Kamu itu seperti hujan, yang pergi kemudian datang kembali. Yang menggores luka, lalu kembali mengobati.
Fairel.
————
"Bara... tipe cewek kamu itu kayak gimana?" tanya Fara, salah satu penggemar Bara, dia ingin berusaha merubah diri sesuai dengan tipe cewek Bara yang akan disebutkannya nanti.
"Tipe cewek gue yah....." Bara tampak berpikir, dia juga bahkan tidak pernah memikirkan tipe ceweknya itu seperti apa. Karena baginya, tipe cewek seperti Dona itu sudah lebih dari cukup baginya.
"Gue suka cewek yang kalau senyum itu manis banget, nggak perlu punya lesung pipi, yang penting senyumannya bisa membuat gue sadar, kalau dialah yang gue butuhin buat ngejalanin hidup." Bara menyipitkan kedua matanya, pikirannya melayang, membayangkan wajah Dona yang selalu berseri-seri ketika mereka saling bersama.
"Itu aja?" ta
Keduanya sama. Sama-sama membuat aku tidak bisa berpikir jernih.Dona———Hujan tidak pernah menunjukkan rasa ibanya, terus menurunkan rintiknya tanpa peduli ada seseorang yang takut akan basah.Malam semakin menggelap, langit tidak memiliki bintang atau bulan, hanya dikepuli oleh awan gelap saja.Hati Dona masih tertuju pada satu orang, dan ia masih menunggunya, masih memberi kesempatan. Akan tetapi, Bara masih tidak ada kabar."Kamu suka warna apa?"Setelah satu jam saling berdiam diri, hanya terdengar suara jangkrik yang berdecit. Akhirnya Fairel membuka perbincangan."Merah muda...," jawab Dona, lalu ia mengangguk, kala melihat wajah Fairel seolah meminta penjelasan,"Alasan? Simpel, karena bunda gue selalu beliin baju warna merah muda, sampai sekarang, dan b
Takdir terus menyatukan. Membentuk tanda tanya disetiap pertemuan.———Dona menggeser layar ponselnya bosan. Mengabaikan seruan dosen yang sedang menerangkan tugas kelompok.Layar persegi itu kini menampilkan foto yang diambil saat ulang tahunnya kemarin, di foto itu terlihat sangat jelas kalau dirinya begitu enggan berfoto dengan Fairel.Dona kembali bernostalgia ketika mengingat hal-hal menyebalkan itu...Beberapa hari yang lalu, Aliya menyuruh Dona untuk memakai dress panjang dengan warna biru. Beliau membelikannya di mall ternama dan menghadiahi sebagai kado ulang tahun.Katanya, ada seseorang yang spesial menunggu di bawah. Diiringi lagu ulang tahun, Dona segera berganti pakaian dan berdandan.Keluarga Dona selalu merayakan ulang tahun untuk setiap anggota keluarganya.
Kenapa dia memilih untuk pergi, disaat aku bersiap untuk memantapkan hati.Bara——"Meta, boleh gue nanya sesuatu?""Apa?"Dona menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, ia sedikit merasa canggung,"Ah itu... lo tahu kak Loey ke mana? Soalnya gue cari Bara."Meta menarik pergelangan tangan Dona dan menggiringnya menuju tempat parkir,"Ikut gue yuk.""Tapi ke mana?" tanya Dona lagi. Satu pintu mobil bagian penumpang sudah terbuka oleh Meta. Saat mereka sudah sampai di tempat parkir."Udah masuk dulu aja."Dona menelan salivanya gugup, sebelum pada akhirnya ia menurut dan segera masuk ke dalam mobil.Dona sedikit terkejut melihat seseorang sudah duduk di kursi kemudi.Meta cekikikan, dia memilih dudu
Aku tidak senaif itu. Aku memang pria, tetapi aku juga manusia. Aku juga merasa sakit hati kala seseorang yang paling dipercayainya memilih membohongi. Bara — Beberapa hari yang lalu. Tepat ketika hari ulang tahun Dona. Chat Fera : sent photo Pacar lo kan itu?Dia punya tunangan.Wah, Ba, lo tersisihkan. Pesona lo pergi ke mana dah? Bara : 👊 Fera : Lo yakin nggak mau ke sini? Ciduk pacar lo yang tunangan kayaknya seru.
Senja selalu gemilang, berbeda dengan perasaan yang meredup dan tak pernah menghilang."Gue bosen karena tempat ini dijadiin buat rapat mulu. Kali-kali, rapat juga pesen tempat yang keren dongggg...."Nea merenggut kesal, menaruh nampan berisi enam kopi dingin di meja dengan sedikit membanting. Ikut duduk di samping Fera, di hadapan Alfina dan Gero."Gantiin loh yah, ini kopi."Otak Nea sudah penuh dengan uang. Ia akan rugi jika kopi tersebut tidak dibayar. Mau makan apa Nea dan ibunya hari ini? Makan batu?Gero bersantai ria,"Ada Mbos Nek, santai aja."Yang disebut Mbos menggebrak meja marah,"Gue udah ngasih donasi yah buat reuni, masa mau malak gue lagi?" Merenggut kesal, Fairel menyeruput es kopi dinginnya.Gero, Alfina, Meta tertawa terbahak-bahak, sedangkan Fera menggaruk kepala canggung, tet
Merelakan itu jauh lebih indah daripada mengekang. Melihat senyum liarnya bahkan menghilangkan duka tentang itu. Tak apa. Jodoh tidak akan melangkah jauh. Fairel ——— Rambut acak-acakan, mata sembab, baju lecek, kulit kering, semua itu didefinisikan oleh Dona lewat pantulan cermin. Dua hari dirinya tidak pergi ke kampus atau ke luar kamar. Makanan yang diantarkan Bi Jihan-pun tak urung ia makan. Mag-nya kambuh, Dona hanya mampu menahan rasa mualnya dalam diam ketika Aliya masuk ke kamar membawa sebaskom air dingin untuk mengompres kepalanya. Bandel, satu kata itu terucap berulang kali dari bibir sang bunda. Bunda menggiringnya dengan sekuat tenaga untuk berbaring kembai di kasur. Menyelimuti an
Bohong itu hanya akan membuat luka. Tidak ada yang namanya berbohong demi kebaikan, karena semuanya hanya dosa.———Langkah ragu itu terus mendekati. Kedua tungkai kaki jenjang kini sudah berhenti kepada sang dituju.Meremas ujung celananya, Dona memberanikan diri untuk mendongak.Menelan salivanya, Dona tersenyum kikuk kepada pujangga hati.Bara mengangkat satu alisnya angkuh, Meta berpamitan tidak ingin ikut campur. Meta ingin tahu alasan kenapa mereka putus, tetapi jauh dari masalah itu, Meta bersyukur karena kali ini cinta Fairel tidak akan bertepuk sebelah tangan lagi.Cukup berjuang sedikit lagi, Fairel akan menggenggam Dona sampai mati. Jomblo dari lahir itu akan menggaet status penting dalam hidup Dona.Hiruk pikuk mendadak membuatnya canggung, Bara yang tidak bersuara sama sekali membuat
Setelah merengek dan memohon, akhirnya Fairel dan Fera sampai di panti asuhan Jeina. Halaman luas yang tampak sepi membuat niatnya kian urung. Angin malam terus menerbangkan setiap helai rambutnya, kedua tangan yang penuh dengan makanan itu kini mulai terasa pegal. Fera merutuki restoran itu yang super lambat dalam melayani pembeli. Pada akhirnya, semua makanan yang Fera beli akan sia-sia. "Mereka udah tidur kayaknya, yuk pulang," ajak Fairel. Fera malah memelotot, ia tidak ingin pergi kecuali sudah memberikan semua makanannya. Fera memang terbiasa memberi sumbangan makanan ke panti asuhan, kadang menggunakan uangnya yang dikasih bokap, kadang juga hasil malak seperti sekarang. Fera tidak malu dan tidak peduli, yang penting perbuatannya itu menurutnya baik. Fairel