Dona berpamitan kepada Fairel. Ia ada janji dengan Meta, dan sebisa mungkin Dona jauh-jauh dengan Fairel saat ini.
Dona mengistirahatkan tubuhnya di kursi besi taman kampus. Ia lagi-lagi hanya bisa berteduh di sana. Semilir angin menerbangkan penat Dona.
Fairel juga berusaha untuk menjauh dari Dona sementara. Ia harus belajar melukis wajah manusia, dan Fairel juga menjauh karena salah tingkah.
Di sinilah Fairel berada. Berada di kelas seni seorang diri. Fairel mengeluarkan buku gambar dari sana, pria itu memilih alternatif menggunakan buku gambar terlebih dahulu daripada langsung ke kanvas.
Fairel mengeluarkan alas tulis seperti pensil dan penghapus. Ia juga tidak membawa pensil warna karena belum tentu hasilnya nanti akan memuaskan.
.
Dona menguap, ia kembali merasa kantuk karena Meta tak kunjung datang. Perutnya sedikit melilit karena terlalu banyak makan pedas. Jajan bersama Fairel tadi menghabiskan hampir seratus ribu.
Liha
"Sekarang, giliran ke rumah sakit. Semuanya udah jelas, kemungkinan hasilnya kalau Kak Nea adalah kakak kandung Fairel. Siapa yang mau pergi ke rumah sakit? Gue atau lo? Atau kita berdua?" tanya Dona. Rekaman yang sedari tadi diputar itu telah selesai. Entah kenapa, tubuh Dona terasa ringan. Padahal masalahnya belum selesai, mungkin karena perlahan kebenaran terungkap. "Kapan?" tanya Meta. Ia menatap langit dengan sorot sendu."Bentar lagi malam. Lo yakin, mau ke sana sekarang?" "Besok aja gimana? Mau ketemuan?" "Besok gue ada jadwal nganter Loey untuk tanding tinju. Gue nggak bisa." Dona mengangguk paham,"Yaudah, gue sendirian aja besok." "Lo yakin nggak papa?" "Nggak papa kok gue. Semoga aja hasilnya memuaskan yah Met." Meta tersenyum simpul, ia memandangi tubuh Dona yang jangkung sedang berdiri di hadapannya."Iya." "Yaudah, gue pulang dulu. Mau pulang bareng nggak?" Meta menggeleng, ia mere
"Ayah, selingkuh?" tanya Dona heran. Gadis itu melirik ibu dan Wima berkali-kali seraya meminta penjelasan. "Sejak kapan ayah kayak gitu bunda?" Dona menggoyangkan tubuh Aliya, tetapi beliau tetap diam dan tidak bergeming sama sekali. "Jawab Dona!" Dona berteriak, air matanya mengalir deras membasahi pipi."Jawab Dona! Apa cuman Dona yang nggak tahu kejadian ini?" Naas sekali nasib Dona. Dona pikir kehidupan keluarganya akan menyenangkan. Dona pikir, ibunya bahagia hidup bersama Dion. Dona tahu, Dion tampak tidak terlalu perhatian. Dona pikir, itu hanya karena sikapnya. Karena manusia memiliki sifat yang berbeda-beda, dan ada juga yang malu untuk mengungkapkan rasa perhatian atau kasih sayang. Dona tidak tahu, kalau sikap cuek ayahnya itu lebih ke rasa bosan. Ayahnya selingkuh? Seperti ada petir yang menggelegar di telinga Dona. Gadis itu berjongkok di hadapan ibunya, menutup kedua telinganya, kemudian menangis tersedu-sedu
"Nah, yang terakhir, rambutnya keriting sebahu. Warnanya kuning." Dona sudah mendeskripsikan seluruh wajah yang harus Fairel gambar. Ia berharap, Fairel dapat menggambarnya dengan baik tanpa ada kendala lain lagi. "Warna kuning?" tanya Fairel heboh. Ia jarang menemukan wanita yang memiliki rambut warna kuning selain Fera. "Iya, gambar aja dulu." Dona nyengir, ia benar-benar penasaran dengan hasil gambar Fairel. "Oke-oke. Sabar yah." Dona mengangguk tanpa menjawab, sesekali ia melirik jam dinding yang terpajang di seberang kasur. Matanya membulat ketika melihat pukul empat dini hari. Dona hampir berteriak kaget ketika dirinya tidak tidur malam ini hanya karena menemani Fairel menggambar. Tetapi tidak apa, jika Fairel bisa keluar dari kegelapannya, Dona siap untuk insomnia. "Udah?" tanya Dona tidak sabaran. "Iya udah." "Gimana? Cantik kan?" tanya Dona. Fairel terdiam, ia memandangi wajah pe
Dona menenggelamkan wajahnya di tumpukan tangan. Ia benar-benar merasa kantuk. Sebenarnya, Dona tidak boleh tidur, nanti malam bisa saja dirinya insomnia. Tetapi apa boleh buat, urusan malam biarlah terjadi nanti malam, Dona hanya butuh tidur sebentar saja. Matanya bahkan bengkak dan menghitam karena bergadang. Dona menguap, gadis itu segera memejamkan matanya dan berusaha untuk terlelap. . "Ayah mau makan apa? Biar Wima beliin. Wima pinjem mobil ayah." Dion yang sedang bersantai di sofa setelah rapat yang memakan waktu dua jam itu langsung membalalak kaget. "Kenapa ayah kaget gitu? Nah, ayah mikir yang aneh-aneh ya?" Dion menelan salivanya, ia segera berdiri dan merampas kunci mobil di meja kerja. "Nggak usah. Biar ayah aja yang beli makan, kamu mau makan apa?" Dion berjalan ke tempat gantungan, mengambil jas abu-abu dari sana, kemudian memakainya dengan rapi. "Biar Wima aja. Ayah diem aja di sini." Dion berger
Dona menunggu Fairel sampai ia ikut ketiduran lagi. Mereka mungkin terlalu lelah dengan dunia, hingga tidak sadar jam telah menunjukkan pukul tujuh malam. Saat Dona terbangun dari tidurnya, gadis itu tersentak ketika sekelilingnya mendadak gelap. Ia sempat menerka-nerka di mana ia berada, namun setelah mengingat-ingat, ternyata Dona masih berada di kampus. Dona segera menyalakan senter di ponselnya. Ia membangunkan Fairel dan mengarahkan senter itu ke seluruh penjuru. Semilir angin kala malam membuat seluruh bulu kuduk Dona meremang. Ia terus melarikan pandangannya ke segala arah sambil terus berdeham untuk mengusir kantuk. "Rel... bangun Rel." Fairel menggeliat, pria itu segera membuka matanya dan terlonjak kaget hingga hampir terjengkang. "Kenapa mati lampu?" tanya Fairel polos. Maklum, nyawanya masih belum berkumpul. "Kita ketiduran di kampus. Sekarang udah jam tujuh." Fairel merentangkan kedua tangannya yang kaku. M
Dona masuk ke rumahnya sambil senyum-senyum. Gadis itu tampak bahagia, bahkan sampai membuat Aliya bingung sendiri."Kenapa Na?" tanya Aliya sembari menghampiri anaknya itu. Beliau menepuk pundak anaknya lembut,"Kenapa nih? Ada apa? Bunda lihat kamu bahagia banget." Aliya mulai mengejek dan menjahili anaknya.Dona menggeleng, tanda tidak terjadi apa-apa. Ia sedang tidak ingin bercerita apapun untuk menjaga privasi. Tetapi, Dona akan menceritakan satu hal yang seru."Tadi Dona ketiduran di kelas." Wima yang baru saja datang langsung menjewer kuping adiknya, hingga Dona meringis minta dilepaskan."Bunda, anak bunda jadi bandel nih." Wima menjulurkan lidah guyon. Dion masih berada di mobilnya, ia tidak menyaksikan kegiatan yang seru ini."Wima, lepasin telinga adik kamu. Kasihan dia kesakitan, kalau kamu mau ngejek, ngejek dengan cara yang benar."Dona membulatkan mata, gadis itu mengeluh sambil mengerucutkan bibirnya."Bunda ih! Mal
Fairel berjalan menuju ruang tamu. Setelah beraliran di kampus, ternyata tubuhnya terasa pegal-pegal. Fairel menghela, ia tidak menyadari kalau Gow sedang duduk di sana. Deheman keras layaknya bariton membuat Fairel kaget hingga lompat. "A-ayah?" tanya Fairel cengo. "Kenapa kamu ngeliat ayah kayak ngeliat setan kayak gitu?" tanya Gow heran, ia membenarkan letak duduknya agar lebih nyaman. "Maaf ayah, aku nggak maksud begitu." Fairel mencium punggung tangan Gow lembut. Saat hendak ke kamar, Gow kembali memanggilnya. "Rel sini, kamu udah makan?" Fairel bingung antara harus jujur atau tidak. Bisa jadi, jika Fairel mengungkapkan kalau dirinya belum lapar, ternyata tidak ada temen nasi di sana. Sebenarnya, Fairel belum pernah mendapatkan pertanyaan seperti ini. Ini adalah yang pertama kali, dan itu membuat hati Fairel tersentuh. "Belum, pasti. Kita makan bareng yuk. Biar ayah yang masak, kamu tolong ambil bah
"Mau ngapain pinjem hp?" tanya Wima setelah pria itu keluar dari kamar mandi. Dona cemberut, ia segera berdiri dan menyerahkan ponselnya kembali ke Wima."Nggak jadi. Makasih." Dona langsung keluar dari kamar Wima dengan keadaan kesal dan khawatir. Ia terus-terusan menghela nafas kasar, hingga Wima garuk-garuk kepala. Saat Dona keluar, Wima ikut memperhatikan punggung adiknya itu sampai masuk ke kamar. Wima heran, ia terus memutar matanya mencari alasan yang tepat. Namun, semakin Wima mencari alasan adiknya menjadi aneh, sebanyak itulah Wima jadi frustasi. Wima kembali menutup pintu kamarnya dan rebahan di kasur. Ia melihat log telepon, di sana ada nomor tidak terkenal, panggilan keluar tepatnya pukul sepuluh malam. Wima mendesah,"Apanya yang nggak jadi anjir? Ini udah dipake namanya!" Wima jadi sewot sendiri. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan tingkah adiknya yang seperti anak kecil itu."Anjrot! Pulsa gue habis! Dona!"