Pasar loak adalah pasar tradisional yang menjual segala macam kebutuhan rumah tangga termasuk pakaian, makanan dan juga perabotan. Aya suka belanja ke tempat yang ramai ini karena harganya lebih murah dari pakaian di mall. Apalagi jika penjualnya cuci gudang, beuh... Aya paling senang. Dia rela desak-desakan dengan yang lain demi mendapat barang diskon yang bagus. Dan tentunya pilihan Aya tidak kalah bagusnya dengan baju-baju di mall.
Tapi kini, rasa senang itu tergantikan dengan rasa was-was. Sepanjang mengekori abangnya, Aya selalu melirik kiri-kanan depan-belakang, untuk jaga-jaga siapa tahu ada musuh abangnya.
“Pak, itu celananya ukuran berapa?” tanya Aya. Adimas yang mendengar Aya singgah di salah satu lapak pakaian berhenti dan mendekat.
“Ukuran XL ini, Neng. Untuk siapa celananya, Neng?” tanya si bapak yang berjualan.
“Ini untuk abang saya, Pak,” jawab Aya, mengambil celana itu dan meneliti mereknya. Apakah celana itu memang asli atau kw, “Bang, ini bagus. Beli ini aja,” tambah Aya lagi. Tangannya mengulurkan celana di tangannya kepada Adimas.
Sementara Adimas masih menimbang-nimbang celana yang dipilih Aya dengan yang baru dilihatnya, Aya mengambil beberapa potong kaos oblong dan kemeja. “Bang, cobain kemeja ini. Cocok gak?”
Aya mengangguk-angguk setelah melihat penampilan Abangnya. Kemeja batik itu sangat pas di badan kekar abangnya itu. “Pak, kita beli yang ini sama yang itu,” ucap Aya sambil menyerahkan dua lembar uang seratus ribu rupiah.
“Kenapa pulak tiba-tiba baik ini?” tanya Adimas. Tangannya menenteng semua belanjaan mereka dan mengikuti langkah Aya dari belakang. Mereka saat ini masuk ke dalam pusat pasar untuk membeli minuman kesukaan Aya. Jika menyangkut hal yang diinginkannya, Aya akan lupa dengan segalanya.
“Ck, udah terima aja. Bilang makasih kek, udah dibeliin,” omel Aya di sepanjang jalan tanpa melihat ke belakang. Sampai mereka tiba di penjual es cendol langganan Aya, gadis itu langsung memesan dengan lantang “Bang, esnya 2 bungkus!”
“Lagian itu kemeja bisa abang pakai ke gereja. Jangan cuma pakai kemeja yang biru itu. Bisa-bisa dua bulan lagi kemejanya udah pudar,” Aya masih terus mengomel. Matanya terus mengawasi es cendolnya yang sedang dibuat. Tidak lupa Aya meminta bahan-bahan tertentu dilebihkan dalam es nya, seperti santan dan gula merah.
“Nah, Bang,” Aya meyerahkan kantongan es cendol itu ke belakangnya, kepada Adimas.
“Eh, Bang?” tanya Aya, abangnya tidak ada di belakangnya lagi. Aya tiba-tiba dilanda rasa khawatir.
“Kemana, sih?” kesal Aya. Setelah melihat sekeliling, Aya tidak menemukan batang hidung abangnya.
Aya memutuskan duduk di kursi samping bang penjulan cendol tadi menunggu Adimas. Sembari menelepon, Aya menikmati es cendol miliknya.
Es cendol miliknya sudah habis, tapi Adimas tidak kunjung kelihatan. Pria itu bahkan tidak mengangkat ponselnya.
“Gak bisa dibiarin, kalo gini!” Aya menghentakkan kaki, setengah berlari mencari sosok Adimas. Tapi di pasar yang seluas ini, tidak kunjung terlihat juga. Saat Aya menuju parkiran, di sana masih ada si Jago, motor abangnya. Aya melangkah ke sana. Menatap cemas ke seluruh parkiran yang berada di belakang pasar. Walaupun kawasan itu cukup ramai, tapi di beberapa sudut tempat adalah sarang rampok dan geng motor.
Mengambil resiko, Aya melangkah menyusuri beberapa gang yang tidak jauh dari tempat parkir.
“Bugh! Bugh! Rasain kau Bangs*t! Makanya jangan sok jagoan. Sendirimu itu tidak ada apa-apanya tanpa gengmu!” suara-suara dari belokan di depannya membuat Aya terkejut. Di sana sepertinya ada orang berkelahi.
Dengan hati-hati, Aya mendekat dan mengintip. Dia terkejut melihat Abangnya sedang dipukuli oleh tiga orang preman. Bulu kuduk Aya berdiri. Keinginan menerjang para preman itu sangat besar, tapi dia tidak ingin mengambil risiko. Wajah abangnya saja sudah tidak berbentuk, darah mengalir kemana-mana.
Aya berlari sekuat tenaga, menuju parkiran. Dia menuju ke arah bapak-bapak yang sedang minum kopi di salah satu kedai. Air mata Aya mengalir, mengingat abangnya di sana. Aya mencengkram salah satu tangan dari bapak-bapak itu.
“Pa..Pak, tolong!! Abang saya, abang saya digebukin tiga preman,” ucap Aya. Suaranya bergetar dan mukanya memerah. Sementara air mata mengalir di sudut pipinya.
Bapak-bapak yang melihat Aya terkejut. Mereka saling pandang satu sama lain. Melihat Aya seperti itu, mereka bangkit dan menuju ke arah yang di tunjuk Aya.
Aya kuat hingga bapak-bapak yang tadi sudah di depan jadi berada di belakang Aya. Gadis itu berlari menuju gang tadi.
Preman yang menghajar Adimas melihat seorang gadis berlari tergesa ke arah mereka. Gadis berwajah merah itu menatap mereka marah.
“Ah, rupanya ada tamu,,” ejek para preman itu kepada Aya.
“Dasar preman brengsek! Lepas abangku!” bentak Aya. Tangannya terkepal erat melihat abangnya, pria itu sudah terkapat di tanah, kedua matanya tidak bisa terbuka karena sudah bengkak.
Dua preman bertubuh sedang menghampiri Aya, senyum mengejek di wajah mereka membuat Aya jijik. “Wah, wah, wah. Kami tebak, kau pasti Aya si dokter itu ya? Cantik juga.” Suara mereka yang menggoda terdengar bagai suara anjing di telinga Aya.
Aya melepaskan sepatunya dan tiba-tiba sepatu itu sudah terkena dahi salah satu preman itu. “Kurang ajar, gadis sialan!” teriak si preman.
Aya melepas sepatu satunya dan mengarahkannya kepada preman marah itu. “Dimana bapak-bapak itu?” batin Aya. Sesungguhnya gadis itu tidak akan sanggup jika harus menghadapi para preman itu seorang diri.
Dugh! Serangan pertama sepatunya berhasil dan mendarat mulus pada paha preman itu. Pukulan balasan dihindari Aya dengan gesit berkat latihan bela dirinya waktu sekolah.
Dugh! dugh! Serangan selanjutnya pun berhasil.
“Bisa juga adekmu ini, Adi!” Pria yang tadi hanya melihat aksi Aya melangkah maju. Dengan sekali langkah, tangan Aya berhasil dipelintir ke belakang.
“Argh!” jerit Aya. “TOLONG! TOLONG! PREMAN INI INGIN MEMBUNUH SAYA DAN ABANG SAYA!” jerit Aya. Pria yang masih mengunci pergerakan tangannya bingung. Saat pria itu melihat ke depan gang, dari sana muncul bapak-bapak penjaga pasar.
“Hoi, brengsek, dia manggil orang-orang!” panik salah satu preman itu. Aya bersyukur dalam hati. Bapak-bapak tadi datang tepat waktu. Sekuat tenaga, Aya menendang tulang kering si pria di belakangnya hingga dia terlepas.
“Tangkap mereka, Pak!” ujar Aya. Ketiga preman tadi kalang-kabut mencari jalan kabur. Ketika bapak-bapak dan para preman itu saling kejar-kejaran, Aya mendesah lega. Aya menghampiri abangnya di sana yang terletak tidak berdaya.
“Bang! Bang!” Aya mencoba menyadarkan Adimas.
“Bang. Abang belum mati kan?” tanya Aya memastikan karena Adimas tak kunjung sadar. Padahal denyut nadi nafas pria itu normal.
“Uhuk,” Adimas batuk, tenggorokannya perih karena dadanya tadi terkena bogeman mentah.
“Makanya jangan cari musuh aja kerjaan abang! Ayo berdiri, Aya ini gak kuat mapah abang tau gak?” bentak Aya. Tangannya yang tadi dipelintir masih terasa sakit. Adimas berusaha berdiri dengan sebelah tangan yang bergantung pada bahu Aya.
Senja hilang di balik pegunungan yang gagah, membawa serta cahaya kuning dan perlahan mengikis birunya langit. Laksana tuan bagai gelap, kepergiannya pun tidak sendiri. Ada awan berarak hitam kelabu megantar beramai-ramai.Sore itu, Senja merasa berat. Sesak di dadanya hampir melumpuhkan pikiran. Bayang-bayang gadis yang sudah terpatri lama dalam hatinya terus mengganggu. Senja tersenyum mengutuk hatinya yang masih berharap pada gadis yang sudah bahagia itu.“Kenapa lagi kau?” tanya Kenta menghampiri Senja, lelaki yang terlihat menyedihkan juga stres.“Hm.”“Ck. Kau tau kan Sey tak akan membiarkan ku tidur di rumah kalau kita sampai mabuk di tempat ini?” cibir Kenta pada Senja, sahabat karibnya sedari SMA.“Aku melihatnya lagi tadi, tertawa lepas,” ucap Senja. Lalu, dia meneguk minuman merah di tangannya.Kenta mendesah, paham maksud Senja. Selalu saja seperti ini, abang dari istrinya itu masih
“Selamat pagi, Pak Senja. Silakan duduk.” sapa Aya dengan ramah.Penampilan Senja yang mengenakan baju lebih santai dari konsultasi pertama membuatnya semakin tampan. Aya bahkan dapat mencium parfum maskulin pria itu sedari masuk ke ruangannya, perpaduan yang membuat hati Aya berdesir terpesona pada pasien yang tidak bisa melupakan cinta masa lalunya. Anehnya lagi, Senja tidak tampak seperti pasien. Dia errr bak titisan dewa menggoda di mata Aya.“Baiklah, Pak. Silakan formulir tempo hari dilengkapi dulu.” Aya menyerahkan kertas berisi beberapa pertanyaan kepada Senja. Kali ini Aya tidak akan berlari ke lemari berkasnya atau mengutak atik sesuatu di lacinya, walau ingin. Bagaimana pun, tegangan yang dibawa senja terlalu berat. Tapi, Aya ingin memberi perhatian kepada pasien, bahwa dia sungguh-sungguh perduli dengan masalah mereka. Lagi pula, Aya diam-diam merasa beruntung bisa sepuasnya memandangi wajah Senja.“Ada yang salah di waj
Sudah lima menit mereka di dalam mobil Senja dan selama itu pula mereka hanya diam. Semua pertanyaan Aya hanya tertahan dalam kepala. Keberaniannya menguap tanpa sisa kala aura dingin senja mewarnai perjalanan mereka.“Gang nomor berapa rumahmu?” tanya Senja tanpa menoleh.Aya yang tadi sibuk dengan pikirannya tersentak pelan dan melihat ke arah depan. Ternyata mereka sudah sampai di depan perumahan. “Ah nomor 10. Gang rumahku nomor 10 tepat di ujung.”“Itu rumahku,” ucap Aya beberapa saat kemudian. Menunjuk rumah minimalis yang terang benderang. Terlihat pula beberapa pria duduk di teras yang terdapat beberapa kursi rotan.“Ada pesta di rumahmu.” Bukan pertanyaan, tapi pernyataan yang disimpulkan Senja.Aya meringis, dia teringat kebiasaan abangnya yang selalu mengadakan pesta kecil-kecilan dengan teman-teman gengnya. Aya ingat pula bahwa itulah salah satu alasan yang membuatnya memilih lembur
Kenta menghampiri istrinya yang sedang duduk di atas sofa dengan wajah yang loyo. ‘Tidak biasanya seperti ini, dan tidak mungkin di masa hamil masuk lima bulan, Seya loyo karena muntah-muntah. Pasti ada yang sedang dipikirkan istrinya ini,’ batin Kenta.Kenta mendekat dan duduk di samping Seya. “Kenapa wajahmu macam kucing ditinggal kawin begitu?” cerocos Kenta seperti kebiasaannya sejak dulu. Tidak peduli apakah Seya sekarang sudah berganti status menjadi istrinya dan sedang mengandung darah daging pria itu.Seya yang merasa kesal dikatai kucing langsung mencubit perut Kenta dengan kuat.“Aww stop stop ampun, Sayang,” ringis Kenta. Dahinya berkerut serta kedua alis terangkat naik, tangannya berusaha melepaskan tangan Seya dari perutnya.“Makanya jangan sembarangan ngatain istri, ck! Buat kesal aja!” cibir Seya kesal.“Nah itu, kutanya kan tadi kenapa muka kau kesal sayang?” ucap Kenta mem
Senja memasang wajah datar melihat sosok di depannya. Sudah dua kali mereka bertemu secara tidak sengaja dan itu mulai membuat Senja merasa terganggu.“Kenapa Pak Senja bisa ada di sini?” tanya Aya. Bisa-bisanya dia bisa bertemu dengan pasiennya di tempat umum seperti ini. Bahkan pria itu baru saja menyelamatkan nyawanya dari amukan sang abang.“Harusnya saya yang tanya. Kenapa ribut-ribut di tempat seperti ini?” balas Senja sambil berjalan ke tempat dimana dia duduk tadi. Lalu Senja membereskan barang-barangnya yang terletak di rumput, walaupun hanya sekadar botol air minum dan tas bahu kecil.“Eh, itu..” Aya bingung harus menjawab apa. Dia tidak mungkin menceritakan masalah psikologis abangnya pada Senja, yang masih berstatus pasiennya.“Sudahlah. Saya juga tidak tertarik,” ucap Senja meninggalkan Aya yang masih sibuk berpikir. Dia tidak habis pikir bagaimana gadis itu bertengkar dengan abangnya di tepi da
Hampir seminggu berlalu dari pertemuan terakhir Aya dengan Senja. Sejak itu pula, pria bernama lengkap Senja Adikaya itu seperti menghilang. Jadwal temu dibatalkan dua kali dengan alasan kesibukan. Padahal Aya sudah mempersiapkan dirinya dengan baik. Malam hari Aya sampai rutin menggunakan masker di seluruh wajahnya agar semakin cantik bersinar.Namun sayangnya usahanya itu tidak ada hasil sama sekali. Senja tidak ada waktu untuk melihat wajahnya.“Ada apa dengan wajahmu itu, hah?” tanya Adimas.Aya yang duduk di teras rumah melihat abangnya membawa celana jeans yang robek, entah karena apa. Kening Aya berkerut sambil membetulkan duduknya menjadi tegap di kursi rotan itu.“Jahitkan celanaku,” pinta abangnya. Celana jeans tadi diletakkan di atas meja beserta kotak berisi jarum dan benang.Mengingat kejadian seminggu lalu, saat abangnya hampir mengamuk di danau, Aya kembali emosi. Aya tidak mengindahkan pemintaan Adimas. Gadis
Pasar loak adalah pasar tradisional yang menjual segala macam kebutuhan rumah tangga termasuk pakaian, makanan dan juga perabotan. Aya suka belanja ke tempat yang ramai ini karena harganya lebih murah dari pakaian di mall. Apalagi jika penjualnya cuci gudang, beuh... Aya paling senang. Dia rela desak-desakan dengan yang lain demi mendapat barang diskon yang bagus. Dan tentunya pilihan Aya tidak kalah bagusnya dengan baju-baju di mall.Tapi kini, rasa senang itu tergantikan dengan rasa was-was. Sepanjang mengekori abangnya, Aya selalu melirik kiri-kanan depan-belakang, untuk jaga-jaga siapa tahu ada musuh abangnya.“Pak, itu celananya ukuran berapa?” tanya Aya. Adimas yang mendengar Aya singgah di salah satu lapak pakaian berhenti dan mendekat.“Ukuran XL ini, Neng. Untuk siapa celananya, Neng?” tanya si bapak yang berjualan.“Ini untuk abang saya, Pak,” jawab Aya, mengambil celana itu dan meneliti mereknya. Apa
Hampir seminggu berlalu dari pertemuan terakhir Aya dengan Senja. Sejak itu pula, pria bernama lengkap Senja Adikaya itu seperti menghilang. Jadwal temu dibatalkan dua kali dengan alasan kesibukan. Padahal Aya sudah mempersiapkan dirinya dengan baik. Malam hari Aya sampai rutin menggunakan masker di seluruh wajahnya agar semakin cantik bersinar.Namun sayangnya usahanya itu tidak ada hasil sama sekali. Senja tidak ada waktu untuk melihat wajahnya.“Ada apa dengan wajahmu itu, hah?” tanya Adimas.Aya yang duduk di teras rumah melihat abangnya membawa celana jeans yang robek, entah karena apa. Kening Aya berkerut sambil membetulkan duduknya menjadi tegap di kursi rotan itu.“Jahitkan celanaku,” pinta abangnya. Celana jeans tadi diletakkan di atas meja beserta kotak berisi jarum dan benang.Mengingat kejadian seminggu lalu, saat abangnya hampir mengamuk di danau, Aya kembali emosi. Aya tidak mengindahkan pemintaan Adimas. Gadis
Senja memasang wajah datar melihat sosok di depannya. Sudah dua kali mereka bertemu secara tidak sengaja dan itu mulai membuat Senja merasa terganggu.“Kenapa Pak Senja bisa ada di sini?” tanya Aya. Bisa-bisanya dia bisa bertemu dengan pasiennya di tempat umum seperti ini. Bahkan pria itu baru saja menyelamatkan nyawanya dari amukan sang abang.“Harusnya saya yang tanya. Kenapa ribut-ribut di tempat seperti ini?” balas Senja sambil berjalan ke tempat dimana dia duduk tadi. Lalu Senja membereskan barang-barangnya yang terletak di rumput, walaupun hanya sekadar botol air minum dan tas bahu kecil.“Eh, itu..” Aya bingung harus menjawab apa. Dia tidak mungkin menceritakan masalah psikologis abangnya pada Senja, yang masih berstatus pasiennya.“Sudahlah. Saya juga tidak tertarik,” ucap Senja meninggalkan Aya yang masih sibuk berpikir. Dia tidak habis pikir bagaimana gadis itu bertengkar dengan abangnya di tepi da
Kenta menghampiri istrinya yang sedang duduk di atas sofa dengan wajah yang loyo. ‘Tidak biasanya seperti ini, dan tidak mungkin di masa hamil masuk lima bulan, Seya loyo karena muntah-muntah. Pasti ada yang sedang dipikirkan istrinya ini,’ batin Kenta.Kenta mendekat dan duduk di samping Seya. “Kenapa wajahmu macam kucing ditinggal kawin begitu?” cerocos Kenta seperti kebiasaannya sejak dulu. Tidak peduli apakah Seya sekarang sudah berganti status menjadi istrinya dan sedang mengandung darah daging pria itu.Seya yang merasa kesal dikatai kucing langsung mencubit perut Kenta dengan kuat.“Aww stop stop ampun, Sayang,” ringis Kenta. Dahinya berkerut serta kedua alis terangkat naik, tangannya berusaha melepaskan tangan Seya dari perutnya.“Makanya jangan sembarangan ngatain istri, ck! Buat kesal aja!” cibir Seya kesal.“Nah itu, kutanya kan tadi kenapa muka kau kesal sayang?” ucap Kenta mem
Sudah lima menit mereka di dalam mobil Senja dan selama itu pula mereka hanya diam. Semua pertanyaan Aya hanya tertahan dalam kepala. Keberaniannya menguap tanpa sisa kala aura dingin senja mewarnai perjalanan mereka.“Gang nomor berapa rumahmu?” tanya Senja tanpa menoleh.Aya yang tadi sibuk dengan pikirannya tersentak pelan dan melihat ke arah depan. Ternyata mereka sudah sampai di depan perumahan. “Ah nomor 10. Gang rumahku nomor 10 tepat di ujung.”“Itu rumahku,” ucap Aya beberapa saat kemudian. Menunjuk rumah minimalis yang terang benderang. Terlihat pula beberapa pria duduk di teras yang terdapat beberapa kursi rotan.“Ada pesta di rumahmu.” Bukan pertanyaan, tapi pernyataan yang disimpulkan Senja.Aya meringis, dia teringat kebiasaan abangnya yang selalu mengadakan pesta kecil-kecilan dengan teman-teman gengnya. Aya ingat pula bahwa itulah salah satu alasan yang membuatnya memilih lembur
“Selamat pagi, Pak Senja. Silakan duduk.” sapa Aya dengan ramah.Penampilan Senja yang mengenakan baju lebih santai dari konsultasi pertama membuatnya semakin tampan. Aya bahkan dapat mencium parfum maskulin pria itu sedari masuk ke ruangannya, perpaduan yang membuat hati Aya berdesir terpesona pada pasien yang tidak bisa melupakan cinta masa lalunya. Anehnya lagi, Senja tidak tampak seperti pasien. Dia errr bak titisan dewa menggoda di mata Aya.“Baiklah, Pak. Silakan formulir tempo hari dilengkapi dulu.” Aya menyerahkan kertas berisi beberapa pertanyaan kepada Senja. Kali ini Aya tidak akan berlari ke lemari berkasnya atau mengutak atik sesuatu di lacinya, walau ingin. Bagaimana pun, tegangan yang dibawa senja terlalu berat. Tapi, Aya ingin memberi perhatian kepada pasien, bahwa dia sungguh-sungguh perduli dengan masalah mereka. Lagi pula, Aya diam-diam merasa beruntung bisa sepuasnya memandangi wajah Senja.“Ada yang salah di waj
Senja hilang di balik pegunungan yang gagah, membawa serta cahaya kuning dan perlahan mengikis birunya langit. Laksana tuan bagai gelap, kepergiannya pun tidak sendiri. Ada awan berarak hitam kelabu megantar beramai-ramai.Sore itu, Senja merasa berat. Sesak di dadanya hampir melumpuhkan pikiran. Bayang-bayang gadis yang sudah terpatri lama dalam hatinya terus mengganggu. Senja tersenyum mengutuk hatinya yang masih berharap pada gadis yang sudah bahagia itu.“Kenapa lagi kau?” tanya Kenta menghampiri Senja, lelaki yang terlihat menyedihkan juga stres.“Hm.”“Ck. Kau tau kan Sey tak akan membiarkan ku tidur di rumah kalau kita sampai mabuk di tempat ini?” cibir Kenta pada Senja, sahabat karibnya sedari SMA.“Aku melihatnya lagi tadi, tertawa lepas,” ucap Senja. Lalu, dia meneguk minuman merah di tangannya.Kenta mendesah, paham maksud Senja. Selalu saja seperti ini, abang dari istrinya itu masih