Share

2. Datang untuk Patah

Jangan memikirkan dia yang pergi untuk mematahkan hati. Cukup pandang aku, yang sedang berusaha merebut hati.

Fairel De Ferron

———

Mereka sampai di toko Nea yang menyediakan semua perlengkapan dalam hidup, dari perlengkapan sekolah, hadiah ulang tahun, anniversary, dan perlengkapan reuni.

Seorang penjaga toko itu terlalu asyik memainkan ponselnya, hingga tidak mengucapkan selamat datang kepada pembeli yang baru saja masuk.

Loey menyuruh Meta untuk membeli kertas origami, dan beberapa lampu tumbler untuk menerangi kemah reuni mereka nanti. Kata dia, ini sebagai syarat terakhir untuk bisa memaafkan kesalahan yang Meta buat.

Loey terlalu memanfaatkan Meta dalam hal apapun, dan anehnya gadis itu selalu menuruti apapun yang keluar dari bibir Loey. Cinta memang selalu ada pengorbanan.

Meta mulai memilih beberapa barang yang terukir cantik di etalase dekat kasir, dibuntuti Fairel yang terus terdiam di belakangnya,

"Lain kali, lo jangan selalu setuju kalau disuruh sama cewek." Meta tiba-tiba angkat bicara.

"Yaudah, gue nolak. Gue pulang duluan yah Ta," jawab Fairel dengan menyembunyikan tawanya yang hampir membeludak.

Meta kembali mencekal pergelangan tangan Fairel,

"Ya nggak gitu juga. Kalau lo nganterin cewek, lo juga harus jemput tuh cewek."

"Gue keliatan nggak berpengalaman dalam cinta?" tanya Fairel, yang merasa seolah dirinya adalah manusia paling bodoh soal cinta.

Meta melepas cekalannya, ia meraih kotak kardus lampu tumbler di etalase tersebut, kemudian membuka kardus itu untuk mengetahui isinya,

"Bukan, lo lebih keliatan penurut. Lo bisa aja dimanfaatin orang Rel. Jadi manusia itu jangan terlalu sabar, baik, dan penurut."

Meta tiba-tiba menceramahinya, ia tiba-tiba terlihat seperti seorang motivator. Entah apa yang dimakan Meta hari ini, sampai semua ucapannya terdengar bijak.

Memang benar, terkadang mereka memanfaatkan sesamanya hanya karena mereka terlalu baik dan penurut. Bahkan Meta sendiri mengalaminya, ia tidak ingin jika Fairel yang seorang cowok harus mengalaminya juga.

"Kata?" tanya Fairel dengan nada malas.

Meta menggertakkan giginya, ia benar-benar kesal dengan sikap Fairel yang tidak bisa diceramahi,

"Menurut pengalaman gue."

"Oke makasih. Semoga gue inget ucapan lo," jawab Fairel lugas.

Meta tersenyum kemenangan, ia mengelus puncak kepala Fairel dengan sangat lembut seperti seekor kucing yang sedang dielus oleh pemiliknya.

"Gue pikir tadi, lo nyapa Dona," lanjut Meta lagi sambil memasukkan lampu tumbler yang ia pegang ke dalam keranjang.

"Dona siapa?" Fairel pura-pura tidak mengenal nama Dona, karena ia sudah berjanji untuk tidak saling kenal di kampus dan mungkin juga di luar kampus.

"Gue tahu lo dijodohin."

Mata Fairel membulat sempurna, ia tidak pernah memberitahu siapapun tentang perjodohan itu.

"Gue tahu dari bokap lo," lanjut Meta lagi seraya menjelaskan.

"Gue tadi pagi ke rumah lo, buat nebeng ke kampus. Eh kata bokap lo, lo ada di rumah Dona dan katanya kalian mau tunangan."

Rumah mereka bertetanggaan, Meta selalu melipir ke rumah Fairel untuk mengajaknya ke kampus seraya menghemat uang. Terkadang, Meta juga dijemput oleh Loey, pacarnya.

"Bokap nggak bilang dijodohin kan?"

Meta mengangguk, ia kembali menggenggam tangan Fairel dan mengajaknya berkeliling toko,

"Sesuai insting gue. Lo yang nggak pernah bergaul sama cewek kecuali gue, nggak mungkin tiba-tiba punya calon tunangan jika bukan dipertemukan lewat perjodohan."

"Lo ada masalah sama Loey?" tanya Fairel mengalihkan pembicaraan, ia melepaskan genggaman itu, dan mulai memilih barang yang ia sukai untuk hadiah pernikahan kedua orang tuanya. Walau hari peringatan pernikahan kedua orang tuanya itu masih lama.

"Break."

"Pantes nempel lagi sama gue."

Meta langsung mencapit bibir Fairel dengan jari telunjuk dan ibu jarinya.

"Gue selalu ada yah buat lo."

Fairel tertawa terbahak-bahak mendengarnya,

"Ada apa-apanya," lanjutnya, dengan memasukkan lukisan burung merak dengan ukuran kecil ke dalam keranjang Meta.

Meta tiba-tiba menghentikan aktifitasnya untuk melihat barang-barang unik di sekitar, tangannya meraih lukisan yang dipilih Fairel barusan, lalu menelitinya,

"Buat Dona?" tanya Meta dengan tatapan menyelidik, ia juga memamerkan lukisan tadi.

"Bukan, buat bokap. Hadiah untuk cabang perusahaan baru."

Meta mengangguk, ia kembali memasukkan lukisan itu ke dalam keranjang,

"Lo nggak ada niat buat ngambil hati Dona?"

Meta memang selalu mencampuri urusan Fairel dalam hal apapun. Tujuannya hanya ingin melihat Fairel bahagia.

Sahabat laki-lakinya itu terlalu polos dan naif, sehingga Meta ingin selalu melindunginya.

Fairel itu seperti malaikat tanpa sayap, yang tidak pernah marah, dan selalu sabar dalam menghadapi permasalahan.

"Buat apa? Dia udah punya pacar. Tugas gue cuman ngelakuin apa yang bokap gue minta."

Setiap pergerakan Fairel selalu diawasi  oleh ayahnya, Gow Ferron. Sehingga, Fairel sedikit susah bergerak untuk mengikuti kemauannya.

Fairel memiliki hutang budi yang tidak bisa dibayar oleh apapun yang ada di dunia, yang bisa ia lakukan untuk membayar hutangnya hanyalah menuruti semua yang mereka mau.

Memang sesimpel itu, akan tetapi Fairel sudah mulai tidak kuat menghadapinya.

"Kenapa lo terus nerima perjodohan itu? Fairel apa kata gue, lo harus nolak kalau emang lo udah nggak kuat," protes Meta kesal. Lihat saja wajah putihnya mulai memerah padam penuh dengan emosi.

"Gue belum nyoba, kenapa harus nyerah?"

Meta geleng-geleng kepala, ia tidak habis pikir dengan sikap Fairel. Bukankah tadi, dia sendiri yang bilang tentang tidak ingin merebut hati Dona, bukankah itu namanya menyerah?

"Serah lo deh, gue nggak peduli lagi." Meta melengos ke depan kasir dengan semburat amarahnya. Ia bahkan membanting keranjang itu ke tempat kasir, hingga membuat sang kasir yang asyik main mobile legend itu terlonjak kaget.

"Biasa aja kali Met, dari dulu tempramen lo nggak pernah turun," sindir Alinea, sang penjaga sekaligus pemilik toko.

Meta kaget melihat wajah itu, ia sudah lama tidak melihat Nea setelah pesta perpisahan di SMAnya.

"Nea, lo kerja di sini?"

Nea menggelengkan kepalanya, sedangkan kedua tangannya asyik meng-scane barcode dari kemasan yang Meta beli,

"Ini toko milik nyokap gue. Gue cuman ngejagain."

Fairel yang baru saja tiba di hadapan kasir, langsung menyapa Alinea dengan penuh kebahagiaan,

"Kak Nea!"

"Kak?" tanya Meta heran, ia melirik Fairel dan Alinea secara bergantian, seraya butuh penjelasan.

"Lo tahu kan, gue dulu naksir sama dia, tapi Relnya nolak. Alhasil kita temenan, dan gue suka nyeramahin Rel saat dia dalam masalah. So, dia manggil gue Kak, karena ucapan gue kayak orang tua."

Panjang lebar penjelasan yang keluar dari bibir Alinea, Fairel hanya bersembunyi dengan malu-malu di balik ponselnya, dan bertingkah seolah-olah ada banyak pesan yang harus ia balas, padahal roomchat-nya kosong, tak ada satupun yang mengiriminya pesan, bahkan grup alumni reuni juga sepi seperti kuburan.

Alinea memang selalu terbuka dan mengatakan sejujur-jujurnya apa yang terjadi.

Alinea mencintai dalam diam kepada Fairel, sebelum pada akhirnya ia berani mengungkapkan rasa cintanya, walau hasilnya kandas.

Menurutnya Fairel itu sangat manis dan sopan kepada wanita, membuat hatinya itu meleleh seperti padang salju yang mencair.

Hubungan Alinea berakhir hanya sebatas sahabat, dan seorang kakak-adik. Ia tidak menyesal karena tidak mendapatkan hak istimewa sebagai pacar, justru Alinea bersyukur, setidaknya Fairel tidak menjauhinya.

"Ikut reunian nggak Nea?" lanjut Meta lagi.

"Ikut dong, kan ada bos besar yang bayarin," ejek Alinea, sembari melempar tatapan mengejek ke arah Fairel, walau pria itu tidak menyadarinya.

Lonceng yang terpasang di atas pintu toko kembali terdengar, Alinea langsung berinteraksi dan menyapa pembeli yang datang,

"Selamat datang di Toko Nea."

Mendengar sapaan itu, membuat Meta menolehkan kepalanya ke belakang, untuk melihat siapa pembeli yang datang, siapa tahu dia seseorang yang Meta kenal.

Benar saja, kedua pembeli yang baru saja datang itu berhenti tepat satu langkah di belakangnya, dan wajah itu begitu familiar baginya.

"Ikut gue Met, katanya ada yang mau Loey bicarain sama lo. Gue disuruh jemput lo." Bara langsung menarik pergelangan tangan Meta tanpa melihat situasi, atau mempertimbangkan Dona yang berada di sampingnya.

Meta tentu saja ingin menolak, tetapi ketika ia mendengar nama Loey, penolakan itu langsung lenyap,

"Tunggu, gue mau bayar belanjaannya dulu."

"Aku gimana Ba?" timpal Dona tak terima, ia merasa seperti barang yang bisa dibuang kapan saja.

Fairel yang merasa familiar dengan suara itu, mendongakkan kepalanya dari ponsel, kemudian memasukkan ponsel itu ke dalam saku celananya.

"Aku kan tadi udah bilang, aku nggak bisa nganterin kamu. Tapi kamu-nya maksa, apa boleh buat, kamu harus jalan kaki. Rumah kamu nggak jauh juga dari toko Nea ini."

Sakit rasanya mendengar penuturan dari Bara. Dari sorot matanya, terpancar ketidak peduliannya. Bagaimana bisa, pria itu mengucapkan hal menyakitkan segampang itu?

Memang benar, Dona yang memaksa Bara untuk mengantarnya, walau pria itu berkali-kali menolaknya.

Akan tetapi, apa susahnya mengantarnya pulang, tidak memakan waktu berjam-jam juga, untuk sampai ke rumahnya hanya membutuhkan waktu lima belas menit dengan motor miliknya itu.

Bara melihat kilatan kesedihan dari manik mata Dona. Bara segera menurunkan pandangannya, dan merubah tatapannya menjadi lembut untuk menyamakan posisinya dengan Dona.

"Kamu tahu kan Na, aku nggak bisa nolak Loey, dia itu kakak aku." Bara berusaha untuk menenangkan Dona dengan terus mengelus punggung tangan kanan Dona dengan lembut,

"Kamu pulang sama Fairel aja yah."

Deg! Kenapa nama itu harus dibicarakan saat ini?

Seharusnya Bara meminta maaf dan memperbaiki kesalahannya, bukan melempar kesalahannya kepada orang lain, dan menyuruh orang lain untuk melakukan tugas yang seharusnya Bara lakukan.

"Mau kan lo Fairel?" tanya Bara sok kenal, ia mengenal Fairel saat satu tim basket, dan semua orang meneriaki sosok itu dengan penuh semangat.

Bara juga tidak pernah berkenalan dengan Fairel, tidak pernah mengobrol, atau makan bersama di kantin, seharusnya Bara memiliki urat malu dan berpikir ulang saat ingin mengatakan hal tadi, serta seharusnya Bara berpikir, ia itu siapanya Fairel?

"Iya, Fairel nggak gigit kok Don. Gue harus cepet-cepet nemuin Loey, maaf yah, jangan tersinggung." Meta menengahi pertengkaran itu.

Setelah menerima persetujuan dari Dona, Meta bergegas pergi bersama Bara dengan membawa sekantong plastik besar yang berisi belanjaannya tadi.

Kini hanya tersisa mereka berdua yang saling terdiam dan tidak ada yang mau memulai pembicaraan.

Fairel memilih keluar toko itu terlebih dahulu, dan meninggalkan Dona seorang diri yang sedang termenung.

Bara! Gue harus pulang sama siapa?!

Bara, kenapa lo kejam banget!

Bara!

Bara!

Dona terus memanggil nama Bara dalam hati, namun lidahnya kelu untuk meneriaki pria itu. Dona harus menjaga harga dirinya agar tidak terlalu jatuh di hadapan pria seperti Bara, dan di hadapan semua orang.

Rintik hujan kembali mengguyur area itu, Dona bergegas keluar toko untuk melihat sederas apa hujannya.

Namun, saat ia ingin menerjang derasnya hujan, tiba-tiba saja sebuah payung melindungi kepalanya dari rintik deras itu.

Dona mendongakkan kepalanya, manik matanya tidak sengaja kembali bertatapan dengan manik mata Fairel.

Mata Fairel terlihat begitu indah, dengan netranya yang berwarna biru laut, yang terlihat begitu menyejukkan dan teduh.

Tanpa sadar, Dona terhipnotis dengan tatapan itu, ia merasa nyaman saat menatapnya, seolah semua beban yang ia pukul tiba-tiba terangkat dan terasa ringan.

Entah, kenapa Dona merasa seperti itu, ia seharusnya membuang perasaan itu jauh-jauh.

Suara rintik hujan tiba-tiba tidak terdengar, digantikan oleh suara Fairel yang mendadak begitu menggema di kedua telinganya,

Dia mengatakan...

"Ayo kita pulang. Boleh kan, aku menggantikan posisi Bara saat ini, hanya untuk mengantarkan kamu pulang?"

Terdengar sangat manis bukan?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status