Selang sepuluh menit, Dona kembali menghampiri Fairel. Ia memandangi dua orang di depannya yang begitu lama, bahkan cuman menyebutkan nama saja, kenapa mereka mengobrol begitu lama? Hingga antrian semakin panjang. "Gimana?" tanya Dona kepada Fairel. "Belum tuh, di depan ada tiga orang lagi." Dona menghela nafas mendengarnya. Ia mimijit pangkal hidungnya yang berdenyut sakit. Antrian yang panjang, sangat membuang-buang waktu. Walaupun sudah mencuci muka dan membersihkan diri, tetap saja otak Dona kembali keruh ketika melihat antrian yang panjang itu. Berbeda dengan Fairel yang menahan mati-matian senyumnya agar tidak mengembang. Entah kenapa, pria itu senyum-senyum sendiri bak orang gila. "Haduh, cepetan kek, cepetan kek, cepetan kek." Dona menghentak-hentakkan kedua kakinya ke pasir dengan gemas. Haknya menghentak, membuat Fairel merasa lucu sendiri. Setelah satu orang itu selesai, Dona menghembuskan nafas lega. "Tinggal dua orang lagi," ucap Fairel menenangkan. Dona menganggu
"Cepet-cepet. Baris yang bener. Kenapa kalian kayak anak kecil yang nggak bisa baris. WOY! DENGERIN GUE!" Teriakan kencang itu hampir menggema ke seluruh peserta gendong pasangan. Mereka langsung diam dan berbaris sangat rapi setelah mendengar teriakan Bayu bak petir yang menggelegar itu. Bayu yang dulunya adalah ketua OSIS masih sangat disegani oleh semua alumni. Bayu, dulu juga adalah salah satu cowok paling terkenal seangkatan. Tepat, ketika Bayu lebih memilih Ayu sebagai pacarnya, hari itu menjadi hari patah hati nasional di sekolah. Semua wanita murung dan tidak pergi ke kantin. Para laki-laki, bertanya-tanya, kenapa kantin sangat sepi. Kemudian mereka menyadari, kalau hari ini adalah hari patah hati nasional ketika kedua mata mereka menangkap sosok Bayu dengan pacar barunya, yaitu Ayu. Dan sampai sekarang, mungkin diantara semua anggota reuni, pasti ada salah satu yang masih mencintai Bayu dalam diam. "Yu, cepetan Yu. Gue udah siap gendong Maemunah nih." Maemunah yang mend
"SATU!" Teriakan Bayu membuat sepuluh laki-laki berjongkok. Semilir angin menerpa rasa gugup dan khawatir mereka. Perlombaan ini begitu penting, dan mempertaruhkan harga diri seorang pria. Tenaga adalah nomor utama di dalam perlombaan ini. Selain itu, tekad dan rasa cinta juga dipertaruhkan. Mereka mempertaruhkan semuanya demi kemenangan. Bukan demi hadiah atau sertifikat, melainkan untuk mengukir kisah manis yang akan mereka kenang kelak. Semua wanita senyum-senyum sendiri. Jangan lupakan detak jantungnya, semua detak jantung mereka semua berdebar, memompa lebih cepat dan membuat ketegangan di sana. Meta bahkan merutuk Bayu yang begitu lama ketika menghitung angka saja. "DUA!" Semua wanita kompak naik ke punggung pria-nya. Semua laki-laki, mati-matian menahan tubuh gadisnya di posisi itu. Bahkan ada yang sampai kentut berkali-kali karena bobot sang pacar begitu besar. Tidak lain dan tidak bukan adalah Maemunah. Ino, harus mendapatkan sertifikat karena sudah dipermalukan sebanyak
Semuanya berlari dengan sangat kompak. Membelah pasir putih yang indah dengan sorot kejinggaan. Mereka tertawa lepas, menerbangkan setiap bebannya ke udara, untuk melepas diri dari sana. Rambut mereka berterbangan terhempas angin, dingin menjalar ke seluruh tubuh, tetapi mereka tidak mengindahkan itu semua. Pikiran mereka penuh dengan ambisi. Begitu juga dengan Fairel, hati pria itu terus menyerukan satu suara dan satu tujuan, yaitu menang. Fairel terus mempercepat laju larinya. Keringat sudah membasahi seluruh wajahnya. Fairel benar-benar kegerahan, stok tenaganya sudah berkurang, kedua kakinya terasa begitu ringan seperti sedang melayang. Karena kebas, tetapi Fairel terus mempertahankan laju larinya. Garis finish ada di depan matanya. Hanya beberapa menit lagi, Fairel akan memenangkan perlombaan di sesi ini dan masuk ke final. Fairel harus bisa memenangkan perlombaan ini. Hatinya bertekad dengan sangat kuat, membuat Dona heran di gendongan itu. "Kenapa laju larinya semakin cep
"Ada apa ini sebenarnya?" tanya Gow heran. Karena semuanya terdiam. Fairel terus menangis di pundaknya, sedangkan ibu tetangga itu hanya sibuk memainkan kuku-kuku jarinya walau sudah duduk di sofa. Panggil saja, Ibu tetangga itu dengan nama Yuni. Ibu Yuni menelan salivanya dengan susah payah. Degup jantungnya berpacu dengan cepat, kedua tangannya bergetar hebat bahkan sampai berkeringat. Harusnya Yuni tidak memikirkan imbas kepada anak lelaki itu, ia juga harus peduli dengan anak perempuan yang diculik. Karena siapa tahu, penculiknya belum terlalu jauh membawa gadis itu. "Anak bapak hilang. Sepulang saya dari pasar—." "APA?" Kalimat Yuni terhenti, digantikan dengan teriakan hebat Gow yang memilukan telinga. Kedua matanya membulat dan merah. Beliau terlihat seperti sedang marah besar. Ibu kandung Fairel tengah dirawat di rumah sakit. Penyakit beliau kambuh, dan harus dirawat selama tiga hari. Fairel tidak bisa memeluk tubuh ibunya dalam keadaan seperti ini. Bahkan, ibunya tidak
Gero, Bara, Fairel, Chen, Joy, Agung, Endrow, Yoro, Loey dan Bagas. Sepuluh orang itu berbaris dengan rapi. Masing-masing pasangannya sudah berbaris di punggung kekar masing-masing pacarnya. Bayu sudah siap sedia untuk memberikan aba-aba. Ayu kali ini ikut pasang mata, melihat dengan kedua matanya sendiri siapa yang akan keluar sebagai pemenang dari sepuluh pasangan itu. Siapa dari mereka yang benar-benar kompak. Karena setelah keluar sebagai pemenang dari perlombaan tersebut, Ayu sudah pastikan bahwa cintanya kepada pasangannya itu akan membara seperti semangatnya ketika berlomba. Hati Ayu terenyuh, hatinya juga sedikit sakit karena ia lebih memilih menjadi panitia daripada berpartisipasi dalam perlombaan langka ini. Ayu juga ingin mengukir kisah bersama Bayu, hanya saja pria itu sangat menyebalkan, membuat dirinya ingin sekali bermusuhan. Untuk kali ini, Ayu lebih mendukung Fairel dan Dona. Entah kenapa, pasangan itu tampak bersinar di mata Ayu. Atau mungkin... karakter mereka
BRUK! "FAIREL!" Dona memekik, ia berjongkok di samping tubuh Fairel. Memindahkan posisi kepala Fairel menjadi di pahanya, kemudian menepuk-nepuk pipi pria itu agar sadar. Mendengar teriakan dari Dona, membuat Gero mempercepat larinya dan menjadi juara kedua dari perlombaan tersebut. Dan yang juara ketiga adalah Loey. Gero langsung berjongkok di hadapan Dona, menarik kedua tangan Fairel agar melingkar di lehernya. "Cepetan bantuin gue. Gue mau gendong Fairel ke ruang panitia." Kedua cewek yang sempat melongo itu lantas mengangguk. Membantu memindahkan Fairel ke punggung Gero. Setelah pegangannya dirasa cukup, Gero berlari menuju ruang panitia, bersama dengan Dona dan Alfina. Dona terus berada di belakang Fairel, ia berjaga-jaga jika sewaktu-waktu tubuh Fairel terjatuh, dan terjengkang ke belakang, Dona siap untuk menahannya. Tetapi bersyukur, Fairel tidak jatuh hingga sampai pria itu diletakkan di kasur yang pernah ditempati Dona tidur. "Fina, ambilin minyak angin. Sama air ju
Setelah menunggu hampir sepuluh menit, akhirnya Dokter Geo sampai. Beliau sedang memeriksa Fairel. Pria itu masih belum sadarkan diri. Wajahnya terlihat makin pucat, untungnya suhu tubuh Fairel masih normal. Di ruang panitia, masih hanya ada Gero dan dirinya. "Ini obat untuk diminumkan kepada Fairel." Geo menyerahkan dua lembar obat yang berbeda kepada Dona. "Kapan dia sadar Dok?" tanya Dona penuh dengan kekhawatiran. "Santai saja. Sebentar lagi juga dia sadar. Fairel hanya kelelahan. Sepertinya pria itu, jalan olahraga. Mangkanya, cepat drop." "Betul tuh," Gero membenarkan dengan heboh. Jika Fairel mendengar, pria itu pasti akan membela diri. Setiap kali Gero mengajak Fairel untuk olahraga, atau sekedar main basket, pria itu pasti selalu punya cara untuk mengelaknya. Entah alasan lukisan, atau kelas pagi. Yah, pokoknya ada sajalah tingkahnya itu yang membuat Gero kesal setengah mati. "Berapa biayanya Dok?" tany
Saya mau berterimakasih kepada kalian semua, yang dengan setia membaca novel aku sampai selesai. Banyak kekurangan dari matchmaking ini, dan dari itu, saya meminta kritik dan sarannya yang bisa membangun diri saya untuk menjadi penulis yang lebih hebat lagi. Di novel ini, saya menyadari banyak sekali typo. Saya akan memperbaikinya. Apa kabar kalian? Saya @kkiiyys. Bisa kalian panggil kiy, salam kenal untuk kalian semua. Kalian, berasal dari kota mana saja? Saya juga berharap, kalian mau memberikan vote, komentar yang membangun, serta memberi novel saya rating sesuai dengan isi novelnya. Saya ingin tahu, apa kalian menyukai novel saya? Atau kalian tidak menyukainya? Apa komentar terakhir kalian buat pasangan nggak jelas ini, yaitu • Dona sama Fairel? Apa pesan kalian, untuk pasangan • Meta sama Loey? Untuk • Alfina dan Gero? Untuk • Fera dan Bara? Untuk • Seyi dan Wima? Untuk saya, mungkin?
Fairel tidak langsung pulang ke rumah. Setelah pekerjaannya selesai, pria itu bergegas mencari keberadaan Dona. Bahkan, Gero sendiri sampai ia turunkan di jalan. "Jadi, gue turun di sini gitu?" Gero kesal setengah mati ketika mobil Fairel menepi, dan jaraknya menuju rumah masih jauh. "Gue minta maaf. Tapi gue harus nyari Dona." "Gue paham. Gue paham banget masalah lo, gimana kalau gue bantu cari aja. Kita sama-sama cari dari satu komplek ke komplek lain." Itu ide bagus. Hanya saja Fairel ingin sendiri. Gero kembali merayu,"Gue janji deh, gue nggak bakal nyusahin lo. Boleh yah, gue ikut?" Fairel menganggukan kepala dengan terpaksa. Ia kembali melajukan mobilnya tak tentu arah. "Tunggu, tunggu. Keluarga Dona ada siapa aja sih?" Gero baru mengingat hal itu. Fairel bersikap seolah Dona tinggal seorang diri. Sehingga tidak ada siapapun yang bisa dihubungi. "Gue udah ngehubungi kakaknya Dona sama bunda, tapi nggak aktif nomornya.
Semuanya sudah jelas dan terungkap. Walau terdengar sedikit mengejutkan, tetapi itulah kenyataannya. Fairel hendak berkunjung ke rumah Dona, akan tetapi ayahnya melarang hal itu. Beliau mengatakan sudah malam, dan lebih baik dibicarakan esok saja. Fairel menurut, karena perkataan ayahnya itu memang benar. Di sinilah mereka berada, Meta, Nea dan dirinya sedang berkumpul di kamar Fairel. "Kok lo bisa muncul tiba-tiba?" tanya Fairel langsung ke intinya. Fairel atau Nea, mereka sama-sama tidak punya janji untuk bertemu dengan Meta. Tetapi, dengan mengejutkannya, gadis itu menghampiri keluarga Fairel dan mengatakan kebenaran yang paling penting. "Soalnya tadi, gue habis teleponan sama Dona. Dia nutup telepon gue sepihak, setelah nanyain hadiah apa yang lo dapetin pas perlombaan waktu itu." Deg! Jantung Fairel seakan ada yang menusuk dan membuatnya berhenti. Ia melupakan satu hal itu, Fairel pikir, ia akan memberitahu Dona tepat dua
"Baru ke sini lagi? Ke mana aja nih?" Kedua sejoli itu saling bertukar pandang. Mereka bersama-sama menanyakan jawaban yang kompak untuk pertanyaan Bi Oni. Senyuman terukir manis di bibir keduanya, mereka kompak menjawab,"Baru balikan, Bi." "Wuah ...." Bi Oni bahkan sampai bertepuk tangan, hingga sarung tangannya yang penuh terigu itu berterbangan mengotori rambut Dona. Dona terkikik geli, dengan sigap Fairel membersihkan rambut Dona dengan tanganya. Penuh ketelatenan. Setelah membayar semua jajanan yang mereka beli, keduanya pamit. Mereka berjalan berdua mencari kenangan romantis yang bisa diukir. Mereka juga memilih membolos pada mata kuliah ketiga. Fairel meninggalkan mobilnya di kampus, mereka berencana akan kembali lagi ke kampus setelah mencari penat. Dona asyik menyuapkan sosis bakar bumbu rujak sebagai menu terbaru di kedai Bi Oni. Berbeda dengan Fairel, tangannya masih sibuk membersihkan rambut Dona dari tepung.
"Ngapain Dona di sini?" Setelah duduk, Fairel diam-diam berbisik ke telinga Meta ketika dirinya berhasil mencuri waktu. Fairel tidak bisa bergerak, posisi duduknya dihimpit oleh dua wanita yang sedang memiliki masalah dengannya. Untuk bernafas saja, dirinya jadi kikuk tidak karuan. Apalagi, ketika Meta menjawab dengan gelengan acuh, membuat semuanya hancur. Fairel tidak mungkin mengusir Dona. Ia tidak sejahat itu dalam memperlakukan manusia. Walaupun dulu kata-katanya menyakitkan, tidak sampai mengusir juga. Fairel memilih menelungkupkan kepalanya diantara tumpukan tangan yang dilipat di atas meja. Memandangi dua wanita di sampingnya secara bergantian, membuat kepalanya berdenyut. Fairel tidak akan merubah posisinya sampai jam kuliah selesai. Meta dan Dona saling tukar pandang. Mereka berdua tengah menahan tawa melihat Fairel yang gelisah dan tidak mau diam. Dalam posisinya tadi, tangan Fairel terus bergerak. Entah meny
Dona membuka kedua matanya. Cahaya dari sinar matahari membuat pandangannya menjadi silau. Dona meringis, ia memalingkan wajahnya agar tidak terkena silau matahari. Hanya saja, ketika hendak berpindah, seseorang berdiri di hadapan Dona, menghalangi matahari yang menyinari ruangan. Pelan-pelan, Dona menatap tubuh itu dari bawah sampai ke atas. Ia sampai memekik ketidak menyadari bahwa ada Fairel di kamarnya. Dona beringsut mundur, hingga punggungnya terantuk papan ranjang dengan menarik selimut sampai menutupi dadanya. "Lo ... lo ngapain di sini?" tanya Dona gugup. Masalahnya, ia tengah berpikir yang tidak-tidak. "Anggap aja pelukan kemarin itu nggak pernah terjadi." Dona memutar bola matanya jengah. Hatinya bertanya-tanya, tentang kemarin. Memangnya apa yang terjadi? Dona melepaskan selimut yang menutupi dadanya. Ia memandangi bajunya yang berganti, dan kembali memekik sembari memelotot ke arah Fairel. "Apa yang lo laku
"Kenapa lo lari?" Meta berhasil menyusul Dona. Gadis itu menangis di setiap larinya. "Terus gue harus gimana? Gue nggak mau ketemu sama orang yang benci sama gue." Guratan amarah terlihat dari setiap ekspresi Dona. Meta tahu, sahabatnya itu tengah frustasi dengan semuanya. Ketika ingin menghindar, Dona malah bertemu dengannya. "Gue yakin, Fairel nggak benci sama lo." Dona ingin percaya, namun ia menyadari kalau kalimat itu adalah kebohongan. Kalimat yang hanya digunakan untuk menenangkan hati dan pikiran. Dona menatap ke jalan raya yang lumayan lengang,"Gue cuman pengen denger hal itu dari mulut Fairel sendiri. Tapi gue yakin, itu nggak mungkin." Dona menghela nafas dengan gusar. Kalau boleh jujur, Dona sebenarnya masih mencintai Fairel. Dona rela melakukan apapun demi Fairel. Tetapi, jika pria itu menolak semua hal tentang Dona, ia tidak punya pilihan. "Gue mau sembunyi di sana, kalau lo masih peduli sama gue. Bila
Ketiga orang itu heboh. Di dalam stadion, Meta, Nea, dan Dona terus meneriaki nama Gero hingga mengalahkan lolongan suara suporter tim sebelah. Meta, Nea dan Dona datang ke stadion perlombaan basket dengan penampilan yang urakan. Mereka mampir ke toko Nea untuk membeli ikat rambut yang penuh dengan rumbai-rumbai dari tali rafia serta bola-bola kecil yang terbuat dari bahan yang sama. Mereka juga memiliki terompet yang cukup besar suaranya, sesekali Meta meniup terompet tersebut, membuat Nea dan Dona menjauh, begitu juga penonton yang duduk di depannya. Bahkan ada yang sampai mengomeli Meta. Ketiganya itu malah tertawa menanggapi kalimat sinis dari kursi penonton di depannya. "Udah, udah. Jangan ditiup lagi Met. Bisa-bisa, bukannya pertandingan basket malah jadi arena tawuran gara-gara lo." Meta angkat tangan. Benar juga kata Dona, bisa jadi Meta jadi sasaran empuk para wanita yang tengah menyoraki idolanya. Meta yang ringkih itu bisa sekali tendang da
"Ayah, ngirim surat undangan itu ke rumah kita?" Tidak seperti biasanya, setelah bercerai dengan Dion. Dona tampak membenci ayahnya sendiri. Setiap kita sebagai keluarga menyebutkan nama Dion, Dona selalu berusaha bersikap masa bodo dan tidak mau dengar. "Bukan, ini dari temennya Kak Wima." "Iya, ayah nitipin kan lewat dia?" "Kenapa kamu sewot sih Dek?" Dona langsung terdiam mendengar bentakan kakaknya,"Kenapa ribet banget. Kita nggak usah datang. Udah gitu aja." Aliya-pun ikut mengambil jalan terbaik dengan merobek surat undangan itu menjadi serpihan kecil dan langsung ia buang ke tempat sampah. Semua kenangan tentang Dion harus Aliya buang jauh-jauh. Dion hanya menjadi bumerang saja dalam keluarga. Walau begitu, Aliya masih bisa melihat sikap baik Dion dengan melihat anak-anaknya yang sekarang tumbuh dewasa. Dona memilih pergi ke kamarnya. Ia perlu merapikan kamarnya dan membentang karpet karena kemungkinan Aliya belum se