Bi Kian mulai mengisi piring Fairel dan How dengan nasi dan ayam yang dimasaknya.
Beliau juga memberikan sedikit sambal di piring Fairel, berbeda dengan Gow yang tidak ada sambal.
Ayahnya itu tidak menyukai makanan pedas. Mirip sekali dengan Fairel.
"Udah lama ayah nggak makan bareng sama kamu."
Nggak salah? Tangan Fairel berhenti menyendok nasi. Ucapan Gow membuat hatinya bertanya-tanya.
Bukan bahagia, hanya saja Fairel merasakan ada yang janggal. Entah itu apa, Fairel tidak mengetahuinya.
"Ayah ingin balikan sama kamu. Kamu masih mau nerima ayah kan?"
Fairel terbatuk-batuk, pria itu tersedak oleh nasi. Gow segera memberikan air minum. Pria itu berdiri menghampiri Fairel dan mengelusi punggung anaknya agar tenggorokannya lega.
"Makasih," jawab Fairel setelah selesai minum.
"Sikap ayah mengejutkan kamu yah?"
Tentu saja, kenapa Gow harus bertanya lagi?
Fairel hanya berdeham untuk mencairkan suasana. Dentinga
Dona berpamitan kepada Fairel. Ia ada janji dengan Meta, dan sebisa mungkin Dona jauh-jauh dengan Fairel saat ini. Dona mengistirahatkan tubuhnya di kursi besi taman kampus. Ia lagi-lagi hanya bisa berteduh di sana. Semilir angin menerbangkan penat Dona. Fairel juga berusaha untuk menjauh dari Dona sementara. Ia harus belajar melukis wajah manusia, dan Fairel juga menjauh karena salah tingkah. Di sinilah Fairel berada. Berada di kelas seni seorang diri. Fairel mengeluarkan buku gambar dari sana, pria itu memilih alternatif menggunakan buku gambar terlebih dahulu daripada langsung ke kanvas. Fairel mengeluarkan alas tulis seperti pensil dan penghapus. Ia juga tidak membawa pensil warna karena belum tentu hasilnya nanti akan memuaskan. . Dona menguap, ia kembali merasa kantuk karena Meta tak kunjung datang. Perutnya sedikit melilit karena terlalu banyak makan pedas. Jajan bersama Fairel tadi menghabiskan hampir seratus ribu. Liha
"Sekarang, giliran ke rumah sakit. Semuanya udah jelas, kemungkinan hasilnya kalau Kak Nea adalah kakak kandung Fairel. Siapa yang mau pergi ke rumah sakit? Gue atau lo? Atau kita berdua?" tanya Dona. Rekaman yang sedari tadi diputar itu telah selesai. Entah kenapa, tubuh Dona terasa ringan. Padahal masalahnya belum selesai, mungkin karena perlahan kebenaran terungkap. "Kapan?" tanya Meta. Ia menatap langit dengan sorot sendu."Bentar lagi malam. Lo yakin, mau ke sana sekarang?" "Besok aja gimana? Mau ketemuan?" "Besok gue ada jadwal nganter Loey untuk tanding tinju. Gue nggak bisa." Dona mengangguk paham,"Yaudah, gue sendirian aja besok." "Lo yakin nggak papa?" "Nggak papa kok gue. Semoga aja hasilnya memuaskan yah Met." Meta tersenyum simpul, ia memandangi tubuh Dona yang jangkung sedang berdiri di hadapannya."Iya." "Yaudah, gue pulang dulu. Mau pulang bareng nggak?" Meta menggeleng, ia mere
"Ayah, selingkuh?" tanya Dona heran. Gadis itu melirik ibu dan Wima berkali-kali seraya meminta penjelasan. "Sejak kapan ayah kayak gitu bunda?" Dona menggoyangkan tubuh Aliya, tetapi beliau tetap diam dan tidak bergeming sama sekali. "Jawab Dona!" Dona berteriak, air matanya mengalir deras membasahi pipi."Jawab Dona! Apa cuman Dona yang nggak tahu kejadian ini?" Naas sekali nasib Dona. Dona pikir kehidupan keluarganya akan menyenangkan. Dona pikir, ibunya bahagia hidup bersama Dion. Dona tahu, Dion tampak tidak terlalu perhatian. Dona pikir, itu hanya karena sikapnya. Karena manusia memiliki sifat yang berbeda-beda, dan ada juga yang malu untuk mengungkapkan rasa perhatian atau kasih sayang. Dona tidak tahu, kalau sikap cuek ayahnya itu lebih ke rasa bosan. Ayahnya selingkuh? Seperti ada petir yang menggelegar di telinga Dona. Gadis itu berjongkok di hadapan ibunya, menutup kedua telinganya, kemudian menangis tersedu-sedu
"Nah, yang terakhir, rambutnya keriting sebahu. Warnanya kuning." Dona sudah mendeskripsikan seluruh wajah yang harus Fairel gambar. Ia berharap, Fairel dapat menggambarnya dengan baik tanpa ada kendala lain lagi. "Warna kuning?" tanya Fairel heboh. Ia jarang menemukan wanita yang memiliki rambut warna kuning selain Fera. "Iya, gambar aja dulu." Dona nyengir, ia benar-benar penasaran dengan hasil gambar Fairel. "Oke-oke. Sabar yah." Dona mengangguk tanpa menjawab, sesekali ia melirik jam dinding yang terpajang di seberang kasur. Matanya membulat ketika melihat pukul empat dini hari. Dona hampir berteriak kaget ketika dirinya tidak tidur malam ini hanya karena menemani Fairel menggambar. Tetapi tidak apa, jika Fairel bisa keluar dari kegelapannya, Dona siap untuk insomnia. "Udah?" tanya Dona tidak sabaran. "Iya udah." "Gimana? Cantik kan?" tanya Dona. Fairel terdiam, ia memandangi wajah pe
Dona menenggelamkan wajahnya di tumpukan tangan. Ia benar-benar merasa kantuk. Sebenarnya, Dona tidak boleh tidur, nanti malam bisa saja dirinya insomnia. Tetapi apa boleh buat, urusan malam biarlah terjadi nanti malam, Dona hanya butuh tidur sebentar saja. Matanya bahkan bengkak dan menghitam karena bergadang. Dona menguap, gadis itu segera memejamkan matanya dan berusaha untuk terlelap. . "Ayah mau makan apa? Biar Wima beliin. Wima pinjem mobil ayah." Dion yang sedang bersantai di sofa setelah rapat yang memakan waktu dua jam itu langsung membalalak kaget. "Kenapa ayah kaget gitu? Nah, ayah mikir yang aneh-aneh ya?" Dion menelan salivanya, ia segera berdiri dan merampas kunci mobil di meja kerja. "Nggak usah. Biar ayah aja yang beli makan, kamu mau makan apa?" Dion berjalan ke tempat gantungan, mengambil jas abu-abu dari sana, kemudian memakainya dengan rapi. "Biar Wima aja. Ayah diem aja di sini." Dion berger
Dona menunggu Fairel sampai ia ikut ketiduran lagi. Mereka mungkin terlalu lelah dengan dunia, hingga tidak sadar jam telah menunjukkan pukul tujuh malam. Saat Dona terbangun dari tidurnya, gadis itu tersentak ketika sekelilingnya mendadak gelap. Ia sempat menerka-nerka di mana ia berada, namun setelah mengingat-ingat, ternyata Dona masih berada di kampus. Dona segera menyalakan senter di ponselnya. Ia membangunkan Fairel dan mengarahkan senter itu ke seluruh penjuru. Semilir angin kala malam membuat seluruh bulu kuduk Dona meremang. Ia terus melarikan pandangannya ke segala arah sambil terus berdeham untuk mengusir kantuk. "Rel... bangun Rel." Fairel menggeliat, pria itu segera membuka matanya dan terlonjak kaget hingga hampir terjengkang. "Kenapa mati lampu?" tanya Fairel polos. Maklum, nyawanya masih belum berkumpul. "Kita ketiduran di kampus. Sekarang udah jam tujuh." Fairel merentangkan kedua tangannya yang kaku. M
Dona masuk ke rumahnya sambil senyum-senyum. Gadis itu tampak bahagia, bahkan sampai membuat Aliya bingung sendiri."Kenapa Na?" tanya Aliya sembari menghampiri anaknya itu. Beliau menepuk pundak anaknya lembut,"Kenapa nih? Ada apa? Bunda lihat kamu bahagia banget." Aliya mulai mengejek dan menjahili anaknya.Dona menggeleng, tanda tidak terjadi apa-apa. Ia sedang tidak ingin bercerita apapun untuk menjaga privasi. Tetapi, Dona akan menceritakan satu hal yang seru."Tadi Dona ketiduran di kelas." Wima yang baru saja datang langsung menjewer kuping adiknya, hingga Dona meringis minta dilepaskan."Bunda, anak bunda jadi bandel nih." Wima menjulurkan lidah guyon. Dion masih berada di mobilnya, ia tidak menyaksikan kegiatan yang seru ini."Wima, lepasin telinga adik kamu. Kasihan dia kesakitan, kalau kamu mau ngejek, ngejek dengan cara yang benar."Dona membulatkan mata, gadis itu mengeluh sambil mengerucutkan bibirnya."Bunda ih! Mal
Fairel berjalan menuju ruang tamu. Setelah beraliran di kampus, ternyata tubuhnya terasa pegal-pegal. Fairel menghela, ia tidak menyadari kalau Gow sedang duduk di sana. Deheman keras layaknya bariton membuat Fairel kaget hingga lompat. "A-ayah?" tanya Fairel cengo. "Kenapa kamu ngeliat ayah kayak ngeliat setan kayak gitu?" tanya Gow heran, ia membenarkan letak duduknya agar lebih nyaman. "Maaf ayah, aku nggak maksud begitu." Fairel mencium punggung tangan Gow lembut. Saat hendak ke kamar, Gow kembali memanggilnya. "Rel sini, kamu udah makan?" Fairel bingung antara harus jujur atau tidak. Bisa jadi, jika Fairel mengungkapkan kalau dirinya belum lapar, ternyata tidak ada temen nasi di sana. Sebenarnya, Fairel belum pernah mendapatkan pertanyaan seperti ini. Ini adalah yang pertama kali, dan itu membuat hati Fairel tersentuh. "Belum, pasti. Kita makan bareng yuk. Biar ayah yang masak, kamu tolong ambil bah
Saya mau berterimakasih kepada kalian semua, yang dengan setia membaca novel aku sampai selesai. Banyak kekurangan dari matchmaking ini, dan dari itu, saya meminta kritik dan sarannya yang bisa membangun diri saya untuk menjadi penulis yang lebih hebat lagi. Di novel ini, saya menyadari banyak sekali typo. Saya akan memperbaikinya. Apa kabar kalian? Saya @kkiiyys. Bisa kalian panggil kiy, salam kenal untuk kalian semua. Kalian, berasal dari kota mana saja? Saya juga berharap, kalian mau memberikan vote, komentar yang membangun, serta memberi novel saya rating sesuai dengan isi novelnya. Saya ingin tahu, apa kalian menyukai novel saya? Atau kalian tidak menyukainya? Apa komentar terakhir kalian buat pasangan nggak jelas ini, yaitu • Dona sama Fairel? Apa pesan kalian, untuk pasangan • Meta sama Loey? Untuk • Alfina dan Gero? Untuk • Fera dan Bara? Untuk • Seyi dan Wima? Untuk saya, mungkin?
Fairel tidak langsung pulang ke rumah. Setelah pekerjaannya selesai, pria itu bergegas mencari keberadaan Dona. Bahkan, Gero sendiri sampai ia turunkan di jalan. "Jadi, gue turun di sini gitu?" Gero kesal setengah mati ketika mobil Fairel menepi, dan jaraknya menuju rumah masih jauh. "Gue minta maaf. Tapi gue harus nyari Dona." "Gue paham. Gue paham banget masalah lo, gimana kalau gue bantu cari aja. Kita sama-sama cari dari satu komplek ke komplek lain." Itu ide bagus. Hanya saja Fairel ingin sendiri. Gero kembali merayu,"Gue janji deh, gue nggak bakal nyusahin lo. Boleh yah, gue ikut?" Fairel menganggukan kepala dengan terpaksa. Ia kembali melajukan mobilnya tak tentu arah. "Tunggu, tunggu. Keluarga Dona ada siapa aja sih?" Gero baru mengingat hal itu. Fairel bersikap seolah Dona tinggal seorang diri. Sehingga tidak ada siapapun yang bisa dihubungi. "Gue udah ngehubungi kakaknya Dona sama bunda, tapi nggak aktif nomornya.
Semuanya sudah jelas dan terungkap. Walau terdengar sedikit mengejutkan, tetapi itulah kenyataannya. Fairel hendak berkunjung ke rumah Dona, akan tetapi ayahnya melarang hal itu. Beliau mengatakan sudah malam, dan lebih baik dibicarakan esok saja. Fairel menurut, karena perkataan ayahnya itu memang benar. Di sinilah mereka berada, Meta, Nea dan dirinya sedang berkumpul di kamar Fairel. "Kok lo bisa muncul tiba-tiba?" tanya Fairel langsung ke intinya. Fairel atau Nea, mereka sama-sama tidak punya janji untuk bertemu dengan Meta. Tetapi, dengan mengejutkannya, gadis itu menghampiri keluarga Fairel dan mengatakan kebenaran yang paling penting. "Soalnya tadi, gue habis teleponan sama Dona. Dia nutup telepon gue sepihak, setelah nanyain hadiah apa yang lo dapetin pas perlombaan waktu itu." Deg! Jantung Fairel seakan ada yang menusuk dan membuatnya berhenti. Ia melupakan satu hal itu, Fairel pikir, ia akan memberitahu Dona tepat dua
"Baru ke sini lagi? Ke mana aja nih?" Kedua sejoli itu saling bertukar pandang. Mereka bersama-sama menanyakan jawaban yang kompak untuk pertanyaan Bi Oni. Senyuman terukir manis di bibir keduanya, mereka kompak menjawab,"Baru balikan, Bi." "Wuah ...." Bi Oni bahkan sampai bertepuk tangan, hingga sarung tangannya yang penuh terigu itu berterbangan mengotori rambut Dona. Dona terkikik geli, dengan sigap Fairel membersihkan rambut Dona dengan tanganya. Penuh ketelatenan. Setelah membayar semua jajanan yang mereka beli, keduanya pamit. Mereka berjalan berdua mencari kenangan romantis yang bisa diukir. Mereka juga memilih membolos pada mata kuliah ketiga. Fairel meninggalkan mobilnya di kampus, mereka berencana akan kembali lagi ke kampus setelah mencari penat. Dona asyik menyuapkan sosis bakar bumbu rujak sebagai menu terbaru di kedai Bi Oni. Berbeda dengan Fairel, tangannya masih sibuk membersihkan rambut Dona dari tepung.
"Ngapain Dona di sini?" Setelah duduk, Fairel diam-diam berbisik ke telinga Meta ketika dirinya berhasil mencuri waktu. Fairel tidak bisa bergerak, posisi duduknya dihimpit oleh dua wanita yang sedang memiliki masalah dengannya. Untuk bernafas saja, dirinya jadi kikuk tidak karuan. Apalagi, ketika Meta menjawab dengan gelengan acuh, membuat semuanya hancur. Fairel tidak mungkin mengusir Dona. Ia tidak sejahat itu dalam memperlakukan manusia. Walaupun dulu kata-katanya menyakitkan, tidak sampai mengusir juga. Fairel memilih menelungkupkan kepalanya diantara tumpukan tangan yang dilipat di atas meja. Memandangi dua wanita di sampingnya secara bergantian, membuat kepalanya berdenyut. Fairel tidak akan merubah posisinya sampai jam kuliah selesai. Meta dan Dona saling tukar pandang. Mereka berdua tengah menahan tawa melihat Fairel yang gelisah dan tidak mau diam. Dalam posisinya tadi, tangan Fairel terus bergerak. Entah meny
Dona membuka kedua matanya. Cahaya dari sinar matahari membuat pandangannya menjadi silau. Dona meringis, ia memalingkan wajahnya agar tidak terkena silau matahari. Hanya saja, ketika hendak berpindah, seseorang berdiri di hadapan Dona, menghalangi matahari yang menyinari ruangan. Pelan-pelan, Dona menatap tubuh itu dari bawah sampai ke atas. Ia sampai memekik ketidak menyadari bahwa ada Fairel di kamarnya. Dona beringsut mundur, hingga punggungnya terantuk papan ranjang dengan menarik selimut sampai menutupi dadanya. "Lo ... lo ngapain di sini?" tanya Dona gugup. Masalahnya, ia tengah berpikir yang tidak-tidak. "Anggap aja pelukan kemarin itu nggak pernah terjadi." Dona memutar bola matanya jengah. Hatinya bertanya-tanya, tentang kemarin. Memangnya apa yang terjadi? Dona melepaskan selimut yang menutupi dadanya. Ia memandangi bajunya yang berganti, dan kembali memekik sembari memelotot ke arah Fairel. "Apa yang lo laku
"Kenapa lo lari?" Meta berhasil menyusul Dona. Gadis itu menangis di setiap larinya. "Terus gue harus gimana? Gue nggak mau ketemu sama orang yang benci sama gue." Guratan amarah terlihat dari setiap ekspresi Dona. Meta tahu, sahabatnya itu tengah frustasi dengan semuanya. Ketika ingin menghindar, Dona malah bertemu dengannya. "Gue yakin, Fairel nggak benci sama lo." Dona ingin percaya, namun ia menyadari kalau kalimat itu adalah kebohongan. Kalimat yang hanya digunakan untuk menenangkan hati dan pikiran. Dona menatap ke jalan raya yang lumayan lengang,"Gue cuman pengen denger hal itu dari mulut Fairel sendiri. Tapi gue yakin, itu nggak mungkin." Dona menghela nafas dengan gusar. Kalau boleh jujur, Dona sebenarnya masih mencintai Fairel. Dona rela melakukan apapun demi Fairel. Tetapi, jika pria itu menolak semua hal tentang Dona, ia tidak punya pilihan. "Gue mau sembunyi di sana, kalau lo masih peduli sama gue. Bila
Ketiga orang itu heboh. Di dalam stadion, Meta, Nea, dan Dona terus meneriaki nama Gero hingga mengalahkan lolongan suara suporter tim sebelah. Meta, Nea dan Dona datang ke stadion perlombaan basket dengan penampilan yang urakan. Mereka mampir ke toko Nea untuk membeli ikat rambut yang penuh dengan rumbai-rumbai dari tali rafia serta bola-bola kecil yang terbuat dari bahan yang sama. Mereka juga memiliki terompet yang cukup besar suaranya, sesekali Meta meniup terompet tersebut, membuat Nea dan Dona menjauh, begitu juga penonton yang duduk di depannya. Bahkan ada yang sampai mengomeli Meta. Ketiganya itu malah tertawa menanggapi kalimat sinis dari kursi penonton di depannya. "Udah, udah. Jangan ditiup lagi Met. Bisa-bisa, bukannya pertandingan basket malah jadi arena tawuran gara-gara lo." Meta angkat tangan. Benar juga kata Dona, bisa jadi Meta jadi sasaran empuk para wanita yang tengah menyoraki idolanya. Meta yang ringkih itu bisa sekali tendang da
"Ayah, ngirim surat undangan itu ke rumah kita?" Tidak seperti biasanya, setelah bercerai dengan Dion. Dona tampak membenci ayahnya sendiri. Setiap kita sebagai keluarga menyebutkan nama Dion, Dona selalu berusaha bersikap masa bodo dan tidak mau dengar. "Bukan, ini dari temennya Kak Wima." "Iya, ayah nitipin kan lewat dia?" "Kenapa kamu sewot sih Dek?" Dona langsung terdiam mendengar bentakan kakaknya,"Kenapa ribet banget. Kita nggak usah datang. Udah gitu aja." Aliya-pun ikut mengambil jalan terbaik dengan merobek surat undangan itu menjadi serpihan kecil dan langsung ia buang ke tempat sampah. Semua kenangan tentang Dion harus Aliya buang jauh-jauh. Dion hanya menjadi bumerang saja dalam keluarga. Walau begitu, Aliya masih bisa melihat sikap baik Dion dengan melihat anak-anaknya yang sekarang tumbuh dewasa. Dona memilih pergi ke kamarnya. Ia perlu merapikan kamarnya dan membentang karpet karena kemungkinan Aliya belum se