya kesal.“Nah itu, kutanya kan tadi kenapa muka kau kesal sayang?” ucap Kenta mem
Senja memasang wajah datar melihat sosok di depannya. Sudah dua kali mereka bertemu secara tidak sengaja dan itu mulai membuat Senja merasa terganggu.“Kenapa Pak Senja bisa ada di sini?” tanya Aya. Bisa-bisanya dia bisa bertemu dengan pasiennya di tempat umum seperti ini. Bahkan pria itu baru saja menyelamatkan nyawanya dari amukan sang abang.“Harusnya saya yang tanya. Kenapa ribut-ribut di tempat seperti ini?” balas Senja sambil berjalan ke tempat dimana dia duduk tadi. Lalu Senja membereskan barang-barangnya yang terletak di rumput, walaupun hanya sekadar botol air minum dan tas bahu kecil.“Eh, itu..” Aya bingung harus menjawab apa. Dia tidak mungkin menceritakan masalah psikologis abangnya pada Senja, yang masih berstatus pasiennya.“Sudahlah. Saya juga tidak tertarik,” ucap Senja meninggalkan Aya yang masih sibuk berpikir. Dia tidak habis pikir bagaimana gadis itu bertengkar dengan abangnya di tepi da
Hampir seminggu berlalu dari pertemuan terakhir Aya dengan Senja. Sejak itu pula, pria bernama lengkap Senja Adikaya itu seperti menghilang. Jadwal temu dibatalkan dua kali dengan alasan kesibukan. Padahal Aya sudah mempersiapkan dirinya dengan baik. Malam hari Aya sampai rutin menggunakan masker di seluruh wajahnya agar semakin cantik bersinar.Namun sayangnya usahanya itu tidak ada hasil sama sekali. Senja tidak ada waktu untuk melihat wajahnya.“Ada apa dengan wajahmu itu, hah?” tanya Adimas.Aya yang duduk di teras rumah melihat abangnya membawa celana jeans yang robek, entah karena apa. Kening Aya berkerut sambil membetulkan duduknya menjadi tegap di kursi rotan itu.“Jahitkan celanaku,” pinta abangnya. Celana jeans tadi diletakkan di atas meja beserta kotak berisi jarum dan benang.Mengingat kejadian seminggu lalu, saat abangnya hampir mengamuk di danau, Aya kembali emosi. Aya tidak mengindahkan pemintaan Adimas. Gadis
Pasar loak adalah pasar tradisional yang menjual segala macam kebutuhan rumah tangga termasuk pakaian, makanan dan juga perabotan. Aya suka belanja ke tempat yang ramai ini karena harganya lebih murah dari pakaian di mall. Apalagi jika penjualnya cuci gudang, beuh... Aya paling senang. Dia rela desak-desakan dengan yang lain demi mendapat barang diskon yang bagus. Dan tentunya pilihan Aya tidak kalah bagusnya dengan baju-baju di mall.Tapi kini, rasa senang itu tergantikan dengan rasa was-was. Sepanjang mengekori abangnya, Aya selalu melirik kiri-kanan depan-belakang, untuk jaga-jaga siapa tahu ada musuh abangnya.“Pak, itu celananya ukuran berapa?” tanya Aya. Adimas yang mendengar Aya singgah di salah satu lapak pakaian berhenti dan mendekat.“Ukuran XL ini, Neng. Untuk siapa celananya, Neng?” tanya si bapak yang berjualan.“Ini untuk abang saya, Pak,” jawab Aya, mengambil celana itu dan meneliti mereknya. Apa
Senja hilang di balik pegunungan yang gagah, membawa serta cahaya kuning dan perlahan mengikis birunya langit. Laksana tuan bagai gelap, kepergiannya pun tidak sendiri. Ada awan berarak hitam kelabu megantar beramai-ramai.Sore itu, Senja merasa berat. Sesak di dadanya hampir melumpuhkan pikiran. Bayang-bayang gadis yang sudah terpatri lama dalam hatinya terus mengganggu. Senja tersenyum mengutuk hatinya yang masih berharap pada gadis yang sudah bahagia itu.“Kenapa lagi kau?” tanya Kenta menghampiri Senja, lelaki yang terlihat menyedihkan juga stres.“Hm.”“Ck. Kau tau kan Sey tak akan membiarkan ku tidur di rumah kalau kita sampai mabuk di tempat ini?” cibir Kenta pada Senja, sahabat karibnya sedari SMA.“Aku melihatnya lagi tadi, tertawa lepas,” ucap Senja. Lalu, dia meneguk minuman merah di tangannya.Kenta mendesah, paham maksud Senja. Selalu saja seperti ini, abang dari istrinya itu masih
Pasar loak adalah pasar tradisional yang menjual segala macam kebutuhan rumah tangga termasuk pakaian, makanan dan juga perabotan. Aya suka belanja ke tempat yang ramai ini karena harganya lebih murah dari pakaian di mall. Apalagi jika penjualnya cuci gudang, beuh... Aya paling senang. Dia rela desak-desakan dengan yang lain demi mendapat barang diskon yang bagus. Dan tentunya pilihan Aya tidak kalah bagusnya dengan baju-baju di mall.Tapi kini, rasa senang itu tergantikan dengan rasa was-was. Sepanjang mengekori abangnya, Aya selalu melirik kiri-kanan depan-belakang, untuk jaga-jaga siapa tahu ada musuh abangnya.“Pak, itu celananya ukuran berapa?” tanya Aya. Adimas yang mendengar Aya singgah di salah satu lapak pakaian berhenti dan mendekat.“Ukuran XL ini, Neng. Untuk siapa celananya, Neng?” tanya si bapak yang berjualan.“Ini untuk abang saya, Pak,” jawab Aya, mengambil celana itu dan meneliti mereknya. Apa
Hampir seminggu berlalu dari pertemuan terakhir Aya dengan Senja. Sejak itu pula, pria bernama lengkap Senja Adikaya itu seperti menghilang. Jadwal temu dibatalkan dua kali dengan alasan kesibukan. Padahal Aya sudah mempersiapkan dirinya dengan baik. Malam hari Aya sampai rutin menggunakan masker di seluruh wajahnya agar semakin cantik bersinar.Namun sayangnya usahanya itu tidak ada hasil sama sekali. Senja tidak ada waktu untuk melihat wajahnya.“Ada apa dengan wajahmu itu, hah?” tanya Adimas.Aya yang duduk di teras rumah melihat abangnya membawa celana jeans yang robek, entah karena apa. Kening Aya berkerut sambil membetulkan duduknya menjadi tegap di kursi rotan itu.“Jahitkan celanaku,” pinta abangnya. Celana jeans tadi diletakkan di atas meja beserta kotak berisi jarum dan benang.Mengingat kejadian seminggu lalu, saat abangnya hampir mengamuk di danau, Aya kembali emosi. Aya tidak mengindahkan pemintaan Adimas. Gadis
Senja memasang wajah datar melihat sosok di depannya. Sudah dua kali mereka bertemu secara tidak sengaja dan itu mulai membuat Senja merasa terganggu.“Kenapa Pak Senja bisa ada di sini?” tanya Aya. Bisa-bisanya dia bisa bertemu dengan pasiennya di tempat umum seperti ini. Bahkan pria itu baru saja menyelamatkan nyawanya dari amukan sang abang.“Harusnya saya yang tanya. Kenapa ribut-ribut di tempat seperti ini?” balas Senja sambil berjalan ke tempat dimana dia duduk tadi. Lalu Senja membereskan barang-barangnya yang terletak di rumput, walaupun hanya sekadar botol air minum dan tas bahu kecil.“Eh, itu..” Aya bingung harus menjawab apa. Dia tidak mungkin menceritakan masalah psikologis abangnya pada Senja, yang masih berstatus pasiennya.“Sudahlah. Saya juga tidak tertarik,” ucap Senja meninggalkan Aya yang masih sibuk berpikir. Dia tidak habis pikir bagaimana gadis itu bertengkar dengan abangnya di tepi da
Kenta menghampiri istrinya yang sedang duduk di atas sofa dengan wajah yang loyo. ‘Tidak biasanya seperti ini, dan tidak mungkin di masa hamil masuk lima bulan, Seya loyo karena muntah-muntah. Pasti ada yang sedang dipikirkan istrinya ini,’ batin Kenta.Kenta mendekat dan duduk di samping Seya. “Kenapa wajahmu macam kucing ditinggal kawin begitu?” cerocos Kenta seperti kebiasaannya sejak dulu. Tidak peduli apakah Seya sekarang sudah berganti status menjadi istrinya dan sedang mengandung darah daging pria itu.Seya yang merasa kesal dikatai kucing langsung mencubit perut Kenta dengan kuat.“Aww stop stop ampun, Sayang,” ringis Kenta. Dahinya berkerut serta kedua alis terangkat naik, tangannya berusaha melepaskan tangan Seya dari perutnya.“Makanya jangan sembarangan ngatain istri, ck! Buat kesal aja!” cibir Seya kesal.“Nah itu, kutanya kan tadi kenapa muka kau kesal sayang?” ucap Kenta mem
Sudah lima menit mereka di dalam mobil Senja dan selama itu pula mereka hanya diam. Semua pertanyaan Aya hanya tertahan dalam kepala. Keberaniannya menguap tanpa sisa kala aura dingin senja mewarnai perjalanan mereka.“Gang nomor berapa rumahmu?” tanya Senja tanpa menoleh.Aya yang tadi sibuk dengan pikirannya tersentak pelan dan melihat ke arah depan. Ternyata mereka sudah sampai di depan perumahan. “Ah nomor 10. Gang rumahku nomor 10 tepat di ujung.”“Itu rumahku,” ucap Aya beberapa saat kemudian. Menunjuk rumah minimalis yang terang benderang. Terlihat pula beberapa pria duduk di teras yang terdapat beberapa kursi rotan.“Ada pesta di rumahmu.” Bukan pertanyaan, tapi pernyataan yang disimpulkan Senja.Aya meringis, dia teringat kebiasaan abangnya yang selalu mengadakan pesta kecil-kecilan dengan teman-teman gengnya. Aya ingat pula bahwa itulah salah satu alasan yang membuatnya memilih lembur
“Selamat pagi, Pak Senja. Silakan duduk.” sapa Aya dengan ramah.Penampilan Senja yang mengenakan baju lebih santai dari konsultasi pertama membuatnya semakin tampan. Aya bahkan dapat mencium parfum maskulin pria itu sedari masuk ke ruangannya, perpaduan yang membuat hati Aya berdesir terpesona pada pasien yang tidak bisa melupakan cinta masa lalunya. Anehnya lagi, Senja tidak tampak seperti pasien. Dia errr bak titisan dewa menggoda di mata Aya.“Baiklah, Pak. Silakan formulir tempo hari dilengkapi dulu.” Aya menyerahkan kertas berisi beberapa pertanyaan kepada Senja. Kali ini Aya tidak akan berlari ke lemari berkasnya atau mengutak atik sesuatu di lacinya, walau ingin. Bagaimana pun, tegangan yang dibawa senja terlalu berat. Tapi, Aya ingin memberi perhatian kepada pasien, bahwa dia sungguh-sungguh perduli dengan masalah mereka. Lagi pula, Aya diam-diam merasa beruntung bisa sepuasnya memandangi wajah Senja.“Ada yang salah di waj
Senja hilang di balik pegunungan yang gagah, membawa serta cahaya kuning dan perlahan mengikis birunya langit. Laksana tuan bagai gelap, kepergiannya pun tidak sendiri. Ada awan berarak hitam kelabu megantar beramai-ramai.Sore itu, Senja merasa berat. Sesak di dadanya hampir melumpuhkan pikiran. Bayang-bayang gadis yang sudah terpatri lama dalam hatinya terus mengganggu. Senja tersenyum mengutuk hatinya yang masih berharap pada gadis yang sudah bahagia itu.“Kenapa lagi kau?” tanya Kenta menghampiri Senja, lelaki yang terlihat menyedihkan juga stres.“Hm.”“Ck. Kau tau kan Sey tak akan membiarkan ku tidur di rumah kalau kita sampai mabuk di tempat ini?” cibir Kenta pada Senja, sahabat karibnya sedari SMA.“Aku melihatnya lagi tadi, tertawa lepas,” ucap Senja. Lalu, dia meneguk minuman merah di tangannya.Kenta mendesah, paham maksud Senja. Selalu saja seperti ini, abang dari istrinya itu masih