Sudah lima menit mereka di dalam mobil Senja dan selama itu pula mereka hanya diam. Semua pertanyaan Aya hanya tertahan dalam kepala. Keberaniannya menguap tanpa sisa kala aura dingin senja mewarnai perjalanan mereka.
“Gang nomor berapa rumahmu?” tanya Senja tanpa menoleh.
Aya yang tadi sibuk dengan pikirannya tersentak pelan dan melihat ke arah depan. Ternyata mereka sudah sampai di depan perumahan. “Ah nomor 10. Gang rumahku nomor 10 tepat di ujung.”
“Itu rumahku,” ucap Aya beberapa saat kemudian. Menunjuk rumah minimalis yang terang benderang. Terlihat pula beberapa pria duduk di teras yang terdapat beberapa kursi rotan.
“Ada pesta di rumahmu.” Bukan pertanyaan, tapi pernyataan yang disimpulkan Senja.
Aya meringis, dia teringat kebiasaan abangnya yang selalu mengadakan pesta kecil-kecilan dengan teman-teman gengnya. Aya ingat pula bahwa itulah salah satu alasan yang membuatnya memilih lembur atau menginap di rumah orang lain.
“Ha ha sepertinya memang begitu. Abangku yang berulang tahun pasti mengundang teman-temannya ke rumah,” ucap Aya berbohong.
Senja menatap wajah tidak nyaman Aya dengan tajam. Dia tau bahwa dokter di sampingnya itu berbohong. Siapa pun bisa melihat bahwa pria-pria yang duduk di sana bukan lah orang baik-baik. Mereka lebih mirip preman atau semacamnya. Baru saja Senja ingin menyuruh Aya sementara menginap di hotel, gadis itu sudah duluan membuka pintu mobil dan keluar.
“Terima kasih tumpangannya, Pak Senja,” ucap Aya tersenyum, masih menghadap kaca mobil Senja dan membelakangi rumahnya.
Rahang Senja mengeras, dia benci orang yang berbohong. “Sampaikan selamat untuk abangmu yang ulang tahun,” ucapnya dingin lalu segera melajukan mobil dan pergi.
“Wah wah, dokter cinta kita udah pulang!” Seru salah satu teman abangnya yang setengah sadar dan melihat kedatangannya. Aya terdiam di depan pagar yang baru saja dia buka. Rasa kesal menjalar ke hatinya. Padahal, sudah sekitar dua jam dia menunggu di depan gang sampai teman-teman abangnya tertidur, sampai-sampai kaki dan tangan Aya digigiti nyamuk. Tapi ternyata masih saja ada yang sadar.
“Sial,” umpat Aya, masih berdiri di depan pagar.
“Obati abang dong, Dek. Sepertinya jiwaku sudah mulai gila karena kau tolak terus.” Pria yang masih mengoceh itu berdiri dan menghampiri Aya dengan kedua tangannya yang hendak memeluk Aya.
“Dalam mimpimu orang gila!” Aya menghempas tangan kurang ajar itu membuat si empunya terhuyung. Setelahnya, Aya melayangkan tinjunya dan menampar wajah teman abangnya itu. Mendengar keributan di pagar, seorang teman abangnya yang lain mulai sadar dan melihat ke depan pagar.
“Aya! Hoi Aya, kau apakan si Gatot?” tanyanya.
Aya yang kaget segera melepas pria yang barusan ditamparinya. Dengan secepat kilat Aya berdiri dan kabur sampai di depan kompleks.
“Hah.. hah.. hah.” Aya singgah di depan Ulfamidi dan mampir untuk membeli minuman. Sekaligus untuk meredakan nafas dan panas tubuhnya akibat lari di malam hari. Untung saja teman-teman abangnya tadi tidak lanjut mengejarnya. Sembari duduk, Aya yang frustasi hanya melihat-lihat kontak di ponsel. Sepertinya dia memang akan merepotkan sahabatnya lagi kali ini.
“Halo, Ya..”
“Dis, aku nginap di tempat mu lagi ya, please..”
“Aku lagi jalan sama Juan,Ya. Kalo kamu mau, duluan aja ke apartemenku. Ada martabak di dapur kalo mau makan aja, panasin dulu tapi ya.”
Aya mengangguk dan tersenyum haru, untungnya dia masih punya sahabat sebaik Gladis yang bisa dia repotkan. “Makasih, Dis. Pulang jangan kelamaan, oh iya titip salam sama Juan, bilangin jangan ngebut.”
“Oke bye, Ya..”
Setelah menutup telfon, Aya memesan taksi online untuk berangkat ke apartemen Gladis.
***
“Hayo..ada masalah apa sampai nginap lagi?” tanya Gladis yang baru sampai di apartemennya dan melihat Aya sedang menonton televisi.
“Masalah biasa, Dis. Bang Dimas bawa geng nya ke rumah.”
Gladis geleng-geleng kepala dan mendecak lalu duduk di samping Aya. “Kamu gak diapa-apain kan sama gengnya itu?”
Aya menggeleng pelan. Tentunya dia tidak akan diapa-apakan, malah sebaliknya yang sering terjadi.
“Kamu pindah ke sini aja ya, Ya. Udah berapa kali kubilangin kan rumahmu itu gak ada nyaman-nyamannya kalau Bang Dimas masih terus begitu. Mumpung di sini masih ada kamar kosong loh. Kemarin aja langsung laku dua kamar, sisa satu sekarang,” tawar Gladis sambil mengemil keripik di atas meja.
“Ck, kita ini sama-sama dokter tapi otak bisnismu itu gak pernah hilang,” cibir Aya.
“Hahaha,” Gladis tertawa. “Aku serius, Ya. Harganya bisa miring kalau ke teman. Nanti ku bilangin ke Juan kalo kamu jadi pindah.”
“Biar ku pikirkan dulu ya, Dis. Takutnya abang makin parah kalau aku pindah,” ucap Aya tak enak hati pada tawaran baik Gladis.
Gladis mengelus punggung Aya prihatin, “Ya udah, itu terserah kamu, Ya. Kalau berubah pikiran bilang aja ke aku atau Juan.”
“Makasih, Dis.” Aya yang tak tahan menahan haru, akhirnya memeluk Gladis.
“Udah ah, jangan sedih-sedih. Kita maraton drakor aja gimana? Ini nih yang lagi baru, udah ku cari, katanya ceritanya seru...” beber Gladis. Dan malam itu berlalu dengan Gladis dan Aya marathon menonton drama korea.
***
Seya duduk di sofa dan pandangannya terfokus pada wajah yang ada di layar. Sahabatnya tinggal di kota ini, tapi mereka hanya bisa mengobrol lewat video call atau bertemu diam-diam. Kadangkala Seya tidak bisa menahan dirinya dari kenangan mereka dulu.
“Sey, kenapa bengong gitu? Jangan sering ngelamun loh nanti bayimu kalo besar jadi suka bengong juga, mau?” seru suara dari layar laptop.
“Hush, amit amat jabang bayi woi. Jangan katain bayiku yang aneh-aneh. Bapaknya nanti dengar, disemprot kamu, Ning,” bela Seya sambil mengelusi perutnya yang masih belum terlalu besar. Seya memang masih hamil 4 bulanan.
“Ah bapaknya cemen gitu ya gak mungkin berani lah, hahaha,” tawa dari layar laptop kembali terdengar.
“Woi Kemuning! Ini anak gak ada berubah-berubahnya. Masih suka ngejek bang Kenta. Kalo bang Kenta gak kena, ku aduin aja ke pawang mu!” balas Seya tak sadar sudah menyinggung hal yang sensitif.
Kemuning terdiam dan sesaat kemudian Seya menyadari kata-katanya.
“Maaf Ning. Tadi aku gak sengaja, serius. Jangan marah ya, Ning,” rayu Seya sambil menunjukkan tanda peace dengan kedua tangannya konyol.
“Mana berani aku marah sama bumil. Ya udah Sey, aku mau lanjut beres-beres rumah dulu ya. Nanti ponakanku mau datang ke rumah. Bye Seya, jaga kesehatan ya bumil.”
Klik
Seya menghela nafas saat video call mereka dimatikan oleh Kemuning. Memang salahnya tadi tidak sengaja menyebut masa lalu. Tidak disangka hal itu masih sensitif bagi mereka berdua.
Kenta menghampiri istrinya yang sedang duduk di atas sofa dengan wajah yang loyo. ‘Tidak biasanya seperti ini, dan tidak mungkin di masa hamil masuk lima bulan, Seya loyo karena muntah-muntah. Pasti ada yang sedang dipikirkan istrinya ini,’ batin Kenta.Kenta mendekat dan duduk di samping Seya. “Kenapa wajahmu macam kucing ditinggal kawin begitu?” cerocos Kenta seperti kebiasaannya sejak dulu. Tidak peduli apakah Seya sekarang sudah berganti status menjadi istrinya dan sedang mengandung darah daging pria itu.Seya yang merasa kesal dikatai kucing langsung mencubit perut Kenta dengan kuat.“Aww stop stop ampun, Sayang,” ringis Kenta. Dahinya berkerut serta kedua alis terangkat naik, tangannya berusaha melepaskan tangan Seya dari perutnya.“Makanya jangan sembarangan ngatain istri, ck! Buat kesal aja!” cibir Seya kesal.“Nah itu, kutanya kan tadi kenapa muka kau kesal sayang?” ucap Kenta mem
Senja memasang wajah datar melihat sosok di depannya. Sudah dua kali mereka bertemu secara tidak sengaja dan itu mulai membuat Senja merasa terganggu.“Kenapa Pak Senja bisa ada di sini?” tanya Aya. Bisa-bisanya dia bisa bertemu dengan pasiennya di tempat umum seperti ini. Bahkan pria itu baru saja menyelamatkan nyawanya dari amukan sang abang.“Harusnya saya yang tanya. Kenapa ribut-ribut di tempat seperti ini?” balas Senja sambil berjalan ke tempat dimana dia duduk tadi. Lalu Senja membereskan barang-barangnya yang terletak di rumput, walaupun hanya sekadar botol air minum dan tas bahu kecil.“Eh, itu..” Aya bingung harus menjawab apa. Dia tidak mungkin menceritakan masalah psikologis abangnya pada Senja, yang masih berstatus pasiennya.“Sudahlah. Saya juga tidak tertarik,” ucap Senja meninggalkan Aya yang masih sibuk berpikir. Dia tidak habis pikir bagaimana gadis itu bertengkar dengan abangnya di tepi da
Hampir seminggu berlalu dari pertemuan terakhir Aya dengan Senja. Sejak itu pula, pria bernama lengkap Senja Adikaya itu seperti menghilang. Jadwal temu dibatalkan dua kali dengan alasan kesibukan. Padahal Aya sudah mempersiapkan dirinya dengan baik. Malam hari Aya sampai rutin menggunakan masker di seluruh wajahnya agar semakin cantik bersinar.Namun sayangnya usahanya itu tidak ada hasil sama sekali. Senja tidak ada waktu untuk melihat wajahnya.“Ada apa dengan wajahmu itu, hah?” tanya Adimas.Aya yang duduk di teras rumah melihat abangnya membawa celana jeans yang robek, entah karena apa. Kening Aya berkerut sambil membetulkan duduknya menjadi tegap di kursi rotan itu.“Jahitkan celanaku,” pinta abangnya. Celana jeans tadi diletakkan di atas meja beserta kotak berisi jarum dan benang.Mengingat kejadian seminggu lalu, saat abangnya hampir mengamuk di danau, Aya kembali emosi. Aya tidak mengindahkan pemintaan Adimas. Gadis
Pasar loak adalah pasar tradisional yang menjual segala macam kebutuhan rumah tangga termasuk pakaian, makanan dan juga perabotan. Aya suka belanja ke tempat yang ramai ini karena harganya lebih murah dari pakaian di mall. Apalagi jika penjualnya cuci gudang, beuh... Aya paling senang. Dia rela desak-desakan dengan yang lain demi mendapat barang diskon yang bagus. Dan tentunya pilihan Aya tidak kalah bagusnya dengan baju-baju di mall.Tapi kini, rasa senang itu tergantikan dengan rasa was-was. Sepanjang mengekori abangnya, Aya selalu melirik kiri-kanan depan-belakang, untuk jaga-jaga siapa tahu ada musuh abangnya.“Pak, itu celananya ukuran berapa?” tanya Aya. Adimas yang mendengar Aya singgah di salah satu lapak pakaian berhenti dan mendekat.“Ukuran XL ini, Neng. Untuk siapa celananya, Neng?” tanya si bapak yang berjualan.“Ini untuk abang saya, Pak,” jawab Aya, mengambil celana itu dan meneliti mereknya. Apa
Senja hilang di balik pegunungan yang gagah, membawa serta cahaya kuning dan perlahan mengikis birunya langit. Laksana tuan bagai gelap, kepergiannya pun tidak sendiri. Ada awan berarak hitam kelabu megantar beramai-ramai.Sore itu, Senja merasa berat. Sesak di dadanya hampir melumpuhkan pikiran. Bayang-bayang gadis yang sudah terpatri lama dalam hatinya terus mengganggu. Senja tersenyum mengutuk hatinya yang masih berharap pada gadis yang sudah bahagia itu.“Kenapa lagi kau?” tanya Kenta menghampiri Senja, lelaki yang terlihat menyedihkan juga stres.“Hm.”“Ck. Kau tau kan Sey tak akan membiarkan ku tidur di rumah kalau kita sampai mabuk di tempat ini?” cibir Kenta pada Senja, sahabat karibnya sedari SMA.“Aku melihatnya lagi tadi, tertawa lepas,” ucap Senja. Lalu, dia meneguk minuman merah di tangannya.Kenta mendesah, paham maksud Senja. Selalu saja seperti ini, abang dari istrinya itu masih
“Selamat pagi, Pak Senja. Silakan duduk.” sapa Aya dengan ramah.Penampilan Senja yang mengenakan baju lebih santai dari konsultasi pertama membuatnya semakin tampan. Aya bahkan dapat mencium parfum maskulin pria itu sedari masuk ke ruangannya, perpaduan yang membuat hati Aya berdesir terpesona pada pasien yang tidak bisa melupakan cinta masa lalunya. Anehnya lagi, Senja tidak tampak seperti pasien. Dia errr bak titisan dewa menggoda di mata Aya.“Baiklah, Pak. Silakan formulir tempo hari dilengkapi dulu.” Aya menyerahkan kertas berisi beberapa pertanyaan kepada Senja. Kali ini Aya tidak akan berlari ke lemari berkasnya atau mengutak atik sesuatu di lacinya, walau ingin. Bagaimana pun, tegangan yang dibawa senja terlalu berat. Tapi, Aya ingin memberi perhatian kepada pasien, bahwa dia sungguh-sungguh perduli dengan masalah mereka. Lagi pula, Aya diam-diam merasa beruntung bisa sepuasnya memandangi wajah Senja.“Ada yang salah di waj
Pasar loak adalah pasar tradisional yang menjual segala macam kebutuhan rumah tangga termasuk pakaian, makanan dan juga perabotan. Aya suka belanja ke tempat yang ramai ini karena harganya lebih murah dari pakaian di mall. Apalagi jika penjualnya cuci gudang, beuh... Aya paling senang. Dia rela desak-desakan dengan yang lain demi mendapat barang diskon yang bagus. Dan tentunya pilihan Aya tidak kalah bagusnya dengan baju-baju di mall.Tapi kini, rasa senang itu tergantikan dengan rasa was-was. Sepanjang mengekori abangnya, Aya selalu melirik kiri-kanan depan-belakang, untuk jaga-jaga siapa tahu ada musuh abangnya.“Pak, itu celananya ukuran berapa?” tanya Aya. Adimas yang mendengar Aya singgah di salah satu lapak pakaian berhenti dan mendekat.“Ukuran XL ini, Neng. Untuk siapa celananya, Neng?” tanya si bapak yang berjualan.“Ini untuk abang saya, Pak,” jawab Aya, mengambil celana itu dan meneliti mereknya. Apa
Hampir seminggu berlalu dari pertemuan terakhir Aya dengan Senja. Sejak itu pula, pria bernama lengkap Senja Adikaya itu seperti menghilang. Jadwal temu dibatalkan dua kali dengan alasan kesibukan. Padahal Aya sudah mempersiapkan dirinya dengan baik. Malam hari Aya sampai rutin menggunakan masker di seluruh wajahnya agar semakin cantik bersinar.Namun sayangnya usahanya itu tidak ada hasil sama sekali. Senja tidak ada waktu untuk melihat wajahnya.“Ada apa dengan wajahmu itu, hah?” tanya Adimas.Aya yang duduk di teras rumah melihat abangnya membawa celana jeans yang robek, entah karena apa. Kening Aya berkerut sambil membetulkan duduknya menjadi tegap di kursi rotan itu.“Jahitkan celanaku,” pinta abangnya. Celana jeans tadi diletakkan di atas meja beserta kotak berisi jarum dan benang.Mengingat kejadian seminggu lalu, saat abangnya hampir mengamuk di danau, Aya kembali emosi. Aya tidak mengindahkan pemintaan Adimas. Gadis
Senja memasang wajah datar melihat sosok di depannya. Sudah dua kali mereka bertemu secara tidak sengaja dan itu mulai membuat Senja merasa terganggu.“Kenapa Pak Senja bisa ada di sini?” tanya Aya. Bisa-bisanya dia bisa bertemu dengan pasiennya di tempat umum seperti ini. Bahkan pria itu baru saja menyelamatkan nyawanya dari amukan sang abang.“Harusnya saya yang tanya. Kenapa ribut-ribut di tempat seperti ini?” balas Senja sambil berjalan ke tempat dimana dia duduk tadi. Lalu Senja membereskan barang-barangnya yang terletak di rumput, walaupun hanya sekadar botol air minum dan tas bahu kecil.“Eh, itu..” Aya bingung harus menjawab apa. Dia tidak mungkin menceritakan masalah psikologis abangnya pada Senja, yang masih berstatus pasiennya.“Sudahlah. Saya juga tidak tertarik,” ucap Senja meninggalkan Aya yang masih sibuk berpikir. Dia tidak habis pikir bagaimana gadis itu bertengkar dengan abangnya di tepi da
Kenta menghampiri istrinya yang sedang duduk di atas sofa dengan wajah yang loyo. ‘Tidak biasanya seperti ini, dan tidak mungkin di masa hamil masuk lima bulan, Seya loyo karena muntah-muntah. Pasti ada yang sedang dipikirkan istrinya ini,’ batin Kenta.Kenta mendekat dan duduk di samping Seya. “Kenapa wajahmu macam kucing ditinggal kawin begitu?” cerocos Kenta seperti kebiasaannya sejak dulu. Tidak peduli apakah Seya sekarang sudah berganti status menjadi istrinya dan sedang mengandung darah daging pria itu.Seya yang merasa kesal dikatai kucing langsung mencubit perut Kenta dengan kuat.“Aww stop stop ampun, Sayang,” ringis Kenta. Dahinya berkerut serta kedua alis terangkat naik, tangannya berusaha melepaskan tangan Seya dari perutnya.“Makanya jangan sembarangan ngatain istri, ck! Buat kesal aja!” cibir Seya kesal.“Nah itu, kutanya kan tadi kenapa muka kau kesal sayang?” ucap Kenta mem
Sudah lima menit mereka di dalam mobil Senja dan selama itu pula mereka hanya diam. Semua pertanyaan Aya hanya tertahan dalam kepala. Keberaniannya menguap tanpa sisa kala aura dingin senja mewarnai perjalanan mereka.“Gang nomor berapa rumahmu?” tanya Senja tanpa menoleh.Aya yang tadi sibuk dengan pikirannya tersentak pelan dan melihat ke arah depan. Ternyata mereka sudah sampai di depan perumahan. “Ah nomor 10. Gang rumahku nomor 10 tepat di ujung.”“Itu rumahku,” ucap Aya beberapa saat kemudian. Menunjuk rumah minimalis yang terang benderang. Terlihat pula beberapa pria duduk di teras yang terdapat beberapa kursi rotan.“Ada pesta di rumahmu.” Bukan pertanyaan, tapi pernyataan yang disimpulkan Senja.Aya meringis, dia teringat kebiasaan abangnya yang selalu mengadakan pesta kecil-kecilan dengan teman-teman gengnya. Aya ingat pula bahwa itulah salah satu alasan yang membuatnya memilih lembur
“Selamat pagi, Pak Senja. Silakan duduk.” sapa Aya dengan ramah.Penampilan Senja yang mengenakan baju lebih santai dari konsultasi pertama membuatnya semakin tampan. Aya bahkan dapat mencium parfum maskulin pria itu sedari masuk ke ruangannya, perpaduan yang membuat hati Aya berdesir terpesona pada pasien yang tidak bisa melupakan cinta masa lalunya. Anehnya lagi, Senja tidak tampak seperti pasien. Dia errr bak titisan dewa menggoda di mata Aya.“Baiklah, Pak. Silakan formulir tempo hari dilengkapi dulu.” Aya menyerahkan kertas berisi beberapa pertanyaan kepada Senja. Kali ini Aya tidak akan berlari ke lemari berkasnya atau mengutak atik sesuatu di lacinya, walau ingin. Bagaimana pun, tegangan yang dibawa senja terlalu berat. Tapi, Aya ingin memberi perhatian kepada pasien, bahwa dia sungguh-sungguh perduli dengan masalah mereka. Lagi pula, Aya diam-diam merasa beruntung bisa sepuasnya memandangi wajah Senja.“Ada yang salah di waj
Senja hilang di balik pegunungan yang gagah, membawa serta cahaya kuning dan perlahan mengikis birunya langit. Laksana tuan bagai gelap, kepergiannya pun tidak sendiri. Ada awan berarak hitam kelabu megantar beramai-ramai.Sore itu, Senja merasa berat. Sesak di dadanya hampir melumpuhkan pikiran. Bayang-bayang gadis yang sudah terpatri lama dalam hatinya terus mengganggu. Senja tersenyum mengutuk hatinya yang masih berharap pada gadis yang sudah bahagia itu.“Kenapa lagi kau?” tanya Kenta menghampiri Senja, lelaki yang terlihat menyedihkan juga stres.“Hm.”“Ck. Kau tau kan Sey tak akan membiarkan ku tidur di rumah kalau kita sampai mabuk di tempat ini?” cibir Kenta pada Senja, sahabat karibnya sedari SMA.“Aku melihatnya lagi tadi, tertawa lepas,” ucap Senja. Lalu, dia meneguk minuman merah di tangannya.Kenta mendesah, paham maksud Senja. Selalu saja seperti ini, abang dari istrinya itu masih