Aku terlalu kelewat batas dalam bersikap kepadamu. Aku tidak bisa mengontrol apapun, harusnya aku mengatakannya sedari dulu, bahwa aku bersyukur memiliki kamu.
Loey A.N.
———
Plak!
Tangan yang gemetaran itu dengan lantang menampar pipi kanan Fairel hingga tercetak kemerahan yang berbentuk kelima jarinya di sana.
Mata cantik itu berubah kemerahan karena menahan amarahnya yang memuncak.
Benar-benar menjijikkan! Bagaimana bisa, pria di hadapannya itu melakukan hal yang tidak benar kepadanya.
"BRENGSEK! DASAR SIALAN!" umpatnya tanpa ada sepatah katapun yang terdengar manis.
Fairel mengalihkan tatapannya, memandangi jalan raya yang cukup sepi dari kaca depan mobilnya.
Fairel merasakan pipinya yang berdenyut, sakit dan perih secara bersamaan.
"Maaf," lirihnya penuh penyesalan. Ia menyadari kalau sikapnya terlalu keterlaluan. Hanya saja Fairel terlalu kalut waktu itu, ia tidak memiliki penyelesaian untuk membuat Dona percaya padanya.
"CEPET BUKA PINTUNYA! GUE UDAH NGGAK TAHAN BERADA DI SINI!"
Dengan gerakan cepat, jempol gemuk itu menekan tombol untuk membuka kunci pintu mobil. Dona bergegas keluar dari sana, dan berlari membelah rintik hujan yang masih deras itu.
Fairel hendak mengejar Dona, namun akal sehatnya menhentikkan aksinya, dan memilih untuk tidak mengejar Dona.
Tidak mengejar bukan berarti tidak cinta atau menyerah, tetapi ada kalanya seseorang butuh waktu untuk sendiri, untuk merenungkan kesalahan dan kebenaran yang dilakukannya.
Fairel dan Dona sama-sama butuh waktu untuk sendiri, untuk menurunkan egonya yang terlalu tinggi, dan untuk memikirkan bagaimana hubungan mereka ke depannya, yang terlihat baik untuk semua orang.
———
Bara menghentikan motornya di dekat toko helm, karena derasnya hujan terlihat tidak ingin berhenti.
Meta turun dari motor itu dengan kerutan di dahinya. Tentu saja, dirinya tidak senang menunda-nunda untuk bertemu Loey, karena jika menundanya terlalu lama, bisa saja jawaban Loey akan berubah karena tersulut emosi.
Loey memiliki tempramen yang tinggi, yang selalu ingin dipuji, dan dimengerti. Dia juga tidak sabaran dalam hal apapun, apalagi soal menunggu seseorang.
Loey terlihat manja, namun juga keras kepala. Jika Loey sedang emosi, tidak ada tempat bagi Meta untuk berteduh, karena ketika marah, pria itu terlihat seperti raksasa yang akan menghancurkan apapun yang ada disekitarnya.
Urat-urat disekitar tubuhnya akan menonjol, dan menimbulkan perasaan ngeri pada siapapun yang melihatnya. Loey seorang petinju, ia melakukan tanding dibeberapa Minggu terakhir ini untuk menambah biaya kuliahnya.
Tentu saja, Loey mengambil jurusan olahraga. Lihat saja saat Loey membuka bajunya, tubuhnya pasti terlihat bugar dengan dikelilingi otot disekitar lengan dan perutnya.
Bara berdiri di samping Meta dengan berlindung di rumah yang tidak terpakai, di samping toko helm.
Bara memilih meneduh karena matanya terasa perih oleh air hujan. Ia sudah tidak bisa menahan rasa perihnya.
Sedangkan Meta, ia terlihat gusar. Dilihat dari gerak-geriknya, gadis berambut panjang seketiak itu terus melirik jam yang melingkar di tangannya.
Sesekali, Meta juga mendengus sebal seraya merutuki hujan yang turun dengan deras.
"Tunggu setengah jam lagi, nanti juga hujannya berhenti," ucap Bara melerai, ia tidak tahan melihat wajah Meta yang mengkerut itu.
"Kenapa kita harus berhenti di sini sih? Lo tahu kan sifat kakak lo itu," ketus Meta diikuti suara decakan yang tidak enak didengar di telinga siapapun.
Bara menghela nafasnya gusar, ia sebenarnya sedang menghindari apa yang akan terjadi jika Loey bertemu dengan Meta, ia takut kakaknya itu akan memarahi Meta lagi.
"Lo tahu kalau sifat kakak gue kayak gitu, kenapa lo masih sayang sama dia?" Ada sarat kesedihan yang terpancar dari bola matanya, mengingat kembali apa yang terjadi kemarin, sungguh menyakiti hatinya."Gue cinta, dan cinta itu nggak bisa dipaksakan Bara..."
Bara tersenyum getir, tatapannya menurun, terus menatap tangan Meta yang saling bertaut sambil digosok-gosokkan agar bisa menghangatkan tubuhnya,
"Lo rela hujan-hujanan, dan kedinginan demi dia?"Refleks, Meta menghentikan kegiatan menggosokkan tangannya itu, ia seperti terciduk kedinginan.
Sebenarnya, seluruh tubuh Meta menggigil, bulu kuduknya berdiri, dan udara seakan seperti sedang berada di padang salju.
Ia bahkan tidak kuat untuk berdiri lagi, hanya saja Meta memaksakannya untuk terlihat kuat hanya demi Loey.
Bara mendengus sebal, ia segera melepaskan jaket yang dikenakannya, lalu melampirkannya ke bahu Meta.
"Tunggu di sini, gue mau beli helm dulu buat ngelindungin kepala lo, biar nggak kebasahan."
Tanpa menunggu persetujuan dari Meta, pria itu bergegas ke toko helm yang ada di sampingnya.
Meta bisa sakit jika kepalanya terus kebasahan oleh rintik hujan, dia bisa-bisa tidak masuk ke sekolah besoknya dengan alasan demam. Dan untuk melindungi diri dari kemarahan Loey, Bara harus bisa melindungi Meta.
Bara juga meminta secangkir teh hangat yang untungnya tersedia dan dijual di toko itu.
Setelah membayar semua barangnya, Bara keluar dengan membawa helm dan dua teh hangat. Ia kembali berdiri di samping Meta dan memberikan satu gelas plastik teh hangat itu kepadanya, sedangkan yang satunya, tentu saja untuk Bara, dia juga harus melindungi dirinya bukan?
"Minum dulu, abisin. Setelah itu, gue anterin lo ke kakak gue."
Tanpa ba-bi-bu, Meta menenggak teh hangat itu sampai dirinya tersedak hingga terbatuk-batuk dengan sangat keras. Terpaksa, Bara memberikan teh hangatnya yang masih belum diminum kepada Meta.
Bisa-bisanya dalam situasi seperti ini, Meta menghabiskan dua teh sekaligus! Padahalkan Bara juga haus!
Meta melempar gelas plastik yang sudah kosong itu ke tempat sampah, ia juga merampas helm di tangan Bara dan langsung memakainya tanpa ada yang menyuruh.
Semangatnya sangat menggebu hanya untuk bertemu dengan Loey, padahal baru seminggu mereka tidak saling sapa, makan bersama atau bertemu. Meta merasa seperti mati selama tidak bertemu dengan Loey. Tidak memiliki harapan atau semangat.
Bara pasrah, ia kembali menjalankan motornya dengan kecepatan di atas rata-rata, menyalip beberapa pengendara yang terlihat melambat, agar lebih cepat sampai dan tidak terlalu basah kuyup.
Sesampainya di sekolah, Meta dan Bara bergegas ke lapangan basket, karena mereka berjanji untuk bertemu di sana.
Langkah mereka terhenti kala pendengarannya menangkap umpatan dari bibir Loey.
"Nggak becus lo main basket!"
Kaki Meta bergetar hebat, ia takut jika menemui Loey sekarang, Meta juga akan terkena umpatan itu. Semangat yang gigih, berubah pudar karena keadaan.
Tetapi, Meta tidak bisa berjalan mundur dan memilih pulang, ia harus menghadapinya jika masih ingin bersama dengan Loey.
Satu tangan terulur untuk menepuk bahu Meta, menyemangatinya kalau Meta tidak sendirian, memberitahunya kalau Bara ada di sini untuk menemaninya.
"Kalau lo kena umpatan kakak gue, lo diem aja jangan ngejawab. Kalau lo ngejawab, ish ...." Bara menggelengkan kepalanya, membuat atmosfer di sana semakin mencekam.
Ingin rasanya Meta menjitak kepala Bara, keberadaan dia hanya untuk menakut-nakutinya saja. Meta tidak membutuhkan hal itu.
Meta parno, dengan langkah ragu, ia mendekati tempat duduk Loey bersama teman-temannya.
Bagas yang mengetahui kedatangan Meta langsung menepuk bahu Loey, dan memberitahunya tentang Meta yang sudah berada di belakangnya.
Tentu saja, kepala yang berfokus pada permainan basket itu, menoleh ke arah Meta dengan tatapan ....
Entahlah, tatapan itu tidak bisa diartikan oleh Meta, karena terlalu rumit untuk dijelaskan.
Mungkinkah Loey akan memarahinya? Dan permasalahan mereka akan semakin rumit?
Lo ke mana aja?
Gue nunggu dari tadi, lo malah berduaan sama Bara?
Gue nggak bisa maafin lo lagi.
Bullshit banget alasan lo!
Breaknya kita perpanjang aja!
Banyak ungkapan-ungkapan kepedihan yang terlintas di kepala Meta. Ia hanya mempersiapkan mental untuk apa yang akan terjadi berikutnya, setidaknya Meta harus kuat dan tidak boleh menangis di hadapan mereka semua.
"Duduk sini. Gue udah beliin lo martabak, tapi kayaknya udah dingin deh."
Deg!
Manis sekali! Seketika emosi, rasa gugup, canggung, dan pikiran negatif Meta hilang saat mendengar ucapan manis itu.
Meta terpaku terhadap Loey yang seperti ini. Sudah lama, Loey tidak memperlakukannya sebaik ini.
Loey dulu begitu polos, dan selalu membelikannya martabak keju dengan lapisan pandan setiap harinya.
Ada apa dengan Loey? Apakah dia sudah memaafkannya? Bukannya bersyukur, Meta malah bingung dengan sikap manis Loey, ia takut jika sikap manis itu tertuju padanya untuk terakhir kalinya.
"Kenapa diem aja, ayo duduk," ajak Loey. Ia menggenggam pergelangan Meta dan menggiringnya untuk duduk di sampingnya.
Mulut semua orang terbuka, tidak percaya akan sikap yang ditunjukkan Loey. Karena Loey terkenal kasar ke semua orang, tidak memandang apakah dia cowok atau cewek. Akan tetapi, Bagas senyum-senyum sendiri melihatnya, ia bahagia karena Loey menurutinya.
"Maafin gue yah Ta. Seharusnya gue nggak kasar sama lo, gue terlalu emosi kemarin, karena kekalahan telak itu."
Meta mengangguk, ia memahami situasi Loey saat itu. Akan tetapi, Meta juga tidak bisa menerima pelampiasan amarah dari Loey.
Seharusnya amarah itu ditujukan pada orang yang tepat, akan tetapi Loey melampiaskan seluruh amarahnya kepada Meta, seolah Meta adalah tempat sampah.
Meta memiliki perasaan dan harga diri. Ia juga bisa terluka jika terlalu disakiti, ia juga bisa menangis jika situasi tidak terkendali, ia juga bisa menyerah jika tak ada jalan keluar lagi.
Oleh karena itu, seharusnya Loey bersyukur karena telah memiliki Meta, gadis penyabar.
"Iya, gue udah maafin lo bahkan sebelum lo minta maaf. Kita breaknya udahan kan?" Wajah Meta kembali bersinar cerah, seperti bayi yang sedang tersenyum kepada ibunya.
Loey tidak kuat untuk tidak mengelus kepala Meta, Meta terlihat sangat menggemaskan,
"Iya dong. Gue udah nggak kuat jauh-jauh sama lo.""Heleh lebay," cibir Bagas sembari berlalu,
"Inget traktir gue, BESOK!"Loey kembali mengumpat dalam hati, namun ia segera menganggukkan kepalanya dan menyetujui permintaan Bagas itu.
"Lo kayak cicak tahu, nempel banget!" cibir Cio kembali berlalu mengikuti Bagas, hanya saja lemparan sepatu Adidas milik Loey tepat mengenai kepala Cio hingga pria itu tersungkur dengan naas, dan menyisakan rumput di area bibirnya.
Bara berjongkok di depan kepala Cio,
"Lo lapar, gue traktir makanan. Yok, kasian banget sampe makan rumput gitu.""Sialan lo," caci Cio, dengan melempari rumput ke wajah Bara.
Mulut dan hati keduanya sama-sama susah dijaga, jadi kamu harus patuh, agar aku bisa menjaganya.BARA?———Kemarin, bertepatan dengan ulang tahun Dona pada tanggal 09-09-2021, Loey mengikuti pertandingan tinju yang didaftarkan oleh coach-nya.Bara, Meta, dan Loey saat ini sedang berada di tempat pertandingan. Tempat pertandingan itu terlihat kumuh, dan terlihat seperti bangunan yang tidak pernah terpakai. Warna cat keputihan yang mulai mengelupas dan luntur, serta banyak debu di mana-mana. Penerangan minim, yang hanya menyoroti tempat istirahat petinju, serta ring, membuat kesan pertama Meta adalah sedikit horor.Tentu saja, pertandingan itu diadakan secara sembunyi-sembunyi. Bahkan banyak sekali penjaga yang menjaga di depan pintu masuk. Serta gerbang rumah itu yang se
Itulah kenapa kebohongan itu dosa, karena mengucapkannya tidak sesulit mengucapkan kebenarannya.DONA———"Sayang ... turun yuk, kita makan bareng, ayah udah pulang."Teriakan yang berasal dari luar pintu kamarnya berhasil membuyarkan lamunan Dona.Gadis itu segera berdiri, membuka pintu kamarnya, lalu berjalan menuruni tangga menuju meja makan yang terletak di dapur.Semua anggota keluarga sudah berkumpul di meja makan, mengelilingi meja itu dengan sesekali memberikan canda gurau.Dona menghentikan langkahnya kembali, ketika pikiran gadis itu teringat akan Fairel. Gadis itu menghembuskan nafas kasarnya, merasa lelah dengan sesuatu yang terasa rumit dan sulit di hadapi.Dona tidak bisa mengelak permintaan Dion, ayahnya. Ia sangat ta
Jika dengan rasa sakit ini, kamu memperhatikanku, memahami keadaanku. Aku rela melakukannya, hanya demi kamu.FAIREL————Gow menyeret tubuh anaknya yang berdarah-darah itu ke kamar anaknya sendiri. Beliau membawanya ke sudut kamar di samping lemari pakaian, lalu mengikat kedua tangan dan kakinya dengan tambang agar tidak bergerak ke mana-mana.Gow tidak punya perasaan, ia membiarkan anaknya mati kedinginan tanpa selapis baju atasan, ditambah darah segar yang terus mengalir itu yang tak kunjung mengering, membuat Fairel sedikit kewalahan, hingga nyaris tidak kuat menopang tubuhnya."Berdiri terus di sini sampai ayah kembali ke kamar kamu lagi. Jika ayah ngeliat kamu duduk, kamu tahukan apa yang akan ayah perbuat?" Senyum menyeringai tercetak di bibir Gow yang memiliki kumis dan jenggot.
Terimakasih untuk segalanya. Terimakasih karena sudah terlahir sebagai perempuan, terimakasih karena sudah terlahir dengan nama Dona yang penuh ketulusan. Semoga kehidupanmu, penuh dengan kebahagiaan, walau tanpa aku di sana. Bara atau Fairel? ————————— Dona kembali sambil membawa nampan berisikan dua piring. Ia masih kepikiran dengan apa yang dilihatnya barusan, makanan yang dibuang di dapur tanpa ada rasa sayang atau mubazir, dan kemudian diganti dengan makanan baru. Mungkin basi?! Batin Dona membeo, ia tidak ambil pusing dengan hal itu, atau menceritakan kejadiannya kepada Fairel. Pria itu mungkin akan merasa sakit hati jika mendengarnya. Dona memberikan satu piring berisi makanan dan lauk pauk yang sudah lengkap, ditambah es teh dingin, begitu juga de
Aku begitu menderita, sampai merasa bernafas saja terasa sesak. Apa yang salah dengannya, hanya ingin bahagia dengan ibunya, apa tidak boleh? Dan jangan ada yang lain. Please?Metta———Dona berlari ke arah Bara, lalu kemudian memeluknya dengan erat, terlihat seperti seorang anak yang sedang merindukan ayahnya.Dona hanya paranoid, dia takut jika hubungannya dengan Bara nanti akan putus dan berakhir dengan canggung.Bara menurunkan tatapannya, menatap wajah Dona yang bersembunyi di dadanya."Janjinya jam berapa Na?" tanya Bara mengejek, namun tampaknya Dona tidak bisa diajak bercanda.Gadisnya itu terus mengeratkan pelukannya, menyembunyikan wajahnya lebih dalam, dan memejamkan kedua matanya, seolah meyakinkan diri, kalau Bara adalah miliknya.Bara tidak akan pergi
Saat keduanya menunjukkan rasa cinta untuk bersama. Lalu siapa yang akan menerima kekalahan, bukankah itu terlalu mengkhawatirkan, dan membuat bekas luka terlalu dalam?Dona———Dona dan Bara, asyik membuka setiap halaman menu restoran Kalia. Sedangkan Fairel, sibuk mencari seseorang yang ia kenali, untuk mengajaknya makan bersama sekedar menghilangkan kecanggungannya.Suasana canggung begitu mencekik leher Fairel. Fairel tidak akrab dengan siapapun, Dona atau Bara, keduanya baru Fairel kenal akhir-akhir bulan ini.Nuansa romantis dengan ukiran kayu disetiap dinding dan meja pelanggan, terkesan minimalis. Alunan lagu yang terus mengalun membuat rasa semakin canggung dan mendung. Mengatakan, seolah tidak ada tempat bagi Fairel di sini. Jomblo pergi aja yang jauh.Entah kesialan apa yang menimpanya hari ini, Fa
Jika kamu memahami fungsi aku di sisi kamu. Lalu kenapa kamu terus mengelak, memilih menjauh, dan menggelap seperti bulan, yang tak sudi di kelilingi bintang-bintang?Fairel.———Satu jam, Fairel menunggu gadis itu keluar dari kamar mandi. Namun detik demi detik, tidak menunjukkan batang hidungnya sekalipun.Malam kembali temaram, penyanyi solo laki-laki yang restoran ini undang, untuk mengisi kehangatan para pembeli, sudah menghilang dari pandangan, karena waktu kerja mereka sudah habis dan tidak diperpanjang.Mungkin satu jam lagi restoran ini akan tutup. Mengingat bagaimana para pelayan terus mengatakan untuk segera merapikan diri dan meja makan. Ditambah, menu restoran yang sudah minim karena bahan makannya sudah laris.Fairel sering datang ke restoran ini untuk bertemu klien. Kadang, ia sering membuat ja
Kamu itu seperti hujan, yang pergi kemudian datang kembali. Yang menggores luka, lalu kembali mengobati.Fairel.————"Bara... tipe cewek kamu itu kayak gimana?" tanya Fara, salah satu penggemar Bara, dia ingin berusaha merubah diri sesuai dengan tipe cewek Bara yang akan disebutkannya nanti."Tipe cewek gue yah....." Bara tampak berpikir, dia juga bahkan tidak pernah memikirkan tipe ceweknya itu seperti apa. Karena baginya, tipe cewek seperti Dona itu sudah lebih dari cukup baginya."Gue suka cewek yang kalau senyum itu manis banget, nggak perlu punya lesung pipi, yang penting senyumannya bisa membuat gue sadar, kalau dialah yang gue butuhin buat ngejalanin hidup." Bara menyipitkan kedua matanya, pikirannya melayang, membayangkan wajah Dona yang selalu berseri-seri ketika mereka saling bersama."Itu aja?" ta
Saya mau berterimakasih kepada kalian semua, yang dengan setia membaca novel aku sampai selesai. Banyak kekurangan dari matchmaking ini, dan dari itu, saya meminta kritik dan sarannya yang bisa membangun diri saya untuk menjadi penulis yang lebih hebat lagi. Di novel ini, saya menyadari banyak sekali typo. Saya akan memperbaikinya. Apa kabar kalian? Saya @kkiiyys. Bisa kalian panggil kiy, salam kenal untuk kalian semua. Kalian, berasal dari kota mana saja? Saya juga berharap, kalian mau memberikan vote, komentar yang membangun, serta memberi novel saya rating sesuai dengan isi novelnya. Saya ingin tahu, apa kalian menyukai novel saya? Atau kalian tidak menyukainya? Apa komentar terakhir kalian buat pasangan nggak jelas ini, yaitu • Dona sama Fairel? Apa pesan kalian, untuk pasangan • Meta sama Loey? Untuk • Alfina dan Gero? Untuk • Fera dan Bara? Untuk • Seyi dan Wima? Untuk saya, mungkin?
Fairel tidak langsung pulang ke rumah. Setelah pekerjaannya selesai, pria itu bergegas mencari keberadaan Dona. Bahkan, Gero sendiri sampai ia turunkan di jalan. "Jadi, gue turun di sini gitu?" Gero kesal setengah mati ketika mobil Fairel menepi, dan jaraknya menuju rumah masih jauh. "Gue minta maaf. Tapi gue harus nyari Dona." "Gue paham. Gue paham banget masalah lo, gimana kalau gue bantu cari aja. Kita sama-sama cari dari satu komplek ke komplek lain." Itu ide bagus. Hanya saja Fairel ingin sendiri. Gero kembali merayu,"Gue janji deh, gue nggak bakal nyusahin lo. Boleh yah, gue ikut?" Fairel menganggukan kepala dengan terpaksa. Ia kembali melajukan mobilnya tak tentu arah. "Tunggu, tunggu. Keluarga Dona ada siapa aja sih?" Gero baru mengingat hal itu. Fairel bersikap seolah Dona tinggal seorang diri. Sehingga tidak ada siapapun yang bisa dihubungi. "Gue udah ngehubungi kakaknya Dona sama bunda, tapi nggak aktif nomornya.
Semuanya sudah jelas dan terungkap. Walau terdengar sedikit mengejutkan, tetapi itulah kenyataannya. Fairel hendak berkunjung ke rumah Dona, akan tetapi ayahnya melarang hal itu. Beliau mengatakan sudah malam, dan lebih baik dibicarakan esok saja. Fairel menurut, karena perkataan ayahnya itu memang benar. Di sinilah mereka berada, Meta, Nea dan dirinya sedang berkumpul di kamar Fairel. "Kok lo bisa muncul tiba-tiba?" tanya Fairel langsung ke intinya. Fairel atau Nea, mereka sama-sama tidak punya janji untuk bertemu dengan Meta. Tetapi, dengan mengejutkannya, gadis itu menghampiri keluarga Fairel dan mengatakan kebenaran yang paling penting. "Soalnya tadi, gue habis teleponan sama Dona. Dia nutup telepon gue sepihak, setelah nanyain hadiah apa yang lo dapetin pas perlombaan waktu itu." Deg! Jantung Fairel seakan ada yang menusuk dan membuatnya berhenti. Ia melupakan satu hal itu, Fairel pikir, ia akan memberitahu Dona tepat dua
"Baru ke sini lagi? Ke mana aja nih?" Kedua sejoli itu saling bertukar pandang. Mereka bersama-sama menanyakan jawaban yang kompak untuk pertanyaan Bi Oni. Senyuman terukir manis di bibir keduanya, mereka kompak menjawab,"Baru balikan, Bi." "Wuah ...." Bi Oni bahkan sampai bertepuk tangan, hingga sarung tangannya yang penuh terigu itu berterbangan mengotori rambut Dona. Dona terkikik geli, dengan sigap Fairel membersihkan rambut Dona dengan tanganya. Penuh ketelatenan. Setelah membayar semua jajanan yang mereka beli, keduanya pamit. Mereka berjalan berdua mencari kenangan romantis yang bisa diukir. Mereka juga memilih membolos pada mata kuliah ketiga. Fairel meninggalkan mobilnya di kampus, mereka berencana akan kembali lagi ke kampus setelah mencari penat. Dona asyik menyuapkan sosis bakar bumbu rujak sebagai menu terbaru di kedai Bi Oni. Berbeda dengan Fairel, tangannya masih sibuk membersihkan rambut Dona dari tepung.
"Ngapain Dona di sini?" Setelah duduk, Fairel diam-diam berbisik ke telinga Meta ketika dirinya berhasil mencuri waktu. Fairel tidak bisa bergerak, posisi duduknya dihimpit oleh dua wanita yang sedang memiliki masalah dengannya. Untuk bernafas saja, dirinya jadi kikuk tidak karuan. Apalagi, ketika Meta menjawab dengan gelengan acuh, membuat semuanya hancur. Fairel tidak mungkin mengusir Dona. Ia tidak sejahat itu dalam memperlakukan manusia. Walaupun dulu kata-katanya menyakitkan, tidak sampai mengusir juga. Fairel memilih menelungkupkan kepalanya diantara tumpukan tangan yang dilipat di atas meja. Memandangi dua wanita di sampingnya secara bergantian, membuat kepalanya berdenyut. Fairel tidak akan merubah posisinya sampai jam kuliah selesai. Meta dan Dona saling tukar pandang. Mereka berdua tengah menahan tawa melihat Fairel yang gelisah dan tidak mau diam. Dalam posisinya tadi, tangan Fairel terus bergerak. Entah meny
Dona membuka kedua matanya. Cahaya dari sinar matahari membuat pandangannya menjadi silau. Dona meringis, ia memalingkan wajahnya agar tidak terkena silau matahari. Hanya saja, ketika hendak berpindah, seseorang berdiri di hadapan Dona, menghalangi matahari yang menyinari ruangan. Pelan-pelan, Dona menatap tubuh itu dari bawah sampai ke atas. Ia sampai memekik ketidak menyadari bahwa ada Fairel di kamarnya. Dona beringsut mundur, hingga punggungnya terantuk papan ranjang dengan menarik selimut sampai menutupi dadanya. "Lo ... lo ngapain di sini?" tanya Dona gugup. Masalahnya, ia tengah berpikir yang tidak-tidak. "Anggap aja pelukan kemarin itu nggak pernah terjadi." Dona memutar bola matanya jengah. Hatinya bertanya-tanya, tentang kemarin. Memangnya apa yang terjadi? Dona melepaskan selimut yang menutupi dadanya. Ia memandangi bajunya yang berganti, dan kembali memekik sembari memelotot ke arah Fairel. "Apa yang lo laku
"Kenapa lo lari?" Meta berhasil menyusul Dona. Gadis itu menangis di setiap larinya. "Terus gue harus gimana? Gue nggak mau ketemu sama orang yang benci sama gue." Guratan amarah terlihat dari setiap ekspresi Dona. Meta tahu, sahabatnya itu tengah frustasi dengan semuanya. Ketika ingin menghindar, Dona malah bertemu dengannya. "Gue yakin, Fairel nggak benci sama lo." Dona ingin percaya, namun ia menyadari kalau kalimat itu adalah kebohongan. Kalimat yang hanya digunakan untuk menenangkan hati dan pikiran. Dona menatap ke jalan raya yang lumayan lengang,"Gue cuman pengen denger hal itu dari mulut Fairel sendiri. Tapi gue yakin, itu nggak mungkin." Dona menghela nafas dengan gusar. Kalau boleh jujur, Dona sebenarnya masih mencintai Fairel. Dona rela melakukan apapun demi Fairel. Tetapi, jika pria itu menolak semua hal tentang Dona, ia tidak punya pilihan. "Gue mau sembunyi di sana, kalau lo masih peduli sama gue. Bila
Ketiga orang itu heboh. Di dalam stadion, Meta, Nea, dan Dona terus meneriaki nama Gero hingga mengalahkan lolongan suara suporter tim sebelah. Meta, Nea dan Dona datang ke stadion perlombaan basket dengan penampilan yang urakan. Mereka mampir ke toko Nea untuk membeli ikat rambut yang penuh dengan rumbai-rumbai dari tali rafia serta bola-bola kecil yang terbuat dari bahan yang sama. Mereka juga memiliki terompet yang cukup besar suaranya, sesekali Meta meniup terompet tersebut, membuat Nea dan Dona menjauh, begitu juga penonton yang duduk di depannya. Bahkan ada yang sampai mengomeli Meta. Ketiganya itu malah tertawa menanggapi kalimat sinis dari kursi penonton di depannya. "Udah, udah. Jangan ditiup lagi Met. Bisa-bisa, bukannya pertandingan basket malah jadi arena tawuran gara-gara lo." Meta angkat tangan. Benar juga kata Dona, bisa jadi Meta jadi sasaran empuk para wanita yang tengah menyoraki idolanya. Meta yang ringkih itu bisa sekali tendang da
"Ayah, ngirim surat undangan itu ke rumah kita?" Tidak seperti biasanya, setelah bercerai dengan Dion. Dona tampak membenci ayahnya sendiri. Setiap kita sebagai keluarga menyebutkan nama Dion, Dona selalu berusaha bersikap masa bodo dan tidak mau dengar. "Bukan, ini dari temennya Kak Wima." "Iya, ayah nitipin kan lewat dia?" "Kenapa kamu sewot sih Dek?" Dona langsung terdiam mendengar bentakan kakaknya,"Kenapa ribet banget. Kita nggak usah datang. Udah gitu aja." Aliya-pun ikut mengambil jalan terbaik dengan merobek surat undangan itu menjadi serpihan kecil dan langsung ia buang ke tempat sampah. Semua kenangan tentang Dion harus Aliya buang jauh-jauh. Dion hanya menjadi bumerang saja dalam keluarga. Walau begitu, Aliya masih bisa melihat sikap baik Dion dengan melihat anak-anaknya yang sekarang tumbuh dewasa. Dona memilih pergi ke kamarnya. Ia perlu merapikan kamarnya dan membentang karpet karena kemungkinan Aliya belum se