Langkah Dona terhenti. Matanya berkaca-kaca ketika mendengar penuturan dari Fairel.
Ia ingin berbalik, menatap langsung manik Fairel, ingin mengetahui lebih lanjut, dari tatapannya apakah pria itu berbohong atau tidak.
Hanya saja, Dona tidak bisa melakukan itu. Ia hanya akan menyusahkan Fairel dengan menangis.
"Apa urusannya sama gue? Gue nggak minta bokap lo untuk nampar lo' kan?"
Hati Fairel mencelos. Ia tidak menyangka, Dona yang baik hati itu justru dengan tega melontarkan kalimat yang menyakitkan.
Fairel tidak mengetahui, kalau Dona tengah mati-matian menahan tangisnya. Ia tidak menyadari, bahwa kedua tangan Dona saling meremas untuk menahan emosi yang bergejolak di balik tubuhnya.
Fairel tertawa sarkas.
"Aku baru tahu, kalau kamu sejahat itu Na!"Dona memejam, ia menarik nafas dalam-dalam untuk memasok oksigen di paru-parunya. Karena berdebat dengan Fairel, akan menguras segalanya.
Apalagi ketika mendengar kali
"Nah, sekarang baikan yah. Gue nggak mau karena kalian, reuni ini hancur." Tubuh Fairel bergerak ke belakang, menghindari pukulan keras dari Alfina. Alhasil, Alfina hanya memukul angin saja. Ia pun kembali kesal,"Lo mah Rel, hidupnya cuman peduli tentang reuni." Fairel menepuk-nepuk telapak tangannya yang baru saja menyentuh pasir."Atau harus gue ancem." Alfina malah dibuat penasaran,"Kayak gimana?" tanya Alfina dengan ribuan rasa kepo. "Jangan sampai, uang yang gue keluarin, nggak ada manfaatnya sama sekali." Alfina bangun, kesal sendiri mendengar penuturan yang penuh kejujuran itu. Dengan sekuat tenaga, ia menyentak pasir itu dengan kedua kakinya, hingga menimbulkan debu dan membuat Fairel terbatuk-batuk. "Iya-iya. Rasain, batuk kan lo, dasar sombong," ejek Alfina sembari menjulurkan lidah. Saat gadis itu hendak pergi, langkahnya terhenti ketika di hadapannya Dona berdiri sambil berkacak pinggang.
Seyi menenteng dua sepatu haknya dengan kedua tangan. Dari tadi, mulutnya tidak berhenti berbicara. Ia terus menggerutu ketika Wima meninggalkannya tanpa basa-basi. Seyi sungguh kesal. Mengingat kejadian di mana pria itu lari saja sudah membuat darah Seyi naik. Dengan keadaan mengenaskan, Seyi berjalan di trotoar menggunakan sandal bermerk swallow yang harganya terjangkau itu. Yang baru saja ia beli di toko yang tak sengaja ia lewati. Sudah diperingati, tetapi tetap saja, Wima bersikap tidak peduli. Saat mendatangi kafe pada malam hari, Seyi sudah merengek dan menjelaskan segalanya. "Aku nggak bawa uang Mak. Jangan ke sini yah. Ke rumah aku aja gimana? Aku masakin deh, isi kulkas di rumah aku masih banyak." Wima tetaplah Wima. Seorang pria yang keras kepala dan batu. Dengan senyum menyeringai, ia memutar kemudinya untuk memasuki halaman parkir kafe Je. Seyi meringis takut. Ia takut jika Wima tiba-tiba meninggalkannya, dan lupa untuk membayar tagihan makanan. Hancur sudah harga
Meta ikut nimbrung dengan yang lain. Mereka yang pernah satu geng dengan Meta, kini ikut mengerumuni gadis itu. Terkadang Meta suntuk, ia lebih memilih berdiam diri di ruang panitia, daripada berkumpul dengan teman-temannya yang sudah berubah. Tetapi, karena Loey memberikannya pesan akan datang ke tempat reuni, mengharuskannya untuk tetap berada di jangkauan. Loey, pria pemalu itu tidak mau repot-repot bertanya kepada yang lain, di mana Meta berada. Jika sudah berkeliling pantai satu kali, dan pria itu tidak melihat Meta, seperti biasa, Loey akan pergi dan melupakan janjinya. Dia akan berkilah,"Suruh siapa kamu nggak ada di luar? Inget yah, aku udah nempatin janji, kamunya aja yang nggak ada." Seperti itulah, kadang Meta merasa kesal. Tetapi apa boleh buat, namanya juga cinta. Mengharuskan selalu menerima kekurangan. Berbeda dengan Dona, ia terus murung di pinggir pantai. Matahari sudah semakin meredup. Awan hitam membumbung tinggi, Dona berharap hari ini akan hujan, hanya saja
"Gue nyamperin Loey dulu yah." Meta berdiri, sebelum pergi ia menepuk bahu Fairel dan berpamitan kepadanya. Fairel mengangguk, ia merasa kembali sendirian,"Iya, hati-hati." "Oke!" jawabnya lantang dari kejauhan. Sesampainya di samping Loey, gadis itu merangkul pacarnya dengan mesra,"Mau gue panggilan Dona nggak?" Fairel menolak mentah-mentah,"Nggak usah." Masalahnya, Dona mungkin masih salah tingkah dengannya. Atau, Dona lagi ingin sendirian, membuat Fairel harus bisa menerima keadaan. Meta terkekeh, ia mengangkat bahunya acuh ketika mendengar jawaban Fairel yang super jutek. Loey dan Meta berjalan menghampiri ruang panitia. Ia masih perlu memperkenalkan pacarnya itu ke sahabat-sahabatnya. Walau bagaimanapun, Loey pantas untuk diperkenalkan. Walaupun tinjunya nggak sehebat para petinju internasional yang berjuang untuk mengharumkan nama Negara, Loey cukup untuk sedikit dibanggakan. Tentu saja, Meta tidak ada bandingannya dengan Loey. Meta tidak pernah mendapatkan prestasi ata
Sebelum kejadian saling peluk, ketika Fairel duduk santai di pinggir panggung, ia dikejutkan oleh kedatangan seseorang yang entah berantah sejak kapan berada di situ. "Fera? Ngapain lo?" tanya Fairel terkejut bukan main ketika melihat wujud Fera di tempat reuninya dengan berpakaian rapi. Fera berdecih, ia merasa tersindir karena ucapan Fairel,"Gue ke sini kebetulan aja. Eh, dengan sedihnya gue malah ketemu lo dan langsung diusir." Fairel meringis mendengarnya, ia menyadari mungkin kosakatanya terlalu menyakitkan untuk diutarakan kepada Fera yang baru saja datang. Tetapi kali ini, Fairel benar-benar terkejut. Ia bahkan tidak bisa basa-basi lagi. "Sini duduk." Fairel menepuk satu kursi kosong plastik di dekatnya. Dengan gaya sok manis, Fera duduk di sebelah Fairel. Satu kaki kanannya menumpu di kaki kiri, Fera melepaskan kacamata hitamnya itu. "Lo kenapa sendirian? Di tempat reuni juga, lo nggak punya temen kah?" tanya Fera. "Enak aja. Gue punya temen. Lagian ada Dona di sini,"
"Oke. Selanjutnya, acara bucin-bucinan. Bagi kalian yang bucin akut, gue persilakan untuk mendaftarkan diri di perlombaan tersebut. Kapan lagi yekan, bucin lo menghasilkan hadiah? Hahaha...." Gero tertawa renyah dengan mikrofonnya, yang terkadang mengeluarkan suara 'ngik' hingga telinga mereka berdengung kencang. "Oke, lalu keempat?" Gero memperlihatkan jarinya yang membentuk angka empat."Benerkan keempat? Yah, pokoknya yang entah keberapa, adalah ajang mencari pacar. Bagi kalian yang jomblo akut, silakan mengikuti acara ini. Khusus untuk pemenang, gue dan semua panitia sudah menyiapkan hadiah spesial khusus untuk perlombaan ini. Yuk, bagi yang sudah bosan menjomblo harap mendaftarkan diri. Lalu kemudian, kostum pasangan. Kalian sudah menyiapkan, kostum terbaik kalian?" tanya Gero luar biasa heboh. "Sudah...." teriak semuanya kompak. "Oke, acara yang terakhir adalah musik. Bagi kalian yang ingin berpartisipasi di panggung, harap mendaftar ke pacar saya, yaitu Alfina yah. Oke, bagi
Selang sepuluh menit, Dona kembali menghampiri Fairel. Ia memandangi dua orang di depannya yang begitu lama, bahkan cuman menyebutkan nama saja, kenapa mereka mengobrol begitu lama? Hingga antrian semakin panjang. "Gimana?" tanya Dona kepada Fairel. "Belum tuh, di depan ada tiga orang lagi." Dona menghela nafas mendengarnya. Ia mimijit pangkal hidungnya yang berdenyut sakit. Antrian yang panjang, sangat membuang-buang waktu. Walaupun sudah mencuci muka dan membersihkan diri, tetap saja otak Dona kembali keruh ketika melihat antrian yang panjang itu. Berbeda dengan Fairel yang menahan mati-matian senyumnya agar tidak mengembang. Entah kenapa, pria itu senyum-senyum sendiri bak orang gila. "Haduh, cepetan kek, cepetan kek, cepetan kek." Dona menghentak-hentakkan kedua kakinya ke pasir dengan gemas. Haknya menghentak, membuat Fairel merasa lucu sendiri. Setelah satu orang itu selesai, Dona menghembuskan nafas lega. "Tinggal dua orang lagi," ucap Fairel menenangkan. Dona menganggu
"Cepet-cepet. Baris yang bener. Kenapa kalian kayak anak kecil yang nggak bisa baris. WOY! DENGERIN GUE!" Teriakan kencang itu hampir menggema ke seluruh peserta gendong pasangan. Mereka langsung diam dan berbaris sangat rapi setelah mendengar teriakan Bayu bak petir yang menggelegar itu. Bayu yang dulunya adalah ketua OSIS masih sangat disegani oleh semua alumni. Bayu, dulu juga adalah salah satu cowok paling terkenal seangkatan. Tepat, ketika Bayu lebih memilih Ayu sebagai pacarnya, hari itu menjadi hari patah hati nasional di sekolah. Semua wanita murung dan tidak pergi ke kantin. Para laki-laki, bertanya-tanya, kenapa kantin sangat sepi. Kemudian mereka menyadari, kalau hari ini adalah hari patah hati nasional ketika kedua mata mereka menangkap sosok Bayu dengan pacar barunya, yaitu Ayu. Dan sampai sekarang, mungkin diantara semua anggota reuni, pasti ada salah satu yang masih mencintai Bayu dalam diam. "Yu, cepetan Yu. Gue udah siap gendong Maemunah nih." Maemunah yang mend