Senja selalu gemilang, berbeda dengan perasaan yang meredup dan tak pernah menghilang.
"Gue bosen karena tempat ini dijadiin buat rapat mulu. Kali-kali, rapat juga pesen tempat yang keren dongggg...."
Nea merenggut kesal, menaruh nampan berisi enam kopi dingin di meja dengan sedikit membanting. Ikut duduk di samping Fera, di hadapan Alfina dan Gero.
"Gantiin loh yah, ini kopi."
Otak Nea sudah penuh dengan uang. Ia akan rugi jika kopi tersebut tidak dibayar. Mau makan apa Nea dan ibunya hari ini? Makan batu?
Gero bersantai ria,
"Ada Mbos Nek, santai aja."Yang disebut Mbos menggebrak meja marah,
"Gue udah ngasih donasi yah buat reuni, masa mau malak gue lagi?" Merenggut kesal, Fairel menyeruput es kopi dinginnya.Gero, Alfina, Meta tertawa terbahak-bahak, sedangkan Fera menggaruk kepala canggung, tet
Merelakan itu jauh lebih indah daripada mengekang. Melihat senyum liarnya bahkan menghilangkan duka tentang itu. Tak apa. Jodoh tidak akan melangkah jauh. Fairel ——— Rambut acak-acakan, mata sembab, baju lecek, kulit kering, semua itu didefinisikan oleh Dona lewat pantulan cermin. Dua hari dirinya tidak pergi ke kampus atau ke luar kamar. Makanan yang diantarkan Bi Jihan-pun tak urung ia makan. Mag-nya kambuh, Dona hanya mampu menahan rasa mualnya dalam diam ketika Aliya masuk ke kamar membawa sebaskom air dingin untuk mengompres kepalanya. Bandel, satu kata itu terucap berulang kali dari bibir sang bunda. Bunda menggiringnya dengan sekuat tenaga untuk berbaring kembai di kasur. Menyelimuti an
Bohong itu hanya akan membuat luka. Tidak ada yang namanya berbohong demi kebaikan, karena semuanya hanya dosa.———Langkah ragu itu terus mendekati. Kedua tungkai kaki jenjang kini sudah berhenti kepada sang dituju.Meremas ujung celananya, Dona memberanikan diri untuk mendongak.Menelan salivanya, Dona tersenyum kikuk kepada pujangga hati.Bara mengangkat satu alisnya angkuh, Meta berpamitan tidak ingin ikut campur. Meta ingin tahu alasan kenapa mereka putus, tetapi jauh dari masalah itu, Meta bersyukur karena kali ini cinta Fairel tidak akan bertepuk sebelah tangan lagi.Cukup berjuang sedikit lagi, Fairel akan menggenggam Dona sampai mati. Jomblo dari lahir itu akan menggaet status penting dalam hidup Dona.Hiruk pikuk mendadak membuatnya canggung, Bara yang tidak bersuara sama sekali membuat
Setelah merengek dan memohon, akhirnya Fairel dan Fera sampai di panti asuhan Jeina. Halaman luas yang tampak sepi membuat niatnya kian urung. Angin malam terus menerbangkan setiap helai rambutnya, kedua tangan yang penuh dengan makanan itu kini mulai terasa pegal. Fera merutuki restoran itu yang super lambat dalam melayani pembeli. Pada akhirnya, semua makanan yang Fera beli akan sia-sia. "Mereka udah tidur kayaknya, yuk pulang," ajak Fairel. Fera malah memelotot, ia tidak ingin pergi kecuali sudah memberikan semua makanannya. Fera memang terbiasa memberi sumbangan makanan ke panti asuhan, kadang menggunakan uangnya yang dikasih bokap, kadang juga hasil malak seperti sekarang. Fera tidak malu dan tidak peduli, yang penting perbuatannya itu menurutnya baik. Fairel
Hobi juga harus berdasar dengan rasa suka. Ketika objeknya adalah cinta, kamu tidak akan kesulitan untuk menyelesaikannya.————Pagi hari kembali menyapa, Sang Menantu rumah ini sudah bertengger di ruang tamu, menyesap teh hangat yang baru saja disediakan oleh sang pembantu.Kikuk, ditatap langsung oleh mertua tidaklah membuat Fairel senang. Dadanya seakan sesak, semua oksigen seolah direnggut paksa darinya, ingin bergerak-pun susah, seperti depan-belakang-sampingnya itu adalah kawat berduri yang beracun.Mata elang itu menatap Fairel intens, koran yang digenggam di kedua tangan masih menutupi sebagian wajahnya sampai hidung.Uhuk!!!Terlalu canggung, sampai Fairel tersedak minumannya sendiri. Fera tertawa terbahak-bahak tidak tahu diri, hingga Dion akhirnya berdehem untuk mencairkan suasana.Fairel menah
"Lo tuh yang bener kek, gagah gitu. Ini mah nggak ada estetiknya sama sekali."Fairel mengerucutkan bibir, ia sedikit jengah mendengar saran sekaligus cibiran Fera yang masih itu-itu saja.Padahal Fairel sudah merubah pose, posisi juga. Jika memang masih jelek, bukankah itu salah yang memotret?Fairel merapikan jasnya, ia kembali berpose dengan rahang yang sedikit diangkat ke atas, dengan kedua tangan di ujung jas.Jauh dari sana, ada seseorang yang berusaha mati-matian menyembunyikan degup jantungnya yang menggila. Berusaha mengontrol wajahnya yang memerah, dan berusaha mengontrol sikapnya agar tidak salah tingkah."Cakep Bro. Dah cepet ganti baju."Fairel berkedip sekali, telinganya sedikit diruncingkan."Lo nggak salah denger. Udah cepetan, bentar lagi malem."Fairel kembali berkedip, ia m
"Ngemis kata lo?" Sungguh hina sosok Bara di hadapan Dona kali ini,"Hah, gue nggak pernah ngemis sama lo. Gue nggak sudi ngemis sama lo. Gue salah... gue salah mertahanin lo yang bobrok kayak gini. Gue salah... karena Bara dalam hati gue itu ternyata hanya topeng busuk aja." Angin menerbangkan setiap kenangan mereka. Malam yang sunyi kembali menerkamnya dengan kegelapan. Kalimat Dona masih terngiang-ngiang di kedua telinganya, bahkan ketika Bara menutup mata untuk tidur. "Gue dulu cinta banget sama lo, tapi sekarang gue sadar, yang ada di hati gue itu cuman kebencian. Gue bakal buktiin ke lo, kalau gue bisa hidup tanpa lo. Dan lo dengan tenang nggak bakal keganggu lagi sama kehadiran gue." Itu kalimat terakhir yang diucapkan Dona sebelum gadis itu masuk ke dalam rumah tanpa pamit. Amarah yang memburu, mulai melemah, berganti dengan rasa sakit yang menjalar di hati
Taman kampus kini sudah berganti fungsi. Bukan untuk bersantai atau menikmati sekedar makanan dan cemilan, melainkan sebagai perkumpulan anggota kelompok jurusan seni."Jadi, gimana nih?""Apaan dah?" Vira menimpali dengan raut bingung. Mulut dan tangannya masih sibuk mengunyah dan memilah ciki.Seperti biasa, Fairel menjajani mereka makanan ringan yang dijual di warung kantin kampus. Harganya juga cukup murah, semua makanan itu hanya menghabiskan seratus ribu rupiah, dan itu terdiri dari 20 makanan ringan dan 10 minuman.Vira sudah mengantongi tiga makanan ringan dan dua minuman soda."Foto kelompok kita gimana? Spotnya kan udah ditentuin, terus kapan bisanya?" Meli menginterupsi lagi. Padahal kelompok 10 tidak memiliki ketua, tetapi Meli sudah bagaikan ketua, menyuruh ini dan menjelaskan itu.Agak sebal, tetapi menurut Fairel, ini le
Gue... nggak berharap kayak gitu.Nggak berharap.Kayak gitu.Kalimat itu terus terulang, terulang, hingga Fairel pusing mendengarnya.Menggema diseluruh pikiran dan otaknya, terngiang-ngiang bagaikan berada di gua yang bergema.Cukup tahu.Fairel cukup tahu dengan jawaban itu, bahwa dirinya tidak akan pernah lebih dari sekedar itu.Penolakannya bahkan cukup menusuk."Udah selesai kan? Yuk, kita langsung pemotretan aja," ucap Fairel datar.Fairel berusaha memasang mimik wajahnya sedatar mungkin, tetapi Meta masih bisa mengetahui secuil kesedihan di wajahnya.Meta menghela, ia ikut mengekori Fairel yang berjalan lebih dulu keluar toko.Disusul beberapa teman sekelompoknya sambil membawa paper bag beris
Saya mau berterimakasih kepada kalian semua, yang dengan setia membaca novel aku sampai selesai. Banyak kekurangan dari matchmaking ini, dan dari itu, saya meminta kritik dan sarannya yang bisa membangun diri saya untuk menjadi penulis yang lebih hebat lagi. Di novel ini, saya menyadari banyak sekali typo. Saya akan memperbaikinya. Apa kabar kalian? Saya @kkiiyys. Bisa kalian panggil kiy, salam kenal untuk kalian semua. Kalian, berasal dari kota mana saja? Saya juga berharap, kalian mau memberikan vote, komentar yang membangun, serta memberi novel saya rating sesuai dengan isi novelnya. Saya ingin tahu, apa kalian menyukai novel saya? Atau kalian tidak menyukainya? Apa komentar terakhir kalian buat pasangan nggak jelas ini, yaitu • Dona sama Fairel? Apa pesan kalian, untuk pasangan • Meta sama Loey? Untuk • Alfina dan Gero? Untuk • Fera dan Bara? Untuk • Seyi dan Wima? Untuk saya, mungkin?
Fairel tidak langsung pulang ke rumah. Setelah pekerjaannya selesai, pria itu bergegas mencari keberadaan Dona. Bahkan, Gero sendiri sampai ia turunkan di jalan. "Jadi, gue turun di sini gitu?" Gero kesal setengah mati ketika mobil Fairel menepi, dan jaraknya menuju rumah masih jauh. "Gue minta maaf. Tapi gue harus nyari Dona." "Gue paham. Gue paham banget masalah lo, gimana kalau gue bantu cari aja. Kita sama-sama cari dari satu komplek ke komplek lain." Itu ide bagus. Hanya saja Fairel ingin sendiri. Gero kembali merayu,"Gue janji deh, gue nggak bakal nyusahin lo. Boleh yah, gue ikut?" Fairel menganggukan kepala dengan terpaksa. Ia kembali melajukan mobilnya tak tentu arah. "Tunggu, tunggu. Keluarga Dona ada siapa aja sih?" Gero baru mengingat hal itu. Fairel bersikap seolah Dona tinggal seorang diri. Sehingga tidak ada siapapun yang bisa dihubungi. "Gue udah ngehubungi kakaknya Dona sama bunda, tapi nggak aktif nomornya.
Semuanya sudah jelas dan terungkap. Walau terdengar sedikit mengejutkan, tetapi itulah kenyataannya. Fairel hendak berkunjung ke rumah Dona, akan tetapi ayahnya melarang hal itu. Beliau mengatakan sudah malam, dan lebih baik dibicarakan esok saja. Fairel menurut, karena perkataan ayahnya itu memang benar. Di sinilah mereka berada, Meta, Nea dan dirinya sedang berkumpul di kamar Fairel. "Kok lo bisa muncul tiba-tiba?" tanya Fairel langsung ke intinya. Fairel atau Nea, mereka sama-sama tidak punya janji untuk bertemu dengan Meta. Tetapi, dengan mengejutkannya, gadis itu menghampiri keluarga Fairel dan mengatakan kebenaran yang paling penting. "Soalnya tadi, gue habis teleponan sama Dona. Dia nutup telepon gue sepihak, setelah nanyain hadiah apa yang lo dapetin pas perlombaan waktu itu." Deg! Jantung Fairel seakan ada yang menusuk dan membuatnya berhenti. Ia melupakan satu hal itu, Fairel pikir, ia akan memberitahu Dona tepat dua
"Baru ke sini lagi? Ke mana aja nih?" Kedua sejoli itu saling bertukar pandang. Mereka bersama-sama menanyakan jawaban yang kompak untuk pertanyaan Bi Oni. Senyuman terukir manis di bibir keduanya, mereka kompak menjawab,"Baru balikan, Bi." "Wuah ...." Bi Oni bahkan sampai bertepuk tangan, hingga sarung tangannya yang penuh terigu itu berterbangan mengotori rambut Dona. Dona terkikik geli, dengan sigap Fairel membersihkan rambut Dona dengan tanganya. Penuh ketelatenan. Setelah membayar semua jajanan yang mereka beli, keduanya pamit. Mereka berjalan berdua mencari kenangan romantis yang bisa diukir. Mereka juga memilih membolos pada mata kuliah ketiga. Fairel meninggalkan mobilnya di kampus, mereka berencana akan kembali lagi ke kampus setelah mencari penat. Dona asyik menyuapkan sosis bakar bumbu rujak sebagai menu terbaru di kedai Bi Oni. Berbeda dengan Fairel, tangannya masih sibuk membersihkan rambut Dona dari tepung.
"Ngapain Dona di sini?" Setelah duduk, Fairel diam-diam berbisik ke telinga Meta ketika dirinya berhasil mencuri waktu. Fairel tidak bisa bergerak, posisi duduknya dihimpit oleh dua wanita yang sedang memiliki masalah dengannya. Untuk bernafas saja, dirinya jadi kikuk tidak karuan. Apalagi, ketika Meta menjawab dengan gelengan acuh, membuat semuanya hancur. Fairel tidak mungkin mengusir Dona. Ia tidak sejahat itu dalam memperlakukan manusia. Walaupun dulu kata-katanya menyakitkan, tidak sampai mengusir juga. Fairel memilih menelungkupkan kepalanya diantara tumpukan tangan yang dilipat di atas meja. Memandangi dua wanita di sampingnya secara bergantian, membuat kepalanya berdenyut. Fairel tidak akan merubah posisinya sampai jam kuliah selesai. Meta dan Dona saling tukar pandang. Mereka berdua tengah menahan tawa melihat Fairel yang gelisah dan tidak mau diam. Dalam posisinya tadi, tangan Fairel terus bergerak. Entah meny
Dona membuka kedua matanya. Cahaya dari sinar matahari membuat pandangannya menjadi silau. Dona meringis, ia memalingkan wajahnya agar tidak terkena silau matahari. Hanya saja, ketika hendak berpindah, seseorang berdiri di hadapan Dona, menghalangi matahari yang menyinari ruangan. Pelan-pelan, Dona menatap tubuh itu dari bawah sampai ke atas. Ia sampai memekik ketidak menyadari bahwa ada Fairel di kamarnya. Dona beringsut mundur, hingga punggungnya terantuk papan ranjang dengan menarik selimut sampai menutupi dadanya. "Lo ... lo ngapain di sini?" tanya Dona gugup. Masalahnya, ia tengah berpikir yang tidak-tidak. "Anggap aja pelukan kemarin itu nggak pernah terjadi." Dona memutar bola matanya jengah. Hatinya bertanya-tanya, tentang kemarin. Memangnya apa yang terjadi? Dona melepaskan selimut yang menutupi dadanya. Ia memandangi bajunya yang berganti, dan kembali memekik sembari memelotot ke arah Fairel. "Apa yang lo laku
"Kenapa lo lari?" Meta berhasil menyusul Dona. Gadis itu menangis di setiap larinya. "Terus gue harus gimana? Gue nggak mau ketemu sama orang yang benci sama gue." Guratan amarah terlihat dari setiap ekspresi Dona. Meta tahu, sahabatnya itu tengah frustasi dengan semuanya. Ketika ingin menghindar, Dona malah bertemu dengannya. "Gue yakin, Fairel nggak benci sama lo." Dona ingin percaya, namun ia menyadari kalau kalimat itu adalah kebohongan. Kalimat yang hanya digunakan untuk menenangkan hati dan pikiran. Dona menatap ke jalan raya yang lumayan lengang,"Gue cuman pengen denger hal itu dari mulut Fairel sendiri. Tapi gue yakin, itu nggak mungkin." Dona menghela nafas dengan gusar. Kalau boleh jujur, Dona sebenarnya masih mencintai Fairel. Dona rela melakukan apapun demi Fairel. Tetapi, jika pria itu menolak semua hal tentang Dona, ia tidak punya pilihan. "Gue mau sembunyi di sana, kalau lo masih peduli sama gue. Bila
Ketiga orang itu heboh. Di dalam stadion, Meta, Nea, dan Dona terus meneriaki nama Gero hingga mengalahkan lolongan suara suporter tim sebelah. Meta, Nea dan Dona datang ke stadion perlombaan basket dengan penampilan yang urakan. Mereka mampir ke toko Nea untuk membeli ikat rambut yang penuh dengan rumbai-rumbai dari tali rafia serta bola-bola kecil yang terbuat dari bahan yang sama. Mereka juga memiliki terompet yang cukup besar suaranya, sesekali Meta meniup terompet tersebut, membuat Nea dan Dona menjauh, begitu juga penonton yang duduk di depannya. Bahkan ada yang sampai mengomeli Meta. Ketiganya itu malah tertawa menanggapi kalimat sinis dari kursi penonton di depannya. "Udah, udah. Jangan ditiup lagi Met. Bisa-bisa, bukannya pertandingan basket malah jadi arena tawuran gara-gara lo." Meta angkat tangan. Benar juga kata Dona, bisa jadi Meta jadi sasaran empuk para wanita yang tengah menyoraki idolanya. Meta yang ringkih itu bisa sekali tendang da
"Ayah, ngirim surat undangan itu ke rumah kita?" Tidak seperti biasanya, setelah bercerai dengan Dion. Dona tampak membenci ayahnya sendiri. Setiap kita sebagai keluarga menyebutkan nama Dion, Dona selalu berusaha bersikap masa bodo dan tidak mau dengar. "Bukan, ini dari temennya Kak Wima." "Iya, ayah nitipin kan lewat dia?" "Kenapa kamu sewot sih Dek?" Dona langsung terdiam mendengar bentakan kakaknya,"Kenapa ribet banget. Kita nggak usah datang. Udah gitu aja." Aliya-pun ikut mengambil jalan terbaik dengan merobek surat undangan itu menjadi serpihan kecil dan langsung ia buang ke tempat sampah. Semua kenangan tentang Dion harus Aliya buang jauh-jauh. Dion hanya menjadi bumerang saja dalam keluarga. Walau begitu, Aliya masih bisa melihat sikap baik Dion dengan melihat anak-anaknya yang sekarang tumbuh dewasa. Dona memilih pergi ke kamarnya. Ia perlu merapikan kamarnya dan membentang karpet karena kemungkinan Aliya belum se