Senja hilang di balik pegunungan yang gagah, membawa serta cahaya kuning dan perlahan mengikis birunya langit. Laksana tuan bagai gelap, kepergiannya pun tidak sendiri. Ada awan berarak hitam kelabu megantar beramai-ramai.
Sore itu, Senja merasa berat. Sesak di dadanya hampir melumpuhkan pikiran. Bayang-bayang gadis yang sudah terpatri lama dalam hatinya terus mengganggu. Senja tersenyum mengutuk hatinya yang masih berharap pada gadis yang sudah bahagia itu.
“Kenapa lagi kau?” tanya Kenta menghampiri Senja, lelaki yang terlihat menyedihkan juga stres.
“Hm.”
“Ck. Kau tau kan Sey tak akan membiarkan ku tidur di rumah kalau kita sampai mabuk di tempat ini?” cibir Kenta pada Senja, sahabat karibnya sedari SMA.
“Aku melihatnya lagi tadi, tertawa lepas,” ucap Senja. Lalu, dia meneguk minuman merah di tangannya.
Kenta mendesah, paham maksud Senja. Selalu saja seperti ini, abang dari istrinya itu masih belum bisa move-on dari cinta lama. Kenta menuang anggur ke dalam gelasnya dan mencicip perlahan. Dia perlu mendinginkan kepala untuk menghadapi Senja.
“Kau masih mencintainya?” tanya Kenta. Senja menatap mata Kenta datar, lalu meneguk lagi minumannya dan menggeleng.
Kenta tersenyum mengejek, “Jangan bohong kau!! Kau cinta mati padanya, Bajingan! Sebaiknya jujur dulu pada hatimu, lalu jujurlah pada orang yang kau cintai. Meskipun tak bisa kau miliki dia lagi, setidaknya tidak terpendam terus.”
Senja menatap bibir gelas dan diam. Bagaimana dia bisa melupakan gadis ceria itu sementara mereka berpisah karena kesalahannya.
“Sudahlah. Kalau tak ada lagi yang mau kau katakan, aku pulang saja. Kontak psikiater yang kuberikan sebaiknya kau hubungi segera. Itu kalau kau ingin melupakan kenangan masa lalumu. Dan tagihan minuman ini kau yang bayar.” Kenta membereskan jas dan tas kantornya lalu bergegas pergi.
Beberapa menit kemudian, bahu Senja ditepuk oleh orang yang sama. “Oh dan jangan lupa kau tak boleh sampai mabuk di sini atau Sey akan,”
“Diamlah. Aku ikut kau saja,” ucap Senja malas. Mood-nya benar-benar berantakan.
Tiba di apartemen, Senja melihat seorang wanita duduk anggun di sofa menunggu. Barang-barang biasa yang diminta Senja sudah tertata rapi di atas meja. Sama seperti malam sebelumnya, Senja kembali mengulang kebiasaan buruknya,menjadi sampah, bajingan, atau apapun itu gelar yang serupa. Semua hanya untuk melupakan sosok yang mengganggu itu.
Sampai pagi tiba pun, bukan semangat yang kembali mengisi tubuh Senja. Tapi rasa sakit. Sebagian karena perangai buruk minum-minuman keras, sebagian lagi karena.. entahlah, mungkin rasa sepi. Kepala Senja berdenyut-denyut, tubuhnya juga lelah karena terjaga sampai subuh.
Senja menoleh pada wanita di sebelahnya. Tentu Senja tidak mengenal wanita itu. Tepatnya lagi, dia tidak peduli.
Senja bergegas keluar kamar setelah mengenakan setelan kerja lalu meletakkan sejumlah uang di atas meja. Dia bahkan tidak repot-repot pamit saat wanita tadi menunggunya di depan meja makan dengan dua porsi nasi goreng seadanya. Senja hanya melenggang dan segera hengkang dari tempat itu. Sudah pagi, sudah saatnya dia menjadi pria normal yang dikenal dunia.
***
Saat ini Senja berada di ruangan dokter psikiater. Sebenarnya senja sudah di sini dari beberapa saat lalu, sejak jam makan siang usai. Perasaan Senja langsung buruk melihat penampilan dokter perempuan di depannya.
"Selamat siang, Pak Senja. Masih ada bagian penting dari formulir tadi yang belum bapak isi. Silakan isikan masing-masing dengan singkat ya Pak, agar saya bisa tau jenis penanganan yang terbaik untuk Anda,” ucap Aya. Setelahnya, dokter psikiater itu sibuk mondar mandir lagi dari lemari berkas ke mejanya, tanpa menghiraukan Senja.
Senja tadi pagi sempat berpikir bahwa saran Kenta patut dipertimbangkan. Sehingga dia membuat janji temu dengan dokter di depannya ini. Tapi Senja salah, kepalanya yang berat semakin pening dengan tingkah laku dokter itu. Senja mengusap wajahnya sedikit kasar karena kesal.
“Berkasku kutarik. Kau tidak perlu lanjut mencari pengobatan itu,” ucap Senja lalu berdiri.
Aya yang tadi sibuk tiba-tiba berhenti dan menatap Senja bingung. “Eh? Apa perkataan saya ada menyinggung Anda, Pak Senja?” Aya menautkan kedua alisnya tinggi-tinggi.
Senja yang sudah berdiri hanya menatap Aya datar. “Anda seorang dokter, bahkan direkomendasikan. Tapi, perilaku Anda tidak menghargai pasien. Dari tadi hanya mondar-mandir, membuat saya pusing. Saya berobat di tempat lain saja.” Senja melangkah keluar.
“Seperti kata Pak Senja, saya dokter rekomendasi. Melewatkan saya, berarti Anda kehilangan kesempatan untuk sembuh dari masa lalu Anda, Pak Senja,” tegas Aya. Melihat Senja berhenti dan masih berdiri depan pintu keluar, Aya bernafas lega.
Aya melangkah mendekat, melihat punggung Senja yang tegap. Aya yang mungil tidak sampai sebahu Senja, membuatnya harus mendongak.
“Maafkan tindakan saya, Pak. Sejujurnya saya sedikit bingung dengan masalah yang Anda hadapi hingga saya agak gugup tadi. Tapi saya yakin, saya masih dokter terbaik di sini. Saya akan profesional. Silakan duduk kembali, Pak Senja.”
“Kalau begitu, saya datang besok saja. Saya juga ada kesibukan,” ucap Senja tanpa berbalik. Lalu segera pergi.
“Hufftt..” Aya menghembuskan nafas panjang dengan kedua tangan mengelus dada. Jantungnya hampir saja meledak sakin gugupnya. Baru kali ini dia salah tingkah di depan pasien.
“Dok, gimana tadi? Lancar aja kan? Kok si Mas ganteng cepat banget keluarnya?” tanya Cindi, asistennya Aya.
“Duhh, kok dokter keliatan pucat gitu? Masnya nyeramin ya, Dok?” kepo Cindi lagi.
Aya mengangguk dan kembali duduk di kursinya. “Auranya err.. mengintimidasi, Cin. Baru kali aku gugup di depan pasien.”
“Emang Masnya tadi ngapain sampai buat dokter gugup?” tanya Cindi. Dia duduk di kursi pasien dan mendekatkan wajah ke arah Aya penasaran.
“Ya, gak ngapa-ngapain sih. Aku tadi malah pura-pura sibuk sampai dia marah karena merasa dicuekin sama aku.”
“Waduh? Jangan-jangan dia naksir sama dokter,” kata Cindi semangat.
“Huss, jangan buat aku ge-er dong, Cin. Lagian lelaki seperti dia pasti sudah punya pacar.”
“Tapi kan salah satu masalah si Mas itu adalah masa lalu asmaranya, Dok. Berarti dia belum ada pacar harusnya,” ucap Cindy sambil mencuri pandang berkas konsultasi di meja Aya.
“Kamu ada benarnya juga. Tapi jika itu benar, artinya dia tidak bisa lupa, Cindi," ucap Aya. Bahunya sedikit merosot. Kenapa orang yang disukainya selalu memiliki kisah cinta yang tidak wajar? Tidak bisa move-on lah, tidak mau mendua lah, intinya semua rata-rata sudah punya tambatan hati, abadi pula.
"Sudahlah, kita lanjut kerja saja ya. Panggil pasien selanjutnya," titah Aya.
“Selamat pagi, Pak Senja. Silakan duduk.” sapa Aya dengan ramah.Penampilan Senja yang mengenakan baju lebih santai dari konsultasi pertama membuatnya semakin tampan. Aya bahkan dapat mencium parfum maskulin pria itu sedari masuk ke ruangannya, perpaduan yang membuat hati Aya berdesir terpesona pada pasien yang tidak bisa melupakan cinta masa lalunya. Anehnya lagi, Senja tidak tampak seperti pasien. Dia errr bak titisan dewa menggoda di mata Aya.“Baiklah, Pak. Silakan formulir tempo hari dilengkapi dulu.” Aya menyerahkan kertas berisi beberapa pertanyaan kepada Senja. Kali ini Aya tidak akan berlari ke lemari berkasnya atau mengutak atik sesuatu di lacinya, walau ingin. Bagaimana pun, tegangan yang dibawa senja terlalu berat. Tapi, Aya ingin memberi perhatian kepada pasien, bahwa dia sungguh-sungguh perduli dengan masalah mereka. Lagi pula, Aya diam-diam merasa beruntung bisa sepuasnya memandangi wajah Senja.“Ada yang salah di waj
Sudah lima menit mereka di dalam mobil Senja dan selama itu pula mereka hanya diam. Semua pertanyaan Aya hanya tertahan dalam kepala. Keberaniannya menguap tanpa sisa kala aura dingin senja mewarnai perjalanan mereka.“Gang nomor berapa rumahmu?” tanya Senja tanpa menoleh.Aya yang tadi sibuk dengan pikirannya tersentak pelan dan melihat ke arah depan. Ternyata mereka sudah sampai di depan perumahan. “Ah nomor 10. Gang rumahku nomor 10 tepat di ujung.”“Itu rumahku,” ucap Aya beberapa saat kemudian. Menunjuk rumah minimalis yang terang benderang. Terlihat pula beberapa pria duduk di teras yang terdapat beberapa kursi rotan.“Ada pesta di rumahmu.” Bukan pertanyaan, tapi pernyataan yang disimpulkan Senja.Aya meringis, dia teringat kebiasaan abangnya yang selalu mengadakan pesta kecil-kecilan dengan teman-teman gengnya. Aya ingat pula bahwa itulah salah satu alasan yang membuatnya memilih lembur
Kenta menghampiri istrinya yang sedang duduk di atas sofa dengan wajah yang loyo. ‘Tidak biasanya seperti ini, dan tidak mungkin di masa hamil masuk lima bulan, Seya loyo karena muntah-muntah. Pasti ada yang sedang dipikirkan istrinya ini,’ batin Kenta.Kenta mendekat dan duduk di samping Seya. “Kenapa wajahmu macam kucing ditinggal kawin begitu?” cerocos Kenta seperti kebiasaannya sejak dulu. Tidak peduli apakah Seya sekarang sudah berganti status menjadi istrinya dan sedang mengandung darah daging pria itu.Seya yang merasa kesal dikatai kucing langsung mencubit perut Kenta dengan kuat.“Aww stop stop ampun, Sayang,” ringis Kenta. Dahinya berkerut serta kedua alis terangkat naik, tangannya berusaha melepaskan tangan Seya dari perutnya.“Makanya jangan sembarangan ngatain istri, ck! Buat kesal aja!” cibir Seya kesal.“Nah itu, kutanya kan tadi kenapa muka kau kesal sayang?” ucap Kenta mem
Senja memasang wajah datar melihat sosok di depannya. Sudah dua kali mereka bertemu secara tidak sengaja dan itu mulai membuat Senja merasa terganggu.“Kenapa Pak Senja bisa ada di sini?” tanya Aya. Bisa-bisanya dia bisa bertemu dengan pasiennya di tempat umum seperti ini. Bahkan pria itu baru saja menyelamatkan nyawanya dari amukan sang abang.“Harusnya saya yang tanya. Kenapa ribut-ribut di tempat seperti ini?” balas Senja sambil berjalan ke tempat dimana dia duduk tadi. Lalu Senja membereskan barang-barangnya yang terletak di rumput, walaupun hanya sekadar botol air minum dan tas bahu kecil.“Eh, itu..” Aya bingung harus menjawab apa. Dia tidak mungkin menceritakan masalah psikologis abangnya pada Senja, yang masih berstatus pasiennya.“Sudahlah. Saya juga tidak tertarik,” ucap Senja meninggalkan Aya yang masih sibuk berpikir. Dia tidak habis pikir bagaimana gadis itu bertengkar dengan abangnya di tepi da
Hampir seminggu berlalu dari pertemuan terakhir Aya dengan Senja. Sejak itu pula, pria bernama lengkap Senja Adikaya itu seperti menghilang. Jadwal temu dibatalkan dua kali dengan alasan kesibukan. Padahal Aya sudah mempersiapkan dirinya dengan baik. Malam hari Aya sampai rutin menggunakan masker di seluruh wajahnya agar semakin cantik bersinar.Namun sayangnya usahanya itu tidak ada hasil sama sekali. Senja tidak ada waktu untuk melihat wajahnya.“Ada apa dengan wajahmu itu, hah?” tanya Adimas.Aya yang duduk di teras rumah melihat abangnya membawa celana jeans yang robek, entah karena apa. Kening Aya berkerut sambil membetulkan duduknya menjadi tegap di kursi rotan itu.“Jahitkan celanaku,” pinta abangnya. Celana jeans tadi diletakkan di atas meja beserta kotak berisi jarum dan benang.Mengingat kejadian seminggu lalu, saat abangnya hampir mengamuk di danau, Aya kembali emosi. Aya tidak mengindahkan pemintaan Adimas. Gadis
Pasar loak adalah pasar tradisional yang menjual segala macam kebutuhan rumah tangga termasuk pakaian, makanan dan juga perabotan. Aya suka belanja ke tempat yang ramai ini karena harganya lebih murah dari pakaian di mall. Apalagi jika penjualnya cuci gudang, beuh... Aya paling senang. Dia rela desak-desakan dengan yang lain demi mendapat barang diskon yang bagus. Dan tentunya pilihan Aya tidak kalah bagusnya dengan baju-baju di mall.Tapi kini, rasa senang itu tergantikan dengan rasa was-was. Sepanjang mengekori abangnya, Aya selalu melirik kiri-kanan depan-belakang, untuk jaga-jaga siapa tahu ada musuh abangnya.“Pak, itu celananya ukuran berapa?” tanya Aya. Adimas yang mendengar Aya singgah di salah satu lapak pakaian berhenti dan mendekat.“Ukuran XL ini, Neng. Untuk siapa celananya, Neng?” tanya si bapak yang berjualan.“Ini untuk abang saya, Pak,” jawab Aya, mengambil celana itu dan meneliti mereknya. Apa
Pasar loak adalah pasar tradisional yang menjual segala macam kebutuhan rumah tangga termasuk pakaian, makanan dan juga perabotan. Aya suka belanja ke tempat yang ramai ini karena harganya lebih murah dari pakaian di mall. Apalagi jika penjualnya cuci gudang, beuh... Aya paling senang. Dia rela desak-desakan dengan yang lain demi mendapat barang diskon yang bagus. Dan tentunya pilihan Aya tidak kalah bagusnya dengan baju-baju di mall.Tapi kini, rasa senang itu tergantikan dengan rasa was-was. Sepanjang mengekori abangnya, Aya selalu melirik kiri-kanan depan-belakang, untuk jaga-jaga siapa tahu ada musuh abangnya.“Pak, itu celananya ukuran berapa?” tanya Aya. Adimas yang mendengar Aya singgah di salah satu lapak pakaian berhenti dan mendekat.“Ukuran XL ini, Neng. Untuk siapa celananya, Neng?” tanya si bapak yang berjualan.“Ini untuk abang saya, Pak,” jawab Aya, mengambil celana itu dan meneliti mereknya. Apa
Hampir seminggu berlalu dari pertemuan terakhir Aya dengan Senja. Sejak itu pula, pria bernama lengkap Senja Adikaya itu seperti menghilang. Jadwal temu dibatalkan dua kali dengan alasan kesibukan. Padahal Aya sudah mempersiapkan dirinya dengan baik. Malam hari Aya sampai rutin menggunakan masker di seluruh wajahnya agar semakin cantik bersinar.Namun sayangnya usahanya itu tidak ada hasil sama sekali. Senja tidak ada waktu untuk melihat wajahnya.“Ada apa dengan wajahmu itu, hah?” tanya Adimas.Aya yang duduk di teras rumah melihat abangnya membawa celana jeans yang robek, entah karena apa. Kening Aya berkerut sambil membetulkan duduknya menjadi tegap di kursi rotan itu.“Jahitkan celanaku,” pinta abangnya. Celana jeans tadi diletakkan di atas meja beserta kotak berisi jarum dan benang.Mengingat kejadian seminggu lalu, saat abangnya hampir mengamuk di danau, Aya kembali emosi. Aya tidak mengindahkan pemintaan Adimas. Gadis
Senja memasang wajah datar melihat sosok di depannya. Sudah dua kali mereka bertemu secara tidak sengaja dan itu mulai membuat Senja merasa terganggu.“Kenapa Pak Senja bisa ada di sini?” tanya Aya. Bisa-bisanya dia bisa bertemu dengan pasiennya di tempat umum seperti ini. Bahkan pria itu baru saja menyelamatkan nyawanya dari amukan sang abang.“Harusnya saya yang tanya. Kenapa ribut-ribut di tempat seperti ini?” balas Senja sambil berjalan ke tempat dimana dia duduk tadi. Lalu Senja membereskan barang-barangnya yang terletak di rumput, walaupun hanya sekadar botol air minum dan tas bahu kecil.“Eh, itu..” Aya bingung harus menjawab apa. Dia tidak mungkin menceritakan masalah psikologis abangnya pada Senja, yang masih berstatus pasiennya.“Sudahlah. Saya juga tidak tertarik,” ucap Senja meninggalkan Aya yang masih sibuk berpikir. Dia tidak habis pikir bagaimana gadis itu bertengkar dengan abangnya di tepi da
Kenta menghampiri istrinya yang sedang duduk di atas sofa dengan wajah yang loyo. ‘Tidak biasanya seperti ini, dan tidak mungkin di masa hamil masuk lima bulan, Seya loyo karena muntah-muntah. Pasti ada yang sedang dipikirkan istrinya ini,’ batin Kenta.Kenta mendekat dan duduk di samping Seya. “Kenapa wajahmu macam kucing ditinggal kawin begitu?” cerocos Kenta seperti kebiasaannya sejak dulu. Tidak peduli apakah Seya sekarang sudah berganti status menjadi istrinya dan sedang mengandung darah daging pria itu.Seya yang merasa kesal dikatai kucing langsung mencubit perut Kenta dengan kuat.“Aww stop stop ampun, Sayang,” ringis Kenta. Dahinya berkerut serta kedua alis terangkat naik, tangannya berusaha melepaskan tangan Seya dari perutnya.“Makanya jangan sembarangan ngatain istri, ck! Buat kesal aja!” cibir Seya kesal.“Nah itu, kutanya kan tadi kenapa muka kau kesal sayang?” ucap Kenta mem
Sudah lima menit mereka di dalam mobil Senja dan selama itu pula mereka hanya diam. Semua pertanyaan Aya hanya tertahan dalam kepala. Keberaniannya menguap tanpa sisa kala aura dingin senja mewarnai perjalanan mereka.“Gang nomor berapa rumahmu?” tanya Senja tanpa menoleh.Aya yang tadi sibuk dengan pikirannya tersentak pelan dan melihat ke arah depan. Ternyata mereka sudah sampai di depan perumahan. “Ah nomor 10. Gang rumahku nomor 10 tepat di ujung.”“Itu rumahku,” ucap Aya beberapa saat kemudian. Menunjuk rumah minimalis yang terang benderang. Terlihat pula beberapa pria duduk di teras yang terdapat beberapa kursi rotan.“Ada pesta di rumahmu.” Bukan pertanyaan, tapi pernyataan yang disimpulkan Senja.Aya meringis, dia teringat kebiasaan abangnya yang selalu mengadakan pesta kecil-kecilan dengan teman-teman gengnya. Aya ingat pula bahwa itulah salah satu alasan yang membuatnya memilih lembur
“Selamat pagi, Pak Senja. Silakan duduk.” sapa Aya dengan ramah.Penampilan Senja yang mengenakan baju lebih santai dari konsultasi pertama membuatnya semakin tampan. Aya bahkan dapat mencium parfum maskulin pria itu sedari masuk ke ruangannya, perpaduan yang membuat hati Aya berdesir terpesona pada pasien yang tidak bisa melupakan cinta masa lalunya. Anehnya lagi, Senja tidak tampak seperti pasien. Dia errr bak titisan dewa menggoda di mata Aya.“Baiklah, Pak. Silakan formulir tempo hari dilengkapi dulu.” Aya menyerahkan kertas berisi beberapa pertanyaan kepada Senja. Kali ini Aya tidak akan berlari ke lemari berkasnya atau mengutak atik sesuatu di lacinya, walau ingin. Bagaimana pun, tegangan yang dibawa senja terlalu berat. Tapi, Aya ingin memberi perhatian kepada pasien, bahwa dia sungguh-sungguh perduli dengan masalah mereka. Lagi pula, Aya diam-diam merasa beruntung bisa sepuasnya memandangi wajah Senja.“Ada yang salah di waj
Senja hilang di balik pegunungan yang gagah, membawa serta cahaya kuning dan perlahan mengikis birunya langit. Laksana tuan bagai gelap, kepergiannya pun tidak sendiri. Ada awan berarak hitam kelabu megantar beramai-ramai.Sore itu, Senja merasa berat. Sesak di dadanya hampir melumpuhkan pikiran. Bayang-bayang gadis yang sudah terpatri lama dalam hatinya terus mengganggu. Senja tersenyum mengutuk hatinya yang masih berharap pada gadis yang sudah bahagia itu.“Kenapa lagi kau?” tanya Kenta menghampiri Senja, lelaki yang terlihat menyedihkan juga stres.“Hm.”“Ck. Kau tau kan Sey tak akan membiarkan ku tidur di rumah kalau kita sampai mabuk di tempat ini?” cibir Kenta pada Senja, sahabat karibnya sedari SMA.“Aku melihatnya lagi tadi, tertawa lepas,” ucap Senja. Lalu, dia meneguk minuman merah di tangannya.Kenta mendesah, paham maksud Senja. Selalu saja seperti ini, abang dari istrinya itu masih