"Nah, yang terakhir, rambutnya keriting sebahu. Warnanya kuning."
Dona sudah mendeskripsikan seluruh wajah yang harus Fairel gambar. Ia berharap, Fairel dapat menggambarnya dengan baik tanpa ada kendala lain lagi.
"Warna kuning?" tanya Fairel heboh. Ia jarang menemukan wanita yang memiliki rambut warna kuning selain Fera.
"Iya, gambar aja dulu."
Dona nyengir, ia benar-benar penasaran dengan hasil gambar Fairel.
"Oke-oke. Sabar yah."
Dona mengangguk tanpa menjawab, sesekali ia melirik jam dinding yang terpajang di seberang kasur. Matanya membulat ketika melihat pukul empat dini hari.
Dona hampir berteriak kaget ketika dirinya tidak tidur malam ini hanya karena menemani Fairel menggambar.
Tetapi tidak apa, jika Fairel bisa keluar dari kegelapannya, Dona siap untuk insomnia.
"Udah?" tanya Dona tidak sabaran.
"Iya udah."
"Gimana? Cantik kan?" tanya Dona.
Fairel terdiam, ia memandangi wajah pe
Dona menenggelamkan wajahnya di tumpukan tangan. Ia benar-benar merasa kantuk. Sebenarnya, Dona tidak boleh tidur, nanti malam bisa saja dirinya insomnia. Tetapi apa boleh buat, urusan malam biarlah terjadi nanti malam, Dona hanya butuh tidur sebentar saja. Matanya bahkan bengkak dan menghitam karena bergadang. Dona menguap, gadis itu segera memejamkan matanya dan berusaha untuk terlelap. . "Ayah mau makan apa? Biar Wima beliin. Wima pinjem mobil ayah." Dion yang sedang bersantai di sofa setelah rapat yang memakan waktu dua jam itu langsung membalalak kaget. "Kenapa ayah kaget gitu? Nah, ayah mikir yang aneh-aneh ya?" Dion menelan salivanya, ia segera berdiri dan merampas kunci mobil di meja kerja. "Nggak usah. Biar ayah aja yang beli makan, kamu mau makan apa?" Dion berjalan ke tempat gantungan, mengambil jas abu-abu dari sana, kemudian memakainya dengan rapi. "Biar Wima aja. Ayah diem aja di sini." Dion berger
Dona menunggu Fairel sampai ia ikut ketiduran lagi. Mereka mungkin terlalu lelah dengan dunia, hingga tidak sadar jam telah menunjukkan pukul tujuh malam. Saat Dona terbangun dari tidurnya, gadis itu tersentak ketika sekelilingnya mendadak gelap. Ia sempat menerka-nerka di mana ia berada, namun setelah mengingat-ingat, ternyata Dona masih berada di kampus. Dona segera menyalakan senter di ponselnya. Ia membangunkan Fairel dan mengarahkan senter itu ke seluruh penjuru. Semilir angin kala malam membuat seluruh bulu kuduk Dona meremang. Ia terus melarikan pandangannya ke segala arah sambil terus berdeham untuk mengusir kantuk. "Rel... bangun Rel." Fairel menggeliat, pria itu segera membuka matanya dan terlonjak kaget hingga hampir terjengkang. "Kenapa mati lampu?" tanya Fairel polos. Maklum, nyawanya masih belum berkumpul. "Kita ketiduran di kampus. Sekarang udah jam tujuh." Fairel merentangkan kedua tangannya yang kaku. M
Dona masuk ke rumahnya sambil senyum-senyum. Gadis itu tampak bahagia, bahkan sampai membuat Aliya bingung sendiri."Kenapa Na?" tanya Aliya sembari menghampiri anaknya itu. Beliau menepuk pundak anaknya lembut,"Kenapa nih? Ada apa? Bunda lihat kamu bahagia banget." Aliya mulai mengejek dan menjahili anaknya.Dona menggeleng, tanda tidak terjadi apa-apa. Ia sedang tidak ingin bercerita apapun untuk menjaga privasi. Tetapi, Dona akan menceritakan satu hal yang seru."Tadi Dona ketiduran di kelas." Wima yang baru saja datang langsung menjewer kuping adiknya, hingga Dona meringis minta dilepaskan."Bunda, anak bunda jadi bandel nih." Wima menjulurkan lidah guyon. Dion masih berada di mobilnya, ia tidak menyaksikan kegiatan yang seru ini."Wima, lepasin telinga adik kamu. Kasihan dia kesakitan, kalau kamu mau ngejek, ngejek dengan cara yang benar."Dona membulatkan mata, gadis itu mengeluh sambil mengerucutkan bibirnya."Bunda ih! Mal
Fairel berjalan menuju ruang tamu. Setelah beraliran di kampus, ternyata tubuhnya terasa pegal-pegal. Fairel menghela, ia tidak menyadari kalau Gow sedang duduk di sana. Deheman keras layaknya bariton membuat Fairel kaget hingga lompat. "A-ayah?" tanya Fairel cengo. "Kenapa kamu ngeliat ayah kayak ngeliat setan kayak gitu?" tanya Gow heran, ia membenarkan letak duduknya agar lebih nyaman. "Maaf ayah, aku nggak maksud begitu." Fairel mencium punggung tangan Gow lembut. Saat hendak ke kamar, Gow kembali memanggilnya. "Rel sini, kamu udah makan?" Fairel bingung antara harus jujur atau tidak. Bisa jadi, jika Fairel mengungkapkan kalau dirinya belum lapar, ternyata tidak ada temen nasi di sana. Sebenarnya, Fairel belum pernah mendapatkan pertanyaan seperti ini. Ini adalah yang pertama kali, dan itu membuat hati Fairel tersentuh. "Belum, pasti. Kita makan bareng yuk. Biar ayah yang masak, kamu tolong ambil bah
"Mau ngapain pinjem hp?" tanya Wima setelah pria itu keluar dari kamar mandi. Dona cemberut, ia segera berdiri dan menyerahkan ponselnya kembali ke Wima."Nggak jadi. Makasih." Dona langsung keluar dari kamar Wima dengan keadaan kesal dan khawatir. Ia terus-terusan menghela nafas kasar, hingga Wima garuk-garuk kepala. Saat Dona keluar, Wima ikut memperhatikan punggung adiknya itu sampai masuk ke kamar. Wima heran, ia terus memutar matanya mencari alasan yang tepat. Namun, semakin Wima mencari alasan adiknya menjadi aneh, sebanyak itulah Wima jadi frustasi. Wima kembali menutup pintu kamarnya dan rebahan di kasur. Ia melihat log telepon, di sana ada nomor tidak terkenal, panggilan keluar tepatnya pukul sepuluh malam. Wima mendesah,"Apanya yang nggak jadi anjir? Ini udah dipake namanya!" Wima jadi sewot sendiri. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan tingkah adiknya yang seperti anak kecil itu."Anjrot! Pulsa gue habis! Dona!"
Fairel menyuapkan makanan masakan Bi Kian dengan lahap. Dari dulu, citra rasa Bi Kian tidak pernah berubah. Selalu terasa enak di lidah Fairel dan bikin nagih. Setelah semua makanannya habis, Fairel bergegas pergi. Ia sudah mengenakan hodie hitam, celana jeans dan topi berwarna senada. Ia bergegas ke kamar Gow sambil mengantongi obat yang diberikan Bi Kian. Agar Bi Kian tidak mencarinya atau mengganggu tujuannya hanya karena minum obat. Fairel pelan-pelan masuk ke kamar Gow. Ia tidak perlu khawatir soal cctv, karena walaupun rumah Fairel megah dan estetik, tetap saja tidak memiliki cctv, karena keamanan di sekitar pagar ketat. Kemungkinan, ada lima penjaga yang berjaga gerbang rumah bergantian. Fairel bergegas ke ruangan kerja ayahnya. Ia membuka laptop ayahnya dan mencari semua berkas tentang Dion. Fairel mengcopy semua foto yang Gow tangkap secara diam-diam ke sebuah flashdisk berisi 128 giga. Setelah itu, Fairel kembali memasukkan laptopnya
Fairel bersendawa, semua makanan yang dibawa oleh Meta sudah ludes dan masuk ke mulut Fairel. Meta bertepuk tangan heboh. Ia benar-benar bersyukur karena makanan yang dibelinya tidak habis atau dibuang sia-sia. "Sekarang minum obat." Fairel menggeleng, ia tidak mau minum obat. Fairel akan bertingkah sama seperti Dona memaksanya untuk minum obat. Hidup Fairel terlalu pahit. Jadi, jangan memaksanya untuk memakan obat yang sudah diketahui rasanya adalah pahit. "Minum, biar lo cepet sembuh." Meta mulai membuka kemasan obat tersebut. Untung saja Fairel gerak cepat, dan merampas obat tersebut dan memasukkannya ke laci nakas, lalu mengunci laci tersebut dan kemudian kuncinya Fairel sembunyikan di saku. Meta berdecak, ia tidak habis pikir dengan tingkah Fairel yang seperti anak kecil padahal umurnya sudah dewasa. Fairel bahkan sudah bisa mencari nafkah sendiri, di saat anak-anak kuliah yang lain masih mengandalkan uang orang tua.
"Saya, mau memutuskan pertunangan itu. Saya tidak bisa lagi memaksakan hidup anak saya atas semua yang saya inginkan."Gow mengaduk-aduk sedotan di dalam es lemonnya. Sepertinya, Gow memang sudah benar-benar berubah. Ia bahkan mengambil keputusan untuk memutuskan pertunangan sepihak itu."Kenapa?" tanya Dion heran. Ia kelabakan,"Bagaimana nasibnya saya? Kamu sudah tahu semua hal tentang perselingkuhan yang saya lakukan. Dan kamu, bahkan membantu saya menemukan wanita lain seperti Gelya."Fairel meremas jari-jemari tangannya. Ia tidak habis pikir bahwa ayahnya juga ikut andil dalam perselingkuhan Dion."Kamu yang memperkenalkan wanita-wanita itu Gow. Kamu harus menyadari kesalahan kamu."Gow tampak kegerahan, AC yang menyala tak cukup sejuk untuk mendinginkan suasana,"Saya cuman memperkenalkan. Kamu sendiri yang mengambil keputusan mau mengencani mereka atau tidak.""Saya tahu, kamu melakukan semua ini karena bisnis kamu gagal kan
Saya mau berterimakasih kepada kalian semua, yang dengan setia membaca novel aku sampai selesai. Banyak kekurangan dari matchmaking ini, dan dari itu, saya meminta kritik dan sarannya yang bisa membangun diri saya untuk menjadi penulis yang lebih hebat lagi. Di novel ini, saya menyadari banyak sekali typo. Saya akan memperbaikinya. Apa kabar kalian? Saya @kkiiyys. Bisa kalian panggil kiy, salam kenal untuk kalian semua. Kalian, berasal dari kota mana saja? Saya juga berharap, kalian mau memberikan vote, komentar yang membangun, serta memberi novel saya rating sesuai dengan isi novelnya. Saya ingin tahu, apa kalian menyukai novel saya? Atau kalian tidak menyukainya? Apa komentar terakhir kalian buat pasangan nggak jelas ini, yaitu • Dona sama Fairel? Apa pesan kalian, untuk pasangan • Meta sama Loey? Untuk • Alfina dan Gero? Untuk • Fera dan Bara? Untuk • Seyi dan Wima? Untuk saya, mungkin?
Fairel tidak langsung pulang ke rumah. Setelah pekerjaannya selesai, pria itu bergegas mencari keberadaan Dona. Bahkan, Gero sendiri sampai ia turunkan di jalan. "Jadi, gue turun di sini gitu?" Gero kesal setengah mati ketika mobil Fairel menepi, dan jaraknya menuju rumah masih jauh. "Gue minta maaf. Tapi gue harus nyari Dona." "Gue paham. Gue paham banget masalah lo, gimana kalau gue bantu cari aja. Kita sama-sama cari dari satu komplek ke komplek lain." Itu ide bagus. Hanya saja Fairel ingin sendiri. Gero kembali merayu,"Gue janji deh, gue nggak bakal nyusahin lo. Boleh yah, gue ikut?" Fairel menganggukan kepala dengan terpaksa. Ia kembali melajukan mobilnya tak tentu arah. "Tunggu, tunggu. Keluarga Dona ada siapa aja sih?" Gero baru mengingat hal itu. Fairel bersikap seolah Dona tinggal seorang diri. Sehingga tidak ada siapapun yang bisa dihubungi. "Gue udah ngehubungi kakaknya Dona sama bunda, tapi nggak aktif nomornya.
Semuanya sudah jelas dan terungkap. Walau terdengar sedikit mengejutkan, tetapi itulah kenyataannya. Fairel hendak berkunjung ke rumah Dona, akan tetapi ayahnya melarang hal itu. Beliau mengatakan sudah malam, dan lebih baik dibicarakan esok saja. Fairel menurut, karena perkataan ayahnya itu memang benar. Di sinilah mereka berada, Meta, Nea dan dirinya sedang berkumpul di kamar Fairel. "Kok lo bisa muncul tiba-tiba?" tanya Fairel langsung ke intinya. Fairel atau Nea, mereka sama-sama tidak punya janji untuk bertemu dengan Meta. Tetapi, dengan mengejutkannya, gadis itu menghampiri keluarga Fairel dan mengatakan kebenaran yang paling penting. "Soalnya tadi, gue habis teleponan sama Dona. Dia nutup telepon gue sepihak, setelah nanyain hadiah apa yang lo dapetin pas perlombaan waktu itu." Deg! Jantung Fairel seakan ada yang menusuk dan membuatnya berhenti. Ia melupakan satu hal itu, Fairel pikir, ia akan memberitahu Dona tepat dua
"Baru ke sini lagi? Ke mana aja nih?" Kedua sejoli itu saling bertukar pandang. Mereka bersama-sama menanyakan jawaban yang kompak untuk pertanyaan Bi Oni. Senyuman terukir manis di bibir keduanya, mereka kompak menjawab,"Baru balikan, Bi." "Wuah ...." Bi Oni bahkan sampai bertepuk tangan, hingga sarung tangannya yang penuh terigu itu berterbangan mengotori rambut Dona. Dona terkikik geli, dengan sigap Fairel membersihkan rambut Dona dengan tanganya. Penuh ketelatenan. Setelah membayar semua jajanan yang mereka beli, keduanya pamit. Mereka berjalan berdua mencari kenangan romantis yang bisa diukir. Mereka juga memilih membolos pada mata kuliah ketiga. Fairel meninggalkan mobilnya di kampus, mereka berencana akan kembali lagi ke kampus setelah mencari penat. Dona asyik menyuapkan sosis bakar bumbu rujak sebagai menu terbaru di kedai Bi Oni. Berbeda dengan Fairel, tangannya masih sibuk membersihkan rambut Dona dari tepung.
"Ngapain Dona di sini?" Setelah duduk, Fairel diam-diam berbisik ke telinga Meta ketika dirinya berhasil mencuri waktu. Fairel tidak bisa bergerak, posisi duduknya dihimpit oleh dua wanita yang sedang memiliki masalah dengannya. Untuk bernafas saja, dirinya jadi kikuk tidak karuan. Apalagi, ketika Meta menjawab dengan gelengan acuh, membuat semuanya hancur. Fairel tidak mungkin mengusir Dona. Ia tidak sejahat itu dalam memperlakukan manusia. Walaupun dulu kata-katanya menyakitkan, tidak sampai mengusir juga. Fairel memilih menelungkupkan kepalanya diantara tumpukan tangan yang dilipat di atas meja. Memandangi dua wanita di sampingnya secara bergantian, membuat kepalanya berdenyut. Fairel tidak akan merubah posisinya sampai jam kuliah selesai. Meta dan Dona saling tukar pandang. Mereka berdua tengah menahan tawa melihat Fairel yang gelisah dan tidak mau diam. Dalam posisinya tadi, tangan Fairel terus bergerak. Entah meny
Dona membuka kedua matanya. Cahaya dari sinar matahari membuat pandangannya menjadi silau. Dona meringis, ia memalingkan wajahnya agar tidak terkena silau matahari. Hanya saja, ketika hendak berpindah, seseorang berdiri di hadapan Dona, menghalangi matahari yang menyinari ruangan. Pelan-pelan, Dona menatap tubuh itu dari bawah sampai ke atas. Ia sampai memekik ketidak menyadari bahwa ada Fairel di kamarnya. Dona beringsut mundur, hingga punggungnya terantuk papan ranjang dengan menarik selimut sampai menutupi dadanya. "Lo ... lo ngapain di sini?" tanya Dona gugup. Masalahnya, ia tengah berpikir yang tidak-tidak. "Anggap aja pelukan kemarin itu nggak pernah terjadi." Dona memutar bola matanya jengah. Hatinya bertanya-tanya, tentang kemarin. Memangnya apa yang terjadi? Dona melepaskan selimut yang menutupi dadanya. Ia memandangi bajunya yang berganti, dan kembali memekik sembari memelotot ke arah Fairel. "Apa yang lo laku
"Kenapa lo lari?" Meta berhasil menyusul Dona. Gadis itu menangis di setiap larinya. "Terus gue harus gimana? Gue nggak mau ketemu sama orang yang benci sama gue." Guratan amarah terlihat dari setiap ekspresi Dona. Meta tahu, sahabatnya itu tengah frustasi dengan semuanya. Ketika ingin menghindar, Dona malah bertemu dengannya. "Gue yakin, Fairel nggak benci sama lo." Dona ingin percaya, namun ia menyadari kalau kalimat itu adalah kebohongan. Kalimat yang hanya digunakan untuk menenangkan hati dan pikiran. Dona menatap ke jalan raya yang lumayan lengang,"Gue cuman pengen denger hal itu dari mulut Fairel sendiri. Tapi gue yakin, itu nggak mungkin." Dona menghela nafas dengan gusar. Kalau boleh jujur, Dona sebenarnya masih mencintai Fairel. Dona rela melakukan apapun demi Fairel. Tetapi, jika pria itu menolak semua hal tentang Dona, ia tidak punya pilihan. "Gue mau sembunyi di sana, kalau lo masih peduli sama gue. Bila
Ketiga orang itu heboh. Di dalam stadion, Meta, Nea, dan Dona terus meneriaki nama Gero hingga mengalahkan lolongan suara suporter tim sebelah. Meta, Nea dan Dona datang ke stadion perlombaan basket dengan penampilan yang urakan. Mereka mampir ke toko Nea untuk membeli ikat rambut yang penuh dengan rumbai-rumbai dari tali rafia serta bola-bola kecil yang terbuat dari bahan yang sama. Mereka juga memiliki terompet yang cukup besar suaranya, sesekali Meta meniup terompet tersebut, membuat Nea dan Dona menjauh, begitu juga penonton yang duduk di depannya. Bahkan ada yang sampai mengomeli Meta. Ketiganya itu malah tertawa menanggapi kalimat sinis dari kursi penonton di depannya. "Udah, udah. Jangan ditiup lagi Met. Bisa-bisa, bukannya pertandingan basket malah jadi arena tawuran gara-gara lo." Meta angkat tangan. Benar juga kata Dona, bisa jadi Meta jadi sasaran empuk para wanita yang tengah menyoraki idolanya. Meta yang ringkih itu bisa sekali tendang da
"Ayah, ngirim surat undangan itu ke rumah kita?" Tidak seperti biasanya, setelah bercerai dengan Dion. Dona tampak membenci ayahnya sendiri. Setiap kita sebagai keluarga menyebutkan nama Dion, Dona selalu berusaha bersikap masa bodo dan tidak mau dengar. "Bukan, ini dari temennya Kak Wima." "Iya, ayah nitipin kan lewat dia?" "Kenapa kamu sewot sih Dek?" Dona langsung terdiam mendengar bentakan kakaknya,"Kenapa ribet banget. Kita nggak usah datang. Udah gitu aja." Aliya-pun ikut mengambil jalan terbaik dengan merobek surat undangan itu menjadi serpihan kecil dan langsung ia buang ke tempat sampah. Semua kenangan tentang Dion harus Aliya buang jauh-jauh. Dion hanya menjadi bumerang saja dalam keluarga. Walau begitu, Aliya masih bisa melihat sikap baik Dion dengan melihat anak-anaknya yang sekarang tumbuh dewasa. Dona memilih pergi ke kamarnya. Ia perlu merapikan kamarnya dan membentang karpet karena kemungkinan Aliya belum se