Hampir seminggu berlalu dari pertemuan terakhir Aya dengan Senja. Sejak itu pula, pria bernama lengkap Senja Adikaya itu seperti menghilang. Jadwal temu dibatalkan dua kali dengan alasan kesibukan. Padahal Aya sudah mempersiapkan dirinya dengan baik. Malam hari Aya sampai rutin menggunakan masker di seluruh wajahnya agar semakin cantik bersinar.
Namun sayangnya usahanya itu tidak ada hasil sama sekali. Senja tidak ada waktu untuk melihat wajahnya.
“Ada apa dengan wajahmu itu, hah?” tanya Adimas.
Aya yang duduk di teras rumah melihat abangnya membawa celana jeans yang robek, entah karena apa. Kening Aya berkerut sambil membetulkan duduknya menjadi tegap di kursi rotan itu.
“Jahitkan celanaku,” pinta abangnya. Celana jeans tadi diletakkan di atas meja beserta kotak berisi jarum dan benang.
Mengingat kejadian seminggu lalu, saat abangnya hampir mengamuk di danau, Aya kembali emosi. Aya tidak mengindahkan pemintaan Adimas. Gadis itu hanya duduk-duduk sambil bermain ponsel.
Adimas heran dan duduk di kursi samping adiknya. “Kau gak dengar?” tanyanya.
Aya mendengus, memasang tampang kesal. Bisa-bisanya abangnya ini tidak ingat semua perlakuan buruknya pada Aya. Abangnya itu kalau sedang sadar, wajahnya akan datar bagai tidak berdosa.
“Jahit ya,” pinta abangnya lagi.
“Huft!!” Aya menghembuskan nafas kasar. Sungguh sial nasibnya harus mengurusi abang yang punya keterbelakangan mental seperti ini. Melihat abangnya, kadang Aya merasa ingin menonjok wajah itu hingga babak belur.
Tapi, Aya keseringan merasa kasihan dan tidak tegaan. Apalagi jika abangnya sampai babak belur akibat berkelahi dengan preman-preman pasar. Untungnya selama ini geng abangnya yang juga merupakan teman-teman kecil Aya tetap setia pada Adimas. Jika tidak ada mereka, mungkin Aya tidak tau lagi harus meminta bantuan kepada siapa untuk menjaga abangnya. Yah, walaupun kebiasaan buruk mereka mabuk-mabukan masih jadi hal memuakkan bagi gadis itu.
“Iya, nanti akan kujahit. Sekarang aku lagi malas,” ucap Aya mencebikkan bibirnya.
“Ya sudah.” Adimas berdiri dan masuk kembali ke dalam rumah. Aya melirik celana jeans abangnya di atas meja. Merentangkannya, Aya bisa melihat banyaknya sobekan pada bagian paha. Sepertinya juga celana itu sudah lama dipakai, karena terlihat usang.
“Hahh, mananya juga yang mau dijahit? Ini dijadikan kain lap juga gak layak.” Aya terus mengoceh begitu jahitannya terlepas lagi disebabkan kain yang mudah robek.
“Bang!” Aya masuk ke dalam rumah, menghampiri Adimas yang masih memperbaiki radio rusak di kamar pria itu. Aya melemparkan celana jeans di tangannya ke meja. “Ini sudah gak layak lagi dipakai. Dijahit juga gak bisa lagi!” kesal Aya.
Adimas memungut celananya, “Apanya yang rusak? Ini masih bagus.”
“Ya sudahlah, terserah! Pakai aja itu sampai bolong-bolong semua,” jawab Aya ketus, lalu pergi menuju kamarnya.
“Hoi, Aya. Mau kemana kau?” Adimas menahan tangan Aya.
“Kau tidak lihat, Bang? Aku mau pergi ke pasar. Mending beli celana yang baru dari pada pakai yang itu,” tunjuk Aya pada celana yang masih menggantung di tangan abangnya.
Seperti bocah mendapat permen, Adimas menyengir sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Rambutnya yang gondrong terlihat makin berantakan. “Aku kan tidak punya uang. Kau mau ngutangin celanaku?” tanya Adimas, matanya memancarkan harapan.
“Ck! Lepasin tanganku, Bang. Gak usah lebai lah. Biasanya juga ngutang gak pernah ingat tuh,” cerocos Aya lalu segera melangkah menuju teras rumah. Aya pikir setelah memasang sepatunya, dia bisa pergi ke pasar dengan tenang. Tapi ternyata abangnya yang tadi masih terlihat seperti preman gembel sekejap mata sudah berpakaian sedikit lebih rapi dan saat ini sedang mengunci pintu rumah.
Kening Aya berkerut, firasatnya buruk tentang ini. Dalam hati dia berharap semoga Adimas tidak minta ikut ke pasar. “Semoga dia pergi nongkrong sama gengnya,” batin Aya.
Adimas bergegas naik ke motor ninjanya lalu dia menyalakan mesin yang langsung mengeluarkan bunyi cempreng. Aya masih diam memperhatikan.
“Ayo, cepat! Ngapain diam di sana? Mau ke pasar kan, aku yang antarin!” seru Adimas.
Aya buru-buru mengipaskan tangan menolak, dia kesal. “Gak usah, Bang! Kan Aya gak minta. Aya udah mesan ojol tadi. Ini mau sampai.” Aya berlalu melewati motor abangnya dan menunggu ojol langganannya di depan pagar.
Segera setelah ojol langganan Aya tiba, Adimas turun dari motor dan berkata, “Gak usah, Mang! Aya, aku yang antar!” titahnya.
“Eh, jangan Mang. Saya ikut Mamang saja. Abang itu mau pergi ke komplek sebelah,” bohong Aya. Dirinya segera berlari menuju Mamang ojol dan bersiap menaiki motornya.
“Ya sudah. Tapi besok geng abang tawuran sama ojol di kompleks sini, kita hajar semua terutama Mamang Kasep,” ucap Adimas. Dia menaikkan lengan jaketnya hingga tato di tangannya terlihat. Aya menghela nafas, melihat Mamang Kasep mulai takut.
“Neng, Anu.. Sebaiknya neng ikut sama abangnya neng saja, ya. Mamang masih mau hidup sehat, Neng. Anak istri saya nanti gak makan,” pinta Mamang Kasep tak enak hati. Aya geram dan mengepalkan tangannya kesal. Padahal dia sudah posisi nyaman di atas motor, tapi selalu terganggu karena abang brengseknya.
Aya memilih mengalah. Dia tidak mungkin memaksa Mang Kasep. Bisa-bisa abangnya,Gatot, Andi dan yang lainnya benaran tawuran. Jika itu terjadi, tidak ada lagi ojol yang mau berlangganan dengan Aya. Mau naik pakai apa dia ke rumah sakit?
Aya menghentakkan kakinya setelah Mang Kasep putar arah dan pergi. “Ck! Ya sudah ayo cepat!” bentaknya pada Adimas.
Bukan rasa malu yang hindari Aya. Sekompleks, bukan, se-kecamatan mungkin sudah tahu bahwa Adimas adalah abang Aya. Kalian tahu kenapa? Karena geng Adimas selalu membawa-bawa nama Aya di setiap pembicaraan mereka. Baik dalam konteks bicara santai atau saat adegan ancam-mengancam antar geng terjadi.
Yang ditakutkan Aya hanyalah jika mereka bertemu dengan geng lain yang mengincar abangnya. Jika terjadi, maka abangnya akan berkelahi dan mereka berdua akan terluka.
“Awas aja nanti ya, Bang. Jangan sampai buat onar di pasar!” titah Aya sambil mencubit bahu Adimas sesekali jika abangnya sengaja membawa motor lewat jalan yang berlubang.
Adimas mengangguk patuh. Abangnya itu sepertinya fokus pada jalanan. Melintasi jalan menuju pasar dengan naik si Jago-nama motor abangnya, terasa seperti dulu. Ketika Aya masih kuliah dan abangnya masih belum seperti sekarang.
Dulu, Adimas adalah cerminan abang yang baik. Aya selalu bersyukur mempunyai saudara seperti itu. Tapi rasa syukur Aya rupanya masih kurang, setelah koas masalah besar menimpa keluarganya. Hasilnya adalah abangnya yang seperti saat ini.
“Hoi, Aya! Sudah sampai, turun gak?” Adimas membuyarkan lamunannya. Ternyata mereka sudah sampai di Pasar Loak. Aya mengangguk dan segera turun dari si Jago.
“Abang langsung pulang aja. Nanti Aya gak usah di jemput,” ucap Aya sambil melepaskan helm dan meletakkannya di atas kepala motor abangnya.
“Aku ikutlah.. Lagian kan kalau celana yang kau beli kurang pas, rugilah kita,” bantah Adimas. “Ayo, Aya cepat pasarnya nanti tutup!” ajak Adimas yang sudah jauh di depan dan mulai melihat-lihat jeans untuknya.
“Sudahlah,” keluh Aya.
Pasar loak adalah pasar tradisional yang menjual segala macam kebutuhan rumah tangga termasuk pakaian, makanan dan juga perabotan. Aya suka belanja ke tempat yang ramai ini karena harganya lebih murah dari pakaian di mall. Apalagi jika penjualnya cuci gudang, beuh... Aya paling senang. Dia rela desak-desakan dengan yang lain demi mendapat barang diskon yang bagus. Dan tentunya pilihan Aya tidak kalah bagusnya dengan baju-baju di mall.Tapi kini, rasa senang itu tergantikan dengan rasa was-was. Sepanjang mengekori abangnya, Aya selalu melirik kiri-kanan depan-belakang, untuk jaga-jaga siapa tahu ada musuh abangnya.“Pak, itu celananya ukuran berapa?” tanya Aya. Adimas yang mendengar Aya singgah di salah satu lapak pakaian berhenti dan mendekat.“Ukuran XL ini, Neng. Untuk siapa celananya, Neng?” tanya si bapak yang berjualan.“Ini untuk abang saya, Pak,” jawab Aya, mengambil celana itu dan meneliti mereknya. Apa
Senja hilang di balik pegunungan yang gagah, membawa serta cahaya kuning dan perlahan mengikis birunya langit. Laksana tuan bagai gelap, kepergiannya pun tidak sendiri. Ada awan berarak hitam kelabu megantar beramai-ramai.Sore itu, Senja merasa berat. Sesak di dadanya hampir melumpuhkan pikiran. Bayang-bayang gadis yang sudah terpatri lama dalam hatinya terus mengganggu. Senja tersenyum mengutuk hatinya yang masih berharap pada gadis yang sudah bahagia itu.“Kenapa lagi kau?” tanya Kenta menghampiri Senja, lelaki yang terlihat menyedihkan juga stres.“Hm.”“Ck. Kau tau kan Sey tak akan membiarkan ku tidur di rumah kalau kita sampai mabuk di tempat ini?” cibir Kenta pada Senja, sahabat karibnya sedari SMA.“Aku melihatnya lagi tadi, tertawa lepas,” ucap Senja. Lalu, dia meneguk minuman merah di tangannya.Kenta mendesah, paham maksud Senja. Selalu saja seperti ini, abang dari istrinya itu masih
“Selamat pagi, Pak Senja. Silakan duduk.” sapa Aya dengan ramah.Penampilan Senja yang mengenakan baju lebih santai dari konsultasi pertama membuatnya semakin tampan. Aya bahkan dapat mencium parfum maskulin pria itu sedari masuk ke ruangannya, perpaduan yang membuat hati Aya berdesir terpesona pada pasien yang tidak bisa melupakan cinta masa lalunya. Anehnya lagi, Senja tidak tampak seperti pasien. Dia errr bak titisan dewa menggoda di mata Aya.“Baiklah, Pak. Silakan formulir tempo hari dilengkapi dulu.” Aya menyerahkan kertas berisi beberapa pertanyaan kepada Senja. Kali ini Aya tidak akan berlari ke lemari berkasnya atau mengutak atik sesuatu di lacinya, walau ingin. Bagaimana pun, tegangan yang dibawa senja terlalu berat. Tapi, Aya ingin memberi perhatian kepada pasien, bahwa dia sungguh-sungguh perduli dengan masalah mereka. Lagi pula, Aya diam-diam merasa beruntung bisa sepuasnya memandangi wajah Senja.“Ada yang salah di waj
Sudah lima menit mereka di dalam mobil Senja dan selama itu pula mereka hanya diam. Semua pertanyaan Aya hanya tertahan dalam kepala. Keberaniannya menguap tanpa sisa kala aura dingin senja mewarnai perjalanan mereka.“Gang nomor berapa rumahmu?” tanya Senja tanpa menoleh.Aya yang tadi sibuk dengan pikirannya tersentak pelan dan melihat ke arah depan. Ternyata mereka sudah sampai di depan perumahan. “Ah nomor 10. Gang rumahku nomor 10 tepat di ujung.”“Itu rumahku,” ucap Aya beberapa saat kemudian. Menunjuk rumah minimalis yang terang benderang. Terlihat pula beberapa pria duduk di teras yang terdapat beberapa kursi rotan.“Ada pesta di rumahmu.” Bukan pertanyaan, tapi pernyataan yang disimpulkan Senja.Aya meringis, dia teringat kebiasaan abangnya yang selalu mengadakan pesta kecil-kecilan dengan teman-teman gengnya. Aya ingat pula bahwa itulah salah satu alasan yang membuatnya memilih lembur
Kenta menghampiri istrinya yang sedang duduk di atas sofa dengan wajah yang loyo. ‘Tidak biasanya seperti ini, dan tidak mungkin di masa hamil masuk lima bulan, Seya loyo karena muntah-muntah. Pasti ada yang sedang dipikirkan istrinya ini,’ batin Kenta.Kenta mendekat dan duduk di samping Seya. “Kenapa wajahmu macam kucing ditinggal kawin begitu?” cerocos Kenta seperti kebiasaannya sejak dulu. Tidak peduli apakah Seya sekarang sudah berganti status menjadi istrinya dan sedang mengandung darah daging pria itu.Seya yang merasa kesal dikatai kucing langsung mencubit perut Kenta dengan kuat.“Aww stop stop ampun, Sayang,” ringis Kenta. Dahinya berkerut serta kedua alis terangkat naik, tangannya berusaha melepaskan tangan Seya dari perutnya.“Makanya jangan sembarangan ngatain istri, ck! Buat kesal aja!” cibir Seya kesal.“Nah itu, kutanya kan tadi kenapa muka kau kesal sayang?” ucap Kenta mem
Senja memasang wajah datar melihat sosok di depannya. Sudah dua kali mereka bertemu secara tidak sengaja dan itu mulai membuat Senja merasa terganggu.“Kenapa Pak Senja bisa ada di sini?” tanya Aya. Bisa-bisanya dia bisa bertemu dengan pasiennya di tempat umum seperti ini. Bahkan pria itu baru saja menyelamatkan nyawanya dari amukan sang abang.“Harusnya saya yang tanya. Kenapa ribut-ribut di tempat seperti ini?” balas Senja sambil berjalan ke tempat dimana dia duduk tadi. Lalu Senja membereskan barang-barangnya yang terletak di rumput, walaupun hanya sekadar botol air minum dan tas bahu kecil.“Eh, itu..” Aya bingung harus menjawab apa. Dia tidak mungkin menceritakan masalah psikologis abangnya pada Senja, yang masih berstatus pasiennya.“Sudahlah. Saya juga tidak tertarik,” ucap Senja meninggalkan Aya yang masih sibuk berpikir. Dia tidak habis pikir bagaimana gadis itu bertengkar dengan abangnya di tepi da
Pasar loak adalah pasar tradisional yang menjual segala macam kebutuhan rumah tangga termasuk pakaian, makanan dan juga perabotan. Aya suka belanja ke tempat yang ramai ini karena harganya lebih murah dari pakaian di mall. Apalagi jika penjualnya cuci gudang, beuh... Aya paling senang. Dia rela desak-desakan dengan yang lain demi mendapat barang diskon yang bagus. Dan tentunya pilihan Aya tidak kalah bagusnya dengan baju-baju di mall.Tapi kini, rasa senang itu tergantikan dengan rasa was-was. Sepanjang mengekori abangnya, Aya selalu melirik kiri-kanan depan-belakang, untuk jaga-jaga siapa tahu ada musuh abangnya.“Pak, itu celananya ukuran berapa?” tanya Aya. Adimas yang mendengar Aya singgah di salah satu lapak pakaian berhenti dan mendekat.“Ukuran XL ini, Neng. Untuk siapa celananya, Neng?” tanya si bapak yang berjualan.“Ini untuk abang saya, Pak,” jawab Aya, mengambil celana itu dan meneliti mereknya. Apa
Hampir seminggu berlalu dari pertemuan terakhir Aya dengan Senja. Sejak itu pula, pria bernama lengkap Senja Adikaya itu seperti menghilang. Jadwal temu dibatalkan dua kali dengan alasan kesibukan. Padahal Aya sudah mempersiapkan dirinya dengan baik. Malam hari Aya sampai rutin menggunakan masker di seluruh wajahnya agar semakin cantik bersinar.Namun sayangnya usahanya itu tidak ada hasil sama sekali. Senja tidak ada waktu untuk melihat wajahnya.“Ada apa dengan wajahmu itu, hah?” tanya Adimas.Aya yang duduk di teras rumah melihat abangnya membawa celana jeans yang robek, entah karena apa. Kening Aya berkerut sambil membetulkan duduknya menjadi tegap di kursi rotan itu.“Jahitkan celanaku,” pinta abangnya. Celana jeans tadi diletakkan di atas meja beserta kotak berisi jarum dan benang.Mengingat kejadian seminggu lalu, saat abangnya hampir mengamuk di danau, Aya kembali emosi. Aya tidak mengindahkan pemintaan Adimas. Gadis
Senja memasang wajah datar melihat sosok di depannya. Sudah dua kali mereka bertemu secara tidak sengaja dan itu mulai membuat Senja merasa terganggu.“Kenapa Pak Senja bisa ada di sini?” tanya Aya. Bisa-bisanya dia bisa bertemu dengan pasiennya di tempat umum seperti ini. Bahkan pria itu baru saja menyelamatkan nyawanya dari amukan sang abang.“Harusnya saya yang tanya. Kenapa ribut-ribut di tempat seperti ini?” balas Senja sambil berjalan ke tempat dimana dia duduk tadi. Lalu Senja membereskan barang-barangnya yang terletak di rumput, walaupun hanya sekadar botol air minum dan tas bahu kecil.“Eh, itu..” Aya bingung harus menjawab apa. Dia tidak mungkin menceritakan masalah psikologis abangnya pada Senja, yang masih berstatus pasiennya.“Sudahlah. Saya juga tidak tertarik,” ucap Senja meninggalkan Aya yang masih sibuk berpikir. Dia tidak habis pikir bagaimana gadis itu bertengkar dengan abangnya di tepi da
Kenta menghampiri istrinya yang sedang duduk di atas sofa dengan wajah yang loyo. ‘Tidak biasanya seperti ini, dan tidak mungkin di masa hamil masuk lima bulan, Seya loyo karena muntah-muntah. Pasti ada yang sedang dipikirkan istrinya ini,’ batin Kenta.Kenta mendekat dan duduk di samping Seya. “Kenapa wajahmu macam kucing ditinggal kawin begitu?” cerocos Kenta seperti kebiasaannya sejak dulu. Tidak peduli apakah Seya sekarang sudah berganti status menjadi istrinya dan sedang mengandung darah daging pria itu.Seya yang merasa kesal dikatai kucing langsung mencubit perut Kenta dengan kuat.“Aww stop stop ampun, Sayang,” ringis Kenta. Dahinya berkerut serta kedua alis terangkat naik, tangannya berusaha melepaskan tangan Seya dari perutnya.“Makanya jangan sembarangan ngatain istri, ck! Buat kesal aja!” cibir Seya kesal.“Nah itu, kutanya kan tadi kenapa muka kau kesal sayang?” ucap Kenta mem
Sudah lima menit mereka di dalam mobil Senja dan selama itu pula mereka hanya diam. Semua pertanyaan Aya hanya tertahan dalam kepala. Keberaniannya menguap tanpa sisa kala aura dingin senja mewarnai perjalanan mereka.“Gang nomor berapa rumahmu?” tanya Senja tanpa menoleh.Aya yang tadi sibuk dengan pikirannya tersentak pelan dan melihat ke arah depan. Ternyata mereka sudah sampai di depan perumahan. “Ah nomor 10. Gang rumahku nomor 10 tepat di ujung.”“Itu rumahku,” ucap Aya beberapa saat kemudian. Menunjuk rumah minimalis yang terang benderang. Terlihat pula beberapa pria duduk di teras yang terdapat beberapa kursi rotan.“Ada pesta di rumahmu.” Bukan pertanyaan, tapi pernyataan yang disimpulkan Senja.Aya meringis, dia teringat kebiasaan abangnya yang selalu mengadakan pesta kecil-kecilan dengan teman-teman gengnya. Aya ingat pula bahwa itulah salah satu alasan yang membuatnya memilih lembur
“Selamat pagi, Pak Senja. Silakan duduk.” sapa Aya dengan ramah.Penampilan Senja yang mengenakan baju lebih santai dari konsultasi pertama membuatnya semakin tampan. Aya bahkan dapat mencium parfum maskulin pria itu sedari masuk ke ruangannya, perpaduan yang membuat hati Aya berdesir terpesona pada pasien yang tidak bisa melupakan cinta masa lalunya. Anehnya lagi, Senja tidak tampak seperti pasien. Dia errr bak titisan dewa menggoda di mata Aya.“Baiklah, Pak. Silakan formulir tempo hari dilengkapi dulu.” Aya menyerahkan kertas berisi beberapa pertanyaan kepada Senja. Kali ini Aya tidak akan berlari ke lemari berkasnya atau mengutak atik sesuatu di lacinya, walau ingin. Bagaimana pun, tegangan yang dibawa senja terlalu berat. Tapi, Aya ingin memberi perhatian kepada pasien, bahwa dia sungguh-sungguh perduli dengan masalah mereka. Lagi pula, Aya diam-diam merasa beruntung bisa sepuasnya memandangi wajah Senja.“Ada yang salah di waj
Senja hilang di balik pegunungan yang gagah, membawa serta cahaya kuning dan perlahan mengikis birunya langit. Laksana tuan bagai gelap, kepergiannya pun tidak sendiri. Ada awan berarak hitam kelabu megantar beramai-ramai.Sore itu, Senja merasa berat. Sesak di dadanya hampir melumpuhkan pikiran. Bayang-bayang gadis yang sudah terpatri lama dalam hatinya terus mengganggu. Senja tersenyum mengutuk hatinya yang masih berharap pada gadis yang sudah bahagia itu.“Kenapa lagi kau?” tanya Kenta menghampiri Senja, lelaki yang terlihat menyedihkan juga stres.“Hm.”“Ck. Kau tau kan Sey tak akan membiarkan ku tidur di rumah kalau kita sampai mabuk di tempat ini?” cibir Kenta pada Senja, sahabat karibnya sedari SMA.“Aku melihatnya lagi tadi, tertawa lepas,” ucap Senja. Lalu, dia meneguk minuman merah di tangannya.Kenta mendesah, paham maksud Senja. Selalu saja seperti ini, abang dari istrinya itu masih