Kenta menghampiri istrinya yang sedang duduk di atas sofa dengan wajah yang loyo. ‘Tidak biasanya seperti ini, dan tidak mungkin di masa hamil masuk lima bulan, Seya loyo karena muntah-muntah. Pasti ada yang sedang dipikirkan istrinya ini,’ batin Kenta.
Kenta mendekat dan duduk di samping Seya. “Kenapa wajahmu macam kucing ditinggal kawin begitu?” cerocos Kenta seperti kebiasaannya sejak dulu. Tidak peduli apakah Seya sekarang sudah berganti status menjadi istrinya dan sedang mengandung darah daging pria itu.
Seya yang merasa kesal dikatai kucing langsung mencubit perut Kenta dengan kuat.
“Aww stop stop ampun, Sayang,” ringis Kenta. Dahinya berkerut serta kedua alis terangkat naik, tangannya berusaha melepaskan tangan Seya dari perutnya.
“Makanya jangan sembarangan ngatain istri, ck! Buat kesal aja!” cibir Seya kesal.
“Nah itu, kutanya kan tadi kenapa muka kau kesal sayang?” ucap Kenta membela dirinya. Seya menjadi murung.
“Kent, kenapa ya tadi pas aku gak sengaja bahas masa lalu, Kemuning tiba-tiba diam trus dia langsung pamit katanya ponakannya mau datang ke rumahnya. Padahal tadi jelas dia bilang gak ada acara sama sekali.”
Kenta sekarang mengerti kenapa Seya tiba-tiba jadi loyo, ternyata diakibatkan oleh sababatnya yang jauh di sana. “Kan mereka pisah itu gak baik-baik dulu. Jadi masih sensitif lah, abangmu juga masih terus menggalau kalau gak sengaja bertemu dia,” jelas Kenta. Kali ini pria itu memijit pundak istrinya yang sering lelah semejak kehamilannya.
“Ahh, andai mereka tidak terlalu keras kepala, saat ini pasti kami sedang mengalami fase yang sama.” Seya mulai menghayal dirinya bersama sabahatnya itu sama-sama sedang hamil sehingga Seya tidak perlu kesepian atau menahan keinginan cerita tentang sakit pinggang yang sangat mengganggunya.
Kenta menatap wajah istrinya sendu. Jelas dia tau apa yang dikatakan istrinya, karena dulu mereka berada di lingkar pertemanan yang sama.
Kenta adalah saksi bagaimana cinta membuat seseorang berubah menjadi terlalu senang, berubah dan buta di saat bersamaan. Jauh dalam lubuk harinya, Kenta juga berharap hal yang sama. Dia ingin Senja bahagia, mengejar hidup dan mimpinya.
“Sudahlah, sebaiknya sekarang kau jaga pikiran dulu. Jangan terlalu stres memikirkan urusan mereka. Lagian jika mereka memang jodoh, akan bertemu juga,” ucap Kenta menenangkan Seya. Perkataan yang membuat Seya itu semakin merasa kesal karena Nada Kenta yang terdengar tidak peduli.
***
Saat ini Senja berada di apartemennya seorang diri. Pria itu hanya duduk diam di kamar, di meja kerjanya tepat di depan kaca apartemen yang membentang dari lantai sampai langit-langit kamar. Senja menyesap kopi yang masih hangat. Sejujurnya dia tidak tau akan melakukan apa di akhir pekan seperti ini.
Setelah berpikir cukup lama, hingga matahari sudah tinggi, Senja memutuskan untuk berjalan-jalan di taman dekat danau. Dia perlu menyegarkan ingatan tentang kenangan dulu. Bagaimana lagi, kerinduan Senja sudah mirip baja berkarat.
“Tidak ada yang berubah,” gumam Senja seperti sudah lama tidak melihat tempat itu. Padahal setiap hari Senja melintas dari jalan sekitar danau jika hendak ke kantor. Hanya saja, sangat jarang baginya untuk duduk di atas dataran lumayan tinggi seperti ini untuk mengamati pemandangan dengan tenang. Dari lapangan rumput tempatnya duduk, Senja bisa melihat keramaian di sekitar danau. Mulai dari orang yang lari pagi, jalan-jalan sampai selfie-selfie. Semua ada di sana.
Senja juga dulu melakukan hal itu semua bersama seseorang. Ah, tepatnya ada seorang yang memaksa Senja melakukannya. Jika Senja menutup mata, masih terbayang kenangan saat dirinya duduk berduaan dan tersenyum secerah mentari pada orang itu.
“Untuk apa kau kesini? Aku sudah bilang jangan pernah mengikutiku tolol!” Senja mengutuki suara itu dalam hatinya. Sepertinya dia tidak dibiarkan tenang barang sebentar saja. Entah kenapa ada saja orang-orang yang ingin ribut di sampingnya. Padahal tadi dia sengaja memilih pojokan yang sepi dimana tidak seorang pun tertarik untuk mendekat.
“Apa kau bilang? Tolol? Kau bilang aku yang seorang dokter yang pintar ini tolol, hah?” Senja menghela nafas. Rupanya perdebatan sepasang kekasih di sana. Haruskah Senja menggelar tikar untuk menonton pertunjukan itu atau merekam mereka?
“Kubilang kau harus pulang! Ngapain duduk-duduk di sini, bisa-bisa nanti semua orang akan melaporkanmu ke polisi karena kau tiba-tiba mengamuk tidak jelas!” Masih dari sang perempuan dengan suara yang naik satu oktaf.
“Sepertinya dia seorang kekasih yang cemburuan,” gumam Senja. Masih memilih menjadi pendengar yang baik.
“Agrh, kau benar-benar membuatku emosi. Pergi kau sana! Atau aku akan menye,” Si pria mulai ikut-ikutan emosi. Senja sendiri bisa merasakan kesan mengancam yang besar dari kalimat itu.
“Apa? Menyeretku huh?” potong sang perempuan. “Dasar banci, beraninya cuman sama adik sendiri!” teriak perempuan.
Senja tersentak, semakin tertarik dengan masalah dua insan itu. Rupanya mereka bukan sepasang kekasih, tapi kakak adik. Ketenangan Senja terusik, pasalnya dia tidak suka jika ada pria yang berani menyakiti saudara perempuannya sendiri. Senja jadi terbayang wajah Seya.
Senja berdiri dan mendekat ke arah kedua orang itu saat si pria mencengkram lengan adiknya. Senja menatap tajam pria yang terlihat hendak menekan mahluk di depannya. Urat-urat leher pria itu bahkan sampai terlihat.
“Jika kau sampai berbuat kasar pada gadis itu, maka tentara di sana akan menangkapmu!” teriak Senja kuat. Tangannya menunjuk pada sepasang kekasih yang sedang melakukan photoshot.
Pria tadi tersentak kaget, perhatiannya terfokus pada Senja. Lalu memperhatikan ke arah pria yang memakai baju loreng, di pinggangnya ada benda panjang, sepertinya pedang. Pria itu juga mengedarkan pandangan kepada sekitar, orang-orang mulai tertarik pada masalah mereka.
Pria itu melepaskan cengkraman tangannya pada gadis yang masih membelakangi Senja. “Kau, awas jangan sampai kau macam-macam denganku!” ancam pria itu, telunjuknya menunjuk dan menekan bahu Senja kuat.
“Kau tidak terluka kan?” tanya Senja setelah pria tadi pergi menaiki motor bersuara cempreng. Tidak lupa dengan asap knalpot yang mencemari udara sepanjang jalan dilewatinya.
Gadis tadi menggeleng, lalu mengusap lengannya yang memerah, masih membelakangi Senja.
“Ya sudah,” ucap Senja tidak peduli. Urusannya sudah selesai, baginya tidak perlu sampai memperpanjang masalah dengan bertele-tele.
“Ehh, mas tunggu dulu!” seru gadis tadi. Senja berbalik dan terdiam mendapati wajah yang tidak asing baginya.
“Pa..Pak Senja?” seru gadis itu, tangannya menunjuk wajah Senja. Senja yang merasa familiar dengan adegan itu merutuki dalam hati, dasar dua bersaudara sama saja, sukanya menunjuk-nunjuk orang.
Senja memasang wajah datar melihat sosok di depannya. Sudah dua kali mereka bertemu secara tidak sengaja dan itu mulai membuat Senja merasa terganggu.“Kenapa Pak Senja bisa ada di sini?” tanya Aya. Bisa-bisanya dia bisa bertemu dengan pasiennya di tempat umum seperti ini. Bahkan pria itu baru saja menyelamatkan nyawanya dari amukan sang abang.“Harusnya saya yang tanya. Kenapa ribut-ribut di tempat seperti ini?” balas Senja sambil berjalan ke tempat dimana dia duduk tadi. Lalu Senja membereskan barang-barangnya yang terletak di rumput, walaupun hanya sekadar botol air minum dan tas bahu kecil.“Eh, itu..” Aya bingung harus menjawab apa. Dia tidak mungkin menceritakan masalah psikologis abangnya pada Senja, yang masih berstatus pasiennya.“Sudahlah. Saya juga tidak tertarik,” ucap Senja meninggalkan Aya yang masih sibuk berpikir. Dia tidak habis pikir bagaimana gadis itu bertengkar dengan abangnya di tepi da
Hampir seminggu berlalu dari pertemuan terakhir Aya dengan Senja. Sejak itu pula, pria bernama lengkap Senja Adikaya itu seperti menghilang. Jadwal temu dibatalkan dua kali dengan alasan kesibukan. Padahal Aya sudah mempersiapkan dirinya dengan baik. Malam hari Aya sampai rutin menggunakan masker di seluruh wajahnya agar semakin cantik bersinar.Namun sayangnya usahanya itu tidak ada hasil sama sekali. Senja tidak ada waktu untuk melihat wajahnya.“Ada apa dengan wajahmu itu, hah?” tanya Adimas.Aya yang duduk di teras rumah melihat abangnya membawa celana jeans yang robek, entah karena apa. Kening Aya berkerut sambil membetulkan duduknya menjadi tegap di kursi rotan itu.“Jahitkan celanaku,” pinta abangnya. Celana jeans tadi diletakkan di atas meja beserta kotak berisi jarum dan benang.Mengingat kejadian seminggu lalu, saat abangnya hampir mengamuk di danau, Aya kembali emosi. Aya tidak mengindahkan pemintaan Adimas. Gadis
Pasar loak adalah pasar tradisional yang menjual segala macam kebutuhan rumah tangga termasuk pakaian, makanan dan juga perabotan. Aya suka belanja ke tempat yang ramai ini karena harganya lebih murah dari pakaian di mall. Apalagi jika penjualnya cuci gudang, beuh... Aya paling senang. Dia rela desak-desakan dengan yang lain demi mendapat barang diskon yang bagus. Dan tentunya pilihan Aya tidak kalah bagusnya dengan baju-baju di mall.Tapi kini, rasa senang itu tergantikan dengan rasa was-was. Sepanjang mengekori abangnya, Aya selalu melirik kiri-kanan depan-belakang, untuk jaga-jaga siapa tahu ada musuh abangnya.“Pak, itu celananya ukuran berapa?” tanya Aya. Adimas yang mendengar Aya singgah di salah satu lapak pakaian berhenti dan mendekat.“Ukuran XL ini, Neng. Untuk siapa celananya, Neng?” tanya si bapak yang berjualan.“Ini untuk abang saya, Pak,” jawab Aya, mengambil celana itu dan meneliti mereknya. Apa
Senja hilang di balik pegunungan yang gagah, membawa serta cahaya kuning dan perlahan mengikis birunya langit. Laksana tuan bagai gelap, kepergiannya pun tidak sendiri. Ada awan berarak hitam kelabu megantar beramai-ramai.Sore itu, Senja merasa berat. Sesak di dadanya hampir melumpuhkan pikiran. Bayang-bayang gadis yang sudah terpatri lama dalam hatinya terus mengganggu. Senja tersenyum mengutuk hatinya yang masih berharap pada gadis yang sudah bahagia itu.“Kenapa lagi kau?” tanya Kenta menghampiri Senja, lelaki yang terlihat menyedihkan juga stres.“Hm.”“Ck. Kau tau kan Sey tak akan membiarkan ku tidur di rumah kalau kita sampai mabuk di tempat ini?” cibir Kenta pada Senja, sahabat karibnya sedari SMA.“Aku melihatnya lagi tadi, tertawa lepas,” ucap Senja. Lalu, dia meneguk minuman merah di tangannya.Kenta mendesah, paham maksud Senja. Selalu saja seperti ini, abang dari istrinya itu masih
“Selamat pagi, Pak Senja. Silakan duduk.” sapa Aya dengan ramah.Penampilan Senja yang mengenakan baju lebih santai dari konsultasi pertama membuatnya semakin tampan. Aya bahkan dapat mencium parfum maskulin pria itu sedari masuk ke ruangannya, perpaduan yang membuat hati Aya berdesir terpesona pada pasien yang tidak bisa melupakan cinta masa lalunya. Anehnya lagi, Senja tidak tampak seperti pasien. Dia errr bak titisan dewa menggoda di mata Aya.“Baiklah, Pak. Silakan formulir tempo hari dilengkapi dulu.” Aya menyerahkan kertas berisi beberapa pertanyaan kepada Senja. Kali ini Aya tidak akan berlari ke lemari berkasnya atau mengutak atik sesuatu di lacinya, walau ingin. Bagaimana pun, tegangan yang dibawa senja terlalu berat. Tapi, Aya ingin memberi perhatian kepada pasien, bahwa dia sungguh-sungguh perduli dengan masalah mereka. Lagi pula, Aya diam-diam merasa beruntung bisa sepuasnya memandangi wajah Senja.“Ada yang salah di waj
Sudah lima menit mereka di dalam mobil Senja dan selama itu pula mereka hanya diam. Semua pertanyaan Aya hanya tertahan dalam kepala. Keberaniannya menguap tanpa sisa kala aura dingin senja mewarnai perjalanan mereka.“Gang nomor berapa rumahmu?” tanya Senja tanpa menoleh.Aya yang tadi sibuk dengan pikirannya tersentak pelan dan melihat ke arah depan. Ternyata mereka sudah sampai di depan perumahan. “Ah nomor 10. Gang rumahku nomor 10 tepat di ujung.”“Itu rumahku,” ucap Aya beberapa saat kemudian. Menunjuk rumah minimalis yang terang benderang. Terlihat pula beberapa pria duduk di teras yang terdapat beberapa kursi rotan.“Ada pesta di rumahmu.” Bukan pertanyaan, tapi pernyataan yang disimpulkan Senja.Aya meringis, dia teringat kebiasaan abangnya yang selalu mengadakan pesta kecil-kecilan dengan teman-teman gengnya. Aya ingat pula bahwa itulah salah satu alasan yang membuatnya memilih lembur
Pasar loak adalah pasar tradisional yang menjual segala macam kebutuhan rumah tangga termasuk pakaian, makanan dan juga perabotan. Aya suka belanja ke tempat yang ramai ini karena harganya lebih murah dari pakaian di mall. Apalagi jika penjualnya cuci gudang, beuh... Aya paling senang. Dia rela desak-desakan dengan yang lain demi mendapat barang diskon yang bagus. Dan tentunya pilihan Aya tidak kalah bagusnya dengan baju-baju di mall.Tapi kini, rasa senang itu tergantikan dengan rasa was-was. Sepanjang mengekori abangnya, Aya selalu melirik kiri-kanan depan-belakang, untuk jaga-jaga siapa tahu ada musuh abangnya.“Pak, itu celananya ukuran berapa?” tanya Aya. Adimas yang mendengar Aya singgah di salah satu lapak pakaian berhenti dan mendekat.“Ukuran XL ini, Neng. Untuk siapa celananya, Neng?” tanya si bapak yang berjualan.“Ini untuk abang saya, Pak,” jawab Aya, mengambil celana itu dan meneliti mereknya. Apa
Hampir seminggu berlalu dari pertemuan terakhir Aya dengan Senja. Sejak itu pula, pria bernama lengkap Senja Adikaya itu seperti menghilang. Jadwal temu dibatalkan dua kali dengan alasan kesibukan. Padahal Aya sudah mempersiapkan dirinya dengan baik. Malam hari Aya sampai rutin menggunakan masker di seluruh wajahnya agar semakin cantik bersinar.Namun sayangnya usahanya itu tidak ada hasil sama sekali. Senja tidak ada waktu untuk melihat wajahnya.“Ada apa dengan wajahmu itu, hah?” tanya Adimas.Aya yang duduk di teras rumah melihat abangnya membawa celana jeans yang robek, entah karena apa. Kening Aya berkerut sambil membetulkan duduknya menjadi tegap di kursi rotan itu.“Jahitkan celanaku,” pinta abangnya. Celana jeans tadi diletakkan di atas meja beserta kotak berisi jarum dan benang.Mengingat kejadian seminggu lalu, saat abangnya hampir mengamuk di danau, Aya kembali emosi. Aya tidak mengindahkan pemintaan Adimas. Gadis
Senja memasang wajah datar melihat sosok di depannya. Sudah dua kali mereka bertemu secara tidak sengaja dan itu mulai membuat Senja merasa terganggu.“Kenapa Pak Senja bisa ada di sini?” tanya Aya. Bisa-bisanya dia bisa bertemu dengan pasiennya di tempat umum seperti ini. Bahkan pria itu baru saja menyelamatkan nyawanya dari amukan sang abang.“Harusnya saya yang tanya. Kenapa ribut-ribut di tempat seperti ini?” balas Senja sambil berjalan ke tempat dimana dia duduk tadi. Lalu Senja membereskan barang-barangnya yang terletak di rumput, walaupun hanya sekadar botol air minum dan tas bahu kecil.“Eh, itu..” Aya bingung harus menjawab apa. Dia tidak mungkin menceritakan masalah psikologis abangnya pada Senja, yang masih berstatus pasiennya.“Sudahlah. Saya juga tidak tertarik,” ucap Senja meninggalkan Aya yang masih sibuk berpikir. Dia tidak habis pikir bagaimana gadis itu bertengkar dengan abangnya di tepi da
Kenta menghampiri istrinya yang sedang duduk di atas sofa dengan wajah yang loyo. ‘Tidak biasanya seperti ini, dan tidak mungkin di masa hamil masuk lima bulan, Seya loyo karena muntah-muntah. Pasti ada yang sedang dipikirkan istrinya ini,’ batin Kenta.Kenta mendekat dan duduk di samping Seya. “Kenapa wajahmu macam kucing ditinggal kawin begitu?” cerocos Kenta seperti kebiasaannya sejak dulu. Tidak peduli apakah Seya sekarang sudah berganti status menjadi istrinya dan sedang mengandung darah daging pria itu.Seya yang merasa kesal dikatai kucing langsung mencubit perut Kenta dengan kuat.“Aww stop stop ampun, Sayang,” ringis Kenta. Dahinya berkerut serta kedua alis terangkat naik, tangannya berusaha melepaskan tangan Seya dari perutnya.“Makanya jangan sembarangan ngatain istri, ck! Buat kesal aja!” cibir Seya kesal.“Nah itu, kutanya kan tadi kenapa muka kau kesal sayang?” ucap Kenta mem
Sudah lima menit mereka di dalam mobil Senja dan selama itu pula mereka hanya diam. Semua pertanyaan Aya hanya tertahan dalam kepala. Keberaniannya menguap tanpa sisa kala aura dingin senja mewarnai perjalanan mereka.“Gang nomor berapa rumahmu?” tanya Senja tanpa menoleh.Aya yang tadi sibuk dengan pikirannya tersentak pelan dan melihat ke arah depan. Ternyata mereka sudah sampai di depan perumahan. “Ah nomor 10. Gang rumahku nomor 10 tepat di ujung.”“Itu rumahku,” ucap Aya beberapa saat kemudian. Menunjuk rumah minimalis yang terang benderang. Terlihat pula beberapa pria duduk di teras yang terdapat beberapa kursi rotan.“Ada pesta di rumahmu.” Bukan pertanyaan, tapi pernyataan yang disimpulkan Senja.Aya meringis, dia teringat kebiasaan abangnya yang selalu mengadakan pesta kecil-kecilan dengan teman-teman gengnya. Aya ingat pula bahwa itulah salah satu alasan yang membuatnya memilih lembur
“Selamat pagi, Pak Senja. Silakan duduk.” sapa Aya dengan ramah.Penampilan Senja yang mengenakan baju lebih santai dari konsultasi pertama membuatnya semakin tampan. Aya bahkan dapat mencium parfum maskulin pria itu sedari masuk ke ruangannya, perpaduan yang membuat hati Aya berdesir terpesona pada pasien yang tidak bisa melupakan cinta masa lalunya. Anehnya lagi, Senja tidak tampak seperti pasien. Dia errr bak titisan dewa menggoda di mata Aya.“Baiklah, Pak. Silakan formulir tempo hari dilengkapi dulu.” Aya menyerahkan kertas berisi beberapa pertanyaan kepada Senja. Kali ini Aya tidak akan berlari ke lemari berkasnya atau mengutak atik sesuatu di lacinya, walau ingin. Bagaimana pun, tegangan yang dibawa senja terlalu berat. Tapi, Aya ingin memberi perhatian kepada pasien, bahwa dia sungguh-sungguh perduli dengan masalah mereka. Lagi pula, Aya diam-diam merasa beruntung bisa sepuasnya memandangi wajah Senja.“Ada yang salah di waj
Senja hilang di balik pegunungan yang gagah, membawa serta cahaya kuning dan perlahan mengikis birunya langit. Laksana tuan bagai gelap, kepergiannya pun tidak sendiri. Ada awan berarak hitam kelabu megantar beramai-ramai.Sore itu, Senja merasa berat. Sesak di dadanya hampir melumpuhkan pikiran. Bayang-bayang gadis yang sudah terpatri lama dalam hatinya terus mengganggu. Senja tersenyum mengutuk hatinya yang masih berharap pada gadis yang sudah bahagia itu.“Kenapa lagi kau?” tanya Kenta menghampiri Senja, lelaki yang terlihat menyedihkan juga stres.“Hm.”“Ck. Kau tau kan Sey tak akan membiarkan ku tidur di rumah kalau kita sampai mabuk di tempat ini?” cibir Kenta pada Senja, sahabat karibnya sedari SMA.“Aku melihatnya lagi tadi, tertawa lepas,” ucap Senja. Lalu, dia meneguk minuman merah di tangannya.Kenta mendesah, paham maksud Senja. Selalu saja seperti ini, abang dari istrinya itu masih