Gue... nggak berharap kayak gitu.
Nggak berharap.
Kayak gitu.
Kalimat itu terus terulang, terulang, hingga Fairel pusing mendengarnya.
Menggema diseluruh pikiran dan otaknya, terngiang-ngiang bagaikan berada di gua yang bergema.
Cukup tahu.
Fairel cukup tahu dengan jawaban itu, bahwa dirinya tidak akan pernah lebih dari sekedar itu.
Penolakannya bahkan cukup menusuk.
"Udah selesai kan? Yuk, kita langsung pemotretan aja," ucap Fairel datar.
Fairel berusaha memasang mimik wajahnya sedatar mungkin, tetapi Meta masih bisa mengetahui secuil kesedihan di wajahnya.
Meta menghela, ia ikut mengekori Fairel yang berjalan lebih dulu keluar toko.
Disusul beberapa teman sekelompoknya sambil membawa paper bag beris
"Kenapa sih, harus milih apartemen gue?"Fera kembali berapi-api. Mereka semua selalu membuat Fera ribet. Gadis yang lahir di luar negeri itu, tidak memiliki kesabaran untuk menampung mereka semua walau sehari.Akan tetapi, Fairel maksa dan ngotot padanya. Dia bilang, bahwa tempat penginapan pasti jauh jaraknya. Lebih praktis, kalau mereka tinggal satu apartemen dengan Fera, yah tentu saja dengan uang bayaran.Fairel membayarnya sama seperti menyewa penginapan satu malam."Udah jangan ngegerutu. Fairel bilang mau bayar kan!" ungkap Leli."Uang kalian yang buat bayar hotel kasih ke gue, sisanya biar gue lengkapin," lanjut Fairel sedikit emosi."Iya-iya. Sabar kali, gue aja belum bisa duduk di apartemen ini." Vira menggebu-gebu. Ia sedikit kesal karena selalu diusik soal uang, padahal dirinya belum duduk sama sekali di apartemen Fera.
"DONAAA!!!" "Ssttt... jangan berisik." "Oke, oke." Alfina mengendap-endap dalam melangkah, ia segera duduk di samping Dona, matanya terus menatap Fairel yang tengah tertidur begitu pulas di sofa luar. "Kok bisa dia tidur di situ?" tanya Alfina menggunakan nada rendah. Ia juga takut jika suaranya mengganggu tidur Fairel. "Nggak tahu. Gue baru aja ke dalam buat makan. Pas balik lagi ke sini, dia udah tidur. Ninggalin lukisannya di teras. Nih." Dona memperlihatkan lukisan yang digambar Fairel ke Alfina. Mulut Alfina membulat, matanya bercahaya dan memancarkan aura kagum kepada lukisan itu. "Gue baru tahu kalau dia suka lukis. Gue cuman denger dari Gero, nggak pernah lihat langsung kayak gini." Dona men
Setelah seharian liburan bersama teman-teman SMA, untuk mengecek lokasi dan persiapan reuni besok, akhirnya Fairel bisa kembali menginjakkan kakinya di aspal halaman rumah.Lampu-lampu yang menerangi setiap sudut halamannya menyala, dipajang di atas pagar hingga menimbulkan kesan elegan.Malam yang kelam tanpa bintang membuat seluruh tubuhnya lelah. Fairel mempercepat langkahnya, membuka pintu rumah, dan segera melangkah menuju ruang tamu.BYUR!!!Air dingin itu langsung mengguyur tubuhnya Fairel tanpa aba-aba. Tali yang diikat ke ember terlihat mulai kendur. Serpihan es berceceran di lantai. Ember itu terpelanting ke lantai.Seketika, kantuk Fairel menghilang. Berubah dengan sayup kedinginan.Tanpa berpikir lama, Fairel menutup pintu rumah itu perlahan. Berusaha untuk menggerakkan tubuhnya yang kaku seperti b
Langkah Dona terhenti. Matanya berkaca-kaca ketika mendengar penuturan dari Fairel. Ia ingin berbalik, menatap langsung manik Fairel, ingin mengetahui lebih lanjut, dari tatapannya apakah pria itu berbohong atau tidak. Hanya saja, Dona tidak bisa melakukan itu. Ia hanya akan menyusahkan Fairel dengan menangis. "Apa urusannya sama gue? Gue nggak minta bokap lo untuk nampar lo' kan?" Hati Fairel mencelos. Ia tidak menyangka, Dona yang baik hati itu justru dengan tega melontarkan kalimat yang menyakitkan. Fairel tidak mengetahui, kalau Dona tengah mati-matian menahan tangisnya. Ia tidak menyadari, bahwa kedua tangan Dona saling meremas untuk menahan emosi yang bergejolak di balik tubuhnya. Fairel tertawa sarkas."Aku baru tahu, kalau kamu sejahat itu Na!" Dona memejam, ia menarik nafas dalam-dalam untuk memasok oksigen di paru-parunya. Karena berdebat dengan Fairel, akan menguras segalanya. Apalagi ketika mendengar kali
"Nah, sekarang baikan yah. Gue nggak mau karena kalian, reuni ini hancur." Tubuh Fairel bergerak ke belakang, menghindari pukulan keras dari Alfina. Alhasil, Alfina hanya memukul angin saja. Ia pun kembali kesal,"Lo mah Rel, hidupnya cuman peduli tentang reuni." Fairel menepuk-nepuk telapak tangannya yang baru saja menyentuh pasir."Atau harus gue ancem." Alfina malah dibuat penasaran,"Kayak gimana?" tanya Alfina dengan ribuan rasa kepo. "Jangan sampai, uang yang gue keluarin, nggak ada manfaatnya sama sekali." Alfina bangun, kesal sendiri mendengar penuturan yang penuh kejujuran itu. Dengan sekuat tenaga, ia menyentak pasir itu dengan kedua kakinya, hingga menimbulkan debu dan membuat Fairel terbatuk-batuk. "Iya-iya. Rasain, batuk kan lo, dasar sombong," ejek Alfina sembari menjulurkan lidah. Saat gadis itu hendak pergi, langkahnya terhenti ketika di hadapannya Dona berdiri sambil berkacak pinggang.
Seyi menenteng dua sepatu haknya dengan kedua tangan. Dari tadi, mulutnya tidak berhenti berbicara. Ia terus menggerutu ketika Wima meninggalkannya tanpa basa-basi. Seyi sungguh kesal. Mengingat kejadian di mana pria itu lari saja sudah membuat darah Seyi naik. Dengan keadaan mengenaskan, Seyi berjalan di trotoar menggunakan sandal bermerk swallow yang harganya terjangkau itu. Yang baru saja ia beli di toko yang tak sengaja ia lewati. Sudah diperingati, tetapi tetap saja, Wima bersikap tidak peduli. Saat mendatangi kafe pada malam hari, Seyi sudah merengek dan menjelaskan segalanya. "Aku nggak bawa uang Mak. Jangan ke sini yah. Ke rumah aku aja gimana? Aku masakin deh, isi kulkas di rumah aku masih banyak." Wima tetaplah Wima. Seorang pria yang keras kepala dan batu. Dengan senyum menyeringai, ia memutar kemudinya untuk memasuki halaman parkir kafe Je. Seyi meringis takut. Ia takut jika Wima tiba-tiba meninggalkannya, dan lupa untuk membayar tagihan makanan. Hancur sudah harga
Meta ikut nimbrung dengan yang lain. Mereka yang pernah satu geng dengan Meta, kini ikut mengerumuni gadis itu. Terkadang Meta suntuk, ia lebih memilih berdiam diri di ruang panitia, daripada berkumpul dengan teman-temannya yang sudah berubah. Tetapi, karena Loey memberikannya pesan akan datang ke tempat reuni, mengharuskannya untuk tetap berada di jangkauan. Loey, pria pemalu itu tidak mau repot-repot bertanya kepada yang lain, di mana Meta berada. Jika sudah berkeliling pantai satu kali, dan pria itu tidak melihat Meta, seperti biasa, Loey akan pergi dan melupakan janjinya. Dia akan berkilah,"Suruh siapa kamu nggak ada di luar? Inget yah, aku udah nempatin janji, kamunya aja yang nggak ada." Seperti itulah, kadang Meta merasa kesal. Tetapi apa boleh buat, namanya juga cinta. Mengharuskan selalu menerima kekurangan. Berbeda dengan Dona, ia terus murung di pinggir pantai. Matahari sudah semakin meredup. Awan hitam membumbung tinggi, Dona berharap hari ini akan hujan, hanya saja
"Gue nyamperin Loey dulu yah." Meta berdiri, sebelum pergi ia menepuk bahu Fairel dan berpamitan kepadanya. Fairel mengangguk, ia merasa kembali sendirian,"Iya, hati-hati." "Oke!" jawabnya lantang dari kejauhan. Sesampainya di samping Loey, gadis itu merangkul pacarnya dengan mesra,"Mau gue panggilan Dona nggak?" Fairel menolak mentah-mentah,"Nggak usah." Masalahnya, Dona mungkin masih salah tingkah dengannya. Atau, Dona lagi ingin sendirian, membuat Fairel harus bisa menerima keadaan. Meta terkekeh, ia mengangkat bahunya acuh ketika mendengar jawaban Fairel yang super jutek. Loey dan Meta berjalan menghampiri ruang panitia. Ia masih perlu memperkenalkan pacarnya itu ke sahabat-sahabatnya. Walau bagaimanapun, Loey pantas untuk diperkenalkan. Walaupun tinjunya nggak sehebat para petinju internasional yang berjuang untuk mengharumkan nama Negara, Loey cukup untuk sedikit dibanggakan. Tentu saja, Meta tidak ada bandingannya dengan Loey. Meta tidak pernah mendapatkan prestasi ata