Share

4. Maafkan Aku

Aku terlalu kelewat batas dalam bersikap kepadamu. Aku tidak bisa mengontrol apapun, harusnya aku mengatakannya sedari dulu, bahwa aku bersyukur memiliki kamu.

Loey A.N.

———

Plak!

Tangan yang gemetaran itu dengan lantang menampar pipi kanan Fairel hingga tercetak kemerahan yang berbentuk kelima jarinya di sana.

Mata cantik itu berubah kemerahan karena menahan amarahnya yang memuncak.

Benar-benar menjijikkan! Bagaimana bisa, pria di hadapannya itu melakukan hal yang tidak benar kepadanya.

"BRENGSEK! DASAR SIALAN!" umpatnya tanpa ada sepatah katapun yang terdengar manis.

Fairel mengalihkan tatapannya, memandangi jalan raya yang cukup sepi dari kaca depan mobilnya.

Fairel merasakan pipinya yang berdenyut, sakit dan perih secara bersamaan.

"Maaf," lirihnya penuh penyesalan. Ia menyadari kalau sikapnya terlalu keterlaluan. Hanya saja Fairel terlalu kalut waktu itu, ia tidak memiliki penyelesaian untuk membuat Dona percaya padanya.

"CEPET BUKA PINTUNYA! GUE UDAH NGGAK TAHAN BERADA DI SINI!"

Dengan gerakan cepat, jempol gemuk itu menekan tombol untuk membuka kunci pintu mobil. Dona bergegas keluar dari sana, dan berlari membelah rintik hujan yang masih deras itu.

Fairel hendak mengejar Dona, namun akal sehatnya menhentikkan aksinya, dan memilih untuk tidak mengejar Dona.

Tidak mengejar bukan berarti tidak cinta atau menyerah, tetapi ada kalanya seseorang butuh waktu untuk sendiri, untuk merenungkan kesalahan dan kebenaran yang dilakukannya.

Fairel dan Dona sama-sama butuh waktu untuk sendiri, untuk menurunkan egonya yang terlalu tinggi, dan untuk memikirkan bagaimana hubungan mereka ke depannya, yang terlihat baik untuk semua orang.

———

Bara menghentikan motornya di dekat toko helm, karena derasnya hujan terlihat tidak ingin berhenti.

Meta turun dari motor itu dengan kerutan di dahinya. Tentu saja, dirinya tidak senang menunda-nunda untuk bertemu Loey, karena jika menundanya terlalu lama, bisa saja jawaban Loey akan berubah karena tersulut emosi.

Loey memiliki tempramen yang tinggi, yang selalu ingin dipuji, dan dimengerti. Dia juga tidak sabaran dalam hal apapun, apalagi soal menunggu seseorang.

Loey terlihat manja, namun juga keras kepala. Jika Loey sedang emosi, tidak ada tempat bagi Meta untuk berteduh, karena ketika marah, pria itu terlihat seperti raksasa yang akan menghancurkan apapun yang ada disekitarnya.

Urat-urat disekitar tubuhnya akan menonjol, dan menimbulkan perasaan ngeri pada siapapun yang melihatnya. Loey seorang petinju, ia melakukan tanding dibeberapa Minggu terakhir ini untuk menambah biaya kuliahnya.

Tentu saja, Loey mengambil jurusan olahraga. Lihat saja saat Loey membuka bajunya, tubuhnya pasti terlihat bugar dengan dikelilingi otot disekitar lengan dan perutnya.

Bara berdiri di samping Meta dengan berlindung di rumah yang tidak terpakai, di samping toko helm.

Bara memilih meneduh karena matanya terasa perih oleh air hujan. Ia sudah tidak bisa menahan rasa perihnya.

Sedangkan Meta, ia terlihat gusar. Dilihat dari gerak-geriknya, gadis berambut panjang seketiak itu terus melirik jam yang melingkar di tangannya.

Sesekali, Meta juga mendengus sebal seraya merutuki hujan yang turun dengan deras.

"Tunggu setengah jam lagi, nanti juga hujannya berhenti," ucap Bara melerai, ia tidak tahan melihat wajah Meta yang mengkerut itu.

"Kenapa kita harus berhenti di sini sih? Lo tahu kan sifat kakak lo itu," ketus Meta diikuti suara decakan yang tidak enak didengar di telinga siapapun.

Bara menghela nafasnya gusar, ia sebenarnya sedang menghindari apa yang akan terjadi jika Loey bertemu dengan Meta, ia takut kakaknya itu akan memarahi Meta lagi.

"Lo tahu kalau sifat kakak gue kayak gitu, kenapa lo masih sayang sama dia?" Ada sarat kesedihan yang terpancar dari bola matanya, mengingat kembali apa yang terjadi kemarin, sungguh menyakiti hatinya.

"Gue cinta, dan cinta itu nggak bisa dipaksakan Bara..."

Bara tersenyum getir, tatapannya menurun, terus menatap tangan Meta yang saling bertaut sambil digosok-gosokkan agar bisa menghangatkan tubuhnya,

"Lo rela hujan-hujanan, dan kedinginan demi dia?"

Refleks, Meta menghentikan kegiatan menggosokkan tangannya itu, ia seperti terciduk kedinginan.

Sebenarnya, seluruh tubuh Meta menggigil, bulu kuduknya berdiri, dan udara seakan seperti sedang berada di padang salju.

Ia bahkan tidak kuat untuk berdiri lagi, hanya saja Meta memaksakannya untuk terlihat kuat hanya demi Loey.

Bara mendengus sebal, ia segera melepaskan jaket yang dikenakannya, lalu melampirkannya ke bahu Meta.

"Tunggu di sini, gue mau beli helm dulu buat ngelindungin kepala lo, biar nggak kebasahan."

Tanpa menunggu persetujuan dari Meta, pria itu bergegas ke toko helm yang ada di sampingnya.

Meta bisa sakit jika kepalanya terus kebasahan oleh rintik hujan, dia bisa-bisa tidak masuk ke sekolah besoknya dengan alasan demam. Dan untuk melindungi diri dari kemarahan Loey, Bara harus bisa melindungi Meta.

Bara juga meminta secangkir teh hangat yang untungnya tersedia dan dijual di toko itu.

Setelah membayar semua barangnya, Bara keluar dengan membawa helm dan dua teh hangat. Ia kembali berdiri di samping Meta dan memberikan satu gelas plastik teh hangat itu kepadanya, sedangkan yang satunya, tentu saja untuk Bara, dia juga harus melindungi dirinya bukan?

"Minum dulu, abisin. Setelah itu, gue anterin lo ke kakak gue."

Tanpa ba-bi-bu, Meta menenggak teh hangat itu sampai dirinya tersedak hingga terbatuk-batuk dengan sangat keras. Terpaksa, Bara memberikan teh hangatnya yang masih belum diminum kepada Meta.

Bisa-bisanya dalam situasi seperti ini, Meta menghabiskan dua teh sekaligus! Padahalkan Bara juga haus!

Meta melempar gelas plastik yang sudah kosong itu ke tempat sampah, ia juga merampas helm di tangan Bara dan langsung memakainya tanpa ada yang menyuruh.

Semangatnya sangat menggebu hanya untuk bertemu dengan Loey,  padahal baru seminggu mereka tidak saling sapa, makan bersama atau bertemu. Meta merasa seperti mati selama tidak bertemu dengan Loey. Tidak memiliki harapan atau semangat.

Bara pasrah, ia kembali menjalankan motornya dengan kecepatan di atas rata-rata, menyalip beberapa pengendara yang terlihat melambat, agar lebih cepat sampai dan tidak terlalu basah kuyup.

Sesampainya di sekolah, Meta dan Bara bergegas ke lapangan basket, karena mereka berjanji untuk bertemu di sana.

Langkah mereka terhenti kala pendengarannya menangkap umpatan dari bibir Loey.

"Nggak becus lo main basket!"

Kaki Meta bergetar hebat, ia takut jika menemui Loey sekarang, Meta juga akan terkena umpatan itu. Semangat yang gigih, berubah pudar karena keadaan.

Tetapi, Meta tidak bisa berjalan mundur dan memilih pulang, ia harus menghadapinya jika masih ingin bersama dengan Loey.

Satu tangan terulur untuk menepuk bahu Meta, menyemangatinya kalau Meta tidak sendirian, memberitahunya kalau Bara ada di sini untuk menemaninya.

"Kalau lo kena umpatan kakak gue, lo diem aja jangan ngejawab. Kalau lo ngejawab, ish ...." Bara menggelengkan kepalanya, membuat atmosfer di sana semakin mencekam.

Ingin rasanya Meta menjitak kepala Bara, keberadaan dia hanya untuk menakut-nakutinya saja. Meta tidak membutuhkan hal itu.

Meta parno, dengan langkah ragu, ia mendekati tempat duduk Loey bersama teman-temannya.

Bagas yang mengetahui kedatangan Meta langsung menepuk bahu Loey, dan memberitahunya tentang Meta yang sudah berada di belakangnya.

Tentu saja, kepala yang berfokus pada permainan basket itu, menoleh ke arah Meta dengan tatapan ....

Entahlah, tatapan itu tidak bisa diartikan oleh Meta, karena terlalu rumit untuk dijelaskan.

Mungkinkah Loey akan memarahinya? Dan permasalahan mereka akan semakin rumit?

Lo ke mana aja?

Gue nunggu dari tadi, lo malah berduaan sama Bara?

Gue nggak bisa maafin lo lagi.

Bullshit banget alasan lo!

Breaknya kita perpanjang aja!

Banyak ungkapan-ungkapan kepedihan yang terlintas di kepala Meta. Ia hanya mempersiapkan mental untuk apa yang akan terjadi berikutnya, setidaknya Meta harus kuat dan tidak boleh menangis di hadapan mereka semua.

"Duduk sini. Gue udah beliin lo martabak, tapi kayaknya udah dingin deh."

Deg!

Manis sekali! Seketika emosi, rasa gugup, canggung, dan pikiran negatif Meta hilang saat mendengar ucapan manis itu.

Meta terpaku terhadap Loey yang seperti ini. Sudah lama, Loey tidak memperlakukannya sebaik ini.

Loey dulu begitu polos, dan selalu membelikannya martabak keju dengan lapisan pandan setiap harinya.

Ada apa dengan Loey? Apakah dia sudah memaafkannya? Bukannya bersyukur, Meta malah bingung dengan sikap manis Loey, ia takut jika sikap manis itu tertuju padanya untuk terakhir kalinya.

"Kenapa diem aja, ayo duduk," ajak Loey. Ia menggenggam pergelangan Meta dan menggiringnya untuk duduk di sampingnya.

Mulut semua orang terbuka, tidak percaya akan sikap yang ditunjukkan Loey. Karena Loey terkenal kasar ke semua orang, tidak memandang apakah dia cowok atau cewek. Akan tetapi, Bagas senyum-senyum sendiri melihatnya, ia bahagia karena Loey menurutinya.

"Maafin gue yah Ta. Seharusnya gue nggak kasar sama lo, gue terlalu emosi kemarin, karena kekalahan telak itu."

Meta mengangguk, ia memahami situasi Loey saat itu. Akan tetapi, Meta juga tidak bisa menerima pelampiasan amarah dari Loey.

Seharusnya amarah itu ditujukan pada orang yang tepat, akan tetapi Loey melampiaskan seluruh amarahnya kepada Meta, seolah Meta adalah tempat sampah.

Meta memiliki perasaan dan harga diri. Ia juga bisa terluka jika terlalu disakiti, ia juga bisa menangis jika situasi tidak terkendali, ia juga bisa menyerah jika tak ada jalan keluar lagi.

Oleh karena itu, seharusnya Loey bersyukur karena telah memiliki Meta, gadis penyabar.

"Iya, gue udah maafin lo bahkan sebelum lo minta maaf. Kita breaknya udahan kan?" Wajah Meta kembali bersinar cerah, seperti bayi yang sedang tersenyum kepada ibunya.

Loey tidak kuat untuk tidak mengelus kepala Meta, Meta terlihat sangat menggemaskan,

"Iya dong. Gue udah nggak kuat jauh-jauh sama lo."

"Heleh lebay," cibir Bagas sembari berlalu,

"Inget traktir gue, BESOK!"

Loey kembali mengumpat dalam hati, namun ia segera menganggukkan kepalanya dan menyetujui permintaan Bagas itu.

"Lo kayak cicak tahu, nempel banget!" cibir Cio kembali berlalu mengikuti Bagas, hanya saja lemparan sepatu Adidas milik Loey tepat mengenai kepala Cio hingga pria itu tersungkur dengan naas, dan menyisakan rumput di area bibirnya.

Bara berjongkok di depan kepala Cio,

"Lo lapar, gue traktir makanan. Yok, kasian banget sampe makan rumput gitu."

"Sialan lo," caci Cio, dengan melempari rumput ke wajah Bara.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status